KEPUASAN
SYAHWAT KEMALUAN
Ketahuilah bahwa syahwat
bersetubuh itu menguasai manusia karena dua faedah, yaitu ;
1. Manusia memperoleh kelezatan
bersetubuh, kemudian ia bandingkan dengan kelezatan akhirat.
Sesungguhnya
kelezatan bersetubuh adalah kelezatan sekejab, andaikan kekal niscaya merupakan
kelezatan tubuh yang paling kuat, sebagaimana api dengan kepedihannya merupakan
kepedihan yang paling besar. Rasa senang dan rasa takut itu menggiring manusia
menuju kebahagiaan mereka. Dan tidaklah demikian itu kecuali karena kepedihan
yang dirasa dan kelezatan yang diperoleh, karena sesuatu yang tidak dapat
diperoleh dengan rasa tidak akan besar kerinduan padanya.
2. Lestarinya keturunan dan wujud
manusia.
Inilah
faedahnya, tetapi di dalamnya tersimpan bencana yang dapat membinasakan agama
dan dunia kalau tidak dikendalikan, ditundukkan dan tidak dikembalikan kepada
batas i’tidal (sedang).
Sebagaimana
penakwilan sebagian ‘ulama terhadap firman Allah dalam surah Al Baqarah 286 :
... رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَامَالاَطَاقَةَ لَنَابِهِى ...
Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya.(maksudnya berkorbannya syahwat).
Dari Ibnu
Abbas r.a. tentang firman Allah dalam surah Al Falaq 3 :
Dan dari
kejauhan malam apabila telah gelap gulita. وَمِنْ شَرِّغَاسِقٍ
اِذَاوَقَبَ
(menurut Ibnu Abbas r.a. yaitu bangunnya dzakar. Dan sebagian
rawi menyandarkannya kepada rasulullah s.a.w., kecuali Ibnu Abbas berkata
tentang penafsiran, “Apabila dzakar masuk”. Dan dikatakan, “Apabila dzakar
laki-laki masuk, niscaya hilang dua pertiga akalnya”).
Rasulullah s.a.w. membaca dalam
doanya : (diriwayatkan oleh Al Ashtahani)
اَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّسَمْعِى
وَبَصَرِى وَقَلْبِى وَهَنِّى وَمَنِـيِّى
Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, hatiku, kesenanganku dan
air maniku
Rasulullah s.a.w. bersabda
(diriwayatkan oleh Al Ashtahani) :
النِّسَاءُ جَبَائِلُ الشَّيْطَانِ,
وَلَوْلاَهذِهِى الشَّهْوَةُ, مَاكَانَ لِلنِّسَاءِ
سُلْطَنَةٌ عَلَى الرِّجَالِ
Para wanita adalah tali-tali
syaithan, jikalau tidak ada hawa nafsu ini, niscaya wanita tidak mempunyai
kekuasaan atas laki-laki.
Diriwayatkan bahwa nabi Musa a.s.
ketika duduk di majelisnya, tiba-tiba datang kepadanya iblis dengan pakaian burnus
(sejenis mantel yang bertudung kepala) yang beraneka macam warna. Setelah dekat
nabi Musa, iblis melepaskan bajunya seraya berkata, “Assalamu’alaikum wahai
Musa !”. Nabi Musa bertanya, “Siapa kamu ?”. Iblis menjawab, “Saya iblis”. Nabi
Musa berkata, “Mudah-mudahan Allah tidak memberi kesejahteraan atasmu. Apa yang
mendorongmu datang kemari ?”. Iblis menjawab, “Saya datang untuk mengucapkan
selamat kepadamu, karena kedudukan dan tempatmu di sisi Allah”. Nabi Musa
bertanya, “Pakaian apa yang kau lepaskan itu ?”. Iblis menjawab, “Burnus yang
saya rampas dari anak cucu Adam”. Nabi Musa bertanya, “Perbuatan apakah yang
apabila manusia melakukannya, kamu dapat mengalahkannya ?”. Iblis menjawab,
“Apabila manusia kagum pada dirinya dan merasa banyak amalnya lalu lupa pada
dosa-dosanya”. Iblis berkata lagi, “Dan saya memperingatkanmu dengan tiga
perkara yaitu
1. Janganlah menyendiri dengan seorang wanita yang tidak halal bagimu,
karena tidaklah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita, saya adalah
temannya di depan teman-temanku sehingga saya memfitnahnya dengan wanita itu
dan saya fitnah itu dengannya.
2. Jangan berjanji dengan nama Allah melainkan kamu menepatinya.
3. Janganlah mengeluarkan sedekah kecuali kamu melaksanakannya.
Sesungguhnya tidaklah seseorang mengeluarkan sedekah, kemudian ia tidak
melaksanakannya kecuali saya adalah temannya di depan teman-temanku sehingga
saya halangi antara dia dengan memenuhi sedekahnya”.
Kemudian iblis pergi seraya
berkata, “Celaka ! Musa telah mengetahui apa yang diperingatkan terhadap anak
cucu Adam”.
Sa’id Al Musayyab berkata,
“Tidaklah Allah mengutus nabi pada masa lampau melainkan iblis tidak putus asa
untuk membinasakannya dengan wanita. Dan tidak ada yang lebih saya takuti
daripada wanita. Dan di Madinah tidak ada rumah yang saya masuki selain rumahku
dan rumah anak perempuanku, saya mandi disitu pada hari Jum’at kemudian saya
pergi”.
Sebagian mereka berkata,
“Sesungguhnya syaithan berkatan kepada wanita ; Kamu adalah separuh tentaraku,
dan kamu adalah anak panahku yang saya lemparkan dan selalu tepat sasaran. Kamu
adalah tempat rahasiaku, dan kamu adalah utusanku dalam memenuhi keperluanku”.
Maka benarlah pendapat yang mengatakan, “Separuh tentara syaithan adalah
syahwat dan separuh lagi adalah marah, sedang syahwat yang paling besar adalah
syahwat kepada wanita. Syahwat kepada wanita ini adalah yang melebihi batas,
ada yang teledor dan ada yang i’tidal (sedang)”.
Adapun yang melebihi batas adalah
syahwat yang memaksa akal sehingga memalingkan cita-cita laki-laki kepada
bersenang-senang dengan wanita dan budak perempuan hingga terhalangnya ia dari
jalan akhirat atau memaksa agama sehingga terdorong untuk menceburkan diri
dalam perbuatan keji.
Pada segolongan orang, melebihi
batas dalam syahwat wanita kadang-kadang berakhir dengan dua perkara ;
1. Mereka makan apa yang dapat menguatkan syahwatnya untuk memperbanyak
bersetubuh sebagaimana orang makan obat-obatan yang menguatkan perut agar nafsu
makannya besar. Perumpamaan yang demikian ini seperti orang yang dicoba dengan
binatang buas dan ular yang berbisa yang sedang tidur, lalu ia berusaha
membangkitkan dan membangunkannya, akhirnya ia sibuk memperbaiki dan
mengobatinya.
Rasulullah
s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Al Uqaili) :
شَكَوْتُ اِلَى جِبْرَاءِيْلَ
ضُعْفَ الْوِقَاعِ فَاَمَرَنِى بِأَكْلِ الْهَرِيْسَةِ
Aku mengadu
kepada malaikat Jibril tentang kelemahan bersetubuh, lalu ia menyuruhku makan
bubur harisah (bubur tepung bercampur daging).
Ketahuilah
bahwa rasulullah s.a.w. mempunyai sembilan istri, yang wajib atas beliau
memelihara mereka dengan bersenang-senang, dan haram orang lain mengawini
mereka meskipun diceraikan beliau. Maka permintaan beliau akan kekuatan itu
karena untuk menjaga mereka dan tidak untuk menuruti hawa nafsunya.
2. Kadang-kadang syahwat wanita ini berakhir dengan sebagian kesesatan
sampai ke tingkat kerinduan, dan ini merupakan puncak kebodohan dengan sesuatu
yang dipertaruhkan untuk bersetubuh dan ini melampaui sifat kebinatangan kepada
batas semua binatang. Karena orang yang sangat rindu tidak akan puas dengan
menumpahkan syahwat bersetubuh, dan ini sejelek-jelek hawa nafsu.
Dan amat layaklah apabila ia
merasa malu melakukannya hingga ia berkeyakinan bahwa syahwat tidak akan
terpenuhi kecuali dari satu tempat, dan binatang memenuhi nafsu syahwatnya
dimana saja ia berada, lalu ia merasa cukup dengannya. Sedang kerinduan tidak
pernah terpenuhi kecuali hanya dengan sesuatu yang dirindukan sehingga ia
semakin hina bertambah hina dan perbudak kepada perbudakan yang akhirnya akal tertunduk
untuk melayani hawa nafsunya, padahal akal diciptakan untuk ditaati bukan untuk
menjadi pelayan dan budak hawa nafsu.
Dan tidak ada kerinduan melainkan
sumber kerakusan hawa nafsu. Ini merupakan penyakit hati yang hampa yang tidak
mempunyai cita-cita. Yang demikian ini wajiblah dijaga sejak permulaannya
dengan meninggalkan, berkali-kali memandang dan berfikir. Kalau tidak, maka
apabila telah kokoh, niscaya sulit menolaknya.
Begitu juga kerinduan terhadap
harta, kedudukan, tanah ladang dan anak hingga cinta bermain dengan burung,
gitar dan catur. Sesungguhnya semua perkara ini kadang-kadang dapat menguasai
sekelompok orang sehingga mereka minim agama dan dunia padahal mereka tidak ada
kesabaran atasnya.
Perumpamaan orang yang
menghancurkan tanda kerinduan sejak permulaan bangkitnya adalah seperti orang
yang mengarahkan tali kekang binatang ketika menuju pintu untuk memasukinya.
Alangkah ringannya mencegah binatang itu dengan memalingkan tali kekangnya.
Sedang perumpamaan orang yang mengobat setelah kokohnya adalah bagaikan orang
yang membiarkan binatang itu sehingga masuk dan melewati pintu, baru ia
memegang ekornya dan menariknya ke belakang. Alangkah besar perbandingan antara
kemudahan dan kesulitannya.
Dengan demikian, maka
berhati-hatilah sejak permulaan sesuatu. Sedang pada akhir sesuatu, pengobatan
akan sia-sia kecuali dengan usaha yang sungguh-sungguh yang nyaris menyebabkan
tercabutnya nyawa.
Apabila kerakusan syahwat dapat
mengalahkan akan sampai batas ini, maka ini tercela, begitu juga keteledoran
syahwat hingga impoten atau ketidakberdayaan memberi kesenangan terhadap wanita
yang ia kawini adalah tercela pula.
Sedang yang terjadi adalah
syahwat i’tidal (sedang) disertai ketaatan kepada akal dan kontrol agama dalam
menahan dan melakukannya. Apabila syahwat melebihi batas, hendaklah dihancurkan
dengan lapar atau nikah.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
مَعَاشِرَالشَّبَابِ عَلَيْكُمْ
بِالْبَاءَةِ. فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ, فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَالصَّوْمُ لَهُ
وِجَاءٌ
Wahai golongan pemuda,
hendaklah kamu kawin. Barangsiapa tidak mampu kawin, hendaklah ia berpuasa,
karena puasa itu baginya adalah perisai.
KEHARUSAN
MURID DALAM MELAKUKAN PERKAWINAN ATAU MENINGGALKANNYA
Ketahuilah bahw murid (hamba yang mendambakan jalan akhirat) dalam memulai suluknya seyogyanya tidak menyibukkan diri dengan kawin. Sesungguhnya kawin adalah kesibukan yang menyibukkan yang dapat mencegahnya menempuh jalan akhirat dan mendorongnya bersenang-senang dengan isterinya).
Barangsiapa bersenang-senang dengan selain Allah, niscaya ia sibuk dan jauh dari Allah. Dan janganlah ia tertipu oleh kebanyakan perkawinan rasulullah s.a.w., karena semua yang ada di dunia tidak menyibukkan hati beliau dari mengingat Allah. Malaikat tidak dapat disamakan dengan tukang besi.
Karena itu, Abu Sulaiman Ad Darani berkata, “Barangsiapa kawin, maka ia condong kepada dunia”. Abu Sulaiman Ad Darani juga berkata, “Saya tidak mengetahui seorang murid yang kawin dan ia tetap pada keadaannya yang pertama”.
Suatu ketika seorang berkata kepada Abu Sulaiman, “Alangkah perlunya kamu kepada wanita sehingga kamu dapat bersenang-senang dengannya ?”. Abu Sulaiman berkata, “Saya tidak bisa bersenang-senang dengan Allah beserta wanita”. (Maksudnya bersenang-senang dengan wanita itu dapat menghalangi bersenang-senang dengan Allah).
Abu Sulaiman Ad Daranni berkata lagi, “Segala sesuatu yang memalingkanmu dari Allah berupa keluarga, harta dan anak, maka sial baginya”. Maka bagaimana selain rasulullah s.a.w. disamakan dengan beliau ? Tenggelamnya beliau dalam mencintai Allah seolah beliau terbakar sampai dimana beliau takut dalam segala keadaan dan menjalar ke seluruh tubuh kemudian seolah-olah menggoyahkan konsentrasinya pada selain Allah.
Oleh karena itu, kadang-kadang rasulullah s.a.w. memukulkan tangan beliau ke paha ‘Aisyah seraya bersabda, “Berkatalah kepadaku hai ‘Aisyah”. Hal ini dimaksudkan agar ‘Aisyah menyibukkan beliau dengan pertanyaannya dari mengingat kebesaran yang ada pada beliau karena terbatasnya kemampuan tubuh beliau terhadapnya.
Tabiat rasulullah s.a.w. adalah selalu bersenang-senang dengan Allah ‘Azza wa Jalla sedang bersenang-senangnya beliau dengan makhluk hanyalah sesuatu yang sekilas karena beliau merasa kasih sayang terhadap badannya dan beliau tidak kuat bersabar apabila duduk-duduk dengan makhluk. Oleh karena itu, apabila dada beliau terasa sempit, maka beliau bersabda :
اَرِحْنَا بِهَا يَابِلاَلُ
Senangkanlah kami dengan shalat wahai bilal (sehingga beliau kembali pada apa yang menjadi penyejuk matanya).
Orang yang lemah apabila memperhatikan hal-ihwal rasulullah s.a.w. mengenai perkara seperti ini, maka ia tertipu. Karena tingkat kefahamannya tidak mampu mengetahui rahasia-rahasia perilaku rasulullah s.a.w.
Dengan demikian, syarat bagi murid adalah membujang pada permulaan suluknya sampai ia kuat kema’rifatannya. Ini apabila tidak dikalahkan oleh syahwatnya. Kalau ia dikalahkan, hendaklah menghancurkannya dengan lapar yang panjang dan puasa terus-menerus. Kalau dengan cara ini syahwat tidak terkendali dan ia tidak mampu memelihara matanya umpamanya meskipun ia mampu memelihara farjinya, maka kawin adalah yang lebih utama baginya agar syahwatnya tenang. Kalau tidak, maka apabila ia tidak mampu menjaga matanya, maka ia tidak dapat menjaga pikirannya, akibatnya cita-cita cerai berai. Kadang-kadang ia terjerumus pada bencana yang ia tidak sanggup menghadapinya.
Zina mata merupakan paling besarnya dosa kecil, dan itu dapat mendekati dosa besar yang keji yakni zina farji. Barangsiapa tidak mampu memejamkan matanya, niscaya tidak mampu menjaga farjinya. Nabi Isa berkata, “Jauhilah memandang wanita, sesungguhnya memandangnya menanamkan syahwat di dalam hati dan cukuplah itu menjadi fitnah”.
Said bin Jabir berkata, “Sesungguhnya fitnah datang kepada nabi Dawud a.s. dari memandang wanita”. Karena itu nabi Dawud a.s. berkata kepada putranya (nabi Sulaiman) ; wahai anakku, berjalanlah di belakang singa dan ular hitam dan janganlah berjalan di belakang wanita”.
Orang bertanya kepada Yahya a.s., “Apa permulaan zina ?”. Nabi Yahya menjawab, “Memandang dan berangan-angan”.
Al Fudhail berkata, “Iblis berkata ; Memandang wanita itu adalah panahku yang dahulu dan anak panahku yang dengannya saya tidak pernah salah sasaran”.
Rasulullah bersabda (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ اِبْلِيْسَ. فَمَنْ تَرَكَهَاخَوْفًامِنَ اللهِ تَعَالَى, اَعْطَاهُ الله ُاِيْمَانًا يَجِدُ حَلاَوَتُهُ فِى قَلْبِهِ
Memandang wanita adalah anak panah dari beberapa anak-anak iblis yang beracun. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, niscaya Allah memberikan iman kepadanya yang ditemukan kemanisannya dalam hatinya.
Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
مَاتَرَكْتُ بَعْدِى فِتْـنَةً اَضَرَّعَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya atas orang laki-laki daripada wanita.
Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Muslim) :
اِتَّقُوْافِتْـنَةَ الدُّنْيَا وَفِتْـنَةَ النِّسَآءِ. فَاِنَ اَوَّلَ فِتْـنَةِ بَنِى اِسْرَائِيْلَ كَانَتْ مِنْ قِبَلِ النِّسَآءِ
Takutlah kepada fitnah dunia dan fitnah wanita. Sesungguhnya fitnah bani Israil yang pertama terjadi dari wanita.
Berfirman Allah ta’ala dalam surah An Nur 30 :
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ. ذَالِكَ اَزْكَىا لَهُمْ ...
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka.
Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Muslim dan Baihaqi) :
لِكُلِّ ابْنِ اَادَمَ حَظٌّ مِنَ الزِّنَا. فَالْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ. وَزِنَاهُمَاالنَّظْرُوَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ. وَزِنَاهُمَاالْبَطْشُ وَالرِّجْلاَنِ تَزْنِيَانِ. وَزِنَاهُمَاالْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِى, وَزِنَاهُ الْقُبْلَةُ وَالْقَلْبُ يَهُمُّ اَوْ يَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَالِكَ الْفَرْجُ اَوْ يُكَذِّبُهُ
Tiap-tiap anak Adam itu mempunyai bagian dari zina. Kedua matanya berzina dan zinanya adalah memandang. Dua tangannya berzina dan zinanya adalah menampar. Kedua kakinya berzina dan zinanya adalah berjalan. Dan mulut berzina dan zinanya adalah mencium, sedangkan hati berangan-angan dan bercita-cita dan demikian itu dibenarkan oleh kemaluannya atau didustakannya.
Ummu Salamah berkata, “Ibnu Ummi Maktum yang buta minta izin menghadap rasulullah s.a.w., sedang saya dan Maimunah sedang duduk-duduk, lalu rasulullah s.a.w. bersabda ; Bertabirlah kamu berdua !”. Kami berkata ; Bukankah ia buta yang tidak dapat melihat kami ?. Beliau bersabda ; Kamu berdua dapat melihat kepadanya”.
Inilah menunjukkan bahwa wanita tidak boleh duduk-duduk dengan orang buta sebagaimana kebiasaan yang berlaku di tempat berkumpulnya orang atau tempat pesta. Begitu juga haram orang buta berduaan dengan wanita, sebaliknya haram orang wanita duduk-duduk dengan orang buta dan memandangnya tanpa dengan pandangan tajam tanpa keperluan. Sesungguhnya wanita diperbolehkan berbicara dengan laki-laki dan memandangnya karena ada keperluan yang umum.
Apabila murid mampu menjaga matanya dari wanita, tetapi ia tidak mampu menjaga matanya dari anak-anak kecil, maka nikah lebih utama baginya, karena kejahatan pada anak-anak itu lebih banyak. Apabila hatinya condong kepada wanita, maka ia boleh kawin. Sedang memandang muka anak kecil dengan syahwat adalah haram. Bahkan setiap orang yang hatinya terkesan dengan kebagusan rupa anak muda sehingga ia mendapatkan perbedaan antara amrad (anak muda) dan orang yang berjenggot, maka tidak halal baginya memandang kepadanya.
Kalau kamu berkata bahwa setiap orang yang mempunyai perasaan pasti mengetahui perbedaan antara orang yang tampan dan orang yang jelek serta terkesan dengan wajah anak-anak yang selalu terbuka, maka saya berkata bahwa yang saya kehendaki bukan hanya perbedaan mata saja, tetapi seyogyanya kita bandingkan antara mengetahui perbedaan tersebut dengan mengetahui perbedaan antara pohon yang hijau dan pohon yang kering, antara air yang jernih dan air yang kotor, dan antara pohon yang berbunga dan kemilaunya dengan pohon yang berguguran dedaunnya. Benar ia condong kepada salah satunya dengan mata dan tabiatnya, tetapi kecondongan yang sama sekali terhindar dari syahwat.
Oleh karena itu, ia tidak ingin menyentuh bunga-bunganya dan tidak ingin menciumnya dan tidak juga mencium air yang jernih. Begitu juga mengetahui wanita tua yang cantik, kadang-kadang mata condong kepadanya dan dapat mengetahui perbedaan antara wanita tua cantik dan wanita tua yang jelek, tetapi perbedaan yang tidak ada syahwat padanya.
Yang demikian itu dapat diketahui dengan condongnya hawa nafsu untuk mendekati dan menyentuh. Apabila kecondongan itu ditemukan dalam hatinya dan diketahui perbedaan antara muka cantik, antara tubuh-tubuh yang indah, pakaian yang dilukis, dan istana-istana disepuh emas, kemudian pandangannya adalah pandangan syahwat, maka itu adalah haram. Ini merupakan perkara yang diremehkan manusia dan ini dapat mendorong manusia kepada kebiasaan, sedang mereka tidak mengetahui.
Sebagian tabi’in berkata, “Tidaklah saya lebih takut kepada binatang buas daripada pemuda ahli ibadah yang di dekat amrad (pemuda belia)”.
Sufyan Ats Tsauri berkata, “Apabila seorang laki-laki bermain-main dengan pemuda di antara dua jari dari
beberapa jari-jemari kakinya dengan maksud memenuhi syahwatnya, niscaya ia
adalah homoseks”.
Sebagian orang salaf berkata,
“Akan ada dalam ummat itu tiga golongan homoseks, yaitu satu golongan yang
memandang, satu golongan berjabat tangan dan satu golongan berbuat”.
Dengan demikian, bahaya memandang
itu amat besar. Maka apabila murid tidak berdaya memejamkan pandangannya dan
menahan fikirannya, maka yang tepat baginya adalah menghancurkan syahwatnya
dengan nikah, karena banyak hawa nafsu penjaganya tidak tenang dan lapar.
Sebagian orang berkata,
“Syahwatku telah menguasaiku pada permulaan keinginanku terhadap apa yang saya
tidak sanggup, lalu saya memperbanyak teriakan kepada Allah”. Kemudian saya
mimpi bertemu seseorang yang bertanya kepadaku, “Apa yang terjadi padamu ?”.
Saya mengadu kepadanya, lalu ia meletakkan tangannya di dadaku, maka terasa
dingin di hati dan sekujur tubuhku dan pada pagi hari terbebaslah diriku dari
beban itu hingga setahun. Kemudian hal itu kembali lagi padaku. Pada waktu
tidur, seorang datang kepadaku dan bertanya, “Inginkah apa yang kamu rasakan
ini hilang, tetapi aku akan memukul lehermu ?”. Saya jawab, “Ya”. Lalu ia
berkata, “Ulurkanlah lehermu !”. Saya ulurkan leherku dan ia menghunus pedang
dari cahaya dan menebas leherku. Sejak pagi hari itu hilanglah penderitaanku
sampai satu tahun. Kemudian yang demikian itu kembali lagi bahkan lebih keras
daripada sebelumnya, lalu saya bermimpi seolah-olah ada seseorang diantara
lambung dan dadaku dan berkata, “Celaka ! berapa kali kamu memohon kepada Allah
agar dihilangkan sesuatu yang tidak wajib dihilangkan ?”. Kemudian saya kawin
dan demikian itu putus dariku serta dikaruniai anak.
Apabila murid berhajat nikah,
maka tidak seyogyanya ia meninggalkan syaratnya yang ada di permulaan dan
berikutnya. Adapun syarat pada permulaan nikah adalah niat yang baik, sedang
syarat pada waktu berikutnya adalah budi pekerti yang luhur, teguh dalam
perjalanan dan melaksanakan hak dan kewajiban yang telah diwajibkan Allah
kepadanya.
Adapun tanda keinginan yang benar-benar
adalah mengawini perempuan miskin yang kuat agamanya dan tidak mencari wanita
yang kaya. Sebagian mereka berkata, “Barangsiapa mengawini wanita kaya, maka
baginya lima perkara ; mahalnya mas kawin, lambatnya pesta perkawinan,
hilangnya pelayanan, banyaknya biaya hidup dan apabila ia ingin menceraikannya,
ia keberatan karena takut kehilangan harta benda, sedang wanita miskin itu
sebaliknya”.
Sebagian mereka berkata,
“Sebaiknya wanita itu lebih rendah dari laki-laki dalam empat perkara, kalau
tidak, maka wanita akan menghinanya, yaitu ; umur, tinggi posturnya, harta dan
keturunan. Dan seyogyanya wanita itu di atas laki-laki dalam empat perkara,
yaitu ; kecantikan, sopan santun, budi pekerti dan wara’”.
Adapun tanda benarnya keinginan
untuk melanggengkan pernikahan adalah budi pekerti. Sebagian murid kawin dengan
seorang wanita, ia senantiasa melayani isterinya itu, sehingga wanita itu
mengadu kepada ayahnya, “Saya heran terhadap laki-laki ini. Saya di rumahnya
sejak beberapa tahun silam dan saya tidak pergi ke wc sama sekali melainkan ia
telah menyediakan air sebelum saya memasukinya”.
Sebagian mereka kawin dengan
wanita cantik. Ketika pesta perkawinannya telah dekat, wanita itu menderita
penyakit cacar sehingga keluarga wanita itu sangat susah karena khawatir kalau
laki-laki itu memandang jelek kepada wanita itu. Tiba-tiba laki-laki itu
memberitahukan kepada keluarga wanita bahwa ia terkena penyakit mata hingga
penglihatannya hilang. Kemudian dilangsungkan pesta perkawinan keduanya. Maka
hilanglah kesusahan keluarga wanita dan wanita itu tinggal di sisi laki-laki
itu selama dua puluh tahun, kemudian meninggal dunia. Sepeninggal wanita itu,
dan ketika itu juga laki-laki itu membuka matanya, lalu orang-orang bertanya,
“Mengapa demikian ?”. Ia menjawab, “Saya sengaja melakukannya demi keluarga
wanita itu sehingga mereka tidak susah”. Orang-orang mengatakan, “Sungguh kamu
telah mendahului teman-temanmu dengan budi pekerti ini”.
Sebagian orang sufi kawin dengan
seorang wanita yang jelek budi pekertinya, tetapi sangat sabar kepadanya. Maka
orang-orang bertanya, “Mengapa kamu tidak menceraikannya ?”. Orang sufi itu
menjawab, “Saya takut wanita itu dikawin orang yang tidak sabar kepadanya, lalu
ia merasa sakit hati kepada wanita itu”.
Kalau murid kawin, seyogyanya
begitu. Dan kalau ia mampu meninggalkan kawin itu, itu lebih utama baginya
kalau ia tidak mungkin mengumpulkan antara keutamaan nikah dan suluk (menempuh
jalan akhirat) dan ia tahu bahwa demikian ini menyibukkan keadaannya. Sebagaimana
diriwayatkan bahwa Muhammad bin Sulaiman Al Hasyimi berpenghasilan delapan
puluh ribu dirham setiap hari. Lalu ia menulis surat kepada penduduk Bashrah
dan para ‘ulama’nya tentang wanita yang akan dikawinkannya. Maka mereka semua
sepakat bahwa Rabi’ah Al Adawiyah r.anha yang pantas baginya. Kemudian Muhammad
bin Sulaiman menulis surat kepada Rabi’ah Al Adawiyah,
“Bismillaahirrahmaanirrahiim. Adapun sesudah itu, sesungguhnya Allah ta’ala
telah menganugerahkan kepadaku penghasilan dunia sebanyak delapan puluh ribu
dirham setiap hari dan tidak berlalu hari dan malamnya sehingga Allah
menyempurnakannya menjadi seratus ribu dirham. Dan saya jadikan bagimu seperti
itu dan semua itu, maka kabulkanlah permintaanku”.
Maka Rabi’ah Al Adawiyah menulis
surat kepadanya, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Adapun sesudah itu, sesungguhnya
zuhud terhadap dunia adalah kesenangan hati dan badan, sedang gemar dunia itu
menimbulkan kesedihan dan kesusahan. Apabila suratku ini sampai kepadamu, maka
persiapkanlah perbekalanmu, persembahkanlah untuk akhiratmu, jadilah kamu
penerima wasiatmu dan janganlah kamu jadikan para lelaki penerima wasiatmu,
lalu mereka membagi-bagikan pusakamu, puasalah sepanjang masa dan jadikanlah
bukamu adalah kematian. Adapun saya, jika Allah menganugerahkan kepadaku seperti
yang Allah anugerahkan kepadamu bahkan kelipatgandaannya, niscaya
membahagiakanku untuk lalai dari Allah sekejab mata pun”.
Ini adalah isyarat bahwa setiap
apa yang melalaikan Allah ta’ala merupakan kekurangan. Maka hendaklah murid
memandang keadaan dan hatinya. Apabila ia mendapatkan ketenangan hati dengan
keadaan membujang, maka itu lebih dekat kepada suluknya, dan kalau ia tidak
kuat, maka nikah lebih utama baginya.
Adapun obat penyakit ini adalah
tiga hal yaitu lapar, memejamkan mata dan menyibukkan diri dengan kesibukan
yang menguasai itu. Kalau tiga hal ini tidak berguna, maka hanya nikah yang
dapat menghabiskan materinya. Karena inilah, orang-orang salah bergegas nikah
dan menikahkan putra-putrinya.
Sa’id bin Al Musyyab berkata,
“Iblis tidak putus asa dari seseorang kecuali ia mendatanginya dari arah
wanita”. Sa’id juga berkata, sedang ia berumur delapan puluh empat tahun dan
salah satu matanya telah tiada serta penglihatan mata yang satunya kabur,
“Tidak ada sesuatu yang lebih saya takuti daripada wanita”.
Dari Abdillah bin Abi Wadi’ah
berkata, “Saya pernah duduk-duduk dengan Sa’id bin Al Musyyab. Suatu ketika ia
mencariku beberapa hari. Ketika saya mendatanginya, ia berkata, “Dimana kamu
?”. Saya menjawab, “Isteriku meninggal dunia dan saya sibuk mengurusnya”. Ia
berkata, “Mengapa saya tidak kau beritahu sehingga saya mendatangi jenazahnya
?”. Abdillah bin Abi Wadi’ah berkata, “Kemudian saya berdiri”. Lalu ia
bertanya, “Apakah kamu mencari isteri barunya ?”. Saya menjawab, “Mudah-mudahan
Allah mencurahkan rahmat kepadamu. Siapa yang akan mengawinkanku, sedang saya
tidak memiliki selain dua dirham tiga dirham”. Sa’id berkata, “Saya”. Saya
berkata, “Dan kamu lakukan ?”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian Sa’id memuji Allah
dan bershalawat atas rasulullah s.a.w. dan ia mengawinkanku dengan mas kawin
dua atau tiga dirham. Abdillah bin Abi Wadi’ah berkata, “Lalu saya pergi dan
tidak tahu apa yang harus saya lakukan karena gembira, kemudian saya kembali ke
rumahku dan saya menjadi berfikir dari siapa saya mengambil dan dari siapa saya
akan berhutang. Setelah itu saya shalat maghrib, saya nyalakan lampu lalu saya
hidangkan makan malamku untuk berbuka dan makan itu hanya roti dan minyak.
Tiba-tiba pintuku diketuk, lalu saya bertanya, “Siapa itu ?”. Ia berkata, “Sa’id”.
Abdillah bin Abi Wadi’ah berkata, “Saya berfikir mengenai setiap orang yang
bernama Sa’id selain Sa’id bin Al Musyyab, karena ia tidak terlihat pergi
kemana selama empat puluh tahun selain di antara rumahnya dan masjid. Lalu saya
keluar, tiba-tiba ia adalah Sa’id bin Al Musyyab, spontan saya berkata, “Hai
Abu Muhammad, jikalau engkau berkirim surat kepadaku, niscaya saya datang
kepadamu”. Sa’id berkata, “Apa yang kau perintahkan ?”. Ia berkata, “Kamu orang
bujangan, lalu kamu kawin. Maka saya tidak suka kamu tidur sendirian malam ini,
inilah isterimu”. Dan perempuan setinggi Sa’id Al Musyyab itu berdiri di
belakangnya. Kemudian ia memegang tangan perempuan itu dan mendorongnya masuk
pintu dan menutupinya. Perempuan itu jatuh karena malu, lalu saya memegang
pintu, kemudian saya mengambil piring yang berisi roti dan minyak dan saya
letakkan pada bayangan kamu agar perempuan itu tidak melihatnya. Kemudian saya
naik loteng dan saya lempari tetanggaku dengan batu. Maka mereka datang
kepadaku seraya bertanya, “Apa yang terjadi padamu ?”. Saya berkata, “Celakalah
kamu ! Sa’id Al Musyyab telah mengawinkanku dengan putrinya hari ini dan ia
telah datang membawa putri itu makan ini dengan sembunyi-sembunyi”. Mereka
bertanya, “Apakah Sa’id mengawinkanmu ?”. Saya menjawab, “Ya”. Mereka bertanya,
“Apakah dia di dalam kamar ?”. Saya menjawab, “Ya”. Lalu mereka menjumpainya,
dan kejadian itu sampai ke ibuku. Maka ibuku datang dan berkata, “Mukaku haram
dari mukamu kalau kamu menyentuhnya sebelum saya memperbaikinya selama tiga
hari”. Abdillah bin Abi Wadi’ah berkata, “Maka saya bertempat tinggal selama
tiga hari, kemudian menyetubuhinya. Ternyata ia adalah wanita yang tercantik,
paling hafal kitab Allah, paling mengerti sunnah rasulullah, dan paling tahu
hak suami”. Abdillah melanjutkan perkataannya, “Lalu saya diam satu bulan.
Sa’id tidak datang kepadaku dan saya tidak mendatanginya. Setelah genap
sebulan, saya mendatanginya ketepatan ia berada di halaqahnya (tempat
pengajiannya), lalu saya ucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salamku tetapi
ia tidak berbicara denganku sehingga manusia meninggalkan majelis, lalu ia
bertanya, “Bagaimana keadaan perempuan itu ?”. Saya menjawab, “Baik-baik wahai
Abu Muhammad, sesuai dengan apa yang disukai teman dan dibenci musuh”. Sa’id
berkata, “Kalau ia meragukanmu, ambillah tongkat”. Kemudian saya pulang ke
rumahku dan Sa’id memberikan kepadaku uang dua puluh ribu dirham.
Menurut riwayat yang lain,
Abdullah bin Sulaiman berkata, “Puteri Sa’id Al Musyyab pernah dipinang oleh
khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk puteranya Al Walid ketika dilantik
menjadi putera mahkota. Sedang Sa’id menolak mengawinkannya dengan Al Walid.
Maka khalifah Abdul Malik berusaha kepada Sa’id sehingga memukulnya seratus
kali cambuk pada hari yang dingin dan menuangkan atasnya seember air serta
memakainya dengan jubah bulu”.
Tergesa-gesa Sa’id mengawinkan
puterinya pada malam itu memberitahukan kepadamu akan bahaya syahwat dan
kewajiban bergegas mematikan api syahwat dengan nikah. Mudah-mudahan Allah
meridhoi dan merahmatinya.
KEUTAMAAN
ORANG YANG MEMBENDUNG SYAHWAT FARJI DAN MATA
Ketahuilah bahwa syahwat ini
merupakan syahwat yang paling kuat atas manusia dan paling durhaka ketika
berkobar kepada akal fikiran. Hanya saja tuntutannya adalah keji yang dipandang
dan ditakuti mengerjakannya.
Pada umumnya manusia terhindar
dari tuntutan syahwat ini adakalanya karena lemah, takut, atau karena menjaga
kedudukannya. Dan tidak ada pahala terhindar darinya karena hal tersebut. Dan
sesungguhnya itu hanya mengutamakan satu bagian dari beberapa bagian hawa nafsu
atas bagian lainnya. Diantara penjagaan dari dosa ketidakberdayaan melakukan
syahwat ini. Dengan demikian dalam rintangan terdapat faedah, mencegah
perbuatan dosa.
Sesungguhnya barangsiapa
meninggalkan zina, maka ia terhindar dari dosanya, meskipun dengan sebab apa
saja ia meninggalkannya. Dan sesungguhnya keutamaan dan pahala yang besar dalam
meninggalkan zina adanya kemampuan, tidak adanya rintangan dan mudahnya sebab
untuk syahwat ini. Ini adalah derajat orang-orang shiddiq.
Oleh karena itu rasulullah s.a.w.
bersabda (diriwayatkan oleh Al Hakim) :
مَنْ عَشِقَ فَعَفَّ فَكَتَمَ فَمَاتَ
فَهُوَشَهِيْدٌ
Barangsiapa amat rindu, lalu
ia menjaga diri dan menyembunyikannya lalu ia mati, maka ia mati syahid.
Rasulullah juga bersabda
(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
سَبْعَةٌ يُظِلُّمُ الله ُيَوْمَ
الْقِيَامَةِ فِى ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَظِلَّ اِلاَّظِلُّهُ. وَعُدَّ مِنْهُمْ,
رَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ جَمَالٍ وَحَسَبٍ اِلَى نَفْسِهَافَقَالَ: اِنِّى
اَخَافُ الله َرَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Tujuh orang yang dilindungi
oleh Allah pada hari kiamat dalam lindungan ‘arsy-Nya pada hari tidak ada
lindungan melainkan lindungan-Nya. Dan termasuk golongan mereka, seorang
laki-laki yang diajak oleh wanita yang cantik dan mempunyai kedudukan, lalu
laki-laki itu berkata, “Sesungguhnya saya takut kepada Allah, Tuhan semesta
alam.
Cerita nabi Yusuf a.s. dan
penolakannya terhadap Zulaikha serta mampu dan sukanya Zulaikha itu cerita yang
terkenal. Dengan demikian ini Allah memuji nabi Yusuf dalam kitab suci-Nya. Dan
beliau adalah pemimpin setiap orang yang diberi petunjuk untuk melawan syaithan
dalam syahwat yang besar ini.
Dikisahkan bahwa Sulaiman bin
Yasar adalah termasuk manusia yang paling tampan rupanya. Kemudian ada seorang
wanita masuk dan mengajaknya. Maka Sulaiman bin Yasar menolaknya dan keluar
dari rumahnya dengan lari serta meninggalkannya di rumah itu. Sulaiman berkata,
“Lalu pada waktu tidur di malam itu saya bermimpi melihat nabi Yusuf dan
seolah-olah saya berkata, “Apakah engkau nabi Yusuf ?”. Ia menjawab, “Ya, aku
Yusuf yang telah berkehendak dan kamu Sulaiman yang tidak berkehendak”. Dan
beliau memberi isyarat kepada firman Allah dalam surah Yusuf 24 :
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِى وَهَمَّ بِهَا لَوْلآَ
اَنْ رَّاَاى بُرْهَانَ رَبِّهِى ...
Sesungguhnya wanita itu telah
berkehendak dengannya (Yusuf) dan Yusuf pun telah berkehendak dengan wanita itu
andaikata ia tidak melihat tanda dari Tuhannya.
Dan dikisahkan dari Sulaiman yang
lebih ajaib daripada itu. Ia keluar dari Madinah untuk melakukan ibadah haji. Bersama
temannya turun di Abawa’. Kemudian temannya mengambil tas dan pergi ke pasar
untuk membeli sesuatu, sedang Sulaiman duduk dikemah. Ia adalah termasuk
manusia yang paling tampan rupanya dan paling wara’. Lalu wanita Badui
melihatnya dari puncak gunung lalu turun dan berdiri dihadapannya. Wanita itu
memakai cadar dan sarung tangan, halus wanita itu membuka cadarnya dan
seolah-olah mukanya bulan purnama seraya berkata, “Senangkan saya !”. Sulaiman
menduga bahwa wanita itu menginginkan makanan, maka Sulaiman memberinya
makanan. Wanita itu berkata, “Saya tidak menghendaki makanan itu. Sesungguhnya
saya menghendaki apa yang terjadi dari seorang suami terhadap isterinya”.
Sulaiman berkata, “Iblis telah menyiapkanmu kepadaku”.
Kemudian Sulaiman meletakkan
kepalanya diantara kedua lututnya dan terus menangis. Melihat keadaan Sulaiman
seperti itu, maka ia memasang cadarnya dan pulang ke rumahnya. Lalu teman
Sulaiman datang dan mengetahui kedua mata Sulaiman telah bengkak karena
menangis, maka ia bertanya, “Apa yang membuat kamu menangis ?”. Sulaiman
menjawab, “Baik-baik, saya teringat anak kecilku”. Temannya berkata, “Tidak,
demi Allah ! Engkau berpisah dengan anak kecilmu baru tiga hari ini”. Temannya
terus-menerus menanyakan sehingga Sulaiman bercerita tentang wanita Badui.
Spontan temannya meletakkan tasnya dan menangis sekeras-kerasnya. Sulaiman
bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis ?”. Temannya menjawab, “Saya berhak
menangis, karena saya takut, andaikan saya mengalami seperti kamu, niscaya saya
tidak sabar atas wanita tersebut”. Lalu keduanya senantiasa menangis.
Setibanya di Makkah, Sulaiman
melakukan sa’i dan thawaf. Kemudian mendatangi hijr Isma’il dan duduk
berselimutkan pakaiannya hingga tertidur. Tiba-tiba ia bertemu seorang
laki-laki yang tampan, tinggi, berpenampilan menarik dan bau yang harum. Lalu
Sulaiman bertanya, “Mudah-mudahan Allah merahmatimu. Siapa kamu ?”. Laki-laki
itu menjawab, “Aku Yusuf Ash Shiddiq”. Sulaiman bertanya, “Yusuf Ash Shiddiq
?”. Laki-laki itu menjawab, “Ya”. Sulaiman berkata, “Sesungguhnya peristiwamu
dengan Zulaikha itu mengagumkan”. Nabi Yusuf berkata, “Sesungguhnya peristiwamu
dengan wanita Al Abawa itu lebih mengagumkan”.
Dikisahkan dari Abdillah bin
Umar, ia berkata, “Saya mendengar rasulullah s.a.w. berkata, “Tiga orang dari
ummatku sebelummu dan bermalam di gua. Tiba-tiba ada batu jatuh dari gunung dan
menutup pintu gua itu. Maka mereka berkata, “Sesungguhnya kita tidak dapat
keluar dari gua ini kecuali kita berdoa kepada Allah dengan washilah
(lantaran) amal shalih kita. Lalu salah seorang dari ketiganya berdoa, “Ya
Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa kedua orangtuaku telah lanjut usia
dan tidak memberi minum kepada keluarga dan budakku sebelum keduanya bangun.
Suatu hari, saya pergi jauh untuk mencari kayu sampai larut malam. Setiba di
rumah saya dapati keduanya sedang tidur, kemudian saya memerah minuman untuk
keduanya. Selesai saya memerah minuman, keduanya masih terlelap dalam tidurnya,
maka saya duduk di sisinya sambil memegang gelas berisi minuman sampai fajar
terbit hingga keduanya bangun dan minum. Ya Allah, kalau saya berbuat demikian
itu karena mencari keridhoan-Mu, maka lepaskanlah kami dari batu yang
menghalangi ini”. Maka batu terbuka sedikit dan mereka belum bisa keluar dari
gua itu.
Satu lagi mereka berdoa, “Ya
Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya mempunyai anak perempuan
pamanku yang sangat saya cintai, lalu saya membujuknya agar ia menyerahkan
dirinya, tapi ia menolak kehendakku sehingga saya sakit selama setahun. Suatu
hari ia datang kepadaku lalu saya berikan kepadanya seratus dua puluh dinar
dengan syarat ia menyerahkan dirinya padaku. Maka saya perbuat sehingga pada
waktu saya akan melakukan itu, maka ia berkata, “Takutlah kepada Allah, dan
janganlah kamu melakukannya kecuali dengan hak (aturan syari’at)”. Lalu saya
gagalkan menyetubuhinya dan saya pergi meninggalkannya padahal ia orang yang
paling saya cintai. Dirham yang telah saya berikan tidak saya hiraukan. Ya
Allah, kalau saya berbuat demikian itu karena mengharapkan keridhoan-Mu, maka
lepaskanlah kami dari apa yang kami alami ini”. Maka batu bergeser, hanya saja
mereka tidak bisa keluar darinya.
Yang ketiga berdoa, “Ya Allah,
sesungguhnya saya pernah mempunyai beberapa buruh dan mereka telah saya berikan
upah yang menjadi haknya melainkan seorang buruh yang pergi dan meninggalkan
upah yang menjadi haknya. Lalu saya kembangkan upahnya menjadi harta yang
banyak. Selang beberapa lama dia datang kepadaku dan berkata, “Wahai Abdullah,
berikanlah upah kepadaku !”. Maka saya berkata, “Semua yang kamu lihat, onta,
sapi, kambing dan budak adalah hak dan upahmu”. Buruh itu berkata, “Apakah kamu
mengejekku ?”. Saya menjawab, “Saya tidak mengejekmu, ambillah itu”. Lalu ia
mengambil seluruhnya dan tidak menyisakan sedikitpun. Ya Allah, kalau saya
berbuat demikian itu karena mengharap keridhoan-Mu, maka lepaskanlah kami dari
apa yang tengah kami alami”. Maka batu itu bergeser dari mulut gua sehingga
mereka keluar dan meninggalkannya. (hadits diriwayatkan oleh Bukhari)
Ini merupakan keistimewaan orang
yang mempunyai kesempatan memenuhi hawa nafsunya tetapi ia mampu mengendalikan
dan menjaga dirinya, dan keistimewaan yang mendekati ini adalah orang yang
berkesempatan memenuhi syahwat mata, karena mata merupakan permulaan zina.
Menjaganya amat penting dan sulit sekali serta sering diremehkan dan tidak
ditakuti padahal semua bencana timbul darinya. Pandangan pertama dengan tanpa
kesengajaan itu tidak dituntut (tidak berdosa) sedang mengulanginya dituntut
(dosa).
Rasulullah s.a.w. bersabda
(diriwayatkan oleh Abu Dawud) :
لَكَ اْلاُوْلَى وَعَلَيْكَ الثَّانِيَةُ
Boleh bagimu pandangan yang
pertama dan tidak boleh atasmu pandangan yang kedua.
Al A’la bin Ziyad berkata, “Janganlah
kamu mengikutkan pandanganmu kepada selendang wanita, karena pandangan itu
menanamkan syahwat di hati. Sedikit sekali manusia terlepas dari
mengulang-ulang pandangannya kepada wanita dan anak-anak. Apabila terkhayal
kecantikannya, maka tabiat menuntut pengulangan kembali. Sebaiknya ketika
terjadi seperti ini ia menetapkan pada dirinya bahwa pengulangan kembali ini
adalah kebodohan yang sebenarnya”.
Apabila ia benar-benar
memperturutkan pandangannya dan ketepatan yang dipandang itu cantik, niscaya
syahwatnya berkobar sedang ia lemah untuk mewujudkan maksudnya, maka tidak ada
hasil baginya kecuali penyesalan. Dan kalau yang ia pandang itu ternyata jelek,
maka ia tidak merasa lezat bahkan merasa sakit, karena ia bermaksud memperoleh
kelezatan ternyata ia melakukan sesuatu yang mengecewakan hatinya.
Dengan demikian, dalam kedua
keadaan ini tidak terlepas dari maksiat yaitu rasa sakit dan penyesalan.
Andaikan ia memelihara matanya niscaya banyak bencana terhindar dari hatinya.
Kalau matanya bersalah tetapi ia memelihara farjinya padahal ada kesempatan
untuk memenuhi syahwatnya, maka yang demikian ini mendorong puncak kekuatan dan
puncak petunjuk.
Telah diriwayatkan dari Abu Bakar
bin Abdullah Al Muzani bahwa seorang jagal tertarik kepada budak wanita milik
tetangganya. Dalam suatu keperluan ia disuruh majikannya ke suatu desa,
tiba-tiba jagal itu membuntuti dan membujuknya. Maka budak wanita itu berkata, “Janganlah
kamu lakukan, karena sesungguhnya saya sangat cinta kepadamu melebihi cintamu
kepadaku, tetapi saya takut kepada Allah”. Jagal itu berkata, “Kamu takut
kepada-Nya sedang aku tidak takut kepada-Nya”. Tetapi ia tidak jadi
melakukannya dan pulang dengan bertaubat dan ia kehausan hingga hampir binasa.
Mendadak ia bertemu dengan seorang utusan sebagian bani Israil dan bertanya, “Apa
yang terjadi padamu ?”. Jagal itu menjawab, “Kehausan”. Utusan itu berkata, “Mari
kita berdoa agar kita mendapat perlindungan dari Allah sehingga masuk ke desa”.
Jagal berkata, “Saya tidak mempunyai amal shalih, berdoalah kamu !”. Utusan
berkata, “Jika saya berdoa, bacalah amin atas doaku”. Utusan itu berdoa dan
jagal membaca amin sehingga keduanya mendapat perlindungan dari Allah dengan
awan sampai keduanya masuk desa. Maka jagal menuju tempatnya sedang awan itu
mengikutinya. Utusan itu bertanya, “Kamu menyangka bahwa dirimu tidak mempunyai
amal shalih, saya berdoa dan kamu membaca amin, lalu awan melindungi kita
tetapi akhirnya awan mengikutimu. Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu
?”. Lalu jagal menceritakannya. Maka utusan itu berkata, “Sesungguhnya ini
orang yang bertaubat di tempat yang tak seorang pun di tempat ia bertaubat”.
Dikisahkan dari Ahmad bin Said Al
Abid dari ayahnya berkata, “Pada waktu di Kufah disandingku ada pemuda ahli
ibadah dan selalu berada di masjid sehingga hampir-hampir tidak pernah berpisah
dengan masjid lagi bagus perilakunya. Tiba-tiba seorang wanita cantik
memandangnya dan mabuk cinta. Pada suatu hari wanita tersebut berdiri untuk
menjumpai pemuda itu di suatu jalan yang pemuda itu pergi ke masjid. Ketika
pemuda itu lewat, wanita itu berkata, “Hai pemuda, dengarkanlah kata-kataku
untukmu, kemudian berbuatlah sekehendakmu !”. Pemuda itu terus berjalan dan
tidak menghiraukan perkataan wanita itu. Ketika pemuda itu pulang dari masjid,
wanita itu berdiri untuk menjumpainya dan berkata, “Hai pemuda, dengarkanlah
kata-kataku yang akan saya katakan padamu”. Pemuda itu menundukkan kepalanya
sebentar dan berkata, “Ini tempat kecurigaan dan saya tidak suka menjadi tempat
kecurigaan”. Maka wanita itu berkata, “Demi Allah, saya tidak berdiri di tempat
ini karena kebodohanku tentang urusanmu, tetapi berlindunglah kepada Allah dari
abid yang memandang seperti ini dariku. Dan yang mendorongku untuk berjumpa
denganmu dalam urusan seperti ini karena pengertianku bahwa yang sedikit dari
ini menurut manusia adalah banyak. Dan kamu wahai segolongan abid adalah
seperti botol yang rendah-rendah sesuatu yang dicela. Dan kesimpulan apa yang
saya katakan bahwa anggota-anggota badanku semuanya disibukkan denganmu, maka
Allah-Allah tentang urusanku dan urusanmu”. Kemudian pemuda itu terus pulang ke
rumahnya dan ingin melakukan shalat tetapi ia tidak bisa berfikir bagaimana
caranya shalat. Maka ia mengambil kertas dan menulis surat, lalu ia keluar dari
rumahnya, ternyata wanita itu masih berdiri di tempat semula, lalu ia lemparkan
surat itu kepada wanita dan kembali lagi ke rumahnya. Sedang surat tadi
berbunyi, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ketahuilah hai wanita, bahwasanya Allah
apabila hamba durhaka kepada-Nya, maka Dia pemurah. Apabila hamba itu
mengulangi perbuatan maksiat pada lain kali, maka Dia menutupinya. Dan apabila
hamba memakai pakaiannya untuk maksiat maka Allah murka dengan murka yang
membuat sempit langit, bumi, gunung-gunung, pohon-pohon dan binatang-binatang.
Dan siapa yang dapat menahan kemurkaan-Nya ? Kalau apa yang kamu katakan itu
bathil, maka sesungguhnya saya mengingatkan kepadamu suatu hari di mana langit
pad hari itu seperti cairan logam, gunung-gunung menjadi seperti bulu dan ummat
berlutut kepada kekuasaan-Nya, Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Agung.
Sesungguhnya, demi Allah saya tidak berdaya memperbaiki diriku lalu bagaimana
saya memperbaiki orang lain. Kalau apa yang kamu katakan itu benar, maka
sesungguhnya saya menunjukkan kepada dokter petunjuk yang mengobati luka-luka
yang menyakitkan dan sakit-sakit yang sangat memanaskan, itulah Dia, Allah ,
Tuhan semesta alam. Maka menujulah kepada-Nya dengan permintaan yang
sebenar-benarnya. Sesungguhnya saya disibukkan dari pemuda dengan firman Allah
ta’ala dalam surah Al Mu’min 18-19 : Berilah mereka peringatan dengan hari
yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan
dengan menahan kesedihan. Orang-orang zalim tidak mempunyai seorang pemberi
syafaat yang diterima syafaatnya. Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat
dan apa yang disembunyikan oleh hati. Maka kemana tempat lari dari ayat ini
? Demikianlah terimakasih”.
Setelah beberapa hari wanita itu
datang lalu berhenti di jalan untuk menjumpai pemuda itu. Ketika pemuda itu
melihatnya dari kejauhan, maka pemuda itu berkehendak untuk pulang agar tidak
melihat wanita itu. Maka wanita itu berkata, “Hai pemuda, janganlah engkau
pulang, karena tidak ada tempat bertemu setelah hari ini melainkan kelak di
hadapan Allahta’ala”. Kemudian berkata, “Saya mohon untukmu kepada Allah yang
di tangan-Nya segala kunci hatimu agar mempermudah apa yang sulit tentang
urusanmu”. Kemudian wanita itu berkata, “Anugerahilah nasehat kepadaku nasehat
yang akan saya bawa daripadamu dan berilah saya bawa daripadamu dan berilah
saya wasiat yang akan saya laksanakan”. Maka pemuda itu berkata, “Saya
berwasiat kepadamu agar menjaga dirimu dari dirimu dan saya mengingatkan kepadamu
akan firman Allah dalam surah Al An’am 60 : Dan Dialah yang menidurkan kamu
di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari.
Wanita itu menundukkan kepalanya
dan menangis sangat keras bahkan lebih keras dari tangisannya yang pertama.
Setelah wanita itu sadar, ia terus-menerus di rumahnya dan mulai beribadah
bahkan amat tekun dalam ibadahnya sehingga meninggal dunia dalam keadaan buta.
Setelah wanita itu meninggal
dunia, pemuda itu mengenang kemudian menangis. Lalu orang bertanya, “Mengapa
kamu menangis dan putus asa atas dirinya ?”. Pemuda itu berkata, “Sesungguhnya
saya telah membunuh harapannya pada permulaan urusannya, dan saya jadikan
penghentian harapannya sebagai simpananku di sisi Allah ta’ala. Maka saya malu
kepada-Nya untuk menarik kembali simpanan yang telah saya simpan di sisi-Nya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar