Diantara orang-orang salaf dahulu
ada yang lebih mengutamakan dan lebih suka menyendiri (’uzlah) karena mengingat
faedah-faedah dan kemanfaatan-kemanfaatannya, seperti dapat langsung
terus-menerus beribadat, berfikir serta meneliti ilmu pengetahuan. Selain itu
juga akan dapat menghindarkan diri dari melakukan kemaksiatan yang biasa
dikerjakan orang dengan sebab adanya bercampur gaul (mukhalathah) seperti
mempunyai sifat ria’ (pamer), mengumpat, tidak mencegah orang mengerjakan
kemungkaran, berdiam diri dari menyuruh kebaikan, meniru-niru tabi’at yang
buruk atau kelakuan-kelakuan yang jelek dari kawan-kawan yang jahat perangainya
dan lain-lain lagi.
Sementara itu perlu diketahui
bahwa sebagian besar orang-orang salaf itu menganggap baik untuk bercampur gaul
dengan orang banyak untuk memperbanyak pengalaman, sahabat dan kawan, dapat
cinta-mencintai serta sayang-menyayangi antara sesama kaum mukmin. Selain itu
juga dapat tolong-menolong dalam agama yakni untuk menegakkan kebaktian dan
ketakwaan kepada Allah ta’ala.
Faedah-faedah dari sikap
memencilkan diri itu tentulah baru dapat diperoleh dengan kesungguhan yang luar
biasa serta mengalahkan sama sekali akan hawa nafsu, sedangkan faedah-faedah
bercampur gaul tidaklah demikian. Ringkasnya bercampur dengan orang banyak itu
mengandung berbagai kemanfaatan yang tidak mungkin dapat diperoleh dalam
memencilkan diri tadi.
Mungkin kita ingin mengethui,
apakah gunanya bercampur gaul dan apa pula yang menyebabkan kita harus berbuat
ini ?
Dengan secara singkat dapatlah
kita maklumi, yaitu dengan bercampur gaul maka menjelmalah saling memberi dan
mengambil pelajaran yaitu mengajar dan belajar, memberi dan mengambil
kemanfaatan, mendidik dan menerima didikan, saling kawan-mengawani, memperoleh
pahala dan menyebabkan orang lain berpahala dengan jalan memenuhi hak-hak,
membiasakan merendahkan diri atau tawadhu’, dapat memperoleh pengalaman-pengalaman
dengan menyaksikan hal-ihwal orang lain serta mengambil suri teladan dari
apa-apa yang disaksikan itu.
Untuk jelasnya baiklah kita
uraikan sekedarnya hal-hal yang berhubungan dengan faedah-faedah bercampur gaul
tadi ;
MENGAJARKAN
ILMU DAN MEMPELAJARINYA
Keduanya adalah termasuk
seagung-agungnya ibadat di dunia. Ibadat ini tentulah tidak dapat dijelmakan
kecuali dengan adanya bercampur gaul antara yang akan memberikan pelajaran
yakni guru dan yang berhajat belajar yakni muridnya. Belajar adalah merupakan
suatu hal yang wajib dan termasuk kemaksiatanlah apabila meninggalkannya dengan
sebab memencilkan diri itu.
Sebenarnya seseorang yang dapat
menyumbangkan ilmu pengetahuannya terutama dalam hal syari’at dan yang
berhubungan dengan akal fikiran, maka menyendiri itu baginya adalah suatu
kerugian yang amat besar sekali sebelum mempelajarinya. Oleh sebab itu Annakha’i
berkata, “Pandaikanlah dulu dirimu kemudian bolehlah kamu memencilkan diri”.
Seseorang yang menyendiri sebelum
cukup belajarnya, maka pada umumnya hanyalah menyia-nyiakan waktu saja, sebab
akan banyak tidur atau berfikir dalam kebimbangan dan kebingungan semata-mata.
Tujuannya tentulah hendak menghabiskan segala waktunya itu untuk membaca
bermacam-macam wirid dalam mengabdikan diri kepada Allah, tetapi sekalipun
demikian, disamping amalan-amalannya yang dilakukan dengan badan dan hati itu
tentulah tidak akan terlepas dari macam-macam tipuan. Bahkan tidak mustahil
bahwa dalam sebagian besar keadaannya itu hanyalah akan menjadi tertawaan
syaithan belaka. Hatinya tertipu, sebab ia mengira bahwa dirinya itu adalah
termasuk golongan ahli ibadat yang sungguh-sungguh.
Jadi ilmu pengetahuan itu adalah
pokok dan induk dari agama dan kehidupan beragama, maka dari itu tidak ada
baiknya sama sekali memencilkan diri itu bagi orang umum atau orang bodoh.
Adapun dalam hal memberi
pelajaran, maka di dalamnya terkandunglah pahala yang amat besar sekali, selama
dilakukan dengan niat yang jujur dan baik, yang mengajar maupun yang belajar.
MENGAMBIL
KEMANFAATAN DARI ORANG LAIN
Yaitu dengan jalan berusaha dan
bermu’amalat, sebab hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan bercampur gaul
dengan orang lain. Oleh karenanya, maka seseorang yang bekerja menurut cara
yang semestinya dan suka bersedekah, maka baginya pastilah jauh lebih utama
daripada orang yang memencilkan diri sendiri yang sibuk dengan amalan-amalan
sunnatnya.
MEMBERI
KEMANFAATAN KEPADA ORANG LAIN
Ini dapat dilaksanakan dengan
menyumbangkan harta atau tenaganya. Jadi ikut membantu apa-apa yang menjadi
keperluan orang lain dengan harapan semata-mata mencari keridhaan Allah.
Bukankah bergerak serta berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang banyak
terutama dari kaum muslimin itu besar pahalanya. Hal ini pastilah tidak dapat
dicapai kecuali dengan jalan bercampur gaul. Jadi bagi seseorang yang dapat
melaksanakan ini dengan menjaga batas-batas hukum syari’at, maka itulah yang
lebih utama daripada menyendiri.
MENGANGGAP
TINDAKAN ORANG LAIN SEBAGAI NASEHAT SERTA MEMBIASAKAN DIRI BERSOPAN-SANTUN
Yang dimaksudkan ialah melatih
diri untuk menghadapi perlakuan orang lain yang kasar dan berusaha sekuat
tenaga untuk menahan diri dan sabar terhadap perilaku mereka yang buruk dan
jahat. Tujuannya ialah untuk mematahkan hawa nafsu yang suka marah, memaksa
diri untuk menghentikan kesyahwatan-kesyahwatan yang salah. Semuanya itu juga
hanya dapat diperoleh dengan jalan bercampur gaul.
SALING
KAWAN-MENGAWANI
Hal ini adalah disunnatkan dalam
urusan agama yaitu terhadap seseorang yang dapat menenteramkan hati dengan
melihat perilaku, hal-ihwal dan tindak langkahnya serta ucapan-ucapannya dalam
hal keagamaan. Kadang-kadang ada yang berhubungan dengan kepentingan diri
sendiri. Disunnatkan pula apabila tujuannya itu ialah menggerakkan hati,
sehingga timbullah jiwa yang bersemangat dan giat untuk beribadat. Ingatlah
bahwa hati itu apabila susah, biasanya menjadi buta, sedang nafsu manusia itu
tidak selalu dapat diajak ke jalan yang haq selama tidak dilatih secara
baik-baik. Memaksanya yang terus-menerus hanyalah akan menimbulkan kebosanan
dan kelemahan saja. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Andaikata saya takut waswas, maka
saya tidak akan mengawani orang banyak”. Oleh sebab itu seseorang yang suka
memencilkan diri, pastilah pastilah akan memerlukan kepada seorang kawan yang
dengan mempergaulinya itu hatinya akan menjadi tenteram dan gembira, baik
dengan mengajaknya bercakap-cakap atau dengan mendampinginya saja, sekalipun
dalam sehari semalam hanya selama sejam. Maka dari itu perlulah ia mencari
seseorang yang dapat diajaknya bergaul dalam sesaat itu yang kiranya tidak akan
merusakkan amalannya dalam saat-saat yang selebihnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda
(diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim) :
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ,
فَلْيَنْظُزْ اَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu mengikuti aturan
kekasihnya, maka baiklah seseorang dari kamu semua itu meneliti siapa orang
yang akan dijadikan kekasihnya.
Diwaktu bertemu dengn kawannya
itu hendaklah berusaha sebaik-baiknya agar yang dipercakapkan itu adalah
mengenai persoalan-persoalan agama dan hal-hal yang menimbulkan rasa tetap
dalam kebenaran. Dengan menempuh cara ini, maka hati pun dapat terlatih dengan
gembira dan itulah jalan yang sebaik-baiknya bagi seseorang yang ingin berusaha
memperbaiki diri pribadinya.
MEMPEROLEH
PAHALA
Ini dapat dilakukan dilakukan
dengan jalan menghadiri jenazah-jenazah, meninjau orang yang sakit, mendatangi
jama’ah-jama’ah shalat, sebab di dalam hal jama’ah shalat itu sebenarnya tidak
ada keringanan untuk meninggalkannya, kecuali jikalau karena takut tibanya
suatu bahaya yang nyata-nyata ada, yang imbangannya sesuai dengan kehilangan
keutamaan jama’ah dan yang bertambah sedikit daripada itu. Ini tentulah hanya
terjadi sangat jarang sekali.
Jalan yang lain untuk memperoleh
pahala ialah dengan mendatangi pertemuan-pertemuan, undangan-undangan dan
lain-lain, sebab dalam melakukan ini pun ada pahalanya, sebab memberikan rasa
kegembiraan dalam hati sesama muslim.
MENYEBABKAN
ORANG LAIN MENDAPATKAN PAHALA
Misalnya ialah memberi izin untuk
meninjaunya atau menyatakan ikut duka citanya karena mendapat musibah, serta
mengemukakan kegembiraannya karena mendapatkan kenikmatan. Dengan demikian
orang lain pun akan memperoleh pahala juga.
Oleh sebab itu patut sekali
membuat suatu neraca perimbangan antara pahala-pahala yang dapat diperoleh
dalam bercampur gaul ini dengan bahaya-bahayanya yang sudah disebutkan dimuka.
Oleh karenanya, maka adakalanya dalam suatu ketika memencilkan diri itu menang
dan adakalanya bercampur gaul itulah yang menang.
TAWADHU’
ATAU MERENDAHKAN DIRI
Ini adalah seutama-utama tujuan
dalam bercampur gaul dan tentulah hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan cara
menyendiri. Malahan pada suatu ketika karena takut menjadi sombong itulah yang
menyebabkan suka menyendiri, memilih untuk tidak bergaul. Kadang-kadang pula
karena takut tidak dihormati dalam pertemuan-pertemuan dan kadang-kadang juga
karena takut tidak didahulukan dirinya dalam segala hal. Ada juga yang timbul
perasaannya bahwa dengan tidak bercampur gaul itulah yang dianggap lebih tinggi
kedudukannya dan dikiranya lebih menyakinkan orang lain bahwa ia tetap
beribadat sungguh-sungguh, berzuhud dan lain-lain sebagainya. Tanda-tanda orang
sedemikian ini ialah ia lebih suka diziarahi daripada berziarah sendiri kepada
sahabat-sahabatnya. Ia merasa gembira jikalau rumahnya itu diinjak oleh segala
macam manusia, baik orang biasa atau orang-orang yang terkemuka dalam
masyarakat.
Pikirkanlah baik-baik, andaikata
sebabnya tidak suka berziarah ke rumah orang lain itu karena kesibukan dirinya,
baik dalam beribadat dan lain-lain, tentunya ia membenci bercampur gaul dan
tidak senang pula diziarahi oleh orang lain. Jadi kalau demikian, maka ia
memencilkan diri dari orang lain itu sebabnya ialah enggan sibuk menghadapi
orang banyak, karena hatinya sudah merasa bahwa orang lain itu tidak memandang
dirinya dengan cukup memberikan penghormatan dan sanjungan. Cara memencilkan
diri dengan sebab yang sedemikian ini adalah sangat tercela dan merupakan
kebodohan semata-mata. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa segi ;
a. Tawadhu’ atau merendahkan diri
serta bercampur gaul itu tidak akan menyebabkan kurangnya harga diri kalau
dibandingkan dengan derajad orang yang suka takabbur atau congkak dengan sebab
banyak ilmu pengetahuan atau keagamaannya.
b. Orang yang mengusahakan supaya
dirinya selalu dicintai orang lain, atau supaya orang-orang itu senantiasa
meyakinkan bahwa dirinya adalah orang yang baik, maka orang semacam ini adalah
tertipu sendiri oleh perasaannya. Sebabnya ialah karena apabila seseorang itu
sudah berma’rifat kepada Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya kema’rifatan,
tentulah ia menginsafi bahwa seluruh makhluk ini tidak bermanfaat untuk dirinya
mengenai sesuatu apapun daripada Allah. Juga bahwa kemudharatan atau
kemanfaatan itu hanyalah semata-mata di dalam kekuasaan-Nya, bahkan keridhaan
dari seluruh manusia itu tentulah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat
dicapai, karena kalaupun sebagian ada yang suka, tentulah sebagian tidak.
Jikalau keseluruhan menjadi puas, tetapi pasti salah seorang diantara mereka
masih tetap kecewa. Oleh karena itu hanya keridhaan Allah sajalah yang wajib
diusahakan.
Imam Syafi’i pernah berkata
kepada Yunus bin Abdul A’la sedemikian, “Demi Allah, apa-apa yang saya katakan
kepada saudara ini, tidaklah lain kecuali sebagai suatu nasehatku belaka.
Ingatlah bahwa keselamatan itu tidaklah dapat diperoleh dari manusia manapun.
Oleh karena itu, telitilah sendiri, apa yang akan menjadikan kemaslahatan untuk
dirimu. Inilah yang hendaknya dikerjakan baik-baik”.
Jikalau ini telah saudara
mengerti, maka ketahuilah bahwa seseorang yang menyembunyikan dirinya di rumah
saja dengan maksud supaya orang banyak mempunyai keyakinan yang bagus-bagus
saja terhadap dirinya, maka orang yang sedemikian itu sebenarnya malahan
mencari kesengsaraan hidup untuk dirinya sendiri di dunia ini. Dan pasti siksa
dan kesengsaraan di akhirat adalah lebih besar lagi andaikata orang itu
mengetahui.
Secara ringkasnya ialah bahwa
sikap memencilkan diri itu sama sekali tidak disunnatkan dan sama sekali tidak
ada kebaikan serta kemanfaatannya, kecuali bagi seseorang yang hendak
menghabiskan waktunya untuk menyelidiki sesuatu ilmu pengetahuan, sehingga apabila
ia harus bergaul dengan orang-orang banyak, pastilah waktunya akan banyak
terbuang dengan sia-sia dan yang dengan bergaul itu akan memperoleh
bahaya-bahaya yang banyak sekali.
MEMPEROLEH
PENGALAMAN-PENGALAMAN
Inilah salah satu faedah lagi
dalam bercampur gaul. Maksudnya ialah guna mengetahui hal-ihwal orang-orang
banyak, kemudian dari apa-apa yang diketahui itu dapatlah diambil
kemanfaatannya. Menurut kebiasaannya akal manusia itu belum dapat cukup untuk
memahami kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia dengan dirinya sendiri. Jadi
masih diperlukanlah adanya pengalaman-pengalaman, percobaan-percobaan serta
berbagai macam latihan. Seseorang yang tidak dapat diajari melainkan dengan
pengalaman-pengalaman, maka baginya sikap memencilkan diri itu tidk ada baiknya
sama sekali.
Ingatlah bahwa seorng anak,
apabila ia menyendiri pastilah akan tetap tolol dan bodoh Oleh karena itu
sangat pentinglah apabila seseorang itu berusaha keras menuntut ilmu
pengetahuan dan selama menuntutnya itu dapatlah ia memperoleh
pengalaman-pengalaman yang diperlukan. Pengalaman-pengalaman yang selebihnya
pastilah akan dapat diperolehnya dengan jalan mendengarkan dan meneliti
hal-ihwal segala apa yang terjadi di sekitarnya.
Kebodohan itu dapat melenyapkan
amalan yang banyak, sedang dengan ilmu pengetahuan itu akan makin suburlah dan
semerbaklah amalan yang hanya sedikit. Andaikata tidak demikian, tentulah tidak
akan dilebihutamakan ilmu pengetahuan itu di atas amalan. Syari’at sendiri
sudah menetapkan tentang lebih utamanya seorang yang berilmu pengetahuan di atas
seorang yang beribadat saja.
Rasulullah s.a.w. bersabda
(diriwayatkan oleh Tirmidzi) :
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ
كَفَضْلِ عَلَى اَدْنَى رَجُلٍ مِنْ اَصْحَابِ
Keutamaan orang ‘alim atas
orang yang beribadat adalah sebagaimana keutamaanku di atas serendah-rendah orang
dari kalangan sahabatku.
Apabila kita telah mengetahui
semua uraian di atas mengenai faedah-faedah dan bahayanya, maka menjadi
jelaslah bagi kita mana yang sebenarnya lebih utama, bercampur gaulkah atau
memencilkan dirikah. Secara ringkasnya ialah bahw kedua hal itu dapat
berbeda-beda menurut perbedaan hal-ihwal dan keadaan.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar