Ria’/pamer ialah mencari
kemasyhuran dan kedudukan dengan beribadat. Ri’a ini haram hukumnya. Orang yang
melakukannya amat dibenci dan dimurkai Allah ta’ala. Untuk jelasnya, baik
pulalah diketengahkan berbagai ayat dan hadits dalam persoalan ini
:
Surah Al Ma’un 4-6 :
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ.الَّذِيْنَ
هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ.الَّذِيْنَ هُمْ يُرَآءُوْنَ
Maka celakalah orang-orang
yang bersembahyang, yang lalai dari shalatnya serta yang berhati ria’ (pamer)
dengan itu.
Surah Fathir 10 :
...وَالَّذِيْنَ
يَمْكُرُوْنَ السَّيِّااتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ
وَمَكْرُاُولئِكَ هُوَيَبُوْرُ
Orang-orang yang merencanakan
kejahatan-kejahatan, mereka itulah yang akan mendapatkan siksa yang keras
sekali dan rencana busuk mereka itu pasti gagal.
Dalam menafsiri ayat di atas,
Mujahid berkata, “Orang-orang yang berbuat semacam di atas itu ialah golongan
orang yang ria’ (memamerkan amalan ibadatnya) untuk memperoleh pujian dan
kemasyhuran”.
Surah Al Insan 9 :
اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ
اللهِ لاَنُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَآءً وَلاَشُكُوْرًا
Bahwasanya kita memberi makan
kepadamu semua itu semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, kita tidak
menginginkan balasan dari kamu semua dan tidak pula mengharapkan ucapan terima
kasih.
Dalam ayat di atas dipujilah oleh
Allah ta’ala golongan orang yang berhati ikhlas karena melenyapkan segala
sesuatu yang dimaksudkan untuk selain keridhaan Allah belaka.
Surah Al Kahf 110 :
...فَمَنْ
كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهِى فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً
صَالِحًا وَّلاَيُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِى اَحَدًا
Maka barangsiapa mengharapkan
bertemu dengan Tuhannya, hendaklah mengerjakan amalan yang shalih dan jangan
menyekutukan sesuatu dengan beribadat kepada Tuhannya itu.
Ayat ini diturunkan sebagai
penjelasan bagi orang-orang yang hanya mengharapkan pahala dan pujian dengan
ibadat-ibadat dan amalan-amalannya.
Hadits riwayat Malik, Muslim dan
Ibnu Majah :
يَقُوْلُ الله ُعَزَّوَجَلَّ : مَنْ
عَمِلَ لِيْ عَمَلاً اَشْرَكَ فِيْهِ غَيْرِيْ فَهُوَلَهُو كُلُّهُو,وَاَنَا بَرِيْءٌ وَاَنَا
اَغْنَى اْلاَغْنِيَاءِ عَنِ الشِّرْكِ
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman
(dalam hadits qudsi), “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang diarahkan
sebagai menyekutukan zat-Ku dengan selain-Ku, maka semua amalannya adalah untuk
apa yang dijadikan sekutu-Ku tadi, sedang Aku lepas sama sekali daripadanya.
Aku adalah sekaya-kayanya orang kaya dari perbuatan syirik itu (yakni Aku paling
tidak membutuhkan sekutu itu)”.
Hadits riwayat Ahmad dan Baihaqi
:
اِنَّ اَخَوْفَ مَااَخَافَ عَلَيْكُمُ
الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ. قَالُوا: وَمَاالشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟
قَالَ: اَلرِّيَاءُ. يَقُولُ الله ُعَزَّوَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اِذَاجَازَالْعِبَادُبِاَعْمَالِهِمْ.
اِذْهَبُوْا اِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُوْنَ فِى الدُّنْيَا. فَانْظُرُوْاهَلْ
تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمُ الْجَزَاءَ
“Sesungguhnya yang amat
kutakuti dari segala hal yang kutakuti atasmu semua itu ialah syirik kecil”.
Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah ?”. Beliau s.a.w.
menjawab, “Yaitu ria’ (pamer)”.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman
pada hari kiamat, yaitu diwaktu sekalian hamba melihat hasil-hasil amalannya,
“Pergilah kamu semua kepada apa yang kamu jadikan bahan pamer (ria’) di dunia.
Lihatlah apakah kamu semua memperoleh balasan dari mereka itu ?”.
Hadits riwayat Thabrani dan Hakim
:
Sesungguhnya
serendah-rendahnya ria’ adalah merupakan syirik. اِنَّ اَدْنَى الرِّيَاءِ شِرْكٌ
Hadits Bukhari dan Muslim :
اِنَّ فِى ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ
لاَظِلَّ اِلاَّ ظِلُّهُ , رَجُلاً تَصَدَّقَ بِيَمِيْنِهِ فَكَانَ يُخْفِيْهَاعَنْ
شِمَالِهِ
Sesungguhnya dibawah naungan
‘arsy, dimana tidak ada naungan disitu selain naungan Allah, ada seseorang
(dikala hidupnya) bersedekah dengan tangan kanannya lalu disembunyikannya,
sehingga tidak diketahui oleh tangan kirinya.
Oleh sebab itu ada ucapan dari
sebagian ‘alim ‘ulama, bahwa keutamaan amal perbuatan yang dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi dan rahasia itu lebih baik daripada amal perbuatan secara
terang-terangan dengan tujuhpuluh lipat pahalanya.
Diriwayatkan bahwa al masih
nabiullah ‘Isa a.s. bersabda, “Jikalau seseorang dari kamu semua berpuasa,
hendaklah meminyaki rambutnya, juga janggutnya serta mengusap kedua bibirnya,
supaya tidak seorang pun ada yang mengetahui bahwa ia berpuasa. Juga jikalau
memberi, hendaklah disembunyikan tangan kanannya itu agar jangan dilihat oleh
tangan kirinya dan apabila bersembahyang, hendaklah menutupkan pintunya”.
Adapun keterangan-keterangan dari
atsar, diantaranya ialah yang diriwayatkan bahwa Umar r.a. pada suatu hari
melihat seseorang yang menundukkan kepalanya. Beliau r.a. lalu berkata kepada
orang tadi, “Hai pemilik kepala, jangan tundukkan saja kepalamu itu, angkatlah
ke atas. Bukannya kekhusyu’an itu terletak di kepala, tetapi yang sebenarnya
kekhusyu’an itu ada di dalam hati”.
Abu Umamah Albahili pernah
melihat seseorang yang menangis diwaktu sujudnya di dalam masjid, lalu berkata,
“Apakah yang engkau lakukan itu, jikalau di rumahmu sendiri, tentulah tidak
mengapa”.
Dhahhak berkata, “Janganlah
seseorang dari kamu mengatakan : Ini untuk Allah dan untukmu. Jangan pula
berkata :Ini untuk Allah dan untuk keluarga, sebab Allah itu tidak mempunyai
sekutu sama sekali”.
HAKIKAT
RIA’ DAN HAL-HAL YANG DAPAT DIJADIKAN RIA’ ;
Ketahuilah bahwa perkataan ria’
itu berasal dari kata rukyat yang artinya melihat. Asal pokoknya ialah mencari
kedudukan atau kemasyhuran agar hati orang-orang banyak terpengaruh lalu memujinya sebab telah melihat banyaknya
kebaikan yang ada dalam dirinya.
Adapun yang dapat dijadikan
sebagai bahan berbuat ria’ itu banyak sekali, tetapi dapat dihimpunkan dalam
lima perkara yakni yang merupakan kumpulan hiasan yang biasanya dipertontonkan
oleh seseorang kepada masyarakat yaitu tubuh, pakaian, ucapan, perbuatan dan
pengikut. Ada pula yang menggunakan hal-hal yang selain diatas itu. Yang
terjahat diantara semua adalah berbuat keria’an dengan berkedok agama.
Adapun ria’ dalam agama dengan
tubuh ialah seperti menunjukkan kekurusan dan kekeringan tubuhnya serta warna
kulit yang kekuning-kuningan dengan maksud agar dengan berlaku demikian, maka
orang-orang akan menyangka bahwa ia adalah orang yang sangat giat beribadat,
sangat susah dan prihatin memikirkan agamanya sebab takut dikalahkan oleh
keduniaan, juga supaya disangka bahwa ia sangat besar ketakutannya pada siksa
akhirat. Selain itu juga seperti tidak merawat rambutnya baik-baik agar dikira
bahwa ia sangat mendalam perhatiannya kepada soal-soal keagamaan sehingga tidak
ada kesempatan sama sekali untuk menyisir rambutnya itu. Lagipula seperti
memperlahankan suara ketika bercakap-cakap dan senanatiasa memejamkan mata
untuk menunjukkan bahwa ia selalu kekal melakukan puasa, besar semangatnya
dalam melaksakan ibadatnya, lemah tubuhnya dan seolah-olah hilang kekuatannya
sebab terus-menerus lapar dan perbuatan yang lain-lain lagi.
Oleh sebab ditakutkan timbulnya
hal-hal sebagaimana di atas itu, maka nabiullah ‘Isa Al Masih a.s. bersabda,
“Jikalau seseorang dari kamu sekalian berpuasa, maka hendaklah meminyaki
rambutnya, menyisir rambutnya dan menghitamkan kedua matanya”. Ini maksudnya
tidak lain hanyalah karena sangat dikhawatirkan terseret oleh godaan syaithan
dengan sebab timbulnya sifat ria’.
Selanjutnya ria’ dengan keadaan badan
dan pakaian, misalnya ialah membiarkan rambut tidak karuan-karuan lagi
letaknya, mencukur kumis atau selalu menundukkan kepala diwaktu berjalan, duduk
dan sebagainya, juga seperti lambat bergeraknya , membiarkan bekas sujud yang
ad di dahi, suka mengenakan pakaian yang kasar-kasar, juga berpakaian bulu dan
memotongnya sampai dekat di betis kaki, memendekkan ujung lengan baju dan
lainnya. Itu semua adalah hal-hal yang dapat digunakan sebagai ria’, maksudnya
ialah supaya tampak dimata khalayak ramai bahwa ia adalah pengikut sunnah yang
setia dan meniru apa yang dilakukan oleh shalihin.
Lain lagi seperti mengenakan baju
tambalan, bersembahyang dengan menggunakan sajadah, mengenakan pakaian serba
biru karena hendak mencontoh kaum sufi, padahal dirinya itu sebenarnya kosong
sama sekali dari hakikat tasawuf dalam batinnya. Semacam itu pula ialah
berkerudung di atas sorban, melemberehkan selendangmenutupi kedua mata serta
berjubah yang biasa dikenakan oleh para cerdik cendikiawan atau para ‘alim
‘ulama, padahal ia bukan sekali-kali golongan orang berilmu itu. Maksudnya
tentulah supaya ia dianggap sebagai orang yang pandai dan cerdik.
Para ahli ria’ dengan menggunakan
pakaian itu tentulah bertingkat-tingkat dan berbeda-beda, setiap golongan
hendak memperlihatkan dirinya dalam kedudukan yang digemari, maka yang
digunakan adalah pakaian yang terkhusus pula untuk golongan yang diinginkan
itu. Ia tentunya berat untuk berpindah kepada tingkatan yang dibawahnya atau
yang ada di atasnya, sekalipun yang sedemikian itu boleh saja. Tetapi baginya
adalah merupakan tempat dan kedudukan yang sudah tertentu, sehingga ia takut jikalau
berpindah dan meninggalkan cara yang dibiasakannya itu, lalu orang-orang akan
mengatakan bahwa kezuhudannya sudah luntur dan kini meninggalkan tharikat itu
dan kembali cinta kepada keduniaan lagi.
Seterusnya bagaimana ria’ dengan
ucapan itu ? Yaitu ria’nya ahli agama dengan jalan suka sekali memberi nasehat,
peringatan, mengucapkan kata-kata hikmat, menghafalkan hadits-hadits dan atsar
dengan tujuan supaya dianggap oleh orang lain bahwa ia sangat memperhatikan
kepada hal-ihwal kaum shalihin. Misalnya lagi ialah dengan selalu
menggerak-gerakkan bibirnya dengan berzikir dihadapan orang banyak, beramar
ma’ruf dan bernahi munkar di muka khalayak ramai, menunjukkan kemarahan pada
kemungkaran, memperlihatkan kesedihan dan penyesalan sebab banyak orang yang
melakukan kemaksiatan, melemahkan suara di waktu berkata-kata, bercepat-cepat
mengatakan bahwa hadits itu shahih dan ini tidak shahih, dha’if dan sebagainya
dengan maksud hendak menonjolkan kepandaiannya dalam ilmu hadits itu dan lagi
seperti gemar berbantah dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan bicaranya,
sehingga orang-orang banyak akan mengatakan bahwa ia sangat luar biasa ilmu
pengetahuan dan kepintaran berdebatnya.
Kemudian bagaimanakah ria’ dengan
amalan ? Yaitu seperti ria’ dengan menunjukkan lamanya berdiri diwaktu
bersembahyang, panjang sujud dan ruku’nya, menundukkan kepala dan tidak
menoleh-noleh. Tetapi yang semuanya itu ditujukan untuk berpamer belaka.
Akhirnya ialah ria’ dengan
menunjukkan banyak pengikutnya. Misalnya ialah mengatakan bahwa banyak sekali
sahabatnya, banyak tamunya, banyak kawan-kawan hubungannya, tidak sempat keluar
karena urusannya dengan sahabat-sahabat itu tidak kunjung selesai dan
lain-lain. Lagipula seperti seseorang yang memaksa-maksakan supaya dikunjungi
oleh seorang ulama yang terkemuka, supaya ramailah suara diluar bahwa si ‘ulama
Anu itu berziarah kepada si Anu atau si wali Anu berziarah kepada si Anu.
Maksudnya agar supaya dikatakan bahwa para ahli agama itupun sama mengharapkan
keberkahan dengan kunjungannya kepada orang tadi dan oleh sebab itu merreka
berbolak-balik mendatangi kediamannya. Juga seperti orang yang ria’ bahwa si
Kepala Daerah Anu itu telah berkunjung di tempat si Anu dengan tujuan supaya ia
dianggap orang keramat dan perlu dimintai berkahnya. Selain itu seperti orang
yang menyebutkan bahwa banyak guru-guru, oramg-orang besar dan para peninjau
dari negeri lain yang mengunjunginya, supaya dapat dibanggakan dihadapan musuh
atau saingannya.
Semuanya itu adalah
kumpulan-kumpulan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk berpamer. Maksud
daripada melakukan hal-hal itu adalah tidak lain kecuali guna mengharapkan
datangnya kemasyhuran dan simpati orang banyak pada dirinya, sebab ia sendiri
meyakinkan bahwa apa yang dimiliki itu adalah semacam kekuasaan dan kesempurnaan
keadaan, sekalipun sebenarnya akan lenyap dengan segera. Dalam keadaan seperti
ini tidak akan tertipu oleh perasaannya sendiri, melainkan orang-orang yang
bodoh. Tetapi sebagian banyak manusia itu memang masih bodoh dan belum mengerti
akan hal itu.
Sebagian ahli ria’ itu adapula
yang tidak dapat puas dengan kedudukan dan kemasyhuran yang sudah didapatnya,
tetapi ia menginginkan yang lebih dari itu lagi. Ia ingin sekali selalu
memperoleh pujian dan sanjungan, adalagi diantara mereka yang ingin disiar-siarkan
keistimewaan pribadinya itu dimana-mana, bahkan ada yang ingin menunjukkan
kerapatan pergaulannya dengan para pembesar negeri agar dapat dipermudahkan
jikalau ia menghendaki sesuatu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
Jadi ia dapat memberikan jasa pada orang banyak yang tentunya dilakukannya
dengan pamer dan mengharapkan pujian. Malahan adapula yang tidak segan-segan
mengeluarkan harta bendanya guna memperoleh idam-idaman yang akan diria’kan
itu, sekalipun yang ditempuhnya adalah merupakan jalan yang haram semua dan
harta yang dikeluarkan itu pun diperolehnya dari keharaman pula.
Para ahli ria’ sebagaimana di
atas itulah seburuk-buruknya orang yang suka berpamer. Itulah tingkat yang
sehina-hinanya.
HUKUM
RIA’ ;
Ketahuilah bahwa ria’ itu
adakalanya yang ada hubungannya dengan soal-soal ibadat dan adakalanya lepas
dari soal-soal ibadat itu.
Adapun ria’ dengan yang bukan
merupakan soal-soal ibadat, maka kadang-kadang hukumnya boleh saja seperti
meratakan sorban atau rambut, membaguskan pakaian supaya tidak dilihat dengan
mata sebelah oleh orang-orang lain dan untuk menjaga diri daripada dianggap
hina dan kotor, lagipula untuk memperoleh kesenangan di kalangan kawan-kawan
sepergaulan. Malahan hal ini dapat merupakan ketaatan yang disunnahkan,
misalnya seseorang yang banyak pengikutnya dan melakukan sebagaimana di atas
tadi dengan tujuan supaya pengikut-pengikutnya itu gemar pula melakukannya dan
hati mereka supaya senang mengikuti perbuatannya. Sebaliknya ada yang tercela
dan diharamkan yaitu jikalau hal itu dilakukan sehingga menyebabkan timbulnya
apa-apa yang tidak dibolehkan atau membawa kepada perkara-perkara yang
terlarang.
Ringkasnya ialah bahwa hukum ria’
mengenai hal-hal yang bukan termasuk soal-soal ibadat itu mengikuti saja kepada
tujuan yang diarahkan untuknya. Oleh sebab itu dapat menjadi mubah, sunnah dan
haram.
Adapun ria’ dengan hal-hal yang
merupakan peribadatan, seperti sedekah, shalat, puasa, berperang, haji dan
sebagainya, maka orang yang melakukan ria’ itu terhapuslah pahala ibadatnya. Ia
melakukan kemaksiatan dan berdosa. Dalam pengertiannya terdapatlah dua perkara
utama, yaitu ;
Pertama ; Yang berhubungan dengan
sesama manusia. Makna dan pengertian ria’ disini ialah jelas sebagai
pengelabuan dan penipuan serta tipu daya yang tidak dibenarkan, sebab
orang-orang itu akan menyangka bahwa orang yang ria’ itu benar-benar ikhlas
dalam ibadatnya, benar-benar taat kepada Allah, benar-benar termasuk golongan
ahli agama yang patuh, padahal sebenarnya tidak demikian.
Kedua ; Yang berhubungan dengan
Allah ta’ala yaitu bahwa orang yang ria’, apabila dalam beribadat kepada Allah
itu dalam hatinya terkandung maksud untuk mendapatkan sesuatu dari sesama
makhluk Allah, maka berartilah ia sebagai seorang yang mengejek Tuhannya karena
amalannya tidak benar-benar ditujukan karena-Nya. Ini telah sama kita maklumi
dari uraian dimuka.
Tetapi untuk jelasnya baiklah
kami buatkan suatu perumpamaan. Misalnya ada seorang yang sehari penuh
menghadap di hadirat seorang raja, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para
hamba raja. Hanya saja ia berada disitu bukan semata-mata karena ikhlas dan
kecintaannya pada raja tadi, tetapi sebab gembira melihat beberapa jariah
(sahaya wanita) atau ghulam (sahaya lelaki) yang selalu berkeliaran melayani
raja tadi. Bukankah ini merupakan cemoohan dan ejekan yang nyata-nyata
ditujukan pada raja itu, sebab tujuan utamanya bukanlah hendak berkhidmat
padanya, tetapi hanya menginginkan seseorang dari hamba sahayanya saja. Oleh
sebab itu, ejekan manakah yang kiranya lebih besar lagi daripada perbuatan
seseorang yang tampaknya menyembah kepada Allah ta’ala padahal amalannya itu
hanya hendak dijadikan sebagai bahan ria’ kepada sesama hamba Allah yakni
sesama manusia yang lemah, yang tidak dapat memberikan kemudharatan ataupun
kemanfaatan kepada siapa pun. Bukankah dengan perbuatan semacam itu sama halnya
dengan mempunyai sangkaan bahwa ada manusia yang lebih kuasa menghasilkan
keperluan-keperluan atau kebutuhan-kebutuhannya melebihi dari kekuasaan Allah
ta’ala sendiri ? Mengapakah ia lebih mengutamakan orang yang lemah itu
daripadaTuhan yang merajai sekalian raja, sehingga orang tersebut dijadikan
sebagai tujuan ibadatnya ? Manakah ejekan yang lebih hebat lagi daripada
seseorang yang lebih meninggikan derajad hamba melebihi derajad tuannya ? Maka
dari itu, tepatlah jikalau dikatakan bahwa ria’ itu adalah termasuk
sebesar-besarnya hal yang dapat merusakkan jiwa dan akhlak. Oleh karena itu
pula rasulullah s.a.w. menamakannya sebagai syirik kecil.
Andaikata tanpa ria’, tetapi hanya
bersujud dan berruku’ kepada selain Allah ta’ala, tentunya itu sudah cukup,
sekalipun ia tidak bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala,
teranglah bahwa yang dituju adalah selain Allah. Dengan ini saja sudah jelas
adanya syirik yang samar atau syirik khafi.
Menilik keterangan-keterangan
dimuka, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa orang yang melakukan ria’
sebagaimana di atas itu teranglah menunjukkan kebodohan dirinya dan pasti tidak
akan berani melakukan hal itu, kecuali orang yang mengikuti ajakan dan tipuan
syaithan yang terlaknat. Orang yang sedemikian tentu mengira bahwa ada manusia
yang dapat memberikan kemaslahatan pada dirinya lebih daripada apa yang dapat
dilakukan oleh Allah ta’ala sendiri. Padahal yang sebenarnya ialah bahwa manusia
itu semuanya lemah untuk memperoleh kebutuhannya, lemah untuk memberikan
kemanfaatan kepada dirinya sendiri, tidak dapat melakukan kemaslahatan atau
kemudharatan sama sekali pada badannya sendiri. Konon pula kepada orang lain.
Ini adalah suatu kenyataan yang dapat kita saksikan sendiri semasih kita di
dunia. Bagaimana pula halnya nanti manusia-manusia yang semacam itu di akhirat
nanti, yaitu pada hari yang setiap orang hanya sibuk mengurus urusan dirinya
sendiri, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala dalam surah Luqman 33 :
...
لاَّيَجْزِيْ وَالِدٌعَنْ وَّلَدِهِى , وَلاَمَوْلُوْدٌ
هُوَجَازٍ عَنْ وَّالِدِهِى شَيْأَ ...
Ayah tidak akan dapat menolong
anaknya dan anak tidak dapat menolong ayahnya sedikitpun.
Jangankan manusia biasa, sedang
para nabiullah juga berkata, “Nafsi, nafsi yakni diriku sendiri, diriku
sendiri”.
Maka bagaimanakah seorang yang
bodoh suka menggantikan pahala akhiratnya hanya dengan harapan ketamakannya
yang kosong di dunia ini yakni dipertontonkan untuk berlagak ria’ dan pamer itu
saja. Jadi rasanya sudah tidak dapat diingkari lagi bahwa seseorang yang
berbuat ria’ dengan berpura-pura taat kepada Allah itu sebenarnya adalah yang
sangat dimurkai dan dibenci oleh Allah ta’ala sendiri.
TINGKATAN
RIA’ ;
Pertama
; Ketahuilah bahwa seberat-berat tingkatan ria’ adalah berpamer dengan pokok
keimanan. Orang yang berbuat sedemikian ini pasti akan menetap kekal
selama-lamanya di dalam neraka.
Siapakah orang yang sedemikian
itu ? Yaitu orang yang lisannya mengucapkan dua kalimat syahadat, menyaksikan
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah pesuruh Allah, tetapi
hatinya sangat mendustakan apa yang diucapkannya sendiri. Inilah bentuk
kemunafikan yang banyak disebutkan dalam kitab suci Al Quran di berbagai
tempat. Tidakkah pada zaman kita sekarang ini masih banyak orang yang seperti
ini ?
Termasuk dalam golongan ini ialah
orang yang membantah adanya surga dan neraka serta alam akhirat ataupun
mengi’tikadkan sempitnya bidang syari’at agama dan hukum-hukum Islam, karena
mencondongkan diri kepada orang-orang yang suka meringankan hukum agama itu,
atau seperti orang yang meyakinkan kekufuran, tetapi ia menunjukkan hal yang
berlawanan dengan itu. Maka sekalipun orang-orang tersebut mengaku masuk agama Islam
dan membunyikan dua kalimat syahadat, tetaplah ia digolongkan dalam kelompok
orang-orang munafik yang suka berbuat ria’ dan termasuk golongan orang-orang
yang kekal menetap dalam neraka. Inilah golongn ahli ria’ yang terberat
tingkatannya.
Kedua
; Termasuk ria’ dalam golongan kedua ini dan tingkatannya jauh di bawah
golongan pertama, yaitu orang yang menghadiri jama’ah Jum’at atau shalat-shalat
lain dengan sebab takut ejekan, atau cacian orang lain. Jadi andaikata tidak
takut dicaci, pasti tidak akan menghadirinya. Juga seperti orang yang berbakti
kepada orangtua atau mengeratkan hubungan dengan kerabatnya yang dilakukan
bukan karena timbul dari kehendaknya yang suci, tetapi semata-mata karena takut
celaan orang. Demikian pula orang yang menunaikan zakat atau ibadat haji yang
dilakukan karena takut dicemoohkan orang, bukan karena takut kepada siksa Allah
ta’ala jikalau tidak mengerjakannya. Semua itu adalah menunjukkan kebodohan
yang amat sangat dan pelakunya itu tidak ayal lagi pasti akan memperoleh
kemurkaan Allah ta’ala.
Ketiga
; Ada pula orang-orang yang berbuat ria’ dengan melakukan shalat-shalat
sunnat dan jikalau diwaktu sendirian atau di tempat-tempat sunyi yang tidak ada
orang lain, ia amat malas sekali melakukannya, sebab tidak ada yang hendak
dipameri. Juga karena terbawa oleh keria’annya itulah ia suka melakukan shalat-shalat
tadi dihadapan orang banyak, juga meninjau orang sakit, mengantarkan jenazah,
berpuasa sunnat pada hari Arafah, Asyura dan sebagainya. Sebab utamanya ia
melakukan tadi adalah karena takut dicela orang atau hanya ingin memperoleh
pujian belaka. Allah adalah Maha Mengetahui hal-ihwalnya, yaitu andaikata ia
berada sendirian, pasti amalannya tidak lebih dari apa yang merupakan kewajiban
saja. Ria’ semacam ini pun besar dosanya, tetapi masih dibawah tingkat yang
kedua di atas.
Keempat
; Lain golongan lagi ada yang melakukan ria’ dengan jalan menyempurnakan
sesuatu amalan, tetapi biasanya tidak demikian jikalau tidak dimuka orang lain.
Misalnya ialah seseorang yang adat-istiadatnya suka meringankan ruku’ atau
sujud dan tidak biasa memanjangkan bacaan ayat-ayat sesudah Al Fatihah. Jadi
kebiasaannya memang mengerjakan hal-hal yang menyebabkan kurang sempurnanya
ibadat. Tetapi diwaktu ia bersembahyang dimuka orang banyak, tiba-tiba saja
ruku’ dan sujudnya disempurnakan baik-baik, sama sekali tidak menoleh kesana
kemari, duduk antara dua sujud pun diperpanjang dan disempurnakan benar-benar
bacaannya.
Termasuk golongan ini pulalah
orang yang ketika berzakat biasanya hanya mengeluarkan uang dinar yang kurang
baik mutunya atau ketika berzakat tanaman dikeluarkan yang kualitasnya rendah.
Tetapi apabila ada orang lain yang menyaksikan, tiba-tiba saja dipilihnya yang
baik-baik dan bermutu tinggi. Ini dilakukan kadang-kadang karena takut dicela
dan kadang-kadang mengharapkan pujian orang yang menyaksikannya itu.
Juga termasuk golongan ini ialah
seseorang yang berpuasa dan ketkika melakukannya itu dijaga benar-benar
mulutnya dari mengumpat dan berkata kotor, tetapi tujuannya hanya ingin
mendapatkan pujian sesama manusia, bukan sekali-kali ingin menambahkan pahala
dan menyempurnakan ibadatnya itu. Ini pun kadang-kadang sebab takut dicela dan
kadang-kadang sebab menginginkan pujian orang. Jadi hal inipun merupakan ria’
yang terlarang, sebab terang-terang lebih mengutamakan pertontonan kepada
makhluk daripada berikhlas hati karena Allah.
Jikalau orang yang berbuat ria’
itu berkata, “Saya mengerjakan demikian itu memang untuk menjaga jangan sampai
mulut orang-orang itu mengatakan yang bukan-bukan pada saya, jangan sampai
mengeluarkan umpatan apapun”. Kepada orang semacam ini baiklah diberikan
jawabannya, “Itu jelaslah merupakan tipu daya syaithan padamu dan merupakan
pengetahuan semata-mata. Soalnya bukanlah demikian, bahkan sebagaimana yang kau
maksudkan. Sebabnya ialah karena bahayamu dengan sebab adanya kekurangan
kesempurnaan dalam shalatmu itu yang lebih penting untuk diperhatikan. Bukankah
shalat itu sebagai berkhidmadmu kepada Tuhanmu dan ini tentulah lebih harus
dipentingkan lagi. Bahaya dari kurang sempurnanya shalat adalah lebih besar
dari bahaya jikalau engkau diumpat oleh orang banyak. Jadi sekiranya yang
menyebabkan engkau berbuat demikian itu benar-benar karena untuk agamamu,
tentulah belas kasihanmu pada dirimu sendiri adalah lebih besar pula.
Kelima
; Sebagian orang lagi melakukan ria’ dengan melakukan sesuatu yang sekalipun
ditinggalkan, juga tidak akan mengurangkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan amalannya. Tetapi jikalau dilakukan, maka akan makin sempurnalah dan
lebih baik dalam ibadatnya, seperti memperpanjang ruku’ dan sujud, lama di
waktu berdiri sebab bacaan suratnya diperbanyak, memperbagus tingkah dalam
ibadatnya, mengangkat kedua tangan dan bersegera bertakbir pertama,
memperbaguskan i’tidal, menambahkan bacaan lain-lain dari yang biasanya
dilakukan. Demikian pula seseorang yang memperbanyak berkhalwat (mengasingkan
diri) dalam bulan Ramadhan untuk beri’tikaf dan sebagainya, juga banyak berdiam
dan menunjukkan kurang suka bercakap-cakap. Semuanya itu dilakukan sebagai
pamer dan andaikata ia berada seorang diri, pasti semua itu tidak akan
dilaksanakan.
Keenam
; Akhirnya ialah golongan orang yang melakukan ria’ dengan mengerjakan berbagai
tambahan yang luar dari amalan-amalan sunnat itu sendiri, seperti orang yang
menghadiri shalat jama’ah paling dulu sekali sebelum orang-orang lain sama
datang. Juga seseorang yang menempati shaf pertama, mencari tempat sebelah
kanan imam dan yang sesamanya itu. Semua itu pasti dimaklumi oleh Allah s.w.t.,
sebab jikalau ia sendirian, sudah pasti tidak memperdulikan lagi dimana ia
berdiri dan dimana ia akan memulai shalatnya.
Demikianlah berbagai tingkat ria’
yakni dengan mengingat hal-hal yang dipamerkan dan bagaimana bentuk keria’annya
itu. Maka itu yang sebagian adalah lebih berat dan lebih besar dosanya dari
yang lain, tetapi pada pokoknya semuanya itu adalah terlarang dan haram menurut
agama Islam.
TUJUAN
BERBUAT RIA’ ;
Ketahuilah bahwa orang yang
berbuat ria’ itu pasti ada tujuan dan maksud yang terkandung dalam hatinya. Ia
melakukan ria’ adakalanya sebab menginginkan untuk memperoleh harta, kedudukan,
kemasyhuran ataupun hal-hal yang lain-lain lagi. Ini pun ada pula
tingkatan-tingkatannya.
Pertama
; Yang dimaksudkan ialah untuk berbuat kemaksiatan, seperti seseorang yang
memamerkan ibadatnya, menunjukkan ketakwaan dan kewara’annya, sedang tujuannya
ialah supaya orang lain menganggap bahwa ia adalah seorang yang dapat
dipercaya. Oleh karena itu lalu diharapkan supaya supaya ia dapat diangkat
sebagai kepala daerah atau diserahi untuk membagi-bagikan harta zakat, namun
tujuannya ialah hendak menyalahgunakan kekuasaan atau mencurinya. Juga supaya
ia diberi titipan, lalu digelapkan atau supaya dapat berhubungan dengan wanita
dan dapat bersenang-senang dengan jalan yang curang dan penuh kemesuman dan
lain-lain sebagainya. Demikian pula seperti seseorang yang menghadiri majelis
ilmiah atau pun nasehat, tetapi tujuannya hanyalah untuk melihat kaum wanita
atau orang-orang banci yang disukai. Semuanya itu adalah seburuk-buruk perbuatan
ria’ kepada Allah ta’ala, sebab ketaatan kepada Tuhan dijadikan sebagai bahan
untuk bermaksiat kepada-Nya, dijadikan tangga untuk mencapai tujuan yang
berbentuk pelanggaran terhadap kesucian agama.
Agaknya dapat digolongkan dalam
hal ini ialah seseorang yang melakukan kemaksiatan secara terus-menerus, tetapi
di luaran ia menunjukkan ketakwaan dan dengan lenyaplah sangkaan orang lain
bahwa ia terus-menerus melakukan kemaksiatan tadi.
Kedua
; Yang dimaksudkan ada pula merupakan keinginan memperoleh keduniaan
seperti harta atau ingin mengawini seorang wanita yang cantik lagi bangsawan.
Jadi diperlihatkanlah ilmu yang dimiliki serta ibadat-ibadat yang berat agar ia
diterima lamarannya atau diberi harta yang dimaksudkan. Ini pun ria’ yang
terlarang sekali, sebab dengan berbakti kepada Allah ta’ala itu digunakan untuk
mencari benda dunia dan kehidupan yang sementara. Namun demikian dosa dari
golongan yang kedua ini adalah dibawah yang pertama.
Ketiga
; Yang dimaksudkan bukanlah untuk memperoleh harta atau ingin mengawini
wanita, tetapi ia memperlihatkan ibadatnya dengan cara yang amat baik sekali
itu dengan maksud supaya jangan ada orang yang menganggapnya kurang, sehingga
orang-orang itu menyangka bahwa ia bukan termasuk orang ahli zuhud atau
golongan orang khusus. Ia takut disamakan derajadnya dengan kebanyakan orang.
Misalnya lagi ialah seseorang yang biasanya berjalan cepat-cepat, tetapi
setelah ada orang lain melihatnya, tiba-tiba saja berjalan dengan amat perlahan
sekali dan dibuatnyalah gaya yang baik. Maksudnya supaya tidak dinamakan orang
yang suka tergesa-gesa, dan supaya supaya dianggap sebagai orang yang ahli
ketenangan dan kekhusyu’an.
Demikian pula seseorang yang
sehabis ketawa terbahak-bahak atau tampak bersenda gurau, kemudian karena takut
dipandang orang dengan mata pengejekan, lalu dengan segera diikutinya perbuatan
tadi dengan bacaan istighfar atau bernafas yang sangat panjang serta
menunjukkan seolah-olah amat bersedih hati melakukan tadi itu. Malahan
kadang-kadang ditambah dengan kata, “Aduh, alangkah besarnya kealpaan manusia
itu pada dirinya sendiri”. Padahal Allah ta’ala adalah Maha Mengetahui,
andaikata ia seorang diri dan di dalam tempat sunyi, pastilah semua yang
dilakukannya itu dianggap biasa saja dan tidak berat sama sekali untuk
melakukannya. Jadi tujuan beristighfar dan lain-lainnya itu hanyalah supaya
tidak memperoleh ejekan orang lain dan sebaliknya supaya dianggap sebagai orang
yang khusyu’ dan berwibawa, tenang dan tenteram.
Juga seperti orang yang melihat
orang-orang lain sedang berjama’ah melakukan shalat tarawih atau tahajjud, atau
orang-orang yang sama berpuasa hari Kamis dan Senin, atau orang-orang yang
sedang bersedekah, lalu orang itu mengikuti apa yang mereka lakukan, sebab
takut dinamakan orang yang malas beribadat atau pun takut disebut kikir beramal
shalih atau takut dianggap sebagai orang yang kebanyakan (‘awam). Padahal
andaikata ia seorang diri, pasti semua itu tidak ada yang dilakukan sama
sekali.
Seperti itu pula seseorang yang
membiarkan dirinya dahaga pada hari ‘Arafah atau ‘Asyura. Ia tidak suka minum
sebab takut kalau-kalau orang banyak mengerti bahwa ia tidak berpuasa,
kadang-kadang juga diajak makan tetapi ia enggan supaya disangka bahwa ia
berpuasa. Adakalanya juga ia tidak mengemukakan bahwa ia berpuasa, tetapi ia
mengatakan bahwa ia beruzur, sehingga terpaksa menolak makanan yang dihidangkan
tadi. Orang semacam ini benar-benar telah menghimpun dua macam keburukan, yaitu
menampakkan bahwa dirinya seolah-olah berpuasa dan menunjukkan bahwa ia seolah-olah
orang yang ikhlas, padahal sebenarnya ia hanya berpura-pura dan hanya berpamer
belaka. Ia melindungi keadaan ibadatnya yang sebenarnya, ia takut jikalau orang
lain menyebutkan yang kurang baik tentang dirinya dan ingin sekali kalau
orang-orang itu menyebutkan bahwa ia amat khusyu’ dan giat beribadat. Maka
jelaslah bahwa orang tersebut adalah ahli pamer belaka. Orang semacam ini tentu
ingin dikatakan bahwa ia menutup-nutupi ibadatnya. Padahal andaikata ia
terpaksa ingin minum, pasti tidak sabar lagi menahannya. Dikala itu ia
membuat-buat suatu alasan baik yang secara terang-terangan atau samar-samar,
dengan berpura-pura menunjukkan bahwa ia sakit yang menyebabkan ia selalu
merasa amat dahaga sekali dan pula menyebabkan ia meninggalkan puasa sehari itu.
Adakalanya pula ia mengatakan bahwa ia berbuka tidak puasa sunnat itu karena
untuk menggembirakan hati kawannya yang mengajaknya makan, sebab ia adalah
seorang yang sangat mencintai kawannya dan kawan itu ingin sekali kalau ia suka
makan di tempatnya. Ia mengatakan pula bahwa kawannya itu mengundangnya untuk
makan pada hari itu dan ajakannya sangat memaksa, sehingga tidak ada jalan lain
kecuali menuruti kehendaknya dan menyenangkan hatinya belaka.
Semisal itu pula seseorang yang
mengatakan bahwa ia tidak berpuasa sunnat sebab orangtuanya melarangnya, karena
kalau terus berpuasa akan sakit.
Hal-hal yang semacam inilah yang
merupakan afat-afat atau bahaya ria’ dan yang sedemikian itu tidak akan
dilaksanakan oleh seseorang, melainkan karena dalam hatinya memang sudah lebih
dulu kemasukan benih-benih keria’an tadi.
Sebaliknya orang yang ria’ ialah
orang yang mendasarkan segala amal perbuatan kepada keikhlasan. Orang yang
berikhlas hati itu sama sekali tidak memperdulikan, bagaimana pandangan orang
lain padanya. Ia tidak pula memperhitungkan bagaimanakah kalau ini dilakukan
atau kalau tidak dilakukan.
Seorang yang mukhlis, yang
benar-benar beramal untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala itu, apabila
hatinya tidak ingin puasa misalnya, ia insaf bahwa Allah ta’ala pasti Maha
Mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Jadi ia tidak ingin supaya orang lain
meyakinkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya telah dimaklumi
oleh Allah ta’ala itu. Sebab dengan berbuat puasa, padahal hatinya tidak menginginkannya,
maka jelaslah perbuatannya itu sebagai suatu pengelabuan dan tipuan
semata-mata. Sebaliknya jikalau ia menginginkan berpuasa, maka ia melakukannya
itu semata-mata karena Allah ta’ala. Ia puas dalam melakukannya itu, sebab puas
pula dengan apa yang telah dimaklumi oleh Allah ta’ala. Ia sama sekali tidak
menyekutukan lain benda dengan Zat Yang Maha Mengetahui tadi, baik dengan
terang-terangan atau dengan samar-samar yakni berpura-pura atau ria’ tadi.
Adakalanya seseorang itu
terlintas dalam hatinya bahwa dengan menunjuk-nunjukkan amalannya itu bermaksud
agar supaya orang lain menirunya atau agak tergeraklah dalam hati orang lain
tadi untuk ikut melakukan sesuatu yang diamalkannya. Hal yang sedemikian ini
pun merupakan tipu daya dan bujukan hati semata-mata. Memang kadang-kadang
rayuan syaithan itu melalui suatu yang dianggapnya seolah-olah benar, padahal
dalam urusan beribadat, maka segala macam bentuk ria’ itu dilarang benar-benar.
Demikianlah uraian mengenai
tingkatan-tingkatan ria’ dari berbagai golongan yang suka melakukan keria’an
itu. Semuanya saja pasti tidak diridhai oleh Allah ta’ala , semuanya pasti akan
memperoleh kemurkaan Allah ta’ala, semuanya dibenci, sebab memang termasuk
golongan perusak yang dapat membinasakan jiwa dan akhlak, agama dan kehidupan.
RIA’ YANG
SAMAR ;
Ketahuilah bahwa ria’ itu ada
yang terang-terangan dan ada yang samar-samar. Yang terang-terangan ialah yang
diperlihatkan dalam kelakuan, tindakan dan perbuatan, sekalipun pada mulanya
diharapkan adalah pahala. Inilah tingkatan yang seterang-terangnya. Lebih samar
sedikit dari ini ialah sesuatu yang tidak biasa dilakukan jikalau sedang berada
seorang diri, tetapi pada suatu saat amalan itu dipaksa-paksakan untuk
melakukannya, diringankan dirinya untuk mengamalkannya, sedang tujuannya juga
mengharapkan keridhaan Allah ta’ala. Misalnya ialah seseorang yang setiap malam
membiasakan shalat malam, tetapi biasanya dilakukannya itu dengan sangat berat
sekali. Tiba-tiba diwaktu kedatangan tamu misalnya pada suatu ketika, maka yang
biasanya tidak dilakukan dengan keringanan, mendadak ia menjadi bersemangat dan
bagaikan ringan saja dilakukannya. Bangunnya tidak malas-malas sebagaimana
biasanya, berwudhu’nya tidak takut dingin sama sekali dan lain-lain sebagainya.
Ada lagi yang lebih samar lagi
dari ini, yaitu yang tidak berbekas sama sekali dalam amalannya, tidak merasa
mudah dan tidak pula merasa ringan, tetapi hanya terendam dalam hati belaka.
Alamat yang paling terang untuk mengetahui ria’ yang semacam ini ialah apabila
seseorang yang melakukannya itu merasa gembira jikalau ada orang lain yang
mengetahui ketekunan ibadatnya itu. Bukankah banyak orang yang berhati ikhlas
dalam amalannya dan tidak mempercayai akan adanya keria’an dalam hatinya,
bahkan ia membencinya pula. Ria’ itu ditolak dan amalan tetap disempurnakan
sebagaimana adanya. Tetapi alangkah anehnya, jikalau ada orang yang mengetahui
kelakuannya yang istimewa itu, tiba-tiba ia merasa gembira dan dadanya serasa
lapang, serta telinganya amat lezat sekali mendengarkannya. Selanjutnya hatinya
amat suka sekali untuk menyangatkan ibadatnya. Kegembiraan yang sedemikian
inilah yang menunjukkan adanya ria’ yang samar-samar dan karena adanya keria’an
itulah lalu meresapnya rasa gembira apabila ada orang mengetahui lalu memperbincangkannya.
Andaikata hatinya tidak terpengaruh dengan ucapan orang-orang banyak itu,
tentunya tidaklah akan bergembira hatinya mendengarkan apa yang dipercayakan
orang-orang lain itu tentang dirinya sendiri. Tetapi karena ada keria’an, maka
timbullah kegembiraan, sebab amalannya diketahui orang.
Memanglah hal itu seringkali
terjadi. Ria’ itu dapat merendam dalam hati bagaikan terendamnya api dalam
batu. Api tidak dapat dilihat, tetapi setelah digosokkan besi, barulah keluar
nyalanya. Ria’ itu pun tidak akan tampak, tetapi setelah beradu dengan pujian
orang, barulah timbul alamatnya yaitu merasa gembira.
Jadi dengan sebab orang-orang
sama mengetahui amalannya itu, lalu tampaklah keriangan hati dan kesenangannya.
Selanjutnya apabila perasaan senang diketahui orang ini tidak dilawan dengan
rasa kebencian dan penolakan batiniah, maka lama-kelamaan hal itu akan
merupakan makanan yang enak sekali bagi jiwanya. Ria’nya akan merayap setapak
demi setapak dalam urat sarafnya, sehingga dari tubuhnya itu akan tampaklah
suatu gerakan yang halus sekali, kemudian mencetuskan suatu tindakan yang halus
pula, sehingga akhirnya dipaksa untuk diperlihatkan, baik dengan cara
pembelokan atau dengan anggota tubuh lahiriahnya, misalnya ialah dengan melemah
lembutkan suara jikalau bercakap-cakap atau dengan menampakkan bekas air mata
serta wajah yang serba bermuram durja.
Masih ada lagi yang lebih samar
dari yang diatas itu, yaitu bahwa semua amalannya disembunyikan dan tidak suka
sama sekali diperlihatkan kepada orang lain, tidak juga gembira kalau orang
lain ada yang mengetahui ketekunan amalan dan ketaatannya, tetapi sekalipun
semua itu sudah amat baik, ia ada kesenangan dalam hatinya, jikalau bertemu dan
berhadapan dengan orang banyak, supaya mereka itu menyambutnya dengan senyum
simpul dan rasa hormat. Ia suka mendapat pujian dan sanjungan dan bahkan senang
sekali kalau apa-apa yang diperlukan itu segera diperoleh dan diusahakan oleh
orang-orang itu. Selain itu ia senang pula kalau orang-orang itu memberikan
kelonggaran atau harga lebih murah dalam berjual beli, senang pula kalau ia
selalu diberi tempat yang longgar dan tersendiri dalam pertemuan. Oleh sebab
itu sekiranya pada suatu ketika ia disambut dengan cara yang menunjukkan
kekurangan perhatian padanya maka hatinya merasa amat berat sekali dan
seolah-olah ingin menjauhkan diri saja dari kelompok yang dianggapnya kurang
menghargai itu. Jadi orang ini seolah-olah menginginkan datangnya kehormatan
ummat padanya dengan adanya ketaatan dan ibadat yang dirahasiakannya itu. Hal
yang sedemikian sekalipun dianggapnya bahwa beribadatnya tidak ada hubungannya
sama sekali dengan urusan makhluk, tetapi adanya benih-benih keria’an yang
sifatnya samar yang merayap dalam jiwanya dan lebih halus lagi dari gerakan
semut. Semuanya itu hampir saja dapat merusakkan pahala-pahala dari amalannya
tadi. Sesungguhnya sangat sulit dapat menghindarkan diri dari hal-hal semacam
ini, melainkan golongan kaum shiddiiqin yang semata-mata mendasarkan segala
sesuatunya itu kepada keikhlasan karena Allah ta’ala.
Selanjutnya perlu kita
menyingkapkan sekedarnya, bagaimanakah orang yang berhati ikhlas itu dalam
amalannya ?
Mereka itu senantiasa takut pada
ria’ yang samar-samar itu. Mereka berusaha sekeras-kerasnya menutupi, lebih
rapat daripada orang-orang lain yang hendak menutupi perbuatan-perbuatan
jahatnya supaya tidak ternoda. Semua itu dimaksudkan agar amalan-amalannya yang
shalih itu benar dianggap ikhlas oleh Allah ta’ala yang selanjutnya pasti akan
memberikan balasannya pada hari kiamat nanti, dengan sebab keikhlasan itu
sendiri. Mereka pasti mengerti bahwa Allah ta’ala tidak akan menerima amalan
seseorang, melainkan yang dilakukan dengan dasar keikhlasan. Selain itu mereka
memaklumi pula betapa kebutuhan dan kesengsaraan yang akan menimpa mereka pada
hari kiamat nanti apabila amalan-amalannya itu sampai terbuang sia-sia belaka.
Pada hari kiamat itu jelaslah bahwa harta dan anak-anak tidak akan dapat
memberikan kemanfaatannya sama sekali orangtua pun tidak dapat menolong anaknya
dan demikian pula sebaliknya.
Jadi tahulah kita semua bahwa
pendorong-pendorong dari timbulnya ria’ yang samar-samar itu amat banyak sekali
dan tidak dapat dikemukakan seluruhnya secara terperinci. Ringkasnya ialah
apabila suatu amalan itu apabila dalam hati dirasakan ada perbedaan, jikalau
dilihat oleh manusia atau oleh binatang, maka jelaslah bahwa disini terseliplah
suatu benih keria’an. Sebab andaikata dengan keikhlasan, tentunya sama saja
rasa hatinya itu, apakah yang melihat itu manusia ataukah yang melihat itu
berupa binatang. Jikalau yang melihat manusia merasa senang dan jikalau dilihat
binatang tidak ada perasaan apa-apa, maka itulah ria’ yang samar-samar.
Seseorang yang berhati ikhlas
tentunya tidak memperdulikan pada penglihatan manusia yang banyak sekalipun,
sebab ia mengerti bahwa seluruh manusia ini tidak akan dapat menetukan
rizkinya, tidak kuasa menentukan ajalnya, tidak dapat memberi tambahan pahala
atau pengurangan siksa.
Jikalau ada orang yang
mengatakan, “Rasanya kita tidak pernah mengetahui orang yang tidak merasa
gembira, jikalau ada orang lain mengetahuinya bahwa ia amat berbakti dan tekun
menjalankan agamanya. Jadi kalau begitu, apakah gembira semacam ini tercela
semuanya, ataukah sebagian ada yang tercela dan sebagian ada yang terpuji ?”.
Untuk menjawab pertanyaan diatas
itu baiklah kami terangkan demikian :
Perasaan gembiran itu ada yang
terpuji dan ada yang tercela.
Pertama
; Yang terpuji yaitu apabila maksud seseorang yang melakukan ibadat itu
sengaja hendak menyembunyikan dan benar-benar ikhlas hatinya dalam melakukan
amalannya itu. Tetapi demi diketahui bahwa orang-orang banyak mengetahui juga
apa yang dilakukannya itu, maka ia berkeyakinan bahwa memang Allah ta’ala
itulah yang hendak memperlihatkannya kepada orang lain. Allah hendak
menunjukkan kebaikan dirinya dan hal-ihwalnya kepada khalayak ramai. Jadi
tersiarnya kebaikan dirinya itu semata-mata karena kehendak yang telah
ditentukan Allah ta’ala jua. Itulah kasih sayang Allah padanya, sebab tidak ada
suatu kasih sayangpun yang lebih besar daripada menutupi yang jelek dan
memperlihatkan yang indah. Maka dari itu kegembiraannya, bukanlah karena orang
itu mengetahui amalannya tetapi ialah karena merasa bahwa Allah ta’ala telah
memandangnya dengan pandangan yang menggembirakan. Bukan sebab pujian orang dan
bukan pula karena orang-orang itu bersimpati pada dirinya.
Kegembiraan semacam inilah yang
dibolehkan. Ini berdasarkan firman Allah ta’ala dalam surah Yunus 58 :
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِى فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا
...
Katakanlah, bahwa itu terjadi
dengan keutamaan serta kerahmatan Allah. Oleh sebab itu bolehlah mereka
bergembira dengan yang sedemikian tadi.
Kegembiraan lain lagi ialah
karena adanya sangkaan bahwa orang-orang yang mengetahui itu agaknya ada
keinginan hendak mencontohnya. Jikalau benar demikian, maka pahalanya pun
berlipat dua pula, yaitu pahala sebab tampaknya amalan itu lalu diikuti dan
pahala menyembunyikan sebagaimana yang dikehendaki pertama kalinya dulu.
Seterusnya apabila benar-benar
ada yang menirunya, maka bagi orang yang pertama tadi akan ikut memperoleh
pahala dari semua orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari jumlah
pahala seluruhnya itu. Oleh karena itu patutlah dijadikan bahan kegembiraan.
Yang semisal di atas itu pula
ialah seseorang yang diberi pujian oleh orang-orang yang mengetahui ketekunan
ibadatnya, lalu orang yang dipuji tadi bergembira. Bukannya bergembira karena
memperoleh pujian, sekali-kali bukan ini sebabnya. Tetapi gembiranya adalah
karena orang-orang tadi tampak sangat taat kepada Allah ta’ala dalam
mengucapkan pujian mereka itu dan tampak pula kecintaan mereka kepada orang
yang taat dan berbakti kepada Allah ta’ala. Inilah suatu tanda kecondongan hati
mereka kepada kebaikan dan kebaktian. Gembira semacam ini adalah ditimbulkan
karena bagusnya keimanan hamba-hamba Allah jua. Sebagai tanda keikhlasan dalam
kewara’an ini ialah bahwa kegembiraannya dengan adanya pujian dari orang-orang
tadi kepada orang lain seperti bergembiranya dengan adanya pujian yang
diberikan pada dirinya sendiri.
Itulah bermacam-macam kegembiraan
yang baik dan tidak ada celanya sama sekali.
Kedua
; Adapun kegembiraan yang tercela ialah apabila timbulnya kegembiraan
tadi karena merasa bahwa orang-orang lain sudah berkenan hati padanya yakni
bahwa mereka menaruh hati padanya,
sehingga terkeluarlah pujian dan sanjungan mereka itu. Ia gembira karena
orang-orang itu mengagungkan dan mengelu-elukannya serta suka menyediakan atau
mengusahakan apa-apa yang menjadi kebutuhannya. Ia gembira sebab mereka
menyambutnya dengan berbagai macam kemuliaan. Semua kegembiraan yang
sebagaimana diatas itu dibenci dan tidak disenangi menurut pandangan agama.
HUBUNGAN
RIA’ DENGAN AMAL KEBAIKAN ;
Apabila seseorang itu mulai
melakukan ibadatnya dengan penuh keikhlasan, kemudian tiba-tiba dalam hatinya
dihinggapi suatu perasaan yang mendatang yakni yang berupa sifat ria’ atau
pamer, maka adakalanya timbulnya itu setelah selesai amalan itu dikerjakan dan
adakalanya sebelum selesai dikerjakan. Jikalau setelah selesainya melakukan
amalan tadi lalu datang kegembiraan yang hanya tampak dalam hatinya sendiri
saja, tetapi tidak diperlihatkan, maka hal yang semacam ini tidaklah merusakkan
amalannya sama sekali, sebab amalannya itu sudah selesai dan mengikuti sifat
keikhlasan, bersih dari segala macam ria’. Lain halnya jikalau setelah
selesainya ituada keinginan hatinya hendak menunjuk-nunjukkan, kemudian
benar-benar ditampak-tampakkan serta diperlihatkan, maka keadaan yang
sedemikian inilah yang amat mengkhawatirkan sekali. Dalam berbagai hadits ada
beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa yang sedemikian itu dapat merusakkan
amalannya.
Adapun jikalau timbulnya ria’ itu
sebelum selesai melakukan sampai habis, maka sekiranya benar-benar dilakukan
dengan dasar keikhlasan, sedang ria’ itu hanya berupa kegembiraan semata-mata
tidaklah merusakkan amalannya. Tetapi jikalau ria’ itu sendiri yang menyebabkan
ia bersemangat untuk meneruskan amalannya dan dengan ria’ itu pula sampai ia
menyelesaikan amalan ibadatnya, maka jelaslah bahwa pahalanya dapat terhapus
sama sekali. Sebabnya demikian ialah karena yang diwajibkan adalah mengerjakan
amalan itu dengan dasar keikhlasan semata-mata karena mengharapkan keridhaan
Allah. Orang yang berhati ikhlas tidaklah akan dicampuri oleh sesuatu apapun
yang mendatang. Jadi tentulah ia tidak akan melakukan kewajiban tadi dengan
diselubungi oleh campuran yang bagaimanapun bentuknya.
Ria’ yang disertakan diwaktu
mulai mengerjakan, seperti seseorang yang melakukan shalat dengan tujuan ria’
semata-mata, maka jikalau yang sedemikian ini diteruskan sampai ia selesai
mengucapkan salam, maka antara seluruh para ulama tidak ada perselisihan
pendapat sama sekali yakni bahwa orang yang mengerjakan shalat semacam itu
wajib diulangi, sebab shalat yang dilakukan tadi tidak dianggap sama sekali.
Jikalau orang itu merasa menyesal
diwaktu melakukan ibadatnya lalu beristighfar serta bertaubat sebelum
selesainya, maka menurut pendapat yang kuat ialah shalatnya itupun tidak
diangggap sah, sebab ada tujuan ria’ didalamnya sekalipun tidak semuanya. Oleh
sebab itu hendaklah mengulanginya lagi dari permulaan, sebab pendorong dari
melakukan shalat tadi adalah ria’ pada permulaannya dan bukan semata-mata hendak
mentaati perintah Allah ta’ala. Disebabkan permulaannya sudah tidak sah, maka
tidak sah pulalah amalan-amalan yang dilakukan sesudah permulaan itu.
MENGOBATI
RIA’ ;
Dari uraian-uraian dimuka sudah
kita maklumi bahwa sifat ria’ itu benar-benar dapat menghapuskan seluruh amal
perbuatan yang shalih dan merupakan sebab kemurkaan serta kebencian Allah ta’ala
terhadap siapa saja yang melakukannya. Kita ketahui pula bahwa ria’ adalah
termasuk perusak jiwa dan hati yang amat besar sekali. Oleh sebab keadaannya
memang nyata-nyata sangat membahayakan, maka teranglah bahwa ria’ itu wajib
dilenyapkan sama sekali dan dijebol sampai ke akar-akarnya dari dalam hati.
Untuk mengobatinya itu ada dua
hal yang perlu dilaksakan secara bersama-sama, yaitu :
Petama ; menjebol urat-urat serta
pokok-pokok akarnya yang dari situlah ria’ itu bercabang dan beranting.
Kedua ; Menolak segala sesuatu
yang terlintas dari ria’ itu dari dalam hati seketika itu juga sewaktu-waktu
datang.
Tindakan
I : Menjebol akar-akar dan pokok-pokoknya.
Asal-usul sifat ria’ itu ialah
karena senang kedudukan dan kemasyhuran serta pangkat. Jikalau dipisahkan, maka
dapatlah dikembalikan kepada tiga macam pokok yaitu senang pada kelezatan
pujian, lari dari sakitnya celaan serta tamak pada apa-apa yang dimiliki oleh
orang lain. Tiga keadaan inilah yang menyebabkan seseorang itu tergerak hatinya
untuk berbuat keria’an.
Maka dari itu untuk mengobatinya,
hendaklah mengetahui bahaya ria’ itu dan yang karenanya lalu tidak dapatlah
diperoleh kebaikan hatinya, terhalanglah pertolongan dari Allah ta’ala yang
semestinya akan diberikan padanya, baik di dunia sekarang, maupun nanti di
akhirat setelah matinya, tidak dapat memperoleh kedudukan yang dekat di sisi
Allah ta’ala, bahkan akan menerima siksa yang pedih, kemurkaan yang sangat dan
hinaan yang luar biasa besarnya.
Jikalau seseorang itu sudah
memikirkan kehinaan yang besar ini, juga dengan memperbandingkannya apa-apa
yang dapat dicapai oleh orang-orang yang berbuat ria’ itu di dunia yang berupa
hiasan yang sementara saja, sedang di akhirat akan kehilangan pahala-pahalanya
yang diharapkan akan dapat menyelamatkan dirinya, demikian pula apabila telah
disadari benar-benar bahwa ria’ itu akan menghapus segala amalannya yang baik –baik
serta pahala-pahalanya, maka dengan memikirkan semua itu rasanya mudahlah
seseorang itu akan menghindarkan dirinya dari kelakuan tadi. Ini sama halnya
dengan seseorang yang mengetahui bahwa rasanya madu itu manis sekali, tetapi
bagaimanakah sekiranya pada suatu ketika ia mendapat madu yang terang-terang
didalamnya dibubuhi dengan racun ? Sudah tentu ia akan menyingkirkannya dan
dibuangnya dengan segera.
Selanjutnya perlu pula
direnungkan dalam-dalam, apakah sebenarnya tujuan mengharapkan pujian orang
lain itu, mengapa lebih mengutamakan celaan dari Alllah ta’ala , hanya karena
menginginkan pujian orang belaka ? Apakah pujian orang itu akan memberikan
kemanfaatan ? Yang jelas ialah bahwa pujian orang itu tidak akan menambah
rizki, tidak menambahkan umur, tidak memberi kesenangan diwaktu ia dalam
keadaan miskin dan kekurangan, terutama sekali pada hari kiamat nanti.
Tentang takutnya dicela, maka
perlu disadari bahwa celaan orang itu tidak akan membahayakan sama sekali pada
kehidupannya. Apakah kita harus mencari keridhaan manusia lebih dari keridahaan
Allah s.w.t. ? Jikalau lebih memerlukan keridhaan Allah ta’ala, maka untuk
apakah kita harus takut dicela orang. Salah, bolehlah diakui, tetapi dicela
janganlah ditakuti.
Adapun mengenai ketamakan pada
sesuatu yang ada di tangan orang lain, maka ini dapat disembuhkan dengan jalan
menginsafi bahwa Allah ta’ala itulah yang menentukan dan menggerakkan hati
untuk menolak atau memberi. Semua makhluk pasti, terpaksa tunduk pada ketentuan
Allah ta’ala ini. Tidak seorangpun yang berhak menentukan rizki seseorang
melainkan Zat Yang Maha Memberikan rizki itu sendiri.
Ketahuilah bahwa barangsiapa yang
tamak, yang ingin pemberian orang lain, sudah pasti ia tidak akan dapat
melepaskan diri dari kehinaan dan penyesalan. Andaikata dapat sampai kepada
yang diidam-idamkan misalnya, namun tidak boleh tidak pasti akan mendengarkan
suara penghinaan, pengundat-undatan, serta cemoohan dari orang lain. Adakalanya
dari orang yang memberi itu sendiri dan adakalanya dari kawan-kawan atau
lawan-lawannya yang tidak menyetujui kelakuannya itu.
Alangkah bodohnya orang yang menginginkan
milik orang lain itu, mengapa ia meninggalkan permohonan kepada Allah ta’ala,
hanya dengan harapan yang kosong dan tidak berarti serta dengan maksud yang
salah ? Apa yang diinginkan itu kadang-kadang terkabul, tetapi tidak jarang
pula melesetnya. Jikalau berhasilpun, tidak pula akan dapat memenuhi
kelezatannya yang sebenarnya, sebab disamping kelezatan harus pula merasakan
kepahitannya yakni dicaci-maki dan diperolok-olokkan.
Jadi sama sekali janganlah
mengharapkan apa-apa yang ada di tangan orang dan jangan pula suka dipuji dan
takut dicela. Baik pujian maupun celaan itu sama-sama tidak dapat menambah atau
mengurangi rizki, tidak memperlambat atau mempercepat ajal, tidak menyebabkan
seseorang termasuk ahli surga atau neraka. Jikalau memang ditentukan oleh Allah
ta’ala sebagai penghuni surga, tidaklah pujian dan celaan menyebabkan dirinya
masuk neraka. Jikalau ia disisi Allah ta’ala memang tergolong orang yang
terpuji, maka pujian atau celaan tadi tidak akan menyebabkan Allah ta’ala
membencinya.Pendek kata semua hamba Allah ini ada dalam keadaan lemah, tidak
dapat menyebabkan kemanfaatan atau kemudharatan sedikitpun kepada dirinya
sendiri, apalagi kepada orang lain.
Nah, itulah yang wajib
direnungkan dalam-dalam. Jikalau hal-hal diatas sudah meresap betul-betul dalam
kalbu, afat-afatnya sudah disadari baik-baik, bahaya-bahayanya sudah diteliti
secara sempurna, maka pasti akan lunturlah kegemarannya untuk berbuat ria’. Ia
akan menghadapkan sepenuh hatinya kepada Zat Yang Maha Esa belaka. Ingatlah
bahwa seseorang yang berakal pikiran sehat itu tentu tidak sekali-kali
menginginkan sesuatu yang banyak bahayanya dan yang sedikit kemanfaatannya
apalagi jikalau bahaya amat banyak dan besar sedang kemanfaatannya sama sekali
tidak ada.
Demikianlah salah satu jalan yang
merupakan obat ilmiah untuk menjebol tanaman-tanaman ria’ tadi. Adapun
pengobatan secara amaliah, maka hendaklah sejak ia menginsafi
kesalahan-kesalahannya itu, supaya kembali menyembunyikan segala macam amalan
ibadatnya dan kalau perlu tutup sajalah pintu-pintu rumahnya jikalau hendak
melakukannya, sebagaimana hatinya juga ditutup untuk menerima
keburukan-keburukan yang mungkin datang diwaktu melakukan ibadat tadi. Dengan
demikian, maka jiwanya tidak akan terpengaruh dengan sesuatu selain untuk
mengharapkan keridhaan Allah ta’ala semata-mata. Tidak ada sesuatu pun yang
dituntut dan dicari selain dari itu.
Tindakan
II ; Menolak ria’ yang baru datang di tengah-tengah beribadat.
Tindakan kedua ini pun perlu
sekali dipelajari baik-baik. Sebabnya ialah seseorang yang sudah benar-benar
berusaha menjebol akar-akar dan pokok-pokok tanaman ria’ itu dari kalbunya dan
sudah menghapuskan ketamakan, juga sudah tidak mengindahkan lagi pujian-pujian
makhluk atau pun celaan-celaan mereka, namun demikian kadang-kadang ia tidak
akan dilepaskan begitu saja oleh syaithan diwaktu ia sedang melakukan
ibadatnya. Syaithan tetap berusaha akan memasukkan jarum-jarumnya diwaktu
seseorang itu sedang beribadat yaitu yang berupa benih-benih ria’ yang amat
membahayakan itu.
Apabila suatu ketika disaat ia
beribadat, terlintas dalam hatinya harapan ada orang yang memperhatikannya,
hendaklah hal itu segera ditolaknya jauh-jauh. Hendaklah jiwanya sendiri
mengatakan, “Apa pedulimu padaku, apa peduliku pada orang lain. Biarlah mereka
tahu atau tidak tahu, tetapi Allah tetap Maha Mengetahui apa yang menjadi
rahasia. Apakah gunanya kalau orang lain mengetahui amalanku ini ?”.
Demikian pula jikalau dalam
hatinya timbul keinginan untuk merasakan kelezatan pujian, maka segeralah dalam
hatinya itu diresapkan apa-apa yang menjadi bahaya ria’, sebagaimana yang kami
uraikan dimuka. Hendaklah diingat selalu bagaimana kemurkaan Allah ta’ala
padanya dan betapa besar kerugian yang akan dialaminya diakhirat nanti.
MEMPERLIHATKAN
KETAATAN ATAU PERIBADATAN ;
Ketahuilah bahwa dalam
merahasiakan atau menyembunyikan amalan itu dapat diperolehnya keikhlasan dan
keselamatan dari ria’, sedang memperlihatkan amalan ada pula faedahnya yaitu
dapat diikuti oleh orang lain dan mengajak orang banyak supaya gemar melakukan
sebagaimana yang diamalkannya tadi. Tetapi dengan memperlihatkan amalan itu
dapat mendekatkan kepada bahayanya ria’.
Hasan berkata, “Bahwasanya
merahasiakan amalan itu adalah yang lebih menyelamatkan dari sifat ria’
daripada memperlihatkannya, tetapi yang belakangan inipun adakalanya mengandung
faedah yang besar”.
Oleh sebab itu maka Allah ta’ala
memberikan pujian-Nya tentang kedua macam amalan itu yakni disembunyikan atau
diperlihatkan, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surah Al Baqarah 271 :
اِنْ تُبْدُواالصَّدَقتِ فَنِعِمَاهِيَ.
وَاِنْ تُخْفُوْهَاوَتُؤْتُوْهَاالْفُقَرَآءَ فَهُوَخَيْرٌلَّكُمْ ....
Jikalau kamu semua menampakkan
sedekah-sedekahmu maka itulah yang terbaik. Tetapi jikalau kamu semua
menyembunyikannya dan kamu semua berikan kepada kaum fakir miskin, maka itulah
yang lebih baik lagi untukmu semua.
Adapun perihal menampakkan amal
itu ada dua macam :
Pertama ; Dalam amalannya itu
sendiri.
Kedua ; Dalam mempercakapkan apa
yang diamalkannya.
MEMPERLIHATKAN
AMAL KEBAIKAN ;
Ini adalah bagian pertama dari
cara menampakkan amalan, yakni menunjukkan amalan itu sewaktu melakukannya,
seperti seseorang yang memberikan sedekah dimuka orang banyak dengan tujuan
supaya orang-orang lain itu pun mencontoh kelakuannya. Hal yang sedemikian
tidak ada halangannya, sebagaimana yang diriwayatkan tentang perilaku salah
seorang dari sahabat Anshar yang datang dengan membawa sekampil uang untuk
disedekahkan, lalu banyak orang yang menirunya dengan memberikan sedekahnya
masing-masing, sebab melihat orang Anshar yang berbuat semacam itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda
(diriwayatkan oleh Muslim) :
صَنْ سَنَّ سُنَّةً فَعَمِلَ بِهَا
كَانَ لَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنِ اتَّبَعَهُ
Barangsiapa yang memulai
mengadakan suatu amalan kebaikan, kemudian ia melakukannya, maka baginya adalah
pahala dari amalannya tadi serta pahala dari seluruh orang yang mengikutinya.
Cara sedemikian ini dapat pula
dikiaskan dengan semua amalan kebaikan yang lain-lain, baik berupa shalat,
puasa, haji, ikut berperang dan sebagainya. Tetapi jikalau sekiranya tidak
mungkin ada yang mengikutinya, maka lebih baik lagi dirahasiakan daripada
diperlihatkan. Adapun cara terang-terangan dengan tujuan supaya diikuti dan
kiranya akan ada pula yang mengikuti, maka cara yang sedemikian inilah yang lebih
utama daripada merahasiakannya.
Bahwasanya menampakkan itu adalah
lebih baik dalam hal sebagaimana di atas, dapatlah dilihat dari perintah Allah ‘Azza
wa Jalla kepada para nabi-Nya, yaitu supaya memperlihatkan amalannya agar
ditiru oleh ummatnya.
Juga berdasarkan sabda rasulullah
s.a.w. yang diriwayatkan oleh Muslim :
لَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا
Ia memiliki pahala dari
amalannya sendiri dan pahala dari orang-orang yang melakukan karena mengikuti
amalan itu.
Perlu dimaklumi bahwa seseorang
yang memperlihatkan amalannya itu mempunyai dua macam kewajiban sebagaimana
dibawah ini :
Pertama
; Hendaklah diperlihatkan sekiranya dapat dipastikan bahwa nantinya
tentu akan ada orang yang mengikuti jejaknya itu atau sekurang-kurangnya
menyangka dengan pasti bahwa akan ada yang meniru kelakuannya itu. Sebabnya
ialah tidak jarang terjadi bahwa seseorang itu akan diikuti oleh keluarganya
saja, sekalipun tidak diikuti oleh tetangga-tetangganya, malahan kadang-kadang
ada yang tetangganya itu mengikuti, tetapi kawan-kawan sepergaulannya dalam
pekerjaan atau perdagangan di pasar tidak mengikutinya. Tetapi ada pula yang
diikuti oleh seluruh manusia sedesanya. Adapun seorang ‘ulama yang amat
terkenal dan masyhur, maka tentunya akan menjadi ikutan orang banyak. Maka dari
itu seseorang yang tidak termasuk ‘ulama, jikalau tampak sedikit saja dari
amalannya, kadang-kadang oleh orang lain dianggap sebagai ria’ atau munafik.
Kemudian ia dicela dan bahkan tidak seorangnpun yang mengikuti langkahnya.
Dalam keadaan semacam ini tentunya memperlihatkan amalan tidak ada gunanya sama
sekali. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang boleh memperlihatkan dengan
tujuan supaya diikuti itu ialah orang-orang yang nyata-nyata mempunyai pengaruh
di kalangan masyarakat dan amalannya tadi diperlihatkan kepada orang-orang yang
nyata-nyata merupakan penganutnya serta yang dikiranya dapat mengikuti
kelakuannya.
Kedua
; Hendaklah senantiasa meneliti hatinya sendiri, sebab tidak mustahil
bahwa seseorang itu mengamalkan sesuatu dengan maksud untuk ria’, lalu
kelakuannya itu ditampakkan dengan alasan supaya orang lain mengikuti. Padahal
keinginannya yang utama bukanlah untuk diikuti, tetapi semata-mata ingin
menunjukkan kebaikan amalannya dan menunjukkan bahwa dirinya itu banyak
pengikutnya.
Oleh sebab itu, hendaklah seseorang
itu suka berhati-hati terhadap dirinya sendiri, menjaga benar-benar jangan
sampai ditipu oleh jiwa buruknya sendiri. Memang jiwa yang dikandungnya sendiri
itu amat mudah terpedaya, sedang syaithan selalu mengamat-amati dan mencari
kesempatan untuk menambah rayuannya. Senang untuk dipuji dan cinta pada
kemasyhuran itu sudah merupakan watak jiwa. Jarang sekali amalan-amalan
lahiriah itu selamat dari bahayanya, oleh karenanya maka tidak seyogyanya beralih
dari keselamatan itu kepada bentuk yang lain, seperti kesengsaraan dan
kerusakan. Yang paling dapat menyelamatkan ialah cara menyembunyikan amalan
tadi, sedang menampakkannya amat banyak bahayanya bagi orng-orang yang semacam
kita semua, yakni golongan orang yang ‘awam ini. Maka dari itu berhati-hati dan
menjaga dari bahaya menampakkan amalan hendaklah lebih diutamakan dan lebih
dipegang teguh. Tentu saja diterapkan untuk orang-orang yang setingkat dengan
kita yaitu dari golongan kaum yang lemah hati dan jiwanya ini.
MEMPERCAKAPKAN
AMALAN SETELAH SELESAI ;
Ini adalah bagian kedua dari cara menampakkan amalan yaitu memberitahukan kepada orang lain, baik dengan terang-terangan atau kalimat kiasan tentang apa yang telah dilakukan setelah hal itu selesai.
Adapun hukumnya adalah sebagaimana hukum menampakkan amalan itu sendiri. Tetapi cara kedua ini bahayanya sungguh-sungguh lebih besar dari yang pertama, sebab mengeluarkan ucapan itu sangat mudah dari lidah yang tidak bertulang ini. Tidak mustahil bahwa dalam penguraiannya nanti itu akan diadakan tambahan yang berupa melebih-lebihkan yakni menambah bumbu dan garamnya.
Ingatlah bahwa jiwa manusia itu memang mempunyai kelezatan besar memperlihatkan apa-apa yang diaku-akukan, baik berupa amalan atau lain-lain. Tetapi masih beruntung sekali, bahwa sekalipun didalamnya itu dicampuri oleh sifat ria’ maka keria’annya itu tidaklah membekasi sedikitpun terhadap amalan yang telah dilakukannya, sebab sebagaimana yang telah kita maklumi dimuka, bahwa ria’ itu tidak dapat merusakkan amalan ibadat yang sudah selesai dilakukan dengan sempurnanya. Dari sudut itu, maka cara kedua ini lebih ringan bahayanya.
Namun demikian bagi seseorang yang kuat dan kokoh keimanan ialbunya, sempurna keikhlasannya, tidak mengharapkan sesuatu apapun dari makhluk, semua manusia dianggapnya biasa, tidak membekas dalam hatinya jikalau orang memuji atau mencelanya, lagi pula yang diharapkan ialah supaya orang lain mengikuti langkahnya serta menginginkan agar orang banyak gemar berbuat kebaikan sebagaimana dirinya sendiri, maka dalam keadaan yang sedemikian ini hukum memperlihatkan amalan itu adalah boleh, mubah atau jawaz. Bahkan dapat pula dimasukkan dalam golongan sunnat, jikalau benar-benar bersih niatnya dan pula dapat menghindarkan dirinya dari semua bahaya-bahayanya ria’. Bukankah dengan memperlihatkan itu akan menggerakkan hati-hati orang lain sehingga mereka itupun suka dan gemar melakukan kebaikan seperti yang dilakukannya itu. Menggemarkan yang demikian adalah amat baik sekali.
Sebagaimana keadaan di atas itulah yang dikutip dari kaum salaf yang kokoh keagamaannya.
MENINGGALKAN
KETAATAN KARENA RIA’ ;
Sebagian orang ada yang
meninggalkan amalan dengan dalih karena takut ria’. Hal yang sedemikian ini
amat salah sekali. Ini adalah sesuai dengan ajakan syaithan, menyebabkan
timbulnya kesalahfahaman serta enggan berbuat kebaikan.
Oleh sebab itu selama engkau
masih menemukan suatu pendorong untuk melaksanakan suatu kebaikan dalam agama,
maka janganlah segan-segan melakukannya. Sementara itu usahakanlah dengan
segiat-giatnya dan jangan sampai didekati oleh bahayanya ria’. Tetapkanlah
hatimu untuk terus bersikap malu ke hadirat Allah s.w.t., jikalau dalam hatimu
terlintas suatu keinginan hendak menggantikan pujian Allah ta’ala itu dengan
pujian dan sanjungan yang mungkin engkau peroleh dari sesama makhluk atau
manusia !
Sadarilah baik-baik bahwa Allah
ta’ala senantiasa meneliti jiwa nuranimu. Oleh karena itu jikalau engkau masih
kuasa menambah amalanmu karena malumu kepada Allah ta’ala dan karena takut
sekali pada kemurkaan dan siksa-Nya, hendaklah engkau tambahkan pula amalanmu
yang baik itu.
Mungkin sekali syaithan pengecut
itu akan mengatakan atau membisikkan dalam hatimu bahwa engkau itu seorang yang
berbuat ria’, maka dalam keadaan ini, hendaklah engkau sadari baik-baik bahwa
syaithan itu selamanya suka berdusta dan hendak menipumu dengan ucapannya tadi.
Oleh sebab itu jangan sekali-kali ajakan busukya tadi engkau layani. Barangkali
syaithan itu hendak menyesuaikan ucapannya dengan perasaan yang telah ada dalam
hatimu yaitu engkau enggan berbuat kebaikan dan ketaatan karena takut ria’. Ringkasnya
bujukan syaithan hendaklah engkau singkirkan jauh-jauh. Ingatlah bahwa syaithan
itu senantiasa mencari kesempatan karena engganmu berbuat amalan tadi, juga
karena sangat takutmu serta malumu jikalau sampai berbuat ria’. Perasaanmu itu
olehnya dibelokkan ke jurusan tertentu sehingga engkau benar-benar enggan
melakukan kebaikan itu sama sekali.
Namun demikian , sekiranya
benar-benar tidak ada pendorong keagamaan yang menyebabkan engkau akan berbuat
amalan itu dan agaknya hanya nyata-nyata didorong oleh perasaan ria’ saja, maka
janganlah berbuat amalan itu dahulu sampai nanti perasaan ria’ itu hilang
lenyap sama sekali.
HAL-HAL
YANG PERLU DIKETAHUI DALAM MELAKUKAN KEBAIKAN ;
Ketahuilah bahwa yang paling
utama yang harus diusahakan oleh seseorang yang melakukan ketaatan dan
kebaktian kepada Allah ta’ala ialah supaya hatinya itu tetap bersifat qana’ah
yakni puas bahwa Allah ta’ala sendiri yang mengetahui apa-apa yang dilakukan
olehnya di setiap saat dan waktu.
Sikap puas sebagaimana yang
dimaksudkan di atas itu tentu tidak dapat dirasakan kelezatannya, melainkan
bagi seseorang yang memang tidak ada yang ditakuti kecuali Allah ta’ala, tidak
ada yang dijadikan tempat berharapnya kecuali daripada-Nya dan tidak ada yang
diingini keridhaannya melainkan daripada Zatnya pula. Maka itu seseorng yang
masih ada yang ditakuti selain Allah ta’ala, masih ada yang diharapkan selain
Dia, tentu tetap ada keinginannya agar supaya orang yang ditakuti atau
diharap-harapkan itu akan mengetahui atau setidak-tidknya mendengar
kebaikan-kebaikan yang dilakukan olehnya. Oleh sebab itu, barangsiapa yang
masih berada dalam tingkatan ini, hendaklah hatinya dipaksa sendiri untuk
membenci hal yang sedemikian tadi dan hendaklah dipertimbangkan masak-masak
dengan menggunakan akal dan dasar-dasar keimanan. Perlulah kiranya hatinya itu
memikir-mikirkan betapa besar bahayanya itu, sebab pasti akan memperoleh kemurkaan
Allah ta’ala serta akan lenyaplah pahala amalan yang dilakukannya tadi.
Lebih-lebih diwaktu melakukan ketaatan-ketaatan atau peribadatan-peribadatan
yang besar dan yang menyukarkan, sebab jiwanya itu pasti kurang dapat
mengendalikan nafsunya, sehingga timbul keinginannya akan menyiarkan amalanya
dan loba sekali untuk memperoleh pujian dari orang lain. Oleh karenanya, maka
hendaklah ia menetapkan tujuan kalbunya dan supaya selalu ingat apa yang akan
menjadi balasan dari amalannya yang besar itu dari Allah ta’ala yang berupa
kenikmtan surga yang akan dikenyamnya untuk selama-lamanya di akhirat nanti
Sementara itu haruslah diingat-ingat betapa besar kemurkaan-Nya terhadap orang
yang pada lahirnya menunjukkan ketaatan pada-Nya, tetap mengharapkan pahala
dari yang selain-Nya.
Ketetapan hati sebagaimana di
atas itu hendaklah dipegang teguh sampai pun setelah selesai ia mengerjakan
itu, sehingga dirasanya tidak perlulah lagi ia menampakkan ataupun
memberitahukannya kepada siapa pun jua. Jikalau semua itu telah dilaksanakan
baik-baik, maka seyogyanya lagi hatinya senantiasa merasa takut tentang
diterimanya amalan tersebut, takut kalau-kalau di dalamnya diselundupi oleh
perasaan ria’ sekalipun yang samar-samar saja dan yang mungkin ia sendiri tidak
menyadari hal itu. Dengan demikian ia akan membimbangkan, adakah amalannya itu
akan diterima atau ditolak, sebab semuanya itu adalah merupakan wewenang Allah
semata-mata. Tidak mustahil bahwa Allah ta’ala akan memperhitungkan pula dengan
berdasarkan niatnya yang samar-samar itu, sehingga akan menyebabkan
kemurkaan-Nya serta ditolaknya amalannya sebab adanya benih keria’an tadi.
Kebimbangan semacam ini hendaklah terus ada dalam hatinya dan ketakutannya harus
tetap diresapkan dalam kalbunya, baik selama ia melakukan amalannya atau pun
sesudahnya.
Adapun diwaktu memulai melakukan
amalan ketaatan, maka hendaklah hatinya meyakinkah bahwa ia betul-betul akan
mengerjakannya dengan keikhlasan hati, tidak menujukkan amalannya tadi kecuali
kepada Allah s.w.t. Dengan demikian maka sahnya amalan, juga ketakutannya
terhadap apa yang dibimbangkan tadi nyata-nyata dapat menutupi bahaya keria’an,
yang barangkali telah menjelma lebih dulu, sedang ia dalam keadaan lalai disaat
itu.
Selanjutnya seseorang yang
mendekatkan dirinya pada Alah ta’ala dengan jalan mengusahakan apa saja yang
menjadi kebutuhan orang banyak, seperti orang yang memberikan ilmu pengetahuan
kepada para murid, maka seyogyanya hendaklah menetapkan hatinya agar
semata-mata mengharapkan pahala dari Allah ta’ala belaka. Pahala yang
diharapkan itu ialah :
A. Dengan sebab memberikan
kegembiraan pada hati orang yang dicukupi kebutuhannya.
B. Dengan sebab adanya harapan bahwa yang diberi pelajaran itu akan
mengamalkan sesuai dengan ilmu yang diperolehnya.
Dua hal ini sajalah yang
merupakan harapannya, jadi bukan karena ingin pujian, ingin balasan, ingin
bayaran dan sanjungan dari sesama manusia. Tidak pula menginginkan hadiah dan
pemberian, baik dari murid itu sendiri atau siapa pun yang akan memberikan
kenikmatan sebagai balasan jasanya tadi, sebab yang sedemikian ini dapat
melebur pahala amalannya itu.
Baiklah disadari apabila hatinya
sudah merasa puas dengan menerima sesuatu penghormatan dari murid-muridnya,
mendapatkan pertolongan dalam pekerjaan, pelayanan, sebagai pengikut diwaktu
berjualan dan sebagainya, lalu merasa bangga dengan adanya orang yang merupakan
pengawalnya itu atau bangga sebab banyaknya orang yang bolak-balik meminta
pertolongan padanya, maka jelaslah bahwa ia tidak akan memperoleh pahala lagi
dari Allah ta’ala, sebab pahalanya sudah diperoleh dari orang lain itu dan
hatinya sudah puas dengan pahala yang diterima di dunia.
Namun demikian perlu diketahui
pula perbedaannya dengan yang dibawah ini. Apabila penghormatan yang diberikan
oleh murid-muridnya tadi tidak mempengaruhi sama sekali dalam jiwanya, sedang
yang diharapkannya tiada lain kecuali pahala dari Allah ta’ala dan bahwa ia
memberikan ilmu pengetahuannya dengan maksud supaya memperoleh pahala lagi dari
amalan murid yang meniru kelakuannya, lagi pula bahwa murid itu sendirilah yang
berhasrat melayani dan menolong pekerjaannya lalu pelayanan serta
pertolongannya itu diterima dengan baik, maka tentulah tidak akan dilebur
pahalanya oleh Allah ta’ala, sekiranya bukan ini yang menghendaki demikian itu
dan tidak pula ingin menganggap murid tadi sebagai hambanya, juga tidak
membeda-bedakan sikapnya terhadap murid yang tidak melakukan sebagaimana yang
dilakukan oleh kawannya tadi.
Sekalipun pada dasarnya guru itu
tidak mengharapkan sesuatupun dari muridnya, tetapi murid yang belajar itu
sendiri hendaklah mengetahui dan menginsafi baik-baik hal-hal di bawah ini
a. Hatinya tetap memberikan
pujian semata-mata kepada Allah ta’ala.
b. Hendaknya ia belajar itu semata-mata karena Allah ta’ala pula dan
tidak ada maksud lain yang tersembunyi dalam dadanya.
c. Hendaklah ia beribadah
semata-mata kepada-Nya.
d. Hendaklah pula ia berkhidmad kepada gurunya, juga semata-mata
karena mengharapkan akan memperoleh keridhaan Allah ta’ala. Berkhidmad ini,
mempunyai pengertian yang luas.
e.Jangan berbuat khidmad itu karena mengharapkan agar gurunya menaruh
hati atau mengharapkan pujian daripadanya dan jangan pula karena mengharapkan
sesuatu dari sesama makhluk.
f. Hendaklah diingat-ingat benar bahwa seluruh hamba Allah diperintah
agar supaya tidak menyembah selain daripada-Nya dan janganlah dengan ketaatan
itu mengharapkan selain daripada keridhaan-Nya.
Tidak berbeda pula halnya dengan
seseorang yang berkhidmad kepada kedua orangtuanya. Jangan sekali-kali dimaksudkan
agar kedua orangtuanya itu menaruh hati padanya. Sebaliknya hendaklah diingat
bahwa keridhaan Allah ta’ala itu semata-mata terletak pada keridhaan
orang-orang tua itu. Jadi jangan sekali-kali berbuat ria’ dengan sikap taatnya
tadi, sebab jikalau ini dilakukan, maka jelaslah bahwa itu sebagai suatu
kemaksiatan yang dilakukan seketika itu juga dan nanti Allah pasti akan
memperlihatkan keria’annya tadi. Jika ini telah terjadi, pastilah hati orang-orang
tuanya itu tidak lagi menghargai ketaatannya dan jatuhlah dirinya dihadapan
orang-orang tuanya tadi.
Oleh sebab itu hendaklah dicegah
sejauh-jauhnya hati yang hendak berbuat keria’an itu dimana saja adanya dan
bagaimanapun juga sebab dan keadaannya.
ORANG
YANG MELAKUKAN ‘UZLAT (MENYENDIRI) ;
Ber’uzlat artinya menyendiri dan
tidak mempergauli orang banyak. Orang yang melakukan amalan sedemikian ini
seyogyanya juga menetapkan hatinya untuk selalu berzikir kepada Allah ta’ala,
merasa puas bahwa Allah sajalah yang Maha Mengetahui hal-ihwal keadaannya. Maka
jangan sekali-kali berharap bahwa kelakuannya itu akan dilihat dan diketahui
orang lain, baik tentang kezuhudannya dan lain-lain. Jangan pula mengharapkan
bahwa orang-orang itu akan mengagungkan kedudukannya, sebab semua yang tersebut
di atas itu dapat menanamkan perasaan ria’ dalam hati nuraninya yang suci.
Janganlah kelakuan ‘uzlatnya akan dirasakan ringan dan lezat dengan sebab
adanya benih ria’ yang tertanam dalam kalbunya. Ringkasnya jangan ketenangan
itu karena orang-orang telah mengetahui ‘uzlatnya dan dianggap bahwa mereka
sangat mengagungkan kedudukannya karena amalan yang dilakukannya, sedangkan ia
sendiri tidak dapat menyadari bahwa hal-hal yang demikian itulah yang
meringankan ia mengamalkan kelakuannya. Memanglah bahwa perasaan hati yang
cinta pada kemuliaan dan kebesaran itulah yang biasanya dapat menimbulkan
kegemaran untuk berkhulwat atau mengasingkan diri. Oleh sebab ituseyogyanya
hatinya sendiri hendaklah dijaga dan ditakut-takuti dari timbulnya perasaan
semacam itu.
Sebagai alamat dan tanda adanya
keikhlasan hati ialah supaya dirasakan sendiri, apakah jikalau diketahui oleh
manusia dan jikalau diketahui oleh binatang itu timbul perasaan yang berlainan.
Maksudnya ialah jikalau dilihat manusia, maka timbul kegembiraannya, sedang
jikalau binatang yang melihatnya maka perasaan hatinya biasa saja dan tidak ada
kegembiraannya sama sekali. Jikalau perbedaan ini ada, teranglah bahwa hatinya
belum selamat dan belum terhindar sama sekali dari sifat keria’an.
Periksalah pula, bagaimanakah
sekiranya orang-orang lain itu berubah keyakinan mereka tentang dirinya, apakah
ia tidak menyesal, tidak menyempitkan dadanya, atau apakah hatinya tetap biasa
saja dan tidak ada perasaan benci, sekalipun hanya sedikit. Jikalau ada
perasaan yang tidak enak itu dalam kalbunya, maka itulah tandanya masih
bercokolnya keria’an dalam dadanya, maka disaat itu hendaklah ditolak dan
diusirnya jauh-jauh dengan menggunakan akal fikirannya yang bersih dan sehat
serta mendasarkan itu dengan keimanan yang dimiliki.
Salah satu tanda keikhlasan lagi
ialah apabila seseorang itu sedang beribadat, kemudian ada orang yang
melihatnya, maka tidaklah hal itu akan menambahkan kekhusyu’annya dan tidaklah
pula hatinya menjadi gembira sebab diketahui orang tadi.
Suatu tanda yang dapat
menunjukkan kebenaran dan kejujuran hati ialah apabila seseorang mempunyai dua orang
sahabat, misalnya yang seorang kaya dan seorang lagi miskin. Ia menyambut
kedatangan kedua orang itu dengan cara yang sama, maka tidaklah penghormatannya
kepada yang kaya itu akan lebih baik atau ditambah-tambahkan dari penghormatan
yang diberikan kepada yang miskin. Jadi dalam hatinya kedudukan kedua orang itu
sama belaka. Kepada yang kaya hatinya tidak lebih tergerak untuk memberikan
penghormatannya melebihi dari yang miskin. Ini tentu saja terkecuali, jikalau
orang yang kaya itu mempunyai kelebihan ilmu pengetahuan dari yang miskin dan
memiliki kelebihan dalam kewara’an. Jadi dalam keadaan sedemikian, tidaklah
lebih menghormatnya itu karena kekayaannya, tetapi hanyalah karena ke’aliman
serta kewara’annya. Sebaliknya jikalau yang miskin itu justru yang ‘alim dan
wara’, tentulah penghormatan yang diberikan padanya akan lebih besar dari yang
kaya yang tidak ‘alim dan tidak wara’.
Seseorang yang merasa lebih
menghormat, lebih tertarik hatinya kepada orang kaya, lebih menghargai jikalau
melihat orang hartawan, maka sikap sedemikian ini jelaslah sebagai suatu
kekeliruan yang besar dan ia adalah seorang yang mempunyai ria’ serta sangat
tamak.
Tentang tipu daya hawa nafsu
syaithaniah dalam rahasia-rahasia yang pelik mengenai persoalan ria’ ini
sungguh-sungguh tidak dapat dibatasi, karena memang amat banyak sekali macam
ragamnya. Segala-galanya itu tidak akan dapat menyelamatkan dirimu, melainkan
jikalau dari hatimu sudah engkau enyahkan sama sekali semua perasaan yang
tertuju selain kepada Allah ta’ala sendiri. Baik diwaktu seorang diri ataupun
diwaktu ada di hadapan khalayak ramai, hendaklah engkau menaruh belas kasihan
pada dirimu sendiri, terutama dalam usiamu yang merupakan sisa dari kehidupanmu
di dunia ini. Janganlah sekali-kali engkau rela jikalau tubuhmu itu akan
menjadi mangsa dari api neraka dengan sebab keinginan-keinginan dan
kesyahwatan-kesyahwatanmu yang terpendam dalam hati dalam hari-hari yang sangat
dekat dengan masa menghadapmu ke hadirat Allah s..w.t.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar