السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Kamis, 01 Desember 2016

Tausiah ke-7 (Ria'/Pamer)

Ria’/pamer ialah mencari kemasyhuran dan kedudukan dengan beribadat. Ri’a ini haram hukumnya. Orang yang melakukannya amat dibenci dan dimurkai Allah ta’ala. Untuk jelasnya, baik pulalah diketengahkan berbagai ayat dan hadits dalam persoalan ini
:
Surah Al Ma’un 4-6 :
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ.الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ.الَّذِيْنَ هُمْ يُرَآءُوْنَ
Maka celakalah orang-orang yang bersembahyang, yang lalai dari shalatnya serta yang berhati ria’ (pamer) dengan itu.

Surah Fathir 10 :
...وَالَّذِيْنَ يَمْكُرُوْنَ السَّيِّااتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَكْرُاُولئِكَ هُوَيَبُوْرُ
Orang-orang yang merencanakan kejahatan-kejahatan, mereka itulah yang akan mendapatkan siksa yang keras sekali dan rencana busuk mereka itu pasti gagal.

Dalam menafsiri ayat di atas, Mujahid berkata, “Orang-orang yang berbuat semacam di atas itu ialah golongan orang yang ria’ (memamerkan amalan ibadatnya) untuk memperoleh pujian dan kemasyhuran”.

Surah Al Insan 9 :
اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَنُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَآءً وَلاَشُكُوْرًا
Bahwasanya kita memberi makan kepadamu semua itu semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, kita tidak menginginkan balasan dari kamu semua dan tidak pula mengharapkan ucapan terima kasih.

Dalam ayat di atas dipujilah oleh Allah ta’ala golongan orang yang berhati ikhlas karena melenyapkan segala sesuatu yang dimaksudkan untuk selain keridhaan Allah belaka.

Surah Al Kahf 110 :
...فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهِى فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَّلاَيُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِى اَحَدًا
Maka barangsiapa mengharapkan bertemu dengan Tuhannya, hendaklah mengerjakan amalan yang shalih dan jangan menyekutukan sesuatu dengan beribadat kepada Tuhannya itu.

Ayat ini diturunkan sebagai penjelasan bagi orang-orang yang hanya mengharapkan pahala dan pujian dengan ibadat-ibadat dan amalan-amalannya.

Hadits riwayat Malik, Muslim dan Ibnu Majah :
يَقُوْلُ الله ُعَزَّوَجَلَّ : مَنْ عَمِلَ لِيْ عَمَلاً اَشْرَكَ فِيْهِ غَيْرِيْ فَهُوَلَهُو كُلُّهُو,وَاَنَا بَرِيْءٌ وَاَنَا اَغْنَى اْلاَغْنِيَاءِ عَنِ الشِّرْكِ
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (dalam hadits qudsi), “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang diarahkan sebagai menyekutukan zat-Ku dengan selain-Ku, maka semua amalannya adalah untuk apa yang dijadikan sekutu-Ku tadi, sedang Aku lepas sama sekali daripadanya. Aku adalah sekaya-kayanya orang kaya dari perbuatan syirik itu (yakni Aku paling tidak membutuhkan sekutu itu)”.

Hadits riwayat Ahmad dan Baihaqi :
اِنَّ اَخَوْفَ مَااَخَافَ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ. قَالُوا: وَمَاالشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: اَلرِّيَاءُ. يَقُولُ الله ُعَزَّوَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اِذَاجَازَالْعِبَادُبِاَعْمَالِهِمْ. اِذْهَبُوْا اِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُوْنَ فِى الدُّنْيَا. فَانْظُرُوْاهَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمُ الْجَزَاءَ
“Sesungguhnya yang amat kutakuti dari segala hal yang kutakuti atasmu semua itu ialah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah ?”. Beliau s.a.w. menjawab, “Yaitu ria’ (pamer)”.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, yaitu diwaktu sekalian hamba melihat hasil-hasil amalannya, “Pergilah kamu semua kepada apa yang kamu jadikan bahan pamer (ria’) di dunia. Lihatlah apakah kamu semua memperoleh balasan dari mereka itu ?”.

Hadits riwayat Thabrani dan Hakim :
Sesungguhnya serendah-rendahnya ria’ adalah merupakan syirik.                                    اِنَّ اَدْنَى الرِّيَاءِ شِرْكٌ

Hadits Bukhari dan Muslim :
اِنَّ فِى ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لاَظِلَّ اِلاَّ ظِلُّهُ , رَجُلاً تَصَدَّقَ بِيَمِيْنِهِ فَكَانَ يُخْفِيْهَاعَنْ شِمَالِهِ
Sesungguhnya dibawah naungan ‘arsy, dimana tidak ada naungan disitu selain naungan Allah, ada seseorang (dikala hidupnya) bersedekah dengan tangan kanannya lalu disembunyikannya, sehingga tidak diketahui oleh tangan kirinya.

Oleh sebab itu ada ucapan dari sebagian ‘alim ‘ulama, bahwa keutamaan amal perbuatan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan rahasia itu lebih baik daripada amal perbuatan secara terang-terangan dengan tujuhpuluh lipat pahalanya.

Diriwayatkan bahwa al masih nabiullah ‘Isa a.s. bersabda, “Jikalau seseorang dari kamu semua berpuasa, hendaklah meminyaki rambutnya, juga janggutnya serta mengusap kedua bibirnya, supaya tidak seorang pun ada yang mengetahui bahwa ia berpuasa. Juga jikalau memberi, hendaklah disembunyikan tangan kanannya itu agar jangan dilihat oleh tangan kirinya dan apabila bersembahyang, hendaklah menutupkan pintunya”.

Adapun keterangan-keterangan dari atsar, diantaranya ialah yang diriwayatkan bahwa Umar r.a. pada suatu hari melihat seseorang yang menundukkan kepalanya. Beliau r.a. lalu berkata kepada orang tadi, “Hai pemilik kepala, jangan tundukkan saja kepalamu itu, angkatlah ke atas. Bukannya kekhusyu’an itu terletak di kepala, tetapi yang sebenarnya kekhusyu’an itu ada di dalam hati”.

Abu Umamah Albahili pernah melihat seseorang yang menangis diwaktu sujudnya di dalam masjid, lalu berkata, “Apakah yang engkau lakukan itu, jikalau di rumahmu sendiri, tentulah tidak mengapa”.

Dhahhak berkata, “Janganlah seseorang dari kamu mengatakan : Ini untuk Allah dan untukmu. Jangan pula berkata :Ini untuk Allah dan untuk keluarga, sebab Allah itu tidak mempunyai sekutu sama sekali”.

HAKIKAT RIA’ DAN HAL-HAL YANG DAPAT DIJADIKAN RIA’ ;

Ketahuilah bahwa perkataan ria’ itu berasal dari kata rukyat yang artinya melihat. Asal pokoknya ialah mencari kedudukan atau kemasyhuran agar hati orang-orang banyak terpengaruh  lalu memujinya sebab telah melihat banyaknya kebaikan yang ada dalam dirinya.

Adapun yang dapat dijadikan sebagai bahan berbuat ria’ itu banyak sekali, tetapi dapat dihimpunkan dalam lima perkara yakni yang merupakan kumpulan hiasan yang biasanya dipertontonkan oleh seseorang kepada masyarakat yaitu tubuh, pakaian, ucapan, perbuatan dan pengikut. Ada pula yang menggunakan hal-hal yang selain diatas itu. Yang terjahat diantara semua adalah berbuat keria’an dengan berkedok agama.

Adapun ria’ dalam agama dengan tubuh ialah seperti menunjukkan kekurusan dan kekeringan tubuhnya serta warna kulit yang kekuning-kuningan dengan maksud agar dengan berlaku demikian, maka orang-orang akan menyangka bahwa ia adalah orang yang sangat giat beribadat, sangat susah dan prihatin memikirkan agamanya sebab takut dikalahkan oleh keduniaan, juga supaya disangka bahwa ia sangat besar ketakutannya pada siksa akhirat. Selain itu juga seperti tidak merawat rambutnya baik-baik agar dikira bahwa ia sangat mendalam perhatiannya kepada soal-soal keagamaan sehingga tidak ada kesempatan sama sekali untuk menyisir rambutnya itu. Lagipula seperti memperlahankan suara ketika bercakap-cakap dan senanatiasa memejamkan mata untuk menunjukkan bahwa ia selalu kekal melakukan puasa, besar semangatnya dalam melaksakan ibadatnya, lemah tubuhnya dan seolah-olah hilang kekuatannya sebab terus-menerus lapar dan perbuatan yang lain-lain lagi.

Oleh sebab ditakutkan timbulnya hal-hal sebagaimana di atas itu, maka nabiullah ‘Isa Al Masih a.s. bersabda, “Jikalau seseorang dari kamu sekalian berpuasa, maka hendaklah meminyaki rambutnya, menyisir rambutnya dan menghitamkan kedua matanya”. Ini maksudnya tidak lain hanyalah karena sangat dikhawatirkan terseret oleh godaan syaithan dengan sebab timbulnya sifat ria’.

Selanjutnya ria’ dengan keadaan badan dan pakaian, misalnya ialah membiarkan rambut tidak karuan-karuan lagi letaknya, mencukur kumis atau selalu menundukkan kepala diwaktu berjalan, duduk dan sebagainya, juga seperti lambat bergeraknya , membiarkan bekas sujud yang ad di dahi, suka mengenakan pakaian yang kasar-kasar, juga berpakaian bulu dan memotongnya sampai dekat di betis kaki, memendekkan ujung lengan baju dan lainnya. Itu semua adalah hal-hal yang dapat digunakan sebagai ria’, maksudnya ialah supaya tampak dimata khalayak ramai bahwa ia adalah pengikut sunnah yang setia dan meniru apa yang dilakukan oleh shalihin.

Lain lagi seperti mengenakan baju tambalan, bersembahyang dengan menggunakan sajadah, mengenakan pakaian serba biru karena hendak mencontoh kaum sufi, padahal dirinya itu sebenarnya kosong sama sekali dari hakikat tasawuf dalam batinnya. Semacam itu pula ialah berkerudung di atas sorban, melemberehkan selendangmenutupi kedua mata serta berjubah yang biasa dikenakan oleh para cerdik cendikiawan atau para ‘alim ‘ulama, padahal ia bukan sekali-kali golongan orang berilmu itu. Maksudnya tentulah supaya ia dianggap sebagai orang yang pandai dan cerdik.

Para ahli ria’ dengan menggunakan pakaian itu tentulah bertingkat-tingkat dan berbeda-beda, setiap golongan hendak memperlihatkan dirinya dalam kedudukan yang digemari, maka yang digunakan adalah pakaian yang terkhusus pula untuk golongan yang diinginkan itu. Ia tentunya berat untuk berpindah kepada tingkatan yang dibawahnya atau yang ada di atasnya, sekalipun yang sedemikian itu boleh saja. Tetapi baginya adalah merupakan tempat dan kedudukan yang sudah tertentu, sehingga ia takut jikalau berpindah dan meninggalkan cara yang dibiasakannya itu, lalu orang-orang akan mengatakan bahwa kezuhudannya sudah luntur dan kini meninggalkan tharikat itu dan kembali cinta kepada keduniaan lagi.

Seterusnya bagaimana ria’ dengan ucapan itu ? Yaitu ria’nya ahli agama dengan jalan suka sekali memberi nasehat, peringatan, mengucapkan kata-kata hikmat, menghafalkan hadits-hadits dan atsar dengan tujuan supaya dianggap oleh orang lain bahwa ia sangat memperhatikan kepada hal-ihwal kaum shalihin. Misalnya lagi ialah dengan selalu menggerak-gerakkan bibirnya dengan berzikir dihadapan orang banyak, beramar ma’ruf dan bernahi munkar di muka khalayak ramai, menunjukkan kemarahan pada kemungkaran, memperlihatkan kesedihan dan penyesalan sebab banyak orang yang melakukan kemaksiatan, melemahkan suara di waktu berkata-kata, bercepat-cepat mengatakan bahwa hadits itu shahih dan ini tidak shahih, dha’if dan sebagainya dengan maksud hendak menonjolkan kepandaiannya dalam ilmu hadits itu dan lagi seperti gemar berbantah dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan bicaranya, sehingga orang-orang banyak akan mengatakan bahwa ia sangat luar biasa ilmu pengetahuan dan kepintaran berdebatnya.

Kemudian bagaimanakah ria’ dengan amalan ? Yaitu seperti ria’ dengan menunjukkan lamanya berdiri diwaktu bersembahyang, panjang sujud dan ruku’nya, menundukkan kepala dan tidak menoleh-noleh. Tetapi yang semuanya itu ditujukan untuk berpamer belaka.

Akhirnya ialah ria’ dengan menunjukkan banyak pengikutnya. Misalnya ialah mengatakan bahwa banyak sekali sahabatnya, banyak tamunya, banyak kawan-kawan hubungannya, tidak sempat keluar karena urusannya dengan sahabat-sahabat itu tidak kunjung selesai dan lain-lain. Lagipula seperti seseorang yang memaksa-maksakan supaya dikunjungi oleh seorang ulama yang terkemuka, supaya ramailah suara diluar bahwa si ‘ulama Anu itu berziarah kepada si Anu atau si wali Anu berziarah kepada si Anu. Maksudnya agar supaya dikatakan bahwa para ahli agama itupun sama mengharapkan keberkahan dengan kunjungannya kepada orang tadi dan oleh sebab itu merreka berbolak-balik mendatangi kediamannya. Juga seperti orang yang ria’ bahwa si Kepala Daerah Anu itu telah berkunjung di tempat si Anu dengan tujuan supaya ia dianggap orang keramat dan perlu dimintai berkahnya. Selain itu seperti orang yang menyebutkan bahwa banyak guru-guru, oramg-orang besar dan para peninjau dari negeri lain yang mengunjunginya, supaya dapat dibanggakan dihadapan musuh atau saingannya.

Semuanya itu adalah kumpulan-kumpulan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk berpamer. Maksud daripada melakukan hal-hal itu adalah tidak lain kecuali guna mengharapkan datangnya kemasyhuran dan simpati orang banyak pada dirinya, sebab ia sendiri meyakinkan bahwa apa yang dimiliki itu adalah semacam kekuasaan dan kesempurnaan keadaan, sekalipun sebenarnya akan lenyap dengan segera. Dalam keadaan seperti ini tidak akan tertipu oleh perasaannya sendiri, melainkan orang-orang yang bodoh. Tetapi sebagian banyak manusia itu memang masih bodoh dan belum mengerti akan hal itu.

Sebagian ahli ria’ itu adapula yang tidak dapat puas dengan kedudukan dan kemasyhuran yang sudah didapatnya, tetapi ia menginginkan yang lebih dari itu lagi. Ia ingin sekali selalu memperoleh pujian dan sanjungan, adalagi diantara mereka yang ingin disiar-siarkan keistimewaan pribadinya itu dimana-mana, bahkan ada yang ingin menunjukkan kerapatan pergaulannya dengan para pembesar negeri agar dapat dipermudahkan jikalau ia menghendaki sesuatu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Jadi ia dapat memberikan jasa pada orang banyak yang tentunya dilakukannya dengan pamer dan mengharapkan pujian. Malahan adapula yang tidak segan-segan mengeluarkan harta bendanya guna memperoleh idam-idaman yang akan diria’kan itu, sekalipun yang ditempuhnya adalah merupakan jalan yang haram semua dan harta yang dikeluarkan itu pun diperolehnya dari keharaman pula.

Para ahli ria’ sebagaimana di atas itulah seburuk-buruknya orang yang suka berpamer. Itulah tingkat yang sehina-hinanya.

HUKUM RIA’ ;

Ketahuilah bahwa ria’ itu adakalanya yang ada hubungannya dengan soal-soal ibadat dan adakalanya lepas dari soal-soal ibadat itu.

Adapun ria’ dengan yang bukan merupakan soal-soal ibadat, maka kadang-kadang hukumnya boleh saja seperti meratakan sorban atau rambut, membaguskan pakaian supaya tidak dilihat dengan mata sebelah oleh orang-orang lain dan untuk menjaga diri daripada dianggap hina dan kotor, lagipula untuk memperoleh kesenangan di kalangan kawan-kawan sepergaulan. Malahan hal ini dapat merupakan ketaatan yang disunnahkan, misalnya seseorang yang banyak pengikutnya dan melakukan sebagaimana di atas tadi dengan tujuan supaya pengikut-pengikutnya itu gemar pula melakukannya dan hati mereka supaya senang mengikuti perbuatannya. Sebaliknya ada yang tercela dan diharamkan yaitu jikalau hal itu dilakukan sehingga menyebabkan timbulnya apa-apa yang tidak dibolehkan atau membawa kepada perkara-perkara yang terlarang.

Ringkasnya ialah bahwa hukum ria’ mengenai hal-hal yang bukan termasuk soal-soal ibadat itu mengikuti saja kepada tujuan yang diarahkan untuknya. Oleh sebab itu dapat menjadi mubah, sunnah dan haram.

Adapun ria’ dengan hal-hal yang merupakan peribadatan, seperti sedekah, shalat, puasa, berperang, haji dan sebagainya, maka orang yang melakukan ria’ itu terhapuslah pahala ibadatnya. Ia melakukan kemaksiatan dan berdosa. Dalam pengertiannya terdapatlah dua perkara utama, yaitu ;

Pertama ; Yang berhubungan dengan sesama manusia. Makna dan pengertian ria’ disini ialah jelas sebagai pengelabuan dan penipuan serta tipu daya yang tidak dibenarkan, sebab orang-orang itu akan menyangka bahwa orang yang ria’ itu benar-benar ikhlas dalam ibadatnya, benar-benar taat kepada Allah, benar-benar termasuk golongan ahli agama yang patuh, padahal sebenarnya tidak demikian.

Kedua ; Yang berhubungan dengan Allah ta’ala yaitu bahwa orang yang ria’, apabila dalam beribadat kepada Allah itu dalam hatinya terkandung maksud untuk mendapatkan sesuatu dari sesama makhluk Allah, maka berartilah ia sebagai seorang yang mengejek Tuhannya karena amalannya tidak benar-benar ditujukan karena-Nya. Ini telah sama kita maklumi dari uraian dimuka.

Tetapi untuk jelasnya baiklah kami buatkan suatu perumpamaan. Misalnya ada seorang yang sehari penuh menghadap di hadirat seorang raja, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para hamba raja. Hanya saja ia berada disitu bukan semata-mata karena ikhlas dan kecintaannya pada raja tadi, tetapi sebab gembira melihat beberapa jariah (sahaya wanita) atau ghulam (sahaya lelaki) yang selalu berkeliaran melayani raja tadi. Bukankah ini merupakan cemoohan dan ejekan yang nyata-nyata ditujukan pada raja itu, sebab tujuan utamanya bukanlah hendak berkhidmat padanya, tetapi hanya menginginkan seseorang dari hamba sahayanya saja. Oleh sebab itu, ejekan manakah yang kiranya lebih besar lagi daripada perbuatan seseorang yang tampaknya menyembah kepada Allah ta’ala padahal amalannya itu hanya hendak dijadikan sebagai bahan ria’ kepada sesama hamba Allah yakni sesama manusia yang lemah, yang tidak dapat memberikan kemudharatan ataupun kemanfaatan kepada siapa pun. Bukankah dengan perbuatan semacam itu sama halnya dengan mempunyai sangkaan bahwa ada manusia yang lebih kuasa menghasilkan keperluan-keperluan atau kebutuhan-kebutuhannya melebihi dari kekuasaan Allah ta’ala sendiri ? Mengapakah ia lebih mengutamakan orang yang lemah itu daripadaTuhan yang merajai sekalian raja, sehingga orang tersebut dijadikan sebagai tujuan ibadatnya ? Manakah ejekan yang lebih hebat lagi daripada seseorang yang lebih meninggikan derajad hamba melebihi derajad tuannya ? Maka dari itu, tepatlah jikalau dikatakan bahwa ria’ itu adalah termasuk sebesar-besarnya hal yang dapat merusakkan jiwa dan akhlak. Oleh karena itu pula rasulullah s.a.w. menamakannya sebagai syirik kecil.

Andaikata tanpa ria’, tetapi hanya bersujud dan berruku’ kepada selain Allah ta’ala, tentunya itu sudah cukup, sekalipun ia tidak bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, teranglah bahwa yang dituju adalah selain Allah. Dengan ini saja sudah jelas adanya syirik yang samar atau syirik khafi.

Menilik keterangan-keterangan dimuka, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa orang yang melakukan ria’ sebagaimana di atas itu teranglah menunjukkan kebodohan dirinya dan pasti tidak akan berani melakukan hal itu, kecuali orang yang mengikuti ajakan dan tipuan syaithan yang terlaknat. Orang yang sedemikian tentu mengira bahwa ada manusia yang dapat memberikan kemaslahatan pada dirinya lebih daripada apa yang dapat dilakukan oleh Allah ta’ala sendiri. Padahal yang sebenarnya ialah bahwa manusia itu semuanya lemah untuk memperoleh kebutuhannya, lemah untuk memberikan kemanfaatan kepada dirinya sendiri, tidak dapat melakukan kemaslahatan atau kemudharatan sama sekali pada badannya sendiri. Konon pula kepada orang lain. Ini adalah suatu kenyataan yang dapat kita saksikan sendiri semasih kita di dunia. Bagaimana pula halnya nanti manusia-manusia yang semacam itu di akhirat nanti, yaitu pada hari yang setiap orang hanya sibuk mengurus urusan dirinya sendiri, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala dalam surah Luqman 33 :
... لاَّيَجْزِيْ وَالِدٌعَنْ وَّلَدِهِى , وَلاَمَوْلُوْدٌ هُوَجَازٍ عَنْ وَّالِدِهِى شَيْأَ ...
Ayah tidak akan dapat menolong anaknya dan anak tidak dapat menolong ayahnya sedikitpun.

Jangankan manusia biasa, sedang para nabiullah juga berkata, “Nafsi, nafsi yakni diriku sendiri, diriku sendiri”.

Maka bagaimanakah seorang yang bodoh suka menggantikan pahala akhiratnya hanya dengan harapan ketamakannya yang kosong di dunia ini yakni dipertontonkan untuk berlagak ria’ dan pamer itu saja. Jadi rasanya sudah tidak dapat diingkari lagi bahwa seseorang yang berbuat ria’ dengan berpura-pura taat kepada Allah itu sebenarnya adalah yang sangat dimurkai dan dibenci oleh Allah ta’ala sendiri.

TINGKATAN RIA’ ;

Pertama ; Ketahuilah bahwa seberat-berat tingkatan ria’ adalah berpamer dengan pokok keimanan. Orang yang berbuat sedemikian ini pasti akan menetap kekal selama-lamanya di dalam neraka.

Siapakah orang yang sedemikian itu ? Yaitu orang yang lisannya mengucapkan dua kalimat syahadat, menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah pesuruh Allah, tetapi hatinya sangat mendustakan apa yang diucapkannya sendiri. Inilah bentuk kemunafikan yang banyak disebutkan dalam kitab suci Al Quran di berbagai tempat. Tidakkah pada zaman kita sekarang ini masih banyak orang yang seperti ini ?

Termasuk dalam golongan ini ialah orang yang membantah adanya surga dan neraka serta alam akhirat ataupun mengi’tikadkan sempitnya bidang syari’at agama dan hukum-hukum Islam, karena mencondongkan diri kepada orang-orang yang suka meringankan hukum agama itu, atau seperti orang yang meyakinkan kekufuran, tetapi ia menunjukkan hal yang berlawanan dengan itu. Maka sekalipun orang-orang tersebut mengaku masuk agama Islam dan membunyikan dua kalimat syahadat, tetaplah ia digolongkan dalam kelompok orang-orang munafik yang suka berbuat ria’ dan termasuk golongan orang-orang yang kekal menetap dalam neraka. Inilah golongn ahli ria’ yang terberat tingkatannya.

Kedua ; Termasuk ria’ dalam golongan kedua ini dan tingkatannya jauh di bawah golongan pertama, yaitu orang yang menghadiri jama’ah Jum’at atau shalat-shalat lain dengan sebab takut ejekan, atau cacian orang lain. Jadi andaikata tidak takut dicaci, pasti tidak akan menghadirinya. Juga seperti orang yang berbakti kepada orangtua atau mengeratkan hubungan dengan kerabatnya yang dilakukan bukan karena timbul dari kehendaknya yang suci, tetapi semata-mata karena takut celaan orang. Demikian pula orang yang menunaikan zakat atau ibadat haji yang dilakukan karena takut dicemoohkan orang, bukan karena takut kepada siksa Allah ta’ala jikalau tidak mengerjakannya. Semua itu adalah menunjukkan kebodohan yang amat sangat dan pelakunya itu tidak ayal lagi pasti akan memperoleh kemurkaan Allah ta’ala.

Ketiga ; Ada pula orang-orang yang berbuat ria’ dengan melakukan shalat-shalat sunnat dan jikalau diwaktu sendirian atau di tempat-tempat sunyi yang tidak ada orang lain, ia amat malas sekali melakukannya, sebab tidak ada yang hendak dipameri. Juga karena terbawa oleh keria’annya itulah ia suka melakukan shalat-shalat tadi dihadapan orang banyak, juga meninjau orang sakit, mengantarkan jenazah, berpuasa sunnat pada hari Arafah, Asyura dan sebagainya. Sebab utamanya ia melakukan tadi adalah karena takut dicela orang atau hanya ingin memperoleh pujian belaka. Allah adalah Maha Mengetahui hal-ihwalnya, yaitu andaikata ia berada sendirian, pasti amalannya tidak lebih dari apa yang merupakan kewajiban saja. Ria’ semacam ini pun besar dosanya, tetapi masih dibawah tingkat yang kedua di atas.

Keempat ; Lain golongan lagi ada yang melakukan ria’ dengan jalan menyempurnakan sesuatu amalan, tetapi biasanya tidak demikian jikalau tidak dimuka orang lain. Misalnya ialah seseorang yang adat-istiadatnya suka meringankan ruku’ atau sujud dan tidak biasa memanjangkan bacaan ayat-ayat sesudah Al Fatihah. Jadi kebiasaannya memang mengerjakan hal-hal yang menyebabkan kurang sempurnanya ibadat. Tetapi diwaktu ia bersembahyang dimuka orang banyak, tiba-tiba saja ruku’ dan sujudnya disempurnakan baik-baik, sama sekali tidak menoleh kesana kemari, duduk antara dua sujud pun diperpanjang dan disempurnakan benar-benar bacaannya.

Termasuk golongan ini pulalah orang yang ketika berzakat biasanya hanya mengeluarkan uang dinar yang kurang baik mutunya atau ketika berzakat tanaman dikeluarkan yang kualitasnya rendah. Tetapi apabila ada orang lain yang menyaksikan, tiba-tiba saja dipilihnya yang baik-baik dan bermutu tinggi. Ini dilakukan kadang-kadang karena takut dicela dan kadang-kadang mengharapkan pujian orang yang menyaksikannya itu.

Juga termasuk golongan ini ialah seseorang yang berpuasa dan ketkika melakukannya itu dijaga benar-benar mulutnya dari mengumpat dan berkata kotor, tetapi tujuannya hanya ingin mendapatkan pujian sesama manusia, bukan sekali-kali ingin menambahkan pahala dan menyempurnakan ibadatnya itu. Ini pun kadang-kadang sebab takut dicela dan kadang-kadang sebab menginginkan pujian orang. Jadi hal inipun merupakan ria’ yang terlarang, sebab terang-terang lebih mengutamakan pertontonan kepada makhluk daripada berikhlas hati karena Allah.

Jikalau orang yang berbuat ria’ itu berkata, “Saya mengerjakan demikian itu memang untuk menjaga jangan sampai mulut orang-orang itu mengatakan yang bukan-bukan pada saya, jangan sampai mengeluarkan umpatan apapun”. Kepada orang semacam ini baiklah diberikan jawabannya, “Itu jelaslah merupakan tipu daya syaithan padamu dan merupakan pengetahuan semata-mata. Soalnya bukanlah demikian, bahkan sebagaimana yang kau maksudkan. Sebabnya ialah karena bahayamu dengan sebab adanya kekurangan kesempurnaan dalam shalatmu itu yang lebih penting untuk diperhatikan. Bukankah shalat itu sebagai berkhidmadmu kepada Tuhanmu dan ini tentulah lebih harus dipentingkan lagi. Bahaya dari kurang sempurnanya shalat adalah lebih besar dari bahaya jikalau engkau diumpat oleh orang banyak. Jadi sekiranya yang menyebabkan engkau berbuat demikian itu benar-benar karena untuk agamamu, tentulah belas kasihanmu pada dirimu sendiri adalah lebih besar pula.

Kelima ; Sebagian orang lagi melakukan ria’ dengan melakukan sesuatu yang sekalipun ditinggalkan, juga tidak akan mengurangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan amalannya. Tetapi jikalau dilakukan, maka akan makin sempurnalah dan lebih baik dalam ibadatnya, seperti memperpanjang ruku’ dan sujud, lama di waktu berdiri sebab bacaan suratnya diperbanyak, memperbagus tingkah dalam ibadatnya, mengangkat kedua tangan dan bersegera bertakbir pertama, memperbaguskan i’tidal, menambahkan bacaan lain-lain dari yang biasanya dilakukan. Demikian pula seseorang yang memperbanyak berkhalwat (mengasingkan diri) dalam bulan Ramadhan untuk beri’tikaf dan sebagainya, juga banyak berdiam dan menunjukkan kurang suka bercakap-cakap. Semuanya itu dilakukan sebagai pamer dan andaikata ia berada seorang diri, pasti semua itu tidak akan dilaksanakan.

Keenam ; Akhirnya ialah golongan orang yang melakukan ria’ dengan mengerjakan berbagai tambahan yang luar dari amalan-amalan sunnat itu sendiri, seperti orang yang menghadiri shalat jama’ah paling dulu sekali sebelum orang-orang lain sama datang. Juga seseorang yang menempati shaf pertama, mencari tempat sebelah kanan imam dan yang sesamanya itu. Semua itu pasti dimaklumi oleh Allah s.w.t., sebab jikalau ia sendirian, sudah pasti tidak memperdulikan lagi dimana ia berdiri dan dimana ia akan memulai shalatnya.

Demikianlah berbagai tingkat ria’ yakni dengan mengingat hal-hal yang dipamerkan dan bagaimana bentuk keria’annya itu. Maka itu yang sebagian adalah lebih berat dan lebih besar dosanya dari yang lain, tetapi pada pokoknya semuanya itu adalah terlarang dan haram menurut agama Islam.



TUJUAN BERBUAT RIA’ ;


Ketahuilah bahwa orang yang berbuat ria’ itu pasti ada tujuan dan maksud yang terkandung dalam hatinya. Ia melakukan ria’ adakalanya sebab menginginkan untuk memperoleh harta, kedudukan, kemasyhuran ataupun hal-hal yang lain-lain lagi. Ini pun ada pula tingkatan-tingkatannya.

Pertama ; Yang dimaksudkan ialah untuk berbuat kemaksiatan, seperti seseorang yang memamerkan ibadatnya, menunjukkan ketakwaan dan kewara’annya, sedang tujuannya ialah supaya orang lain menganggap bahwa ia adalah seorang yang dapat dipercaya. Oleh karena itu lalu diharapkan supaya supaya ia dapat diangkat sebagai kepala daerah atau diserahi untuk membagi-bagikan harta zakat, namun tujuannya ialah hendak menyalahgunakan kekuasaan atau mencurinya. Juga supaya ia diberi titipan, lalu digelapkan atau supaya dapat berhubungan dengan wanita dan dapat bersenang-senang dengan jalan yang curang dan penuh kemesuman dan lain-lain sebagainya. Demikian pula seperti seseorang yang menghadiri majelis ilmiah atau pun nasehat, tetapi tujuannya hanyalah untuk melihat kaum wanita atau orang-orang banci yang disukai. Semuanya itu adalah seburuk-buruk perbuatan ria’ kepada Allah ta’ala, sebab ketaatan kepada Tuhan dijadikan sebagai bahan untuk bermaksiat kepada-Nya, dijadikan tangga untuk mencapai tujuan yang berbentuk pelanggaran terhadap kesucian agama.

Agaknya dapat digolongkan dalam hal ini ialah seseorang yang melakukan kemaksiatan secara terus-menerus, tetapi di luaran ia menunjukkan ketakwaan dan dengan lenyaplah sangkaan orang lain bahwa ia terus-menerus melakukan kemaksiatan tadi.

Kedua ; Yang dimaksudkan ada pula merupakan keinginan memperoleh keduniaan seperti harta atau ingin mengawini seorang wanita yang cantik lagi bangsawan. Jadi diperlihatkanlah ilmu yang dimiliki serta ibadat-ibadat yang berat agar ia diterima lamarannya atau diberi harta yang dimaksudkan. Ini pun ria’ yang terlarang sekali, sebab dengan berbakti kepada Allah ta’ala itu digunakan untuk mencari benda dunia dan kehidupan yang sementara. Namun demikian dosa dari golongan yang kedua ini adalah dibawah yang pertama.

Ketiga ; Yang dimaksudkan bukanlah untuk memperoleh harta atau ingin mengawini wanita, tetapi ia memperlihatkan ibadatnya dengan cara yang amat baik sekali itu dengan maksud supaya jangan ada orang yang menganggapnya kurang, sehingga orang-orang itu menyangka bahwa ia bukan termasuk orang ahli zuhud atau golongan orang khusus. Ia takut disamakan derajadnya dengan kebanyakan orang. Misalnya lagi ialah seseorang yang biasanya berjalan cepat-cepat, tetapi setelah ada orang lain melihatnya, tiba-tiba saja berjalan dengan amat perlahan sekali dan dibuatnyalah gaya yang baik. Maksudnya supaya tidak dinamakan orang yang suka tergesa-gesa, dan supaya supaya dianggap sebagai orang yang ahli ketenangan dan kekhusyu’an.

Demikian pula seseorang yang sehabis ketawa terbahak-bahak atau tampak bersenda gurau, kemudian karena takut dipandang orang dengan mata pengejekan, lalu dengan segera diikutinya perbuatan tadi dengan bacaan istighfar atau bernafas yang sangat panjang serta menunjukkan seolah-olah amat bersedih hati melakukan tadi itu. Malahan kadang-kadang ditambah dengan kata, “Aduh, alangkah besarnya kealpaan manusia itu pada dirinya sendiri”. Padahal Allah ta’ala adalah Maha Mengetahui, andaikata ia seorang diri dan di dalam tempat sunyi, pastilah semua yang dilakukannya itu dianggap biasa saja dan tidak berat sama sekali untuk melakukannya. Jadi tujuan beristighfar dan lain-lainnya itu hanyalah supaya tidak memperoleh ejekan orang lain dan sebaliknya supaya dianggap sebagai orang yang khusyu’ dan berwibawa, tenang dan tenteram.

Juga seperti orang yang melihat orang-orang lain sedang berjama’ah melakukan shalat tarawih atau tahajjud, atau orang-orang yang sama berpuasa hari Kamis dan Senin, atau orang-orang yang sedang bersedekah, lalu orang itu mengikuti apa yang mereka lakukan, sebab takut dinamakan orang yang malas beribadat atau pun takut disebut kikir beramal shalih atau takut dianggap sebagai orang yang kebanyakan (‘awam). Padahal andaikata ia seorang diri, pasti semua itu tidak ada yang dilakukan sama sekali.

Seperti itu pula seseorang yang membiarkan dirinya dahaga pada hari ‘Arafah atau ‘Asyura. Ia tidak suka minum sebab takut kalau-kalau orang banyak mengerti bahwa ia tidak berpuasa, kadang-kadang juga diajak makan tetapi ia enggan supaya disangka bahwa ia berpuasa. Adakalanya juga ia tidak mengemukakan bahwa ia berpuasa, tetapi ia mengatakan bahwa ia beruzur, sehingga terpaksa menolak makanan yang dihidangkan tadi. Orang semacam ini benar-benar telah menghimpun dua macam keburukan, yaitu menampakkan bahwa dirinya seolah-olah berpuasa dan menunjukkan bahwa ia seolah-olah orang yang ikhlas, padahal sebenarnya ia hanya berpura-pura dan hanya berpamer belaka. Ia melindungi keadaan ibadatnya yang sebenarnya, ia takut jikalau orang lain menyebutkan yang kurang baik tentang dirinya dan ingin sekali kalau orang-orang itu menyebutkan bahwa ia amat khusyu’ dan giat beribadat. Maka jelaslah bahwa orang tersebut adalah ahli pamer belaka. Orang semacam ini tentu ingin dikatakan bahwa ia menutup-nutupi ibadatnya. Padahal andaikata ia terpaksa ingin minum, pasti tidak sabar lagi menahannya. Dikala itu ia membuat-buat suatu alasan baik yang secara terang-terangan atau samar-samar, dengan berpura-pura menunjukkan bahwa ia sakit yang menyebabkan ia selalu merasa amat dahaga sekali dan pula menyebabkan ia meninggalkan puasa sehari itu. Adakalanya pula ia mengatakan bahwa ia berbuka tidak puasa sunnat itu karena untuk menggembirakan hati kawannya yang mengajaknya makan, sebab ia adalah seorang yang sangat mencintai kawannya dan kawan itu ingin sekali kalau ia suka makan di tempatnya. Ia mengatakan pula bahwa kawannya itu mengundangnya untuk makan pada hari itu dan ajakannya sangat memaksa, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menuruti kehendaknya dan menyenangkan hatinya belaka.

Semisal itu pula seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak berpuasa sunnat sebab orangtuanya melarangnya, karena kalau terus berpuasa akan sakit.

Hal-hal yang semacam inilah yang merupakan afat-afat atau bahaya ria’ dan yang sedemikian itu tidak akan dilaksanakan oleh seseorang, melainkan karena dalam hatinya memang sudah lebih dulu kemasukan benih-benih keria’an tadi.

Sebaliknya orang yang ria’ ialah orang yang mendasarkan segala amal perbuatan kepada keikhlasan. Orang yang berikhlas hati itu sama sekali tidak memperdulikan, bagaimana pandangan orang lain padanya. Ia tidak pula memperhitungkan bagaimanakah kalau ini dilakukan atau kalau tidak dilakukan.

Seorang yang mukhlis, yang benar-benar beramal untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala itu, apabila hatinya tidak ingin puasa misalnya, ia insaf bahwa Allah ta’ala pasti Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Jadi ia tidak ingin supaya orang lain meyakinkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya telah dimaklumi oleh Allah ta’ala itu. Sebab dengan berbuat puasa, padahal hatinya tidak menginginkannya, maka jelaslah perbuatannya itu sebagai suatu pengelabuan dan tipuan semata-mata. Sebaliknya jikalau ia menginginkan berpuasa, maka ia melakukannya itu semata-mata karena Allah ta’ala. Ia puas dalam melakukannya itu, sebab puas pula dengan apa yang telah dimaklumi oleh Allah ta’ala. Ia sama sekali tidak menyekutukan lain benda dengan Zat Yang Maha Mengetahui tadi, baik dengan terang-terangan atau dengan samar-samar yakni berpura-pura atau ria’ tadi.

Adakalanya seseorang itu terlintas dalam hatinya bahwa dengan menunjuk-nunjukkan amalannya itu bermaksud agar supaya orang lain menirunya atau agak tergeraklah dalam hati orang lain tadi untuk ikut melakukan sesuatu yang diamalkannya. Hal yang sedemikian ini pun merupakan tipu daya dan bujukan hati semata-mata. Memang kadang-kadang rayuan syaithan itu melalui suatu yang dianggapnya seolah-olah benar, padahal dalam urusan beribadat, maka segala macam bentuk ria’ itu dilarang benar-benar.

Demikianlah uraian mengenai tingkatan-tingkatan ria’ dari berbagai golongan yang suka melakukan keria’an itu. Semuanya saja pasti tidak diridhai oleh Allah ta’ala , semuanya pasti akan memperoleh kemurkaan Allah ta’ala, semuanya dibenci, sebab memang termasuk golongan perusak yang dapat membinasakan jiwa dan akhlak, agama dan kehidupan.

RIA’ YANG SAMAR ;

Ketahuilah bahwa ria’ itu ada yang terang-terangan dan ada yang samar-samar. Yang terang-terangan ialah yang diperlihatkan dalam kelakuan, tindakan dan perbuatan, sekalipun pada mulanya diharapkan adalah pahala. Inilah tingkatan yang seterang-terangnya. Lebih samar sedikit dari ini ialah sesuatu yang tidak biasa dilakukan jikalau sedang berada seorang diri, tetapi pada suatu saat amalan itu dipaksa-paksakan untuk melakukannya, diringankan dirinya untuk mengamalkannya, sedang tujuannya juga mengharapkan keridhaan Allah ta’ala. Misalnya ialah seseorang yang setiap malam membiasakan shalat malam, tetapi biasanya dilakukannya itu dengan sangat berat sekali. Tiba-tiba diwaktu kedatangan tamu misalnya pada suatu ketika, maka yang biasanya tidak dilakukan dengan keringanan, mendadak ia menjadi bersemangat dan bagaikan ringan saja dilakukannya. Bangunnya tidak malas-malas sebagaimana biasanya, berwudhu’nya tidak takut dingin sama sekali dan lain-lain sebagainya.

Ada lagi yang lebih samar lagi dari ini, yaitu yang tidak berbekas sama sekali dalam amalannya, tidak merasa mudah dan tidak pula merasa ringan, tetapi hanya terendam dalam hati belaka. Alamat yang paling terang untuk mengetahui ria’ yang semacam ini ialah apabila seseorang yang melakukannya itu merasa gembira jikalau ada orang lain yang mengetahui ketekunan ibadatnya itu. Bukankah banyak orang yang berhati ikhlas dalam amalannya dan tidak mempercayai akan adanya keria’an dalam hatinya, bahkan ia membencinya pula. Ria’ itu ditolak dan amalan tetap disempurnakan sebagaimana adanya. Tetapi alangkah anehnya, jikalau ada orang yang mengetahui kelakuannya yang istimewa itu, tiba-tiba ia merasa gembira dan dadanya serasa lapang, serta telinganya amat lezat sekali mendengarkannya. Selanjutnya hatinya amat suka sekali untuk menyangatkan ibadatnya. Kegembiraan yang sedemikian inilah yang menunjukkan adanya ria’ yang samar-samar dan karena adanya keria’an itulah lalu meresapnya rasa gembira apabila ada orang mengetahui lalu memperbincangkannya. Andaikata hatinya tidak terpengaruh dengan ucapan orang-orang banyak itu, tentunya tidaklah akan bergembira hatinya mendengarkan apa yang dipercayakan orang-orang lain itu tentang dirinya sendiri. Tetapi karena ada keria’an, maka timbullah kegembiraan, sebab amalannya diketahui orang.

Memanglah hal itu seringkali terjadi. Ria’ itu dapat merendam dalam hati bagaikan terendamnya api dalam batu. Api tidak dapat dilihat, tetapi setelah digosokkan besi, barulah keluar nyalanya. Ria’ itu pun tidak akan tampak, tetapi setelah beradu dengan pujian orang, barulah timbul alamatnya yaitu merasa gembira.

Jadi dengan sebab orang-orang sama mengetahui amalannya itu, lalu tampaklah keriangan hati dan kesenangannya. Selanjutnya apabila perasaan senang diketahui orang ini tidak dilawan dengan rasa kebencian dan penolakan batiniah, maka lama-kelamaan hal itu akan merupakan makanan yang enak sekali bagi jiwanya. Ria’nya akan merayap setapak demi setapak dalam urat sarafnya, sehingga dari tubuhnya itu akan tampaklah suatu gerakan yang halus sekali, kemudian mencetuskan suatu tindakan yang halus pula, sehingga akhirnya dipaksa untuk diperlihatkan, baik dengan cara pembelokan atau dengan anggota tubuh lahiriahnya, misalnya ialah dengan melemah lembutkan suara jikalau bercakap-cakap atau dengan menampakkan bekas air mata serta wajah yang serba bermuram durja.

Masih ada lagi yang lebih samar dari yang diatas itu, yaitu bahwa semua amalannya disembunyikan dan tidak suka sama sekali diperlihatkan kepada orang lain, tidak juga gembira kalau orang lain ada yang mengetahui ketekunan amalan dan ketaatannya, tetapi sekalipun semua itu sudah amat baik, ia ada kesenangan dalam hatinya, jikalau bertemu dan berhadapan dengan orang banyak, supaya mereka itu menyambutnya dengan senyum simpul dan rasa hormat. Ia suka mendapat pujian dan sanjungan dan bahkan senang sekali kalau apa-apa yang diperlukan itu segera diperoleh dan diusahakan oleh orang-orang itu. Selain itu ia senang pula kalau orang-orang itu memberikan kelonggaran atau harga lebih murah dalam berjual beli, senang pula kalau ia selalu diberi tempat yang longgar dan tersendiri dalam pertemuan. Oleh sebab itu sekiranya pada suatu ketika ia disambut dengan cara yang menunjukkan kekurangan perhatian padanya maka hatinya merasa amat berat sekali dan seolah-olah ingin menjauhkan diri saja dari kelompok yang dianggapnya kurang menghargai itu. Jadi orang ini seolah-olah menginginkan datangnya kehormatan ummat padanya dengan adanya ketaatan dan ibadat yang dirahasiakannya itu. Hal yang sedemikian sekalipun dianggapnya bahwa beribadatnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan makhluk, tetapi adanya benih-benih keria’an yang sifatnya samar yang merayap dalam jiwanya dan lebih halus lagi dari gerakan semut. Semuanya itu hampir saja dapat merusakkan pahala-pahala dari amalannya tadi. Sesungguhnya sangat sulit dapat menghindarkan diri dari hal-hal semacam ini, melainkan golongan kaum shiddiiqin yang semata-mata mendasarkan segala sesuatunya itu kepada keikhlasan karena Allah ta’ala.

Selanjutnya perlu kita menyingkapkan sekedarnya, bagaimanakah orang yang berhati ikhlas itu dalam amalannya ?

Mereka itu senantiasa takut pada ria’ yang samar-samar itu. Mereka berusaha sekeras-kerasnya menutupi, lebih rapat daripada orang-orang lain yang hendak menutupi perbuatan-perbuatan jahatnya supaya tidak ternoda. Semua itu dimaksudkan agar amalan-amalannya yang shalih itu benar dianggap ikhlas oleh Allah ta’ala yang selanjutnya pasti akan memberikan balasannya pada hari kiamat nanti, dengan sebab keikhlasan itu sendiri. Mereka pasti mengerti bahwa Allah ta’ala tidak akan menerima amalan seseorang, melainkan yang dilakukan dengan dasar keikhlasan. Selain itu mereka memaklumi pula betapa kebutuhan dan kesengsaraan yang akan menimpa mereka pada hari kiamat nanti apabila amalan-amalannya itu sampai terbuang sia-sia belaka. Pada hari kiamat itu jelaslah bahwa harta dan anak-anak tidak akan dapat memberikan kemanfaatannya sama sekali orangtua pun tidak dapat menolong anaknya dan demikian pula sebaliknya.

Jadi tahulah kita semua bahwa pendorong-pendorong dari timbulnya ria’ yang samar-samar itu amat banyak sekali dan tidak dapat dikemukakan seluruhnya secara terperinci. Ringkasnya ialah apabila suatu amalan itu apabila dalam hati dirasakan ada perbedaan, jikalau dilihat oleh manusia atau oleh binatang, maka jelaslah bahwa disini terseliplah suatu benih keria’an. Sebab andaikata dengan keikhlasan, tentunya sama saja rasa hatinya itu, apakah yang melihat itu manusia ataukah yang melihat itu berupa binatang. Jikalau yang melihat manusia merasa senang dan jikalau dilihat binatang tidak ada perasaan apa-apa, maka itulah ria’ yang samar-samar.

Seseorang yang berhati ikhlas tentunya tidak memperdulikan pada penglihatan manusia yang banyak sekalipun, sebab ia mengerti bahwa seluruh manusia ini tidak akan dapat menetukan rizkinya, tidak kuasa menentukan ajalnya, tidak dapat memberi tambahan pahala atau pengurangan siksa.

Jikalau ada orang yang mengatakan, “Rasanya kita tidak pernah mengetahui orang yang tidak merasa gembira, jikalau ada orang lain mengetahuinya bahwa ia amat berbakti dan tekun menjalankan agamanya. Jadi kalau begitu, apakah gembira semacam ini tercela semuanya, ataukah sebagian ada yang tercela dan sebagian ada yang terpuji ?”.

Untuk menjawab pertanyaan diatas itu baiklah kami terangkan demikian :
Perasaan gembiran itu ada yang terpuji dan ada yang tercela.

Pertama ; Yang terpuji yaitu apabila maksud seseorang yang melakukan ibadat itu sengaja hendak menyembunyikan dan benar-benar ikhlas hatinya dalam melakukan amalannya itu. Tetapi demi diketahui bahwa orang-orang banyak mengetahui juga apa yang dilakukannya itu, maka ia berkeyakinan bahwa memang Allah ta’ala itulah yang hendak memperlihatkannya kepada orang lain. Allah hendak menunjukkan kebaikan dirinya dan hal-ihwalnya kepada khalayak ramai. Jadi tersiarnya kebaikan dirinya itu semata-mata karena kehendak yang telah ditentukan Allah ta’ala jua. Itulah kasih sayang Allah padanya, sebab tidak ada suatu kasih sayangpun yang lebih besar daripada menutupi yang jelek dan memperlihatkan yang indah. Maka dari itu kegembiraannya, bukanlah karena orang itu mengetahui amalannya tetapi ialah karena merasa bahwa Allah ta’ala telah memandangnya dengan pandangan yang menggembirakan. Bukan sebab pujian orang dan bukan pula karena orang-orang itu bersimpati pada dirinya.

Kegembiraan semacam inilah yang dibolehkan. Ini berdasarkan firman Allah ta’ala dalam surah Yunus 58 :
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِى فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا ...
Katakanlah, bahwa itu terjadi dengan keutamaan serta kerahmatan Allah. Oleh sebab itu bolehlah mereka bergembira dengan yang sedemikian tadi.

Kegembiraan lain lagi ialah karena adanya sangkaan bahwa orang-orang yang mengetahui itu agaknya ada keinginan hendak mencontohnya. Jikalau benar demikian, maka pahalanya pun berlipat dua pula, yaitu pahala sebab tampaknya amalan itu lalu diikuti dan pahala menyembunyikan sebagaimana yang dikehendaki pertama kalinya dulu.

Seterusnya apabila benar-benar ada yang menirunya, maka bagi orang yang pertama tadi akan ikut memperoleh pahala dari semua orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari jumlah pahala seluruhnya itu. Oleh karena itu patutlah dijadikan bahan kegembiraan.

Yang semisal di atas itu pula ialah seseorang yang diberi pujian oleh orang-orang yang mengetahui ketekunan ibadatnya, lalu orang yang dipuji tadi bergembira. Bukannya bergembira karena memperoleh pujian, sekali-kali bukan ini sebabnya. Tetapi gembiranya adalah karena orang-orang tadi tampak sangat taat kepada Allah ta’ala dalam mengucapkan pujian mereka itu dan tampak pula kecintaan mereka kepada orang yang taat dan berbakti kepada Allah ta’ala. Inilah suatu tanda kecondongan hati mereka kepada kebaikan dan kebaktian. Gembira semacam ini adalah ditimbulkan karena bagusnya keimanan hamba-hamba Allah jua. Sebagai tanda keikhlasan dalam kewara’an ini ialah bahwa kegembiraannya dengan adanya pujian dari orang-orang tadi kepada orang lain seperti bergembiranya dengan adanya pujian yang diberikan pada dirinya sendiri.

Itulah bermacam-macam kegembiraan yang baik dan tidak ada celanya sama sekali.

Kedua ; Adapun kegembiraan yang tercela ialah apabila timbulnya kegembiraan tadi karena merasa bahwa orang-orang lain sudah berkenan hati padanya yakni bahwa mereka menaruh  hati padanya, sehingga terkeluarlah pujian dan sanjungan mereka itu. Ia gembira karena orang-orang itu mengagungkan dan mengelu-elukannya serta suka menyediakan atau mengusahakan apa-apa yang menjadi kebutuhannya. Ia gembira sebab mereka menyambutnya dengan berbagai macam kemuliaan. Semua kegembiraan yang sebagaimana diatas itu dibenci dan tidak disenangi menurut pandangan agama.

HUBUNGAN RIA’ DENGAN AMAL KEBAIKAN ;

Apabila seseorang itu mulai melakukan ibadatnya dengan penuh keikhlasan, kemudian tiba-tiba dalam hatinya dihinggapi suatu perasaan yang mendatang yakni yang berupa sifat ria’ atau pamer, maka adakalanya timbulnya itu setelah selesai amalan itu dikerjakan dan adakalanya sebelum selesai dikerjakan. Jikalau setelah selesainya melakukan amalan tadi lalu datang kegembiraan yang hanya tampak dalam hatinya sendiri saja, tetapi tidak diperlihatkan, maka hal yang semacam ini tidaklah merusakkan amalannya sama sekali, sebab amalannya itu sudah selesai dan mengikuti sifat keikhlasan, bersih dari segala macam ria’. Lain halnya jikalau setelah selesainya ituada keinginan hatinya hendak menunjuk-nunjukkan, kemudian benar-benar ditampak-tampakkan serta diperlihatkan, maka keadaan yang sedemikian inilah yang amat mengkhawatirkan sekali. Dalam berbagai hadits ada beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa yang sedemikian itu dapat merusakkan amalannya.

Adapun jikalau timbulnya ria’ itu sebelum selesai melakukan sampai habis, maka sekiranya benar-benar dilakukan dengan dasar keikhlasan, sedang ria’ itu hanya berupa kegembiraan semata-mata tidaklah merusakkan amalannya. Tetapi jikalau ria’ itu sendiri yang menyebabkan ia bersemangat untuk meneruskan amalannya dan dengan ria’ itu pula sampai ia menyelesaikan amalan ibadatnya, maka jelaslah bahwa pahalanya dapat terhapus sama sekali. Sebabnya demikian ialah karena yang diwajibkan adalah mengerjakan amalan itu dengan dasar keikhlasan semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah. Orang yang berhati ikhlas tidaklah akan dicampuri oleh sesuatu apapun yang mendatang. Jadi tentulah ia tidak akan melakukan kewajiban tadi dengan diselubungi oleh campuran yang bagaimanapun bentuknya.

Ria’ yang disertakan diwaktu mulai mengerjakan, seperti seseorang yang melakukan shalat dengan tujuan ria’ semata-mata, maka jikalau yang sedemikian ini diteruskan sampai ia selesai mengucapkan salam, maka antara seluruh para ulama tidak ada perselisihan pendapat sama sekali yakni bahwa orang yang mengerjakan shalat semacam itu wajib diulangi, sebab shalat yang dilakukan tadi tidak dianggap sama sekali.

Jikalau orang itu merasa menyesal diwaktu melakukan ibadatnya lalu beristighfar serta bertaubat sebelum selesainya, maka menurut pendapat yang kuat ialah shalatnya itupun tidak diangggap sah, sebab ada tujuan ria’ didalamnya sekalipun tidak semuanya. Oleh sebab itu hendaklah mengulanginya lagi dari permulaan, sebab pendorong dari melakukan shalat tadi adalah ria’ pada permulaannya dan bukan semata-mata hendak mentaati perintah Allah ta’ala. Disebabkan permulaannya sudah tidak sah, maka tidak sah pulalah amalan-amalan yang dilakukan sesudah permulaan itu.

MENGOBATI RIA’ ;

Dari uraian-uraian dimuka sudah kita maklumi bahwa sifat ria’ itu benar-benar dapat menghapuskan seluruh amal perbuatan yang shalih dan merupakan sebab kemurkaan serta kebencian Allah ta’ala terhadap siapa saja yang melakukannya. Kita ketahui pula bahwa ria’ adalah termasuk perusak jiwa dan hati yang amat besar sekali. Oleh sebab keadaannya memang nyata-nyata sangat membahayakan, maka teranglah bahwa ria’ itu wajib dilenyapkan sama sekali dan dijebol sampai ke akar-akarnya dari dalam hati.

Untuk mengobatinya itu ada dua hal yang perlu dilaksakan secara bersama-sama, yaitu :
Petama ; menjebol urat-urat serta pokok-pokok akarnya yang dari situlah ria’ itu bercabang dan beranting.
Kedua ; Menolak segala sesuatu yang terlintas dari ria’ itu dari dalam hati seketika itu juga sewaktu-waktu datang.

Tindakan I : Menjebol akar-akar dan pokok-pokoknya.

Asal-usul sifat ria’ itu ialah karena senang kedudukan dan kemasyhuran serta pangkat. Jikalau dipisahkan, maka dapatlah dikembalikan kepada tiga macam pokok yaitu senang pada kelezatan pujian, lari dari sakitnya celaan serta tamak pada apa-apa yang dimiliki oleh orang lain. Tiga keadaan inilah yang menyebabkan seseorang itu tergerak hatinya untuk berbuat keria’an.

Maka dari itu untuk mengobatinya, hendaklah mengetahui bahaya ria’ itu dan yang karenanya lalu tidak dapatlah diperoleh kebaikan hatinya, terhalanglah pertolongan dari Allah ta’ala yang semestinya akan diberikan padanya, baik di dunia sekarang, maupun nanti di akhirat setelah matinya, tidak dapat memperoleh kedudukan yang dekat di sisi Allah ta’ala, bahkan akan menerima siksa yang pedih, kemurkaan yang sangat dan hinaan yang luar biasa besarnya.

Jikalau seseorang itu sudah memikirkan kehinaan yang besar ini, juga dengan memperbandingkannya apa-apa yang dapat dicapai oleh orang-orang yang berbuat ria’ itu di dunia yang berupa hiasan yang sementara saja, sedang di akhirat akan kehilangan pahala-pahalanya yang diharapkan akan dapat menyelamatkan dirinya, demikian pula apabila telah disadari benar-benar bahwa ria’ itu akan menghapus segala amalannya yang baik –baik serta pahala-pahalanya, maka dengan memikirkan semua itu rasanya mudahlah seseorang itu akan menghindarkan dirinya dari kelakuan tadi. Ini sama halnya dengan seseorang yang mengetahui bahwa rasanya madu itu manis sekali, tetapi bagaimanakah sekiranya pada suatu ketika ia mendapat madu yang terang-terang didalamnya dibubuhi dengan racun ? Sudah tentu ia akan menyingkirkannya dan dibuangnya dengan segera.

Selanjutnya perlu pula direnungkan dalam-dalam, apakah sebenarnya tujuan mengharapkan pujian orang lain itu, mengapa lebih mengutamakan celaan dari Alllah ta’ala , hanya karena menginginkan pujian orang belaka ? Apakah pujian orang itu akan memberikan kemanfaatan ? Yang jelas ialah bahwa pujian orang itu tidak akan menambah rizki, tidak menambahkan umur, tidak memberi kesenangan diwaktu ia dalam keadaan miskin dan kekurangan, terutama sekali pada hari kiamat nanti.

Tentang takutnya dicela, maka perlu disadari bahwa celaan orang itu tidak akan membahayakan sama sekali pada kehidupannya. Apakah kita harus mencari keridhaan manusia lebih dari keridahaan Allah s.w.t. ? Jikalau lebih memerlukan keridhaan Allah ta’ala, maka untuk apakah kita harus takut dicela orang. Salah, bolehlah diakui, tetapi dicela janganlah ditakuti.

Adapun mengenai ketamakan pada sesuatu yang ada di tangan orang lain, maka ini dapat disembuhkan dengan jalan menginsafi bahwa Allah ta’ala itulah yang menentukan dan menggerakkan hati untuk menolak atau memberi. Semua makhluk pasti, terpaksa tunduk pada ketentuan Allah ta’ala ini. Tidak seorangpun yang berhak menentukan rizki seseorang melainkan Zat Yang Maha Memberikan rizki itu sendiri.

Ketahuilah bahwa barangsiapa yang tamak, yang ingin pemberian orang lain, sudah pasti ia tidak akan dapat melepaskan diri dari kehinaan dan penyesalan. Andaikata dapat sampai kepada yang diidam-idamkan misalnya, namun tidak boleh tidak pasti akan mendengarkan suara penghinaan, pengundat-undatan, serta cemoohan dari orang lain. Adakalanya dari orang yang memberi itu sendiri dan adakalanya dari kawan-kawan atau lawan-lawannya yang tidak menyetujui kelakuannya itu.

Alangkah bodohnya orang yang menginginkan milik orang lain itu, mengapa ia meninggalkan permohonan kepada Allah ta’ala, hanya dengan harapan yang kosong dan tidak berarti serta dengan maksud yang salah ? Apa yang diinginkan itu kadang-kadang terkabul, tetapi tidak jarang pula melesetnya. Jikalau berhasilpun, tidak pula akan dapat memenuhi kelezatannya yang sebenarnya, sebab disamping kelezatan harus pula merasakan kepahitannya yakni dicaci-maki dan diperolok-olokkan.

Jadi sama sekali janganlah mengharapkan apa-apa yang ada di tangan orang dan jangan pula suka dipuji dan takut dicela. Baik pujian maupun celaan itu sama-sama tidak dapat menambah atau mengurangi rizki, tidak memperlambat atau mempercepat ajal, tidak menyebabkan seseorang termasuk ahli surga atau neraka. Jikalau memang ditentukan oleh Allah ta’ala sebagai penghuni surga, tidaklah pujian dan celaan menyebabkan dirinya masuk neraka. Jikalau ia disisi Allah ta’ala memang tergolong orang yang terpuji, maka pujian atau celaan tadi tidak akan menyebabkan Allah ta’ala membencinya.Pendek kata semua hamba Allah ini ada dalam keadaan lemah, tidak dapat menyebabkan kemanfaatan atau kemudharatan sedikitpun kepada dirinya sendiri, apalagi kepada orang lain.

Nah, itulah yang wajib direnungkan dalam-dalam. Jikalau hal-hal diatas sudah meresap betul-betul dalam kalbu, afat-afatnya sudah disadari baik-baik, bahaya-bahayanya sudah diteliti secara sempurna, maka pasti akan lunturlah kegemarannya untuk berbuat ria’. Ia akan menghadapkan sepenuh hatinya kepada Zat Yang Maha Esa belaka. Ingatlah bahwa seseorang yang berakal pikiran sehat itu tentu tidak sekali-kali menginginkan sesuatu yang banyak bahayanya dan yang sedikit kemanfaatannya apalagi jikalau bahaya amat banyak dan besar sedang kemanfaatannya sama sekali tidak ada.

Demikianlah salah satu jalan yang merupakan obat ilmiah untuk menjebol tanaman-tanaman ria’ tadi. Adapun pengobatan secara amaliah, maka hendaklah sejak ia menginsafi kesalahan-kesalahannya itu, supaya kembali menyembunyikan segala macam amalan ibadatnya dan kalau perlu tutup sajalah pintu-pintu rumahnya jikalau hendak melakukannya, sebagaimana hatinya juga ditutup untuk menerima keburukan-keburukan yang mungkin datang diwaktu melakukan ibadat tadi. Dengan demikian, maka jiwanya tidak akan terpengaruh dengan sesuatu selain untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala semata-mata. Tidak ada sesuatu pun yang dituntut dan dicari selain dari itu.

Tindakan II ; Menolak ria’ yang baru datang di tengah-tengah beribadat.

Tindakan kedua ini pun perlu sekali dipelajari baik-baik. Sebabnya ialah seseorang yang sudah benar-benar berusaha menjebol akar-akar dan pokok-pokok tanaman ria’ itu dari kalbunya dan sudah menghapuskan ketamakan, juga sudah tidak mengindahkan lagi pujian-pujian makhluk atau pun celaan-celaan mereka, namun demikian kadang-kadang ia tidak akan dilepaskan begitu saja oleh syaithan diwaktu ia sedang melakukan ibadatnya. Syaithan tetap berusaha akan memasukkan jarum-jarumnya diwaktu seseorang itu sedang beribadat yaitu yang berupa benih-benih ria’ yang amat membahayakan itu.

Apabila suatu ketika disaat ia beribadat, terlintas dalam hatinya harapan ada orang yang memperhatikannya, hendaklah hal itu segera ditolaknya jauh-jauh. Hendaklah jiwanya sendiri mengatakan, “Apa pedulimu padaku, apa peduliku pada orang lain. Biarlah mereka tahu atau tidak tahu, tetapi Allah tetap Maha Mengetahui apa yang menjadi rahasia. Apakah gunanya kalau orang lain mengetahui amalanku ini ?”.

Demikian pula jikalau dalam hatinya timbul keinginan untuk merasakan kelezatan pujian, maka segeralah dalam hatinya itu diresapkan apa-apa yang menjadi bahaya ria’, sebagaimana yang kami uraikan dimuka. Hendaklah diingat selalu bagaimana kemurkaan Allah ta’ala padanya dan betapa besar kerugian yang akan dialaminya diakhirat nanti.


MEMPERLIHATKAN KETAATAN ATAU PERIBADATAN ;


Ketahuilah bahwa dalam merahasiakan atau menyembunyikan amalan itu dapat diperolehnya keikhlasan dan keselamatan dari ria’, sedang memperlihatkan amalan ada pula faedahnya yaitu dapat diikuti oleh orang lain dan mengajak orang banyak supaya gemar melakukan sebagaimana yang diamalkannya tadi. Tetapi dengan memperlihatkan amalan itu dapat mendekatkan kepada bahayanya ria’.

Hasan berkata, “Bahwasanya merahasiakan amalan itu adalah yang lebih menyelamatkan dari sifat ria’ daripada memperlihatkannya, tetapi yang belakangan inipun adakalanya mengandung faedah yang besar”.

Oleh sebab itu maka Allah ta’ala memberikan pujian-Nya tentang kedua macam amalan itu yakni disembunyikan atau diperlihatkan, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surah Al Baqarah 271 :
اِنْ تُبْدُواالصَّدَقتِ فَنِعِمَاهِيَ. وَاِنْ تُخْفُوْهَاوَتُؤْتُوْهَاالْفُقَرَآءَ فَهُوَخَيْرٌلَّكُمْ ....
Jikalau kamu semua menampakkan sedekah-sedekahmu maka itulah yang terbaik. Tetapi jikalau kamu semua menyembunyikannya dan kamu semua berikan kepada kaum fakir miskin, maka itulah yang lebih baik lagi untukmu semua.

Adapun perihal menampakkan amal itu ada dua macam :
Pertama ; Dalam amalannya itu sendiri.
Kedua ; Dalam mempercakapkan apa yang diamalkannya.

MEMPERLIHATKAN AMAL KEBAIKAN ;

Ini adalah bagian pertama dari cara menampakkan amalan, yakni menunjukkan amalan itu sewaktu melakukannya, seperti seseorang yang memberikan sedekah dimuka orang banyak dengan tujuan supaya orang-orang lain itu pun mencontoh kelakuannya. Hal yang sedemikian tidak ada halangannya, sebagaimana yang diriwayatkan tentang perilaku salah seorang dari sahabat Anshar yang datang dengan membawa sekampil uang untuk disedekahkan, lalu banyak orang yang menirunya dengan memberikan sedekahnya masing-masing, sebab melihat orang Anshar yang berbuat semacam itu.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Muslim) :
صَنْ سَنَّ سُنَّةً فَعَمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنِ اتَّبَعَهُ
Barangsiapa yang memulai mengadakan suatu amalan kebaikan, kemudian ia melakukannya, maka baginya adalah pahala dari amalannya tadi serta pahala dari seluruh orang yang mengikutinya.

Cara sedemikian ini dapat pula dikiaskan dengan semua amalan kebaikan yang lain-lain, baik berupa shalat, puasa, haji, ikut berperang dan sebagainya. Tetapi jikalau sekiranya tidak mungkin ada yang mengikutinya, maka lebih baik lagi dirahasiakan daripada diperlihatkan. Adapun cara terang-terangan dengan tujuan supaya diikuti dan kiranya akan ada pula yang mengikuti, maka cara yang sedemikian inilah yang lebih utama daripada merahasiakannya.

Bahwasanya menampakkan itu adalah lebih baik dalam hal sebagaimana di atas, dapatlah dilihat dari perintah Allah ‘Azza wa Jalla kepada para nabi-Nya, yaitu supaya memperlihatkan amalannya agar ditiru oleh ummatnya.

Juga berdasarkan sabda rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Muslim :
لَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
Ia memiliki pahala dari amalannya sendiri dan pahala dari orang-orang yang melakukan karena mengikuti amalan itu.

Perlu dimaklumi bahwa seseorang yang memperlihatkan amalannya itu mempunyai dua macam kewajiban sebagaimana dibawah ini :

Pertama ; Hendaklah diperlihatkan sekiranya dapat dipastikan bahwa nantinya tentu akan ada orang yang mengikuti jejaknya itu atau sekurang-kurangnya menyangka dengan pasti bahwa akan ada yang meniru kelakuannya itu. Sebabnya ialah tidak jarang terjadi bahwa seseorang itu akan diikuti oleh keluarganya saja, sekalipun tidak diikuti oleh tetangga-tetangganya, malahan kadang-kadang ada yang tetangganya itu mengikuti, tetapi kawan-kawan sepergaulannya dalam pekerjaan atau perdagangan di pasar tidak mengikutinya. Tetapi ada pula yang diikuti oleh seluruh manusia sedesanya. Adapun seorang ‘ulama yang amat terkenal dan masyhur, maka tentunya akan menjadi ikutan orang banyak. Maka dari itu seseorang yang tidak termasuk ‘ulama, jikalau tampak sedikit saja dari amalannya, kadang-kadang oleh orang lain dianggap sebagai ria’ atau munafik. Kemudian ia dicela dan bahkan tidak seorangnpun yang mengikuti langkahnya. Dalam keadaan semacam ini tentunya memperlihatkan amalan tidak ada gunanya sama sekali. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang boleh memperlihatkan dengan tujuan supaya diikuti itu ialah orang-orang yang nyata-nyata mempunyai pengaruh di kalangan masyarakat dan amalannya tadi diperlihatkan kepada orang-orang yang nyata-nyata merupakan penganutnya serta yang dikiranya dapat mengikuti kelakuannya.

Kedua ; Hendaklah senantiasa meneliti hatinya sendiri, sebab tidak mustahil bahwa seseorang itu mengamalkan sesuatu dengan maksud untuk ria’, lalu kelakuannya itu ditampakkan dengan alasan supaya orang lain mengikuti. Padahal keinginannya yang utama bukanlah untuk diikuti, tetapi semata-mata ingin menunjukkan kebaikan amalannya dan menunjukkan bahwa dirinya itu banyak pengikutnya.

Oleh sebab itu, hendaklah seseorang itu suka berhati-hati terhadap dirinya sendiri, menjaga benar-benar jangan sampai ditipu oleh jiwa buruknya sendiri. Memang jiwa yang dikandungnya sendiri itu amat mudah terpedaya, sedang syaithan selalu mengamat-amati dan mencari kesempatan untuk menambah rayuannya. Senang untuk dipuji dan cinta pada kemasyhuran itu sudah merupakan watak jiwa. Jarang sekali amalan-amalan lahiriah itu selamat dari bahayanya, oleh karenanya maka tidak seyogyanya beralih dari keselamatan itu kepada bentuk yang lain, seperti kesengsaraan dan kerusakan. Yang paling dapat menyelamatkan ialah cara menyembunyikan amalan tadi, sedang menampakkannya amat banyak bahayanya bagi orng-orang yang semacam kita semua, yakni golongan orang yang ‘awam ini. Maka dari itu berhati-hati dan menjaga dari bahaya menampakkan amalan hendaklah lebih diutamakan dan lebih dipegang teguh. Tentu saja diterapkan untuk orang-orang yang setingkat dengan kita yaitu dari golongan kaum yang lemah hati dan jiwanya ini.

MEMPERCAKAPKAN AMALAN SETELAH SELESAI ; 

Ini adalah bagian kedua dari cara menampakkan amalan yaitu memberitahukan kepada orang lain, baik dengan terang-terangan atau kalimat kiasan tentang apa yang telah dilakukan setelah hal itu selesai.

Adapun hukumnya adalah sebagaimana hukum menampakkan amalan itu sendiri. Tetapi cara kedua ini bahayanya sungguh-sungguh lebih besar dari yang pertama, sebab mengeluarkan ucapan itu sangat mudah dari lidah yang tidak bertulang ini. Tidak mustahil bahwa dalam penguraiannya nanti itu akan diadakan tambahan yang berupa melebih-lebihkan yakni menambah bumbu dan garamnya.

Ingatlah bahwa jiwa manusia itu memang mempunyai kelezatan besar memperlihatkan apa-apa yang diaku-akukan, baik berupa amalan atau lain-lain. Tetapi masih beruntung sekali, bahwa sekalipun didalamnya itu dicampuri oleh sifat ria’ maka keria’annya itu tidaklah membekasi sedikitpun terhadap amalan yang telah dilakukannya, sebab sebagaimana yang telah kita maklumi dimuka, bahwa ria’ itu tidak dapat merusakkan amalan ibadat yang sudah selesai dilakukan dengan sempurnanya. Dari sudut itu, maka cara kedua ini lebih ringan bahayanya.

Namun demikian bagi seseorang yang kuat dan kokoh keimanan ialbunya, sempurna keikhlasannya, tidak mengharapkan sesuatu apapun dari makhluk, semua manusia dianggapnya biasa, tidak membekas dalam hatinya jikalau orang memuji atau mencelanya, lagi pula yang diharapkan ialah supaya orang lain mengikuti langkahnya serta menginginkan agar orang banyak gemar berbuat kebaikan sebagaimana dirinya sendiri, maka dalam keadaan yang sedemikian ini hukum memperlihatkan amalan itu adalah boleh, mubah atau jawaz. Bahkan dapat pula dimasukkan dalam golongan sunnat, jikalau benar-benar bersih niatnya dan pula dapat menghindarkan dirinya dari semua bahaya-bahayanya ria’. Bukankah dengan memperlihatkan itu akan menggerakkan hati-hati orang lain sehingga mereka itupun suka dan gemar melakukan kebaikan seperti yang dilakukannya itu. Menggemarkan yang demikian adalah amat baik sekali.

Sebagaimana keadaan di atas itulah yang dikutip dari kaum salaf yang kokoh keagamaannya. 

MENINGGALKAN KETAATAN KARENA RIA’ ;

Sebagian orang ada yang meninggalkan amalan dengan dalih karena takut ria’. Hal yang sedemikian ini amat salah sekali. Ini adalah sesuai dengan ajakan syaithan, menyebabkan timbulnya kesalahfahaman serta enggan berbuat kebaikan.

Oleh sebab itu selama engkau masih menemukan suatu pendorong untuk melaksanakan suatu kebaikan dalam agama, maka janganlah segan-segan melakukannya. Sementara itu usahakanlah dengan segiat-giatnya dan jangan sampai didekati oleh bahayanya ria’. Tetapkanlah hatimu untuk terus bersikap malu ke hadirat Allah s.w.t., jikalau dalam hatimu terlintas suatu keinginan hendak menggantikan pujian Allah ta’ala itu dengan pujian dan sanjungan yang mungkin engkau peroleh dari sesama makhluk atau manusia !

Sadarilah baik-baik bahwa Allah ta’ala senantiasa meneliti jiwa nuranimu. Oleh karena itu jikalau engkau masih kuasa menambah amalanmu karena malumu kepada Allah ta’ala dan karena takut sekali pada kemurkaan dan siksa-Nya, hendaklah engkau tambahkan pula amalanmu yang baik itu.

Mungkin sekali syaithan pengecut itu akan mengatakan atau membisikkan dalam hatimu bahwa engkau itu seorang yang berbuat ria’, maka dalam keadaan ini, hendaklah engkau sadari baik-baik bahwa syaithan itu selamanya suka berdusta dan hendak menipumu dengan ucapannya tadi. Oleh sebab itu jangan sekali-kali ajakan busukya tadi engkau layani. Barangkali syaithan itu hendak menyesuaikan ucapannya dengan perasaan yang telah ada dalam hatimu yaitu engkau enggan berbuat kebaikan dan ketaatan karena takut ria’. Ringkasnya bujukan syaithan hendaklah engkau singkirkan jauh-jauh. Ingatlah bahwa syaithan itu senantiasa mencari kesempatan karena engganmu berbuat amalan tadi, juga karena sangat takutmu serta malumu jikalau sampai berbuat ria’. Perasaanmu itu olehnya dibelokkan ke jurusan tertentu sehingga engkau benar-benar enggan melakukan kebaikan itu sama sekali.

Namun demikian , sekiranya benar-benar tidak ada pendorong keagamaan yang menyebabkan engkau akan berbuat amalan itu dan agaknya hanya nyata-nyata didorong oleh perasaan ria’ saja, maka janganlah berbuat amalan itu dahulu sampai nanti perasaan ria’ itu hilang lenyap sama sekali.

HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI DALAM MELAKUKAN KEBAIKAN ;

Ketahuilah bahwa yang paling utama yang harus diusahakan oleh seseorang yang melakukan ketaatan dan kebaktian kepada Allah ta’ala ialah supaya hatinya itu tetap bersifat qana’ah yakni puas bahwa Allah ta’ala sendiri yang mengetahui apa-apa yang dilakukan olehnya di setiap saat dan waktu.

Sikap puas sebagaimana yang dimaksudkan di atas itu tentu tidak dapat dirasakan kelezatannya, melainkan bagi seseorang yang memang tidak ada yang ditakuti kecuali Allah ta’ala, tidak ada yang dijadikan tempat berharapnya kecuali daripada-Nya dan tidak ada yang diingini keridhaannya melainkan daripada Zatnya pula. Maka itu seseorng yang masih ada yang ditakuti selain Allah ta’ala, masih ada yang diharapkan selain Dia, tentu tetap ada keinginannya agar supaya orang yang ditakuti atau diharap-harapkan itu akan mengetahui atau setidak-tidknya mendengar kebaikan-kebaikan yang dilakukan olehnya. Oleh sebab itu, barangsiapa yang masih berada dalam tingkatan ini, hendaklah hatinya dipaksa sendiri untuk membenci hal yang sedemikian tadi dan hendaklah dipertimbangkan masak-masak dengan menggunakan akal dan dasar-dasar keimanan. Perlulah kiranya hatinya itu memikir-mikirkan betapa besar bahayanya itu, sebab pasti akan memperoleh kemurkaan Allah ta’ala serta akan lenyaplah pahala amalan yang dilakukannya tadi. Lebih-lebih diwaktu melakukan ketaatan-ketaatan atau peribadatan-peribadatan yang besar dan yang menyukarkan, sebab jiwanya itu pasti kurang dapat mengendalikan nafsunya, sehingga timbul keinginannya akan menyiarkan amalanya dan loba sekali untuk memperoleh pujian dari orang lain. Oleh karenanya, maka hendaklah ia menetapkan tujuan kalbunya dan supaya selalu ingat apa yang akan menjadi balasan dari amalannya yang besar itu dari Allah ta’ala yang berupa kenikmtan surga yang akan dikenyamnya untuk selama-lamanya di akhirat nanti Sementara itu haruslah diingat-ingat betapa besar kemurkaan-Nya terhadap orang yang pada lahirnya menunjukkan ketaatan pada-Nya, tetap mengharapkan pahala dari yang selain-Nya.

Ketetapan hati sebagaimana di atas itu hendaklah dipegang teguh sampai pun setelah selesai ia mengerjakan itu, sehingga dirasanya tidak perlulah lagi ia menampakkan ataupun memberitahukannya kepada siapa pun jua. Jikalau semua itu telah dilaksanakan baik-baik, maka seyogyanya lagi hatinya senantiasa merasa takut tentang diterimanya amalan tersebut, takut kalau-kalau di dalamnya diselundupi oleh perasaan ria’ sekalipun yang samar-samar saja dan yang mungkin ia sendiri tidak menyadari hal itu. Dengan demikian ia akan membimbangkan, adakah amalannya itu akan diterima atau ditolak, sebab semuanya itu adalah merupakan wewenang Allah semata-mata. Tidak mustahil bahwa Allah ta’ala akan memperhitungkan pula dengan berdasarkan niatnya yang samar-samar itu, sehingga akan menyebabkan kemurkaan-Nya serta ditolaknya amalannya sebab adanya benih keria’an tadi. Kebimbangan semacam ini hendaklah terus ada dalam hatinya dan ketakutannya harus tetap diresapkan dalam kalbunya, baik selama ia melakukan amalannya atau pun sesudahnya.

Adapun diwaktu memulai melakukan amalan ketaatan, maka hendaklah hatinya meyakinkah bahwa ia betul-betul akan mengerjakannya dengan keikhlasan hati, tidak menujukkan amalannya tadi kecuali kepada Allah s.w.t. Dengan demikian maka sahnya amalan, juga ketakutannya terhadap apa yang dibimbangkan tadi nyata-nyata dapat menutupi bahaya keria’an, yang barangkali telah menjelma lebih dulu, sedang ia dalam keadaan lalai disaat itu.

Selanjutnya seseorang yang mendekatkan dirinya pada Alah ta’ala dengan jalan mengusahakan apa saja yang menjadi kebutuhan orang banyak, seperti orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada para murid, maka seyogyanya hendaklah menetapkan hatinya agar semata-mata mengharapkan pahala dari Allah ta’ala belaka. Pahala yang diharapkan itu ialah :
A. Dengan sebab memberikan kegembiraan pada hati orang yang dicukupi kebutuhannya.
B. Dengan sebab adanya harapan bahwa yang diberi pelajaran itu akan mengamalkan sesuai dengan ilmu yang diperolehnya.

Dua hal ini sajalah yang merupakan harapannya, jadi bukan karena ingin pujian, ingin balasan, ingin bayaran dan sanjungan dari sesama manusia. Tidak pula menginginkan hadiah dan pemberian, baik dari murid itu sendiri atau siapa pun yang akan memberikan kenikmatan sebagai balasan jasanya tadi, sebab yang sedemikian ini dapat melebur pahala amalannya itu.

Baiklah disadari apabila hatinya sudah merasa puas dengan menerima sesuatu penghormatan dari murid-muridnya, mendapatkan pertolongan dalam pekerjaan, pelayanan, sebagai pengikut diwaktu berjualan dan sebagainya, lalu merasa bangga dengan adanya orang yang merupakan pengawalnya itu atau bangga sebab banyaknya orang yang bolak-balik meminta pertolongan padanya, maka jelaslah bahwa ia tidak akan memperoleh pahala lagi dari Allah ta’ala, sebab pahalanya sudah diperoleh dari orang lain itu dan hatinya sudah puas dengan pahala yang diterima di dunia.

Namun demikian perlu diketahui pula perbedaannya dengan yang dibawah ini. Apabila penghormatan yang diberikan oleh murid-muridnya tadi tidak mempengaruhi sama sekali dalam jiwanya, sedang yang diharapkannya tiada lain kecuali pahala dari Allah ta’ala dan bahwa ia memberikan ilmu pengetahuannya dengan maksud supaya memperoleh pahala lagi dari amalan murid yang meniru kelakuannya, lagi pula bahwa murid itu sendirilah yang berhasrat melayani dan menolong pekerjaannya lalu pelayanan serta pertolongannya itu diterima dengan baik, maka tentulah tidak akan dilebur pahalanya oleh Allah ta’ala, sekiranya bukan ini yang menghendaki demikian itu dan tidak pula ingin menganggap murid tadi sebagai hambanya, juga tidak membeda-bedakan sikapnya terhadap murid yang tidak melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh kawannya tadi.

Sekalipun pada dasarnya guru itu tidak mengharapkan sesuatupun dari muridnya, tetapi murid yang belajar itu sendiri hendaklah mengetahui dan menginsafi baik-baik hal-hal di bawah ini

a. Hatinya tetap memberikan pujian semata-mata kepada Allah ta’ala.
b. Hendaknya ia belajar itu semata-mata karena Allah ta’ala pula dan tidak ada maksud lain yang tersembunyi dalam dadanya.
c. Hendaklah ia beribadah semata-mata kepada-Nya.
d. Hendaklah pula ia berkhidmad kepada gurunya, juga semata-mata karena mengharapkan akan memperoleh keridhaan Allah ta’ala. Berkhidmad ini, mempunyai pengertian yang luas.
e.Jangan berbuat khidmad itu karena mengharapkan agar gurunya menaruh hati atau mengharapkan pujian daripadanya dan jangan pula karena mengharapkan sesuatu dari sesama makhluk.
f. Hendaklah diingat-ingat benar bahwa seluruh hamba Allah diperintah agar supaya tidak menyembah selain daripada-Nya dan janganlah dengan ketaatan itu mengharapkan selain daripada keridhaan-Nya.

Tidak berbeda pula halnya dengan seseorang yang berkhidmad kepada kedua orangtuanya. Jangan sekali-kali dimaksudkan agar kedua orangtuanya itu menaruh hati padanya. Sebaliknya hendaklah diingat bahwa keridhaan Allah ta’ala itu semata-mata terletak pada keridhaan orang-orang tua itu. Jadi jangan sekali-kali berbuat ria’ dengan sikap taatnya tadi, sebab jikalau ini dilakukan, maka jelaslah bahwa itu sebagai suatu kemaksiatan yang dilakukan seketika itu juga dan nanti Allah pasti akan memperlihatkan keria’annya tadi. Jika ini telah terjadi, pastilah hati orang-orang tuanya itu tidak lagi menghargai ketaatannya dan jatuhlah dirinya dihadapan orang-orang tuanya tadi.

Oleh sebab itu hendaklah dicegah sejauh-jauhnya hati yang hendak berbuat keria’an itu dimana saja adanya dan bagaimanapun juga sebab dan keadaannya.

ORANG YANG MELAKUKAN ‘UZLAT (MENYENDIRI) ;

Ber’uzlat artinya menyendiri dan tidak mempergauli orang banyak. Orang yang melakukan amalan sedemikian ini seyogyanya juga menetapkan hatinya untuk selalu berzikir kepada Allah ta’ala, merasa puas bahwa Allah sajalah yang Maha Mengetahui hal-ihwal keadaannya. Maka jangan sekali-kali berharap bahwa kelakuannya itu akan dilihat dan diketahui orang lain, baik tentang kezuhudannya dan lain-lain. Jangan pula mengharapkan bahwa orang-orang itu akan mengagungkan kedudukannya, sebab semua yang tersebut di atas itu dapat menanamkan perasaan ria’ dalam hati nuraninya yang suci. Janganlah kelakuan ‘uzlatnya akan dirasakan ringan dan lezat dengan sebab adanya benih ria’ yang tertanam dalam kalbunya. Ringkasnya jangan ketenangan itu karena orang-orang telah mengetahui ‘uzlatnya dan dianggap bahwa mereka sangat mengagungkan kedudukannya karena amalan yang dilakukannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat menyadari bahwa hal-hal yang demikian itulah yang meringankan ia mengamalkan kelakuannya. Memanglah bahwa perasaan hati yang cinta pada kemuliaan dan kebesaran itulah yang biasanya dapat menimbulkan kegemaran untuk berkhulwat atau mengasingkan diri. Oleh sebab ituseyogyanya hatinya sendiri hendaklah dijaga dan ditakut-takuti dari timbulnya perasaan semacam itu.

Sebagai alamat dan tanda adanya keikhlasan hati ialah supaya dirasakan sendiri, apakah jikalau diketahui oleh manusia dan jikalau diketahui oleh binatang itu timbul perasaan yang berlainan. Maksudnya ialah jikalau dilihat manusia, maka timbul kegembiraannya, sedang jikalau binatang yang melihatnya maka perasaan hatinya biasa saja dan tidak ada kegembiraannya sama sekali. Jikalau perbedaan ini ada, teranglah bahwa hatinya belum selamat dan belum terhindar sama sekali dari  sifat keria’an.

Periksalah pula, bagaimanakah sekiranya orang-orang lain itu berubah keyakinan mereka tentang dirinya, apakah ia tidak menyesal, tidak menyempitkan dadanya, atau apakah hatinya tetap biasa saja dan tidak ada perasaan benci, sekalipun hanya sedikit. Jikalau ada perasaan yang tidak enak itu dalam kalbunya, maka itulah tandanya masih bercokolnya keria’an dalam dadanya, maka disaat itu hendaklah ditolak dan diusirnya jauh-jauh dengan menggunakan akal fikirannya yang bersih dan sehat serta mendasarkan itu dengan keimanan yang dimiliki.

Salah satu tanda keikhlasan lagi ialah apabila seseorang itu sedang beribadat, kemudian ada orang yang melihatnya, maka tidaklah hal itu akan menambahkan kekhusyu’annya dan tidaklah pula hatinya menjadi gembira sebab diketahui orang tadi.

Suatu tanda yang dapat menunjukkan kebenaran dan kejujuran hati ialah apabila seseorang mempunyai dua orang sahabat, misalnya yang seorang kaya dan seorang lagi miskin. Ia menyambut kedatangan kedua orang itu dengan cara yang sama, maka tidaklah penghormatannya kepada yang kaya itu akan lebih baik atau ditambah-tambahkan dari penghormatan yang diberikan kepada yang miskin. Jadi dalam hatinya kedudukan kedua orang itu sama belaka. Kepada yang kaya hatinya tidak lebih tergerak untuk memberikan penghormatannya melebihi dari yang miskin. Ini tentu saja terkecuali, jikalau orang yang kaya itu mempunyai kelebihan ilmu pengetahuan dari yang miskin dan memiliki kelebihan dalam kewara’an. Jadi dalam keadaan sedemikian, tidaklah lebih menghormatnya itu karena kekayaannya, tetapi hanyalah karena ke’aliman serta kewara’annya. Sebaliknya jikalau yang miskin itu justru yang ‘alim dan wara’, tentulah penghormatan yang diberikan padanya akan lebih besar dari yang kaya yang tidak ‘alim dan tidak wara’.

Seseorang yang merasa lebih menghormat, lebih tertarik hatinya kepada orang kaya, lebih menghargai jikalau melihat orang hartawan, maka sikap sedemikian ini jelaslah sebagai suatu kekeliruan yang besar dan ia adalah seorang yang mempunyai ria’ serta sangat tamak.


Tentang tipu daya hawa nafsu syaithaniah dalam rahasia-rahasia yang pelik mengenai persoalan ria’ ini sungguh-sungguh tidak dapat dibatasi, karena memang amat banyak sekali macam ragamnya. Segala-galanya itu tidak akan dapat menyelamatkan dirimu, melainkan jikalau dari hatimu sudah engkau enyahkan sama sekali semua perasaan yang tertuju selain kepada Allah ta’ala sendiri. Baik diwaktu seorang diri ataupun diwaktu ada di hadapan khalayak ramai, hendaklah engkau menaruh belas kasihan pada dirimu sendiri, terutama dalam usiamu yang merupakan sisa dari kehidupanmu di dunia ini. Janganlah sekali-kali engkau rela jikalau tubuhmu itu akan menjadi mangsa dari api neraka dengan sebab keinginan-keinginan dan kesyahwatan-kesyahwatanmu yang terpendam dalam hati dalam hari-hari yang sangat dekat dengan masa menghadapmu ke hadirat Allah s..w.t.

Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar