السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Minggu, 18 Desember 2016

Tausiah ke-13 (Syukur)

KEUTAMAAN SYUKUR

Allah s.w.t. banyak menyebutkan perihal syukur ini dalam kitab suci Al Quran. Perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini ;

1. Syukur disertakan dengan zikir kepada Tuhan (surah Al Baqarah 152) :
فَاذْكُرُنِيْ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْالِيْ وَلاَتَكْفُرُوْنِ
Ingatlah kamu semua pada-Ku, pasti Aku akan ingat padamu dan bersyukurlah pada-Ku dan jangan pula berbuat kekufuran (menutup-nutupi kenikmatan yang telah diberikan).


2. Tidak akan disiksa selama bersyukur dan beriman (surah An Nisa’ 147) :
مَايَفْعَلُ الله ُبِعَذَابِكُمْ اِنْ شَكَرْتُمْ وَاَامَنْـتُمْ ...
Mengapa Tuhan akan menyiksa kamu semua, jikalau kamu semua sudah bersyukur dan beriman.

3. Allah menentukan akan memberikan tambahan kenikmatan kepada orang yang bersyukur (surah Ibrahim 7) :
... لَئِنْ شَكَرْتُمْ َلاَزِيْدَنَّكُمْ ...
Niscayalah jikalau kamu semua bersyukur, pasti Aku (Allah) akan memberi tambahan padamu semua.

Diantara hadits-hadits yang menjelaskan perihal kesyukuran ialah ; (diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban) :
اَلطَّاعِمُ الشَّاكِرُ بِمَنْزِلَةِ الصَّائِمِ الصَّابِرِ
Orang makan yang bersyukur adalah memperoleh tempat sebagai seorang yang berpuasa yang sabar.

HAKIKAT SYUKUR

Syukur itu tersusun dari tiga hal yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan. Ilmunya ialah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Zat yang Maha Pemberi kenikmatan. Keadaannya ialah menyatakan kegembiraan yang timbulnya sebab memperoleh kenikmatan tadi, sedang amalannya ialah menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Zat yang Memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.

Amalannya itu banyak sekali hubungannya, yaitu ada yang berhubungan dengan hati, ada yang dengan anggota badan dan ada yang dengan lisan.

Hubungannya dengan hati ialah sengaja berbuat kebaikan dan merahasiakannya kepada seluruh makhluk.

Hubungannya dengan lisan ialah menyatakan kesyukuran kepada Allah ta’ala dengan mengucapkan puji-pujian yang menunjukkan kesyukuran itu.

Adapun hubungannya dengan anggota-anggota tubuh ialah mempergunakan kenikmatan yang diterimanya itu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah yakni Zat yang Mengaruniakan kenikmatan tadi, serta menjaga benar-benar jangan sampai kenikmatan tadi dipergunakan untuk melakukan perbuatan maksiat.

BERSYUKUR KARENA ALLAH TA’ALA

Ketahuilah bahwa seseorang itu belum dinamakan bersyukur kepada Allah, melainkan apabila kenikmatan yang diperolehnya itu dipergunakan untuk sesuatu yang disenangi-Nya, bukan yang disenangi itu untuk kemanfaatan Zat-Nya Allah ta’ala sendiri, tetapi justeru untuk kemanfaatan hamba-hamba-Nya belaka. Jadi andaikata seseorang itu mempergunakan kenikmatan yang diperolehnya untuk sesuatu yang tidak disetujui oleh Allah ta’ala, atau yang dibenci-Nya, apalagi untuk melanggar larangan-Nya, maka orang yang sedemikian ini berarti mengkufuri yakni menutupi kenikmatan itu sendiri. Termasuk juga dalam nama mengkufuri atau menutupi kenikmatan ialah seseorang yang membiarkan kenikmatan itu menganggur dan tidak digunakan sama sekali untuk kemanfaatan ummat, dibiarkan bertumpuk-tumpuk tanpa dibelanjakan untuk kemaslahatan.

Sekalipun keburukan dari yang terakhir ini (membiarkan kenikmatan) tidak sehebat yang pertama (menggunakan kenikmatan untuk kemaksiatan), tetapi sama-sama dapat dianggap sebagai mengkufuri kenikmatan, dengan menutupi yang semestinya harus ditampakkan serta menyia-nyiakan kenikmatan itu sendiri. Bukankah semua yang diciptakan di dunia ini sebenarnya hanyalah untuk digunakan sebagai alat atau perkakas agar dapat dipakai oleh ummat manusia guna mengejar kebahagiaan dan kesejahteraannya di dunia sampai di akhirat.

Untuk berbuat kesyukuran dan meninggalkan kekufuran (menutupi kenikmatan) itu, belum dapat dianggap sempurna melainkan dengan mengetahui apa sebenarnya yang dicintai oleh Allah untuk dilakukan oleh orang-orang yang mendapat kenikmatan itu dan mana-mana pula yang dibenci-Nya agar tidak dilakukan. Guna membedakan hal-hal yang bersangkutan dengan itu ada dua hal yang dapat digunakan sebagai pemecahannya, yaitu ;

Pertama ; apa yang didengarkan yakni yang berupa ayat-ayat, hadits, atsar ataupun keterangan-keterangan yang lain-lain yang bersumber dari agama.
Kedua ; penglihatan hati yaitu meneliti dengan maksud hendak mencari penjelasan, agar dapat menemukan apa-apa yang merupakan kebijaksanaan atau hikmat Allah ta’ala menciptakan segala yang maujud di alam semesta ini, sebab apa saja yang diciptakan oleh Allah ta’ala pasti disitu ada hikmat yang terkandung. Dibalik hikmat itu pasti ada tujuannya dan tujuan inilah yang sebenarnya dicintai oleh Allah ta’ala agar dilaksanakan.

Hikmat yang terkandung di dalamnya itu ada dua macam, yaitu ada yang jelas dan terang dan ada yang rahasia dan samar-samar.

Yang jelas, terang dan nyata ialah seperti mengetahui bahwa hikmat dibuatnya matahari adalah untuk dapat membedakan antara siang dan malam, maka siang dapatlah digunakan untuk mencari penghidupan, sandang pangan dan keperluan lain-lain, sedang malamnya untuk tidur, istirahat dan lainnya yang sepatutnya dikerjakan di waaktu malam itu. Sebabnya ialah tidak lain karena bekerja itu amat mudah sekali dilakukan di waktu tampak sinar yang cemerlang, sedang ketenangan barulah diperoleh di waktu matahari telah terbenam. Inilah salah satu dari hikmat diciptakannya matahari, tetapi belum semua hikmat yang ada disitu, sebab tentu masih banyak lagi hikmat-hikmat yang lain, lebih pelik dan lebih hebat. Demikian pula halnya mengetahui tentang hikmatnya ada mega mendung, awan tebal berarak-arak, kemudian menurunkan hujan. Tujuan hikmatnya tentulah untuk menyuburkan tanah itu agar dapat ditanami dengan berbagai macam tanaman yang akan merupakan bahan makanan bagi ummat manusia serta seluruh ternak dan sebagainya.

Sebenarnya Al Quran sudah mencakup secara menyeluruh perihal hikmat-hikmat yang nyata itu yang kiranya tidak sukar lagi bagi setiap orang untuk memahaminya. Ini tentu saja terkecuali dengan hikmat-hikmat yang pelik yang tidak sembarang orang dapat sampai penyelidikannya ke situ. Tentunya ada akal manusia yang belum sampai untuk mencapainya.

Misalnya dalam menguraikan hikmat air hujan. Allah ta’ala berfirman dalam surah ‘Abasa 25-32 :
اَنَّاصَبَبْنَاالْمَآءَصَبًّا. ثُمَّ شَقَقْنَااْلاَرْضَ شَقًّا. فَاَنْبَتْنَافِيْهَاحَبًّا. وَّعِنَبًاوَّقَضْبًا. وَزَيْتُوْنًاوَّنَخْلاً. وَّحَدَآئِقَ غُلْبًا. وَفَاكِهَةً وَّاَبًّا. مَتَاعًالَّكُمْ وَِلاَنْعَامِكُمْ.
Sesungguhnya Kami (Allah) mencurahkan air melimpah ruah. Sesudah itu bumi Kami belah dengan nyata. Kemudian Kami tumbuhkan disitu tanaman yang berbuah. Juga buah anggur dan sayur-mayur. Pohon zaitun dan kurma. Demikian pula kebun-kebun yang rapat pohon-pohonnya. Buah-buahan serta rumput. Sebagai harta benda (makanan) untukmu semua dan juga untuk binatang-binatang ternakmu.

Adapun hikmat mengenai diciptakannya bintang-bintang, maka hal ini amat samar-samar sekali dan bahkan masih lebih tepat dinamakan sebagai suatu rahasia, sebab tidak semua makhluk mengetahui tujuannya. Hanya saja yang dapat diperkirakan oleh ummat manusia umumnya ialah bahwa bintang-bintang itu adalah merupakan hiasan langit, agar supaya mata kita merasa nyaman memandangnya. Ini tepat sebagaimana firman Allah ta’ala sendiri dalam Al Quran dalam surah As Shaffat 6 :
اِنَّازَيَّنَّاالسَّمَآءَ الدُّنْيَابِزِيْنَةِ نِالْكَوَاكِبِ
Sesungguhnya Kami (Allah) memberi hiasan langit dunia (yang tampak di mata kita itu) dengan hiasan berupa bintang-bintang.

Sekalipun masih banyak hikmat yang belum dimaklumi, namun dapat memastikan bahwa segala benda yang merupakan bagian alam semesta ini, baik langit, angin, lautan, gunung, tambang, tanaman, binatang dan bahkan anggota dari binatang-binatang itu, semuanya itu pasti ada hikmatnya, bahkan banyak hikmatnya, dari satu sampai sepuluh macam hikmatnya itu, ataupun mungkin sampai seribu dan puluhan ribu hikmat yang terkandung disitu.

Anggota binatang pun dapat dibagi dua macam, yakni ada yang dapat dimaklumi hikmatnya seperti apa yang kita saksikan sendiri bahwa mata adalah untuk melihat, tangan untuk mengambil sedang kaki untuk berjalan.

BATAS MENSYUKURI DAN KUFUR NIKMAT

Kita sudah memaklumi bahwa jikalau kenikmatan itu digunakanakan untuk sesuatu yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, namanya kita mensyukuri kenikmatan tadi. Jikalau digunakan untuk sebaliknya atau tidak digunakan sama sekali, namanya mengkufuri (menutupi) kenikmatan itu.

Jadi ringkasnya ialah seseorang yang menggunakan sesuatu pada arah yang tidak sesuai dengan arah yang semestinya diciptakan untuk itu, ataupun digunakan untul hal-hal yang tidak selayaknya, maka orang sedemikian inilah yang menutupi kenikmatan Allah ta’ala.

Sebagai contoh dapat dikemukakan diantaranya ;

1. Seseorang yang memukul orang lain dengan tangannya, jelaslah bahwa ia mengkufuri kenikmatan tangan, sebab tangan itu bukanlah diciptakan untuk digunakan sebagai alat pemukul, tetapi semestinya ialah untuk membela dirinya dari segala sesuatu yang mungkin akan membinasakan diri dan jiwanya, juga untuk mengambil apa-apa yang memberikan kemanfaatan padanya. Jelasnya tangan itu bukanlah untuk merusakkan orang lain, untuk menyakiti orang lain atau hal-hal lain yang tidak semestinya.

2. Seseorang yang melihat wajah orang yang bukan muhrimnya (seperti lelaki melihat wanita lain), teranglah orang itu mengkufuri kenikmatan mata, sebab mata itu diciptakan bukan untuk itu, tetapi hanyalah untuk melihat apa-apa yang menyebabkan kemanfaatannya, baik selagi ia di dunia ini ataupun setelah akhirat nanti. Mata juga harus digunakan untuk berjaga-jaga dari apa-apa yang akan membahayakan diri, dunia dan akhirat.

3. Mengkufuri emas dan perak atau singkatnya harta. Lihatlah dulu apa hikmatnya Allah ta’ala membuat emas dan perak itu. Hikmatnya ialah untuk dijadikan penegak kehidupan dunia, sebagai alat penukaran keperluan. Sebenarnya dua benda ini tidak ada kemanfaatannya sama sekali menurut aslinya, dimakan tidak mengenyangkan, bahkan menyebabkan kesakitan. Tetapi sekalipun demikian semua makhluk manusia ini amat memerlukan kedua benda itu, sebab yang menjadi kebutuhan hidupnya adalah amat banyak sekali, baik yang berhubungan dengan makan minumnya, pakaiannya atau kebutuhannya yang lain-lain. Setiap orang tentu tidak dapat menghasilkan kebutuhannya itu sendiri, sehingga memiliki segala-galanya itu dengan cukup. Oleh karenanya, maka dibuatlah sebagai ganti kadar nilai dari apa yang diperlukan itu yakni yang disebut harta atau uang. Uang inilah yang dijadikan bahan penukaran yang diserahterimakan antara satu tangan dengan tangan yang lain, masuk dari saku ke saku yang lain. Kedua benda ini yakni emas dan perak itulah yang paling tepat untuk dijadikan bahan penukaran tadi, maka oleh sebab itu kedua benda itu pula yang merupakan hakim pemisah secara seadil-adilnya antara semua harta yang ada. Ada lagi hikmatnya yakni bahwa dengan kedua benda inilah seseorang dapat memperoleh tujuannya untuk memiliki sesuatu yang dikehendakinya. Masih banyak lagi hikmat-hikmatnya.

Maka dari itu, barangsiapa yang mempergunakan uang tersebut untuk sesuatu amalan yang menyalahi tujuan tertentu yang sebagaimana tersebut di atas, jelaslah bahwa orang yang berbuat demikian tadi mengkufuri kenikmatan harta dan uang.

Demikian pula seorang yang hanya menyimpannya saja dalam rumahnya, ia benar-benar menganiaya fungsi harta dan uang itu dan melalaikan hikmat yang terkandung dalam penciptaan emas dan perak tadi atau secara umumnya ialah menganggurkan tujuan pembuatan uang tadi.

4. Seseorang yang mematahkan dahan atau ranting pohon, apabila tidak ada kebutuhan yang penting untuk kegunaannya atau tidak ada tujuan yang benar, mengapa dipatahkannya itu, ia pun telah mengkufuri kenikmatan Allah ta’ala. Yang dikufuri ada dua macam, yaitu pembuatan pohon itu dan pembuatan tangan. Tangan itu dibuat bukanlah untuk bermain-main yang sama sekali tidak ada gunanya, tetapi ia dibuat untuk berbuat ketaatan atau apa-apa yang membantu untuk menuju kepada ketaatan itu. Adapun pohon itu diciptakan oleh Allah ta’ala bukan untuk dipatah-patahkan. Pohon diberi-Nya akar dan disini muncullah cabangnya. Pada akar itulah air dialirkan dan diberi-Nya kekuatan makan dan tumbuh, supaya dapat sampai pada puncak pertumbuhannya. Dengan demikian akhirnya manusia dapat mengambil kemanfaatannya. Oleh sebab itu, mematahkan pohon sebelum cukup sempurna pertumbuhannya, sedangkan kemanfaatan yang diambil dari pematahannya itu sama sekali tidak ada, teranglah perbuatan sedemikian ini menyalahi tujuan hikmat untuk apa pohon itu dibuat. Lagi pula membelokkan ketentuan yang seadil-adilnya yang semestinya harus dipenuhi.

Adapun jikalau mematahkannya itu ada tujuan yang dapat dianggap benar, maka itulah yang dikehendaki oleh Tuhan, misalnya untuk dijadikan kayu bakar, atau untuk dicangkokkan dan lain-lain. Memang, pohon dan binatang itu diciptakan untuk menyempurnakan kebutuhan manusia. Keduanya itupun pasti akan rusak dan binasa pada akhirnya nanti. Jadi membinasakan sesuatu yang lebih hina, untuk langsungnya kehidupan sesuatu yang lebih mulia, adalah suatu hal yang dekat sekali pada keadilan daripada menyia-nyiakan keduanya itu bersama-sama. Yang hina adalah pohon dan binatang sedang yang mulia adalah manusia. Adillah apabila yang hina itu dikorbankan untuk menjamin kelangsungan hidupnya yang mulia itu. Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala dalam surah Al Jatsiah 12 :
وَسَخَّرَلَكُمْ مَّافِى السَّموَاتِ وَمَافِى اْلاَرْضِ جَمِيْعًامِّنْهُ ...
Allah menundukkan segala yang ada di langit dan bumi semua itu untukmu dari karunia-Nya.

Jadi secara ringkasnya ialah barangsiapa yang sudah memahami hikmat-hikmat kejadiannya segala yang diciptakan oleh Allah ta’ala dari semua yang maujud ini, pasti ia dapat menunaikan kewajiban bersyukur terhadap apa yang dikaruniakan padanya itu.

Untuk memberikan perincian berbagai macam hikmat yang perlu disyukuri itu tentulah amat banyak sekali uraiannya.

SEBAB YANG MEMBELOKKAN SYUKUR

Kita tentu sudah mengetahui bahwa tidak semua orang yang memperoleh kenikmatan itu pasti akan bersyukur kepada Zat yang mengaruniakan kenikmatan tadi, bahkan ada yang mengkufurinya. Sebabnya tidak suka menyukuri itu tentu ada. Yang terpenting ialah karena memang tidak mengerti dan bodoh, tetapi adakalanya karena kelalaian belaka. Bodoh dan lalai inilah yang merupakan penghalang, sebab memang tidak mengerti bentuk kenikmatan tadi atau teledor untuk menyadarinya. Oleh sebab itu, kesyukuran pada kenikmatan itu baru dapat tergambar dalam akal fikiran orang yang bodoh dan lalai tadi, setelah ia mengetahui kenikmatan itu dengan sejelas-jelasnya.

Sementara itu ada pula orang yang mengira bahwa setelah mengetahui kenikmatan itu dan hendak mensyukurinya, maka untuk bersyukur itu cukuplah dengan mengucapkan ‘Alhamdulillah wa syukurillah (segenap puji bagi Allah dan kesyukuran pun bagi Allah)’. Orang yang beranggapan semacam ini agaknya belum mengetahui apa arti bersyukur itu yang sebenar-benarnya. Padahal maksud bersyukur itu ialah hendaknya seseorang itu menggunakan kenikmatan yang diterimanya tadi menurut hikmat yang sudah ditentukan dan untuk menyempurnakan hikmat ini perlulah dilaksanakan sebagaimana yang dikehendaki. Jelaslah bahwa yang dikehendaki dalam bersyukur tadi adalah melakukan ketaatan kepad Allah wa Jalla.

Kalau pun setelah mengetahui bahwa kedua macam ini yang menyebabkan, tetapi masih juga tidak dapat melakukan kesyukuran sebagaimana yang dikehendaki, maka jelaslah bahwa orang tersebut masih dapat dikalahkan oleh kesyahwatannya dan masih dapat ditakhlukkan oleh pengaruh syaithan yang terlaknat.

HAL YANG MEMERLUKAN KESABARAN DAN SYUKUR

Ketahuilah bahwa setiap kenikmatan duniawiah itu mungkin sekali di dalamnya ada suatu bencana disamping bentuknya bentuknya sebagai kenikmatan itu. Bayangkanlah sebagai misal, bahwa seseorang yang dalam keadaan miskin dan sakit, mungkin lebih baik untuk dirinya, sebab andaikata ia diberi kenikmatan banyak harta dan pula sehat tubuhnya, ia akan berbuat kedurhakaan dan penyelewengan dari batas agama. Ini sesuai benar dengan firman Allah ta’ala dalam surah Asy Syura 27 :
وَلَوْبَسَطَ الله الرِّزْقَ لِعِبَادِهِى لَبَغَوْافِى اْلاَرْضِ ...
Jikalau Allah melapangkan rizki untuk hamba-hamba-Nya, pasti mereka itu akan berbuat kedurhakaan di atas bumi.

Demikian pula firman-Nya dalam surah Al Alaq 6-7 :
كَلاَّ, اِنَّ اْلاِنْسَانَ لَيَطْغَى. اَنْرّاَاهُ اسْتَغْنَى
Jangan demikian, sesungguhnya manusia itu bertindak melanggar batas, sebab ia meliat dirinya serba cukup.

Demikian pula halnya dengan isteri (bagi suami) atau suami (bagi isteri), juga anak dan keluarga yang lain-lain, maka Allah ta’ala pasti mengadakan hikmat serta kenikmatan disitu. Jadi dalam membuat suatu bencana itupun oleh Allah diadakan pula kenikmatannya, baik bagi yang terkena bencana itu sendiri ataupun bagi orang lain. Oleh karena sesuatu hal, tidaklah dapat dianggap bahwa didalamnya itu hanya ada bencananya saja atau hanya berisi kenikmatan saja. Dalam segala hal, pasti ada kenikmatan dan ada pula bencananya.

Maka dari itu setiap manusia mempunyai dua macam kewajiban yaitu harus memiliki kesabaran dan harus pula tahu cara mensyukuri kenikmatan.

Mungkin ada orang yang bertanya, “Bukankah kedua hal itu bertentangan, yakni kesabaran dan kesyukuran itu, maka bagaimanakah keduanya itu dapat berkumpul menjadi satu ? Bukankah timbulnya kesabaran itu karena adanya sesuatu yang menyedihkan sedang timbulnya kesyukuran adalah karena adanya sesuatu yang menggembirakan ?”.

Untuk menjawab orang ini, baiklah kita uraikan dulu, “Sesuatu hal itu kadang-kadang dapat menimbulkan kesedihan bila dilihat dari satu sudut, tetapi dapat menimbulkan kegembiraan bila dilihat dari sudut lainnya. Jadi kesabaran itu maksudnya ialah untuk mengimbangi segi yang satunya yakni kesedihan, sedangkan kesyukuran untuk mengimbangi segi yang satunya pula yakni kegembiraan”.

Selanjutnya perlu kita maklumi bahwa setiap kemiskinan, kesakitan, ketakutan dan semua bencana di dunia ini di dalamnya ada lima perkara yang seyogyanya patut dijadikan bahan untuk kegembiraan bagi setiap orang yang berakal dan bahkan perlu sekali untuk disyukuri sebab dapat dianggap sebagai kenikmatan. Jelasnya ialah ;

Pertama ; setiap bencana atau kesakitan itu dapat dibayangkan yang lebih besar dan lebih mengerikan daripada yang dihadapinya atau yang sedang dideritanya. Sebabnya ialah karena apa yang ditakdirkan oleh Allah ta’ala itu tidak dapat dibatasi. Segala sesuatu pasti dalam kekuasaan-Nya. Karena itu bayangkanlah bagaimana sekiranya bencana atau sakitnya itu dilipatgandakan atau ditambah oleh Allah ta’ala, apakah kiranya dapat ditolak atau dihalang-halangi kedatangannya ?

Nah, oleh karena itu patutlah orang yang sedang terkena bencana atau yang sedang sakit itu bersyukur kepada Tuhan, sebab tidak sampai diberi yang lebih hebat, lebih parah dan lebih menyedihkan di dunia ini. Terutama jikalau semuanya itu ditanggulangi dengan kesabaran, maka pahalanya akan berlipat ganda pula, sedang keburukannya dapat dikurangi sebab sabarnya tadi.

Kedua ; datangnya bencana itu mungkin sekali sebagai musibah karena kekurangan taatnya dalam agama. Oleh karena itu dalam sebuah keterangan disebutkanlah doa yang diajarkan oleh nabi ‘Isa a.s. kepada kita, demikian :
اَللّهُمَّ لاَتَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَافِى دِيْنِنَا
Ya Allah, janganlah menjadikan musibah kita ini sebab keteledoran kita mengerjakan agama.

Ketiga ; sesuatu bencana atau musibah itu hendaklah digambarkan bagaimana sekiranya diakhirkan sampai di akhirat nanti. Bukankah lebih baik disiksa di dunia ini saja daripada dinantikan sampai hari kiamat.

Semua orang hendaknya mengingat selalu bahwa bencana di dunia ini masih dapat diringankan dengan hal-hal yang lain sehingga akan dirasakan tidak seberapa bagi penderitaannya dalam tubuh dan jiwa, sedang bencana akhirat adalah kekal untuk seterusnya. Maka dari itu hendaklah dibayangkan bahwa musibah yang diterimanya di dunia ini mudah-mudahan saja sebagai siksaan yang disegerakan semasih hidupnya di alam fana ini supaya tidak merasakannya lagi nanti di akhirat. Jikalau demikian, mengapa bencana yang bahkan akan menyebabkan keselamatan dirinya diakhirat nanti tidak disyukuri ?

Keempat ; sebenarnya semua bencana atau musibah itu sudah ditentukan secara pasti dan tercatat tanpa ada yang kuasa mengubahnya selain Allah ta’ala sendiri. Ketentuan dan catatan itu sudah ada sejak zaman azali di ummul kitab (induk catatan) yang ada di sisi Allah s.w.t. Semua yang sudah ditentukan dan dipastikan akan datang juga. Jadi jikalau sudah dialami, berarti sudah selesai dan orang yang terkena itu sudah terlepas dari sebagian bencana yang dipastikan untuknya atau sudah terlepas sama sekali, sudah tidak ada lagi bencana yang tercatat untuknya selain yang dialaminya itu.

Jikalau demikian, maka tibanya bencana tadi adalah sebagai kenikmatan, sebab sudah terlepas dari bencana yang tertentu.

Kelima ; bahwa pahala yang akan diperolehnya tentu lebih besar lagi dengan adanya musibah itu. Sebabnya ialah karena bencana dunia ini adalah sebagai jalan untuk menuju ke akhirat dan semua bencana dalam urusan keduniaan itu dapat diumpamakan sebagai obat yang pahit yang akan memberikan kemanfaatan di hari yang akan datang.

Seseorang yang dapat menginsyafi demikian ini tentu dapat membayangkan bagaimana caranya hendak bersyukur jikalau mendapatkan bahaya. Sebaliknya orang yang tidak dapat menyadari ini, tentunya sukar untuk menggambarkan bagaimana bencana atau musibah malahan disyukuri. Baginya kesyukuran hanyalah mengikuti atau menyertai kenikmatan yang tampak secara jelas. Padahal sebenarnya syukur yang lebih utama adalah dengan mema’rifati bentuk kenikmatan itu dalam keadaan darurat. Maka dari itu barangsiapa yang belum dapat mempercayai bahwa pahala terkena musibah itu sebenarnya lebih besar daripada musibah itu sendiri, maka tentunya tidak dapat membayangkan bagaimana hendak mensyukuri jikalau terkena musibah itu.

Perihal keterangan-keterangan dan nash-nash agama yang berhubungan dengan pahala kesabaran jikalau ditimpa musibah itu amat banyak sekali. Kiranya cukuplah untuk menguraikannya itu dengan mengutip sebuah firman Allah ta’ala dalam surah Az Zumar 10 :
... اِنَّمَايُوَفَّى الصّبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِحِسَابٍ
Hanyasanya orang-orang yang sabar itu akan dipenuhi pahalanya tanpa ada hitungannya.

Sekalipun kita sudah mengetahui betapa besarnya pahala orang yang sabar memperoleh bencana, namun jangan sekali-kali kita mengharapkan datangnya bencana itu pada diri kita. Yang sedemikian ini salah sekali. Apalagi kalau kita mencari-carinya.

Rasulullah s.a.w. yang sudah mengetahui keutamaan kenikmatan yang berbentuk bencana itu, tetap jug memohonkan kepada Allah ta’ala dalam doanya agar dilindungi dari bencana dunia dan akhirat. Beliau s.a.w. juga mohon perlindungan kepada Allah ta’ala, jangan sampai ditasymit oleh musuh. Tasymit musuh itu artinya musuh itu menjadi gembira sebab beliau s.a.w. memperoleh bencana. Banyak lagi yang dimohonkan oleh baliau s.a.w. agar Allah melindunginya, yang semuanya itu berupa bencana dan kesengsaraan.

Dalam sebuah hadits disebutkan (diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Nasa’i) :
سَلُواالله َالْعَافِيَةَ, فَمَااُعْطِيَ اَحَدٌ اَفْضَلَ مِنَ الْعَافِيَةِ, اِلاَّالْيَقِيْنَ
Mintalah kamu semua kepada Allah akan kesehatan (keselamatan dari bencana), sebab tidak seorang yang diberi karunia oleh Allah yang lebih dari itu, melainkan keyakinan.

Yang dimaksudkan dengan keyakinan(keimanan) ialah keselamatan hati dari segala macam penyakitnya seperti bodoh atau bimbang. Keselamatan hati adalah lebih utama daripada keselamatan badan.

Juga dalam doanya, beliau s.a.w. berkata (diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq) :
Keselamatan yang Engkau karuniakan adalah yang tercinta padaku.                             وَعَافِيَتُكَ اَحَبُّ اِلَيَّ

Marilah kita mohon kepada Allah ta’ala semoga dengan keutamaan-Nya, dilimpahkanlah kenikmatan-Nya pada seluruh makhluk-Nya yang berupa kesentosaan dan kesejahteraan serta keselamatan baik dalam hal dunia, agama dan akhirat, lebih-lebih untuk kita sekalian dan seluruh kaum muslimin sedunia. Amin.

Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar