السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Sabtu, 03 Desember 2016

Tausiah ke-8 (‘Uzlah dan Mukhalathah)

Diantara orang-orang salaf dahulu ada yang lebih mengutamakan dan lebih suka menyendiri (’uzlah) karena mengingat faedah-faedah dan kemanfaatan-kemanfaatannya, seperti dapat langsung terus-menerus beribadat, berfikir serta meneliti ilmu pengetahuan. Selain itu juga akan dapat menghindarkan diri dari melakukan kemaksiatan yang biasa dikerjakan orang dengan sebab adanya bercampur gaul (mukhalathah) seperti mempunyai sifat ria’ (pamer), mengumpat, tidak mencegah orang mengerjakan kemungkaran, berdiam diri dari menyuruh kebaikan, meniru-niru tabi’at yang buruk atau kelakuan-kelakuan yang jelek dari kawan-kawan yang jahat perangainya dan lain-lain lagi.


Sementara itu perlu diketahui bahwa sebagian besar orang-orang salaf itu menganggap baik untuk bercampur gaul dengan orang banyak untuk memperbanyak pengalaman, sahabat dan kawan, dapat cinta-mencintai serta sayang-menyayangi antara sesama kaum mukmin. Selain itu juga dapat tolong-menolong dalam agama yakni untuk menegakkan kebaktian dan ketakwaan kepada Allah ta’ala.

Faedah-faedah dari sikap memencilkan diri itu tentulah baru dapat diperoleh dengan kesungguhan yang luar biasa serta mengalahkan sama sekali akan hawa nafsu, sedangkan faedah-faedah bercampur gaul tidaklah demikian. Ringkasnya bercampur dengan orang banyak itu mengandung berbagai kemanfaatan yang tidak mungkin dapat diperoleh dalam memencilkan diri tadi.

Mungkin kita ingin mengethui, apakah gunanya bercampur gaul dan apa pula yang menyebabkan kita harus berbuat ini ?

Dengan secara singkat dapatlah kita maklumi, yaitu dengan bercampur gaul maka menjelmalah saling memberi dan mengambil pelajaran yaitu mengajar dan belajar, memberi dan mengambil kemanfaatan, mendidik dan menerima didikan, saling kawan-mengawani, memperoleh pahala dan menyebabkan orang lain berpahala dengan jalan memenuhi hak-hak, membiasakan merendahkan diri atau tawadhu’, dapat memperoleh pengalaman-pengalaman dengan menyaksikan hal-ihwal orang lain serta mengambil suri teladan dari apa-apa yang disaksikan itu.

Untuk jelasnya baiklah kita uraikan sekedarnya hal-hal yang berhubungan dengan faedah-faedah bercampur gaul tadi ;

MENGAJARKAN ILMU DAN MEMPELAJARINYA

Keduanya adalah termasuk seagung-agungnya ibadat di dunia. Ibadat ini tentulah tidak dapat dijelmakan kecuali dengan adanya bercampur gaul antara yang akan memberikan pelajaran yakni guru dan yang berhajat belajar yakni muridnya. Belajar adalah merupakan suatu hal yang wajib dan termasuk kemaksiatanlah apabila meninggalkannya dengan sebab memencilkan diri itu.

Sebenarnya seseorang yang dapat menyumbangkan ilmu pengetahuannya terutama dalam hal syari’at dan yang berhubungan dengan akal fikiran, maka menyendiri itu baginya adalah suatu kerugian yang amat besar sekali sebelum mempelajarinya. Oleh sebab itu Annakha’i berkata, “Pandaikanlah dulu dirimu kemudian bolehlah kamu memencilkan diri”.

Seseorang yang menyendiri sebelum cukup belajarnya, maka pada umumnya hanyalah menyia-nyiakan waktu saja, sebab akan banyak tidur atau berfikir dalam kebimbangan dan kebingungan semata-mata. Tujuannya tentulah hendak menghabiskan segala waktunya itu untuk membaca bermacam-macam wirid dalam mengabdikan diri kepada Allah, tetapi sekalipun demikian, disamping amalan-amalannya yang dilakukan dengan badan dan hati itu tentulah tidak akan terlepas dari macam-macam tipuan. Bahkan tidak mustahil bahwa dalam sebagian besar keadaannya itu hanyalah akan menjadi tertawaan syaithan belaka. Hatinya tertipu, sebab ia mengira bahwa dirinya itu adalah termasuk golongan ahli ibadat yang sungguh-sungguh.

Jadi ilmu pengetahuan itu adalah pokok dan induk dari agama dan kehidupan beragama, maka dari itu tidak ada baiknya sama sekali memencilkan diri itu bagi orang umum atau orang bodoh.

Adapun dalam hal memberi pelajaran, maka di dalamnya terkandunglah pahala yang amat besar sekali, selama dilakukan dengan niat yang jujur dan baik, yang mengajar maupun yang belajar.

MENGAMBIL KEMANFAATAN DARI ORANG LAIN

Yaitu dengan jalan berusaha dan bermu’amalat, sebab hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan bercampur gaul dengan orang lain. Oleh karenanya, maka seseorang yang bekerja menurut cara yang semestinya dan suka bersedekah, maka baginya pastilah jauh lebih utama daripada orang yang memencilkan diri sendiri yang sibuk dengan amalan-amalan sunnatnya.

MEMBERI KEMANFAATAN KEPADA ORANG LAIN

Ini dapat dilaksanakan dengan menyumbangkan harta atau tenaganya. Jadi ikut membantu apa-apa yang menjadi keperluan orang lain dengan harapan semata-mata mencari keridhaan Allah. Bukankah bergerak serta berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang banyak terutama dari kaum muslimin itu besar pahalanya. Hal ini pastilah tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan bercampur gaul. Jadi bagi seseorang yang dapat melaksanakan ini dengan menjaga batas-batas hukum syari’at, maka itulah yang lebih utama daripada menyendiri.

MENGANGGAP TINDAKAN ORANG LAIN SEBAGAI NASEHAT SERTA MEMBIASAKAN DIRI BERSOPAN-SANTUN

Yang dimaksudkan ialah melatih diri untuk menghadapi perlakuan orang lain yang kasar dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri dan sabar terhadap perilaku mereka yang buruk dan jahat. Tujuannya ialah untuk mematahkan hawa nafsu yang suka marah, memaksa diri untuk menghentikan kesyahwatan-kesyahwatan yang salah. Semuanya itu juga hanya dapat diperoleh dengan jalan bercampur gaul.

SALING KAWAN-MENGAWANI

Hal ini adalah disunnatkan dalam urusan agama yaitu terhadap seseorang yang dapat menenteramkan hati dengan melihat perilaku, hal-ihwal dan tindak langkahnya serta ucapan-ucapannya dalam hal keagamaan. Kadang-kadang ada yang berhubungan dengan kepentingan diri sendiri. Disunnatkan pula apabila tujuannya itu ialah menggerakkan hati, sehingga timbullah jiwa yang bersemangat dan giat untuk beribadat. Ingatlah bahwa hati itu apabila susah, biasanya menjadi buta, sedang nafsu manusia itu tidak selalu dapat diajak ke jalan yang haq selama tidak dilatih secara baik-baik. Memaksanya yang terus-menerus hanyalah akan menimbulkan kebosanan dan kelemahan saja. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Andaikata saya takut waswas, maka saya tidak akan mengawani orang banyak”. Oleh sebab itu seseorang yang suka memencilkan diri, pastilah pastilah akan memerlukan kepada seorang kawan yang dengan mempergaulinya itu hatinya akan menjadi tenteram dan gembira, baik dengan mengajaknya bercakap-cakap atau dengan mendampinginya saja, sekalipun dalam sehari semalam hanya selama sejam. Maka dari itu perlulah ia mencari seseorang yang dapat diajaknya bergaul dalam sesaat itu yang kiranya tidak akan merusakkan amalannya dalam saat-saat yang selebihnya.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim) :
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ, فَلْيَنْظُزْ اَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu mengikuti aturan kekasihnya, maka baiklah seseorang dari kamu semua itu meneliti siapa orang yang akan dijadikan kekasihnya.

Diwaktu bertemu dengn kawannya itu hendaklah berusaha sebaik-baiknya agar yang dipercakapkan itu adalah mengenai persoalan-persoalan agama dan hal-hal yang menimbulkan rasa tetap dalam kebenaran. Dengan menempuh cara ini, maka hati pun dapat terlatih dengan gembira dan itulah jalan yang sebaik-baiknya bagi seseorang yang ingin berusaha memperbaiki diri pribadinya.

MEMPEROLEH PAHALA

Ini dapat dilakukan dilakukan dengan jalan menghadiri jenazah-jenazah, meninjau orang yang sakit, mendatangi jama’ah-jama’ah shalat, sebab di dalam hal jama’ah shalat itu sebenarnya tidak ada keringanan untuk meninggalkannya, kecuali jikalau karena takut tibanya suatu bahaya yang nyata-nyata ada, yang imbangannya sesuai dengan kehilangan keutamaan jama’ah dan yang bertambah sedikit daripada itu. Ini tentulah hanya terjadi sangat jarang sekali.

Jalan yang lain untuk memperoleh pahala ialah dengan mendatangi pertemuan-pertemuan, undangan-undangan dan lain-lain, sebab dalam melakukan ini pun ada pahalanya, sebab memberikan rasa kegembiraan dalam hati sesama muslim.

MENYEBABKAN ORANG LAIN MENDAPATKAN PAHALA

Misalnya ialah memberi izin untuk meninjaunya atau menyatakan ikut duka citanya karena mendapat musibah, serta mengemukakan kegembiraannya karena mendapatkan kenikmatan. Dengan demikian orang lain pun akan memperoleh pahala juga.

Oleh sebab itu patut sekali membuat suatu neraca perimbangan antara pahala-pahala yang dapat diperoleh dalam bercampur gaul ini dengan bahaya-bahayanya yang sudah disebutkan dimuka. Oleh karenanya, maka adakalanya dalam suatu ketika memencilkan diri itu menang dan adakalanya bercampur gaul itulah yang menang.

TAWADHU’ ATAU MERENDAHKAN DIRI

Ini adalah seutama-utama tujuan dalam bercampur gaul dan tentulah hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan cara menyendiri. Malahan pada suatu ketika karena takut menjadi sombong itulah yang menyebabkan suka menyendiri, memilih untuk tidak bergaul. Kadang-kadang pula karena takut tidak dihormati dalam pertemuan-pertemuan dan kadang-kadang juga karena takut tidak didahulukan dirinya dalam segala hal. Ada juga yang timbul perasaannya bahwa dengan tidak bercampur gaul itulah yang dianggap lebih tinggi kedudukannya dan dikiranya lebih menyakinkan orang lain bahwa ia tetap beribadat sungguh-sungguh, berzuhud dan lain-lain sebagainya. Tanda-tanda orang sedemikian ini ialah ia lebih suka diziarahi daripada berziarah sendiri kepada sahabat-sahabatnya. Ia merasa gembira jikalau rumahnya itu diinjak oleh segala macam manusia, baik orang biasa atau orang-orang yang terkemuka dalam masyarakat.

Pikirkanlah baik-baik, andaikata sebabnya tidak suka berziarah ke rumah orang lain itu karena kesibukan dirinya, baik dalam beribadat dan lain-lain, tentunya ia membenci bercampur gaul dan tidak senang pula diziarahi oleh orang lain. Jadi kalau demikian, maka ia memencilkan diri dari orang lain itu sebabnya ialah enggan sibuk menghadapi orang banyak, karena hatinya sudah merasa bahwa orang lain itu tidak memandang dirinya dengan cukup memberikan penghormatan dan sanjungan. Cara memencilkan diri dengan sebab yang sedemikian ini adalah sangat tercela dan merupakan kebodohan semata-mata. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa segi ;

a. Tawadhu’ atau merendahkan diri serta bercampur gaul itu tidak akan menyebabkan kurangnya harga diri kalau dibandingkan dengan derajad orang yang suka takabbur atau congkak dengan sebab banyak ilmu pengetahuan atau keagamaannya.

b. Orang yang mengusahakan supaya dirinya selalu dicintai orang lain, atau supaya orang-orang itu senantiasa meyakinkan bahwa dirinya adalah orang yang baik, maka orang semacam ini adalah tertipu sendiri oleh perasaannya. Sebabnya ialah karena apabila seseorang itu sudah berma’rifat kepada Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya kema’rifatan, tentulah ia menginsafi bahwa seluruh makhluk ini tidak bermanfaat untuk dirinya mengenai sesuatu apapun daripada Allah. Juga bahwa kemudharatan atau kemanfaatan itu hanyalah semata-mata di dalam kekuasaan-Nya, bahkan keridhaan dari seluruh manusia itu tentulah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat dicapai, karena kalaupun sebagian ada yang suka, tentulah sebagian tidak. Jikalau keseluruhan menjadi puas, tetapi pasti salah seorang diantara mereka masih tetap kecewa. Oleh karena itu hanya keridhaan Allah sajalah yang wajib diusahakan.

Imam Syafi’i pernah berkata kepada Yunus bin Abdul A’la sedemikian, “Demi Allah, apa-apa yang saya katakan kepada saudara ini, tidaklah lain kecuali sebagai suatu nasehatku belaka. Ingatlah bahwa keselamatan itu tidaklah dapat diperoleh dari manusia manapun. Oleh karena itu, telitilah sendiri, apa yang akan menjadikan kemaslahatan untuk dirimu. Inilah yang hendaknya dikerjakan baik-baik”.

Jikalau ini telah saudara mengerti, maka ketahuilah bahwa seseorang yang menyembunyikan dirinya di rumah saja dengan maksud supaya orang banyak mempunyai keyakinan yang bagus-bagus saja terhadap dirinya, maka orang yang sedemikian itu sebenarnya malahan mencari kesengsaraan hidup untuk dirinya sendiri di dunia ini. Dan pasti siksa dan kesengsaraan di akhirat adalah lebih besar lagi andaikata orang itu mengetahui.

Secara ringkasnya ialah bahwa sikap memencilkan diri itu sama sekali tidak disunnatkan dan sama sekali tidak ada kebaikan serta kemanfaatannya, kecuali bagi seseorang yang hendak menghabiskan waktunya untuk menyelidiki sesuatu ilmu pengetahuan, sehingga apabila ia harus bergaul dengan orang-orang banyak, pastilah waktunya akan banyak terbuang dengan sia-sia dan yang dengan bergaul itu akan memperoleh bahaya-bahaya yang banyak sekali.

MEMPEROLEH PENGALAMAN-PENGALAMAN

Inilah salah satu faedah lagi dalam bercampur gaul. Maksudnya ialah guna mengetahui hal-ihwal orang-orang banyak, kemudian dari apa-apa yang diketahui itu dapatlah diambil kemanfaatannya. Menurut kebiasaannya akal manusia itu belum dapat cukup untuk memahami kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia dengan dirinya sendiri. Jadi masih diperlukanlah adanya pengalaman-pengalaman, percobaan-percobaan serta berbagai macam latihan. Seseorang yang tidak dapat diajari melainkan dengan pengalaman-pengalaman, maka baginya sikap memencilkan diri itu tidk ada baiknya sama sekali.

Ingatlah bahwa seorng anak, apabila ia menyendiri pastilah akan tetap tolol dan bodoh Oleh karena itu sangat pentinglah apabila seseorang itu berusaha keras menuntut ilmu pengetahuan dan selama menuntutnya itu dapatlah ia memperoleh pengalaman-pengalaman yang diperlukan. Pengalaman-pengalaman yang selebihnya pastilah akan dapat diperolehnya dengan jalan mendengarkan dan meneliti hal-ihwal segala apa yang terjadi di sekitarnya.

Kebodohan itu dapat melenyapkan amalan yang banyak, sedang dengan ilmu pengetahuan itu akan makin suburlah dan semerbaklah amalan yang hanya sedikit. Andaikata tidak demikian, tentulah tidak akan dilebihutamakan ilmu pengetahuan itu di atas amalan. Syari’at sendiri sudah menetapkan tentang lebih utamanya seorang yang berilmu pengetahuan di atas seorang yang beribadat saja.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Tirmidzi) :
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ عَلَى اَدْنَى رَجُلٍ مِنْ اَصْحَابِ
Keutamaan orang ‘alim atas orang yang beribadat adalah sebagaimana keutamaanku di atas serendah-rendah orang dari kalangan sahabatku.

Apabila kita telah mengetahui semua uraian di atas mengenai faedah-faedah dan bahayanya, maka menjadi jelaslah bagi kita mana yang sebenarnya lebih utama, bercampur gaulkah atau memencilkan dirikah. Secara ringkasnya ialah bahw kedua hal itu dapat berbeda-beda menurut perbedaan hal-ihwal dan keadaan.

Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar