Ayat-ayat Al Quran yang
menguraikan perihal cela dunia atau yang berhubungan dengan itu sungguh amat
banyak. Memang sebagian besar Al Quran itu mengandung masalah-masalah yang
bersangkutan dengan keduniaan, cela-celanya dan membelokkan perhatian makhluk
daripadanya serta mengajak mereka untuk lebih memperhatikan soal-soal
keakhiratan. Malahan hal-hal yang sedemikian itulah yang merupakan tugas dan
tujuan dakwah yang dibawa oleh para nabi ‘alaihimus shalatu wassalam.
Beliau-beliau itu tidaklah diutus oleh Allah ta’ala melainkan untuk
maksud-maksud tersebut di atas. Oleh sebab itu rasanya tidak perlu lagi disini
dikemukakan ayat-ayat Al Quran tadi, sebab sudah amat jelas sekali.
Hanya saja ada baiknya sekiranya
disini dicantumkan hadits-hadits yang sekedarnya yang ada sangkut-pautnya
dengan soal-soal keduniaan itu.
Pada suatu ketika rasulullah
s.a.w. berjalan melalui seekor kibas yang telah mati, lalu beliau s.a.w.
bersabda (diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Hakim) :
اَتَرَوْنَ هذِهِ الشَّاةَ هَيِّنَةً
عَلَى اَهْلِهَا؟ قَالُوا:مِنْ هَوَانِهَااَلْقَوْهَا. قَالَ:وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ,
لَلدُّنْيَااَهْوَنُ عَلَ الله مِنْ هذِهِ الشَّاةِ عَلَى اَهْلِهَا, وَلَوْكَانَتِ
الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَاللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَاسَقَى كَافِرًامِنْهَاشُرْبَةَ
مَاءٍ
Bagaimanakah pendapatmu semua
mengenai kibas ini. Adakah ia hina (tidak berharga sama sekali) bagi pemiliknya
?”. Para sahabat menjawab, “Benar dan karena tidak berharganya lalu mereka
buangkan saja”. Beliau s.a.w. bersabda lagi, “Demi Zat yang jiwaku ada di dalam
kekuasaan-Nya, niscayalah bahwa dunia ini lebih hina di sisi Allah dari kibas
mati ini bagi pemiliknya. Andaikata dunia ini di sisi Allah dianggap berharga
menyamai selembar sayap seekor nyamuk, tidaklah Ia akan memberi minum kepada
seseorang kafir seteguk air pun daripadanya”.
Beliau s.a.w. bersabda pula
(diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya dan Baihaqi) :
Mencintai dunia adalah pokok
dari kesalahan. حُبُّ الدُّنْيَارَأْسُ كُلِّ
خَطِيْئَةٍ
Ada pula sabda rasulullah s.a.w.
yang berbunyi (diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah) :
اِنَّ الدُّنْيَاحُلُوةٌ
خَضِرَةٌ وَاِنَّ الله َمُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَافَنَاظِرْكَيْفَ تَعْلَمُوْنَ
Sesungguhnya dunia ini adalah manis
dan hijau dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu semua sebagai khilafah
(penghuni) disitu, maka akan diperiksalah bagaimana kamu semua beramal.
DUNIA
YANG TERCELA
Ketahuilah bahwa mengetahui cela
dunia itu dapat dianggap cukup selama belum diketahui pula dunia manakah yang
dianggap cela, apakah dunia itu atau apakah yang seyogyanya dijauhi dari
keduniaan tadi, dan mana pulakah yang tidak perlu dijauhi. Oleh sebab itu perlu
sekali dibentangkan secara ringkas perihal dunia yang tercela tadi yang kita diperintah
untuk menjauhinya, sebab yang tercela itu memang benar-benar merupakan musuh
yang dapat memutuskan jalan menuju jalan Allah ta’ala. Inilah yang perlu kita
maklumi bersama. Baiklah kita mulai menguraikannya.
Dunia dan akhiratmu itu adalah
sebagai ibarat dua keadaan dari hal-ihwal hatimu. Yang dekat atau yang sekarang
ini disebut dunia yakni segala sesuatu yang dialami sebelum kematian, sedang
yang belakang atau yang sesudah itu disebut akhirat yaitu segala sesuatu yang
akan dialami setelah kematian.
Maka dari itu segala yang menjadi
milikmu, di dalamnya ada bagian, nasib, tujuan, kesyahwatan, kelezatan yang
kontan pada saat sekarang sebelum mati, itu semua adalah dunia yang menjadi
hakmu. Tetapi tidak semua milik yang dipunyai, yang ada bagian dan nasibmu di
dalamnya itu tentu tercela. Hal ini tidak demikian. Sebaliknya dalam hal ini
ada tiga macam bagian yang penting, yaitu ;
Pertama ; Milik yang akan
mengawanimu sampai di akhirat nanti dan tetap dapat dipetik buahnya setelah
kematian nanti. Ini adalah yang berupa ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta
amal shalih.
Kedua ; Milik yang merupakan
kebalikan dari yang pertama yakni segala sesuatu yang menjadi lawannya yang
jauh yakni bagian yang kontan dan sama sekali tidak akan membuahkan sesuatu untuk
kepentingan keakhiratan kelak nanti, misalnya bersenang-senang dalam perbuatan
kemaksiatan atau berlezat-lezatan dengan kenikmatan yang melampaui batas yang
diperlukan dan akhirnya dapat dimasukkan dalam kelompok berlebih-lebihan dalam
mengejar kesenangan lahiriah. Oleh sebab itu segala yang dilakukan seseorang
dalam keadaan tingkat kedua ini adalah merupakan keduniaan yang tercela sekali.
Ketiga ; Milik yang merupakan
pertengahan antara dua keadaan di atas yakni segala bagian yang kontan, yang
ditentukan untuk amalan-amalan akhirat, tetapi yang mau tidak mau harus
dilaksanakan demi untuk mendatangkan kebahagiaan manusia itu sendiri, misalnya
agar berlangsung kehidupannya serta tetap kesehatannya dan dengan kedua macam
ini akan digunakan untuk menuju kepada ilmu pengetahuan dan amal shalih.
Misalnya ialah makan minum, berpakaian, berobat dan lain-lain. Semua yang
dikerjakan dalam keadaan sebagaimana di atas itu bukanlah termasuk hal
keduniaan. Jadi masih tergolong sebagaimana bagian pertama di atas, sebab
merupakan perantaraan untuk menentukan terlaksananya bagian yang pertama
tersebut.
Maka dari segala sesuatu yang
dilakukan atau diperoleh seseorang dengan tujuan untuk dijadikan sebagai
perantara atau penolongnya guna mencapai ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta
melaksanakan amal kelakuan yang shalih, tidaklah berarti bahwa ia melakukan
atau memperolehnya untuk keduniaan. Orang tersebut tidak lagi termasuk putera
pencari keduniaan, sebab baginya keduniaan itu adalah sebagai ladang untuk
tanaman keakhiratan. Tetapi sebaliknya apabila ada orang yang mengerjakan atau
memperoleh itu dengan tujuan memuaskan nafsunya saja tanpa ada maksud untuk
sebagai perantara yang mengantarkannya ke akhirat, maka teranglah bahwa ia
termasuk pencari keduniaan semata-mata. Sebabnya yang sedemikian itu ialah
karena bagi orang tersebut dunia adalah merupakan bagiannya yang kontan yang
tidak dihubungkan sama sekali dengan akhirat. Agaknya ia memang tidak
memerlukan kebahagiaan di akhirat itu dan inilah yang lazim dikatakan sebagai
hawa nafsu dan kesyahwatan.
Dalam hal ini Allah s.w.t.
berfirman dalam surah An Nazi’at 40-41 :
وَاَمَّامَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِى وَنَهَى النَّفْسَ
عَنِ الْهَوَى. فَاِنَّاالْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوى
Adapun orang yang takut kepada
Tuhannya dan mencegah dirinya dari kehendak hawa nafsu, maka sesungguhnya surga
itulah tempatnya.
Kumpulan hawa nafsu itu ada lima
macam yaitu sebagaimana yang dihimpunkan oleh Allah s.w.t. dalam firmannya
dalam surah Al Hadid 20 :
اِعْلَمُوْآ اَنَّمَاالْحَيَوةُ
الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْـنَةٌ وَّتَفَاخُرٌبَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌفِى
اْلاَمْوَالِ وَاْلاَوْلاَدِ ...
Ketahuilah bahwa kehidupan
dunia itu adalah permainan, senda gurau, perhiasan, bermegah-megahan antara
kamu dan berlomba banyak harta dan anak-anak.
Tentang benda-benda yang
digunakan sebagai perwujudn dari lima macam hawa nafsu di atas itu ada tujuh
macam dan juga dihimpun oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya dalam surah Ali ‘Imran
14 :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَهَوَاتِ مِنَ النِّسَآءِ وَالْبَنِيْنَ
وَالْقَنَاطِيْرِالْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَاْلاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ, ذَالِكَ مَتَاعُ الْحَيَواةِ الدُّ نْيَا....
Dihiasi untuk para manusia itu
(manusia diberi hasrat atau nafsu) mencintai beberapa kesyahwatan (menginginkan
kesenangan-kesenangan) terhadap kaum wanita, anak-anak, kekayaan yang
berlimpah-limpah dari emas dan perak, kuda yang bagus, binatang ternak dan
sawah ladang. Memang itulah kesenangan hidup di dunia.
Ringkasnya ialah bahwa segala
sesuatu yang ditujukan untuk menuju jalan Allah ta’ala, bukanlah itu termasuk
keduniaan semata-mata dan sebaliknya ialah bahwa segala sesuatu yang bukan
ditujukan pada jalan Allah ta’ala maka itulah yang termasuk keduniaan.
HAKIKAT
DUNIA
Ketahuilah bahwa dunia adalah
sebagai ibarat dari berbagai benda yang ada dipergunakan untuk kepentingan
manusia umumnya. Manusia perlu bekerja untuk memperbaiki dan membangunnya itu.
Benda-benda yang ada yang merupakan perwujudan dari dunia itu sendiri, sebenarnya
tidak lain hanyalah berupa bulatan bumi yang kita tempati ini dengan segala sesuatu
yang ada di atasnya serta yang terkandung di dalamnya.
Allah ta’ala berfirman dalam
surah Kahf 7 :
اِنَّاجَعَلْنَامَاعَلَى اْلاَرْضِ
زِيْنَةً لَّهَالِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلاً
Sesungguhnya Kami telah
menjadikan apa-apa yang ada di atas bumi itu sebagai hiasannya, perlunya ialah
agar Kami dapat mencoba orang-orang banyak itu, manakah diantara mereka yang
terbaik amal kelakuannya.
Jadi bumi itu berkedudukan
sebagai hamparan untuk semua golongan manusia, juga sebagai tempat
beristirahat, kediaman dan tempat menetap. Selain itu segala yang ada di bumi
tadi adalah diperuntukkan manusia-manusia itu pula, baik yang berupa pakaian, minuman, jodoh dan sebagainya.
Perlu kiranya dimaklumi bahwa
segala yang terkumpul di bumi itu dapat dibagi menjadi tiga macam golongan
yaitu ;
a. Benda-benda logam (ma’dan)
b. Tumbuh-tumbuhan (nabat)
c. Hewan (hayawan)
Benda-benda logam ; yaitu yang
dicari oleh manusia untuk digunakan sebagai bahan membuat ala-alat,
perkakas-perkakas serta wadah dan bejana, misalnya ialah tembaga, timah, besi
dan sebagainya. Juga yang dapat digunakan sebagai bahan perhiasan, uang dan
alat penukaran seperti emas dan perak. Demikian pula yang dipergunakan untuk
tujuan-tujuan lain.
Tumbuh-tumbuhan ; inilah yang
dicari oleh manusia untuk bahan makan atau pengobatan dan lain-lain sebagainya.
Hewan ; termasuk golongan ini ialah
manusia dan binatang dalam segala bentuk dan macamnya.
Binatang ternak dapat diambil
dagingnya untuk makanan, dapat digunakan punggungnya untuk kendaraan dan dapat
pula dipakai sebagai perhiasan.
Tentang manusia dapatlah
digunakan oleh sesamanya sebagai pelayan, juga yang biasa digunakan untuk
saling memenuhi keperluan hidupnya seperti wanita. Ada lagi suatu hal yang
setiap hati manusia ingin sekali memilikinya, sebab dengan memperolehnya itu
akan tertanamlah rasa memuliakan dan mengagungkan dalam kalbu orng-orang lain.
Inilah yang lazim disebut ‘kedudukan’ atau ‘pangkat’. Bukankah arti kata ini
ialah memiliki kalbu seluruh ummat manusia.
Benda-benda sebagaimana di atas
itulah yang termasuk dalam pengertian harta dunia. Semuanya itu telah dihimpunkan
menjadi satu ayat dalam firman Allah ta’ala yang berupa tujuh macam hal di atas
(surah Ali ‘Imran 14) ;
a. Kaum wanita dan anak-anak (Inilah yang dari golongan sesama
manusia)
b. Kekayaan yang berlimpah-limpah dari emas dan perak (Inilah yang
dari golongan permata yang berharga sekali serta segala macam jauhar, ratna
mutu manikam dan sebagainya)
c. Kuda yang bagus dan binatang ternak (Inilah yang dari golongan
binatang atau hewan dalam segala macamnya)
d. Sawah ladang (Inilah yang dari golongan tanam-tanaman,
tumbuh-tumbuhan dan segala yang tumbuh dari sawah dan ladang).
Itulah berbagai macam benda-benda
keduniaan. Dalam pada itu perlu diketahui pula bahwa benda-benda di atas itu
ada dua macam hubungannya dengan manusia, yaitu ;
Pertama
; Hubungan dengan hati yakni mencintai benda-benda tadi, ingin memperoleh
bagiannya, sangat menaruh perhatian yang sebesar-besarnya guna memilikinya,
sehingga kalbunya itu bagaikan seorang yang memperhambakan diri padanya atau
seorang yang merindukan sangat pada keduniaan itu.
Oleh sebab adanya kecintaan yang
terlampau sangat tadi, maka erat sekali hubungannya dengan timbulnya beberapa
sifat dalam hati sanubari manusia itu yang ada sangkut pautnya dengan urusan
pengejaran keduniaan, misalnya ialah sifat kecongkakan, pendendaman,
kedengkian, keria’an (memamerkan miliknya yang dianggap istimewa), ketinggian
diri (merasa lebih unggul dari orang-orang lain), sangkaan buruk pada orang
lain, penipuan dan penggelapan, suka pada pujian dan sanjungan, ingin banyak
sendiri, berlomba menambah harta dan kekayaan, bermegah-megahan dalam segala
yang tidak patut dan lain-lain sifat hati yang buruk dan jahat. Ini adalah
bentuk sifat-sifat keduniaan yang batin. Adapun yang lahir dan tampak ialah
sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Kedua
; Hubungan dengan tubuh yaitu berusaha memperbaguskan keadaan benda-benda tadi
agar supaya dapat diambil kemanfaatannya, baik olehnya sendiri atau oleh orang
lain yang membutuhkannya. Termasuk dalam golongan kedua ini ialah segala macam
pertukangan serta segala karya dan usaha yang dikerjakan oleh seluruh manusia.
Sadarilah baik-baik bahwa manusia
itu mudah sekali melupakan keadaan dan hal-ihwal dirinya sendiri, juga kemana
ia akan kembali dan kemana kelanjutan bepergiannya nanti itu, hanyalah sebab
adanya gangguan keduniaan tadi. Ini tentunya disebabkan adanya dua macam
hubungan di atas yakni antara benda-benda keduniaan itu dengan hati serta tubuh
manusia tadi. Hubungan hati ialah mencintai benda-benda keduniaan itu sedang
hubungan tubuh ialah dengan bekerja untuk memperolehnya. Andaikata manusia itu
mengerti benar-benar akan keadaan dirinya sendiri dan mengerti pula dengan
sebenar-benarnya akan kedudukan Tuhannya, juga menyadari sungguh-sungguh apa
hikmat dan rahasia-rahasia dunia ini diciptakan oleh Allah ta’ala, pastilah ia
akan menginsafi baik-baik bahwa benda-benda keduniaan yang lazim kita namakan ‘dunia’
itu tidaklah diciptakan oleh Zat Yang Maha Menciptakan yakni Allah s.w.t.
melainkan semata-mata untuk kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri yakni
bahwa dengan benda-benda dunia itulah manusia dapat memperoleh daya dan
kekuatan guna memperbaguskan keagamaannya.
Oleh sebab itu, jikalau manusia
sudah benar-benar mengerti hal-hal di atas, tentulah sewaktu ia selesai
mengerjakan apa yang digerakkan oleh hati dan sudah pula selesai mengerjakan
dengan tubuhnya, tentulah ia akan segera menghadap kepada Allah ta’ala dengan
sepenuh perhatian yang ada padanya. Ia akan tetap mengikuti siasat-siasat
kesyahwatan, selalu meneliti keinginan-keinginannya sendiri sehingga tidak
melampaui batas-batas kewara’an serta ketakwaan kepada Allah ta’ala. Semua ini
tentulah tidak dapat diketahui melainkan dengan jalan mengikuti
golongan-golongan yang nyata-nyata memperoleh keselamatan dunia dan akhirat
yaitu para sahabat nabi Muhammad s.a.w. Beliau-beliau inilah yang nyata-nyata
mengikuti jalan lempang, jalan lurus dan benar. Beliau-beliau itu tidaklah
mencari dunia ini semata-mata untuk kelezatan dan kesenangan, tetapi hanyalah
untuk ditujukan kepada tercapainya kekuatan agama, baik dalam tubuhnya sendiri
atau pun di dalam masyarakat yang beliau-beliau itu hidup di dalamnya.
Beliau-beliau itu tidak juga meninggalkan keduniaan itu sama sekali, tetapi
tidaklah pula beliau-beliau itu secara berlebih-lebihan mengejarnya.
Beliau-beliau ini senantiasa berjalan menurut garis pertengahan. Inilah yang
merupakan keadilan dan pertengahan antara dua macam keadilan dan pertengahan
antara dua macam keadaan yang sama tidak benar. Dua keadaan itu ialah tidak
memperhatikan sama sekali serta terlampau sangat menaruh perhatian atasnya. Cara
pertengahan itulah yang amat dicintai oleh Allah ta’ala.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar