KEUTAMAAN
SYUKUR
Allah s.w.t. banyak menyebutkan
perihal syukur ini dalam kitab suci Al Quran. Perhatikanlah ayat-ayat di bawah
ini ;
1. Syukur disertakan dengan zikir
kepada Tuhan (surah Al Baqarah 152) :
فَاذْكُرُنِيْ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْالِيْ
وَلاَتَكْفُرُوْنِ
Ingatlah kamu semua pada-Ku,
pasti Aku akan ingat padamu dan bersyukurlah pada-Ku dan jangan pula berbuat
kekufuran (menutup-nutupi kenikmatan yang telah diberikan).
2. Tidak akan disiksa selama
bersyukur dan beriman (surah An Nisa’ 147) :
مَايَفْعَلُ الله ُبِعَذَابِكُمْ
اِنْ شَكَرْتُمْ وَاَامَنْـتُمْ ...
Mengapa Tuhan akan menyiksa
kamu semua, jikalau kamu semua sudah bersyukur dan beriman.
3. Allah menentukan akan
memberikan tambahan kenikmatan kepada orang yang bersyukur (surah Ibrahim 7) :
...
لَئِنْ شَكَرْتُمْ َلاَزِيْدَنَّكُمْ ...
Niscayalah jikalau kamu semua
bersyukur, pasti Aku (Allah) akan memberi tambahan padamu semua.
Diantara hadits-hadits yang
menjelaskan perihal kesyukuran ialah ; (diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Ibnu Hibban) :
اَلطَّاعِمُ الشَّاكِرُ بِمَنْزِلَةِ
الصَّائِمِ الصَّابِرِ
Orang makan yang bersyukur
adalah memperoleh tempat sebagai seorang yang berpuasa yang sabar.
HAKIKAT
SYUKUR
Syukur itu tersusun dari tiga hal
yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan. Ilmunya ialah dengan menyadari bahwa
kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Zat yang Maha Pemberi
kenikmatan. Keadaannya ialah menyatakan kegembiraan yang timbulnya sebab memperoleh
kenikmatan tadi, sedang amalannya ialah menunaikan sesuatu yang sudah pasti
menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Zat yang Memberi kenikmatan itu untuk
dilaksanakan.
Amalannya itu banyak sekali
hubungannya, yaitu ada yang berhubungan dengan hati, ada yang dengan anggota
badan dan ada yang dengan lisan.
Hubungannya dengan hati ialah
sengaja berbuat kebaikan dan merahasiakannya kepada seluruh makhluk.
Hubungannya dengan lisan ialah
menyatakan kesyukuran kepada Allah ta’ala dengan mengucapkan puji-pujian yang
menunjukkan kesyukuran itu.
Adapun hubungannya dengan
anggota-anggota tubuh ialah mempergunakan kenikmatan yang diterimanya itu untuk
melaksanakan ketaatan kepada Allah yakni Zat yang Mengaruniakan kenikmatan
tadi, serta menjaga benar-benar jangan sampai kenikmatan tadi dipergunakan
untuk melakukan perbuatan maksiat.
BERSYUKUR
KARENA ALLAH TA’ALA
Ketahuilah bahwa seseorang itu
belum dinamakan bersyukur kepada Allah, melainkan apabila kenikmatan yang
diperolehnya itu dipergunakan untuk sesuatu yang disenangi-Nya, bukan yang
disenangi itu untuk kemanfaatan Zat-Nya Allah ta’ala sendiri, tetapi justeru
untuk kemanfaatan hamba-hamba-Nya belaka. Jadi andaikata seseorang itu
mempergunakan kenikmatan yang diperolehnya untuk sesuatu yang tidak disetujui oleh
Allah ta’ala, atau yang dibenci-Nya, apalagi untuk melanggar larangan-Nya, maka
orang yang sedemikian ini berarti mengkufuri yakni menutupi kenikmatan itu
sendiri. Termasuk juga dalam nama mengkufuri atau menutupi kenikmatan ialah
seseorang yang membiarkan kenikmatan itu menganggur dan tidak digunakan sama
sekali untuk kemanfaatan ummat, dibiarkan bertumpuk-tumpuk tanpa dibelanjakan
untuk kemaslahatan.
Sekalipun keburukan dari yang
terakhir ini (membiarkan kenikmatan) tidak sehebat yang pertama (menggunakan
kenikmatan untuk kemaksiatan), tetapi sama-sama dapat dianggap sebagai
mengkufuri kenikmatan, dengan menutupi yang semestinya harus ditampakkan serta
menyia-nyiakan kenikmatan itu sendiri. Bukankah semua yang diciptakan di dunia
ini sebenarnya hanyalah untuk digunakan sebagai alat atau perkakas agar dapat
dipakai oleh ummat manusia guna mengejar kebahagiaan dan kesejahteraannya di
dunia sampai di akhirat.
Untuk berbuat kesyukuran dan
meninggalkan kekufuran (menutupi kenikmatan) itu, belum dapat dianggap sempurna
melainkan dengan mengetahui apa sebenarnya yang dicintai oleh Allah untuk
dilakukan oleh orang-orang yang mendapat kenikmatan itu dan mana-mana pula yang
dibenci-Nya agar tidak dilakukan. Guna membedakan hal-hal yang bersangkutan
dengan itu ada dua hal yang dapat digunakan
sebagai pemecahannya, yaitu ;
Pertama
; apa yang didengarkan yakni yang berupa ayat-ayat, hadits, atsar ataupun
keterangan-keterangan yang lain-lain yang bersumber dari agama.
Kedua
; penglihatan hati yaitu meneliti dengan maksud hendak mencari penjelasan, agar
dapat menemukan apa-apa yang merupakan kebijaksanaan atau hikmat Allah ta’ala
menciptakan segala yang maujud di alam semesta ini, sebab apa saja yang
diciptakan oleh Allah ta’ala pasti disitu ada hikmat yang terkandung. Dibalik
hikmat itu pasti ada tujuannya dan tujuan inilah yang sebenarnya dicintai oleh
Allah ta’ala agar dilaksanakan.
Hikmat yang terkandung di
dalamnya itu ada dua macam, yaitu ada yang jelas dan terang dan ada yang
rahasia dan samar-samar.
Yang jelas, terang dan nyata
ialah seperti mengetahui bahwa hikmat dibuatnya matahari adalah untuk dapat
membedakan antara siang dan malam, maka siang dapatlah digunakan untuk mencari
penghidupan, sandang pangan dan keperluan lain-lain, sedang malamnya untuk
tidur, istirahat dan lainnya yang sepatutnya dikerjakan di waaktu malam itu.
Sebabnya ialah tidak lain karena bekerja itu amat mudah sekali dilakukan di
waktu tampak sinar yang cemerlang, sedang ketenangan barulah diperoleh di waktu
matahari telah terbenam. Inilah salah satu dari hikmat diciptakannya matahari,
tetapi belum semua hikmat yang ada disitu, sebab tentu masih banyak lagi
hikmat-hikmat yang lain, lebih pelik dan lebih hebat. Demikian pula halnya
mengetahui tentang hikmatnya ada mega mendung, awan tebal berarak-arak,
kemudian menurunkan hujan. Tujuan hikmatnya tentulah untuk menyuburkan tanah
itu agar dapat ditanami dengan berbagai macam tanaman yang akan merupakan bahan
makanan bagi ummat manusia serta seluruh ternak dan sebagainya.
Sebenarnya Al Quran sudah
mencakup secara menyeluruh perihal hikmat-hikmat yang nyata itu yang kiranya
tidak sukar lagi bagi setiap orang untuk memahaminya. Ini tentu saja terkecuali
dengan hikmat-hikmat yang pelik yang tidak sembarang orang dapat sampai penyelidikannya
ke situ. Tentunya ada akal manusia yang belum sampai untuk mencapainya.
Misalnya dalam menguraikan hikmat
air hujan. Allah ta’ala berfirman dalam surah ‘Abasa 25-32 :
اَنَّاصَبَبْنَاالْمَآءَصَبًّا.
ثُمَّ شَقَقْنَااْلاَرْضَ شَقًّا. فَاَنْبَتْنَافِيْهَاحَبًّا. وَّعِنَبًاوَّقَضْبًا.
وَزَيْتُوْنًاوَّنَخْلاً. وَّحَدَآئِقَ غُلْبًا. وَفَاكِهَةً وَّاَبًّا. مَتَاعًالَّكُمْ
وَِلاَنْعَامِكُمْ.
Sesungguhnya Kami (Allah)
mencurahkan air melimpah ruah. Sesudah itu bumi Kami belah dengan nyata.
Kemudian Kami tumbuhkan disitu tanaman yang berbuah. Juga buah anggur dan
sayur-mayur. Pohon zaitun dan kurma. Demikian pula kebun-kebun yang rapat
pohon-pohonnya. Buah-buahan serta rumput. Sebagai harta benda (makanan) untukmu
semua dan juga untuk binatang-binatang ternakmu.
Adapun hikmat mengenai
diciptakannya bintang-bintang, maka hal ini amat samar-samar sekali dan bahkan
masih lebih tepat dinamakan sebagai suatu rahasia, sebab tidak semua makhluk
mengetahui tujuannya. Hanya saja yang dapat diperkirakan oleh ummat manusia
umumnya ialah bahwa bintang-bintang itu adalah merupakan hiasan langit, agar
supaya mata kita merasa nyaman memandangnya. Ini tepat sebagaimana firman Allah
ta’ala sendiri dalam Al Quran dalam surah As Shaffat 6 :
اِنَّازَيَّنَّاالسَّمَآءَ الدُّنْيَابِزِيْنَةِ
نِالْكَوَاكِبِ
Sesungguhnya Kami (Allah)
memberi hiasan langit dunia (yang tampak di mata kita itu) dengan hiasan berupa
bintang-bintang.
Sekalipun masih banyak hikmat
yang belum dimaklumi, namun dapat memastikan bahwa segala benda yang merupakan
bagian alam semesta ini, baik langit, angin, lautan, gunung, tambang, tanaman,
binatang dan bahkan anggota dari binatang-binatang itu, semuanya itu pasti ada
hikmatnya, bahkan banyak hikmatnya, dari satu sampai sepuluh macam hikmatnya
itu, ataupun mungkin sampai seribu dan puluhan ribu hikmat yang terkandung
disitu.
Anggota binatang pun dapat dibagi
dua macam, yakni ada yang dapat dimaklumi hikmatnya seperti apa yang kita
saksikan sendiri bahwa mata adalah untuk melihat, tangan untuk mengambil sedang
kaki untuk berjalan.
BATAS
MENSYUKURI DAN KUFUR NIKMAT
Kita sudah memaklumi bahwa
jikalau kenikmatan itu digunakanakan untuk sesuatu yang dicintai dan diridhoi
oleh Allah, namanya kita mensyukuri kenikmatan tadi. Jikalau digunakan untuk
sebaliknya atau tidak digunakan sama sekali, namanya mengkufuri (menutupi)
kenikmatan itu.
Jadi ringkasnya ialah seseorang
yang menggunakan sesuatu pada arah yang tidak sesuai dengan arah yang
semestinya diciptakan untuk itu, ataupun digunakan untul hal-hal yang tidak
selayaknya, maka orang sedemikian inilah yang menutupi kenikmatan Allah ta’ala.
Sebagai contoh dapat dikemukakan
diantaranya ;
1. Seseorang yang memukul orang
lain dengan tangannya, jelaslah bahwa ia mengkufuri kenikmatan tangan, sebab
tangan itu bukanlah diciptakan untuk digunakan sebagai alat pemukul, tetapi
semestinya ialah untuk membela dirinya dari segala sesuatu yang mungkin akan
membinasakan diri dan jiwanya, juga untuk mengambil apa-apa yang memberikan
kemanfaatan padanya. Jelasnya tangan itu bukanlah untuk merusakkan orang lain,
untuk menyakiti orang lain atau hal-hal lain yang tidak semestinya.
2. Seseorang yang melihat wajah
orang yang bukan muhrimnya (seperti lelaki melihat wanita lain), teranglah
orang itu mengkufuri kenikmatan mata, sebab mata itu diciptakan bukan untuk
itu, tetapi hanyalah untuk melihat apa-apa yang menyebabkan kemanfaatannya,
baik selagi ia di dunia ini ataupun setelah akhirat nanti. Mata juga harus
digunakan untuk berjaga-jaga dari apa-apa yang akan membahayakan diri, dunia
dan akhirat.
3. Mengkufuri emas dan perak atau
singkatnya harta. Lihatlah dulu apa hikmatnya Allah ta’ala membuat emas dan
perak itu. Hikmatnya ialah untuk dijadikan penegak kehidupan dunia, sebagai
alat penukaran keperluan. Sebenarnya dua benda ini tidak ada kemanfaatannya
sama sekali menurut aslinya, dimakan tidak mengenyangkan, bahkan menyebabkan
kesakitan. Tetapi sekalipun demikian semua makhluk manusia ini amat memerlukan
kedua benda itu, sebab yang menjadi kebutuhan hidupnya adalah amat banyak
sekali, baik yang berhubungan dengan makan minumnya, pakaiannya atau
kebutuhannya yang lain-lain. Setiap orang tentu tidak dapat menghasilkan
kebutuhannya itu sendiri, sehingga memiliki segala-galanya itu dengan cukup.
Oleh karenanya, maka dibuatlah sebagai ganti kadar nilai dari apa yang
diperlukan itu yakni yang disebut harta atau uang. Uang inilah yang dijadikan
bahan penukaran yang diserahterimakan antara satu tangan dengan tangan yang
lain, masuk dari saku ke saku yang lain. Kedua benda ini yakni emas dan perak
itulah yang paling tepat untuk dijadikan bahan penukaran tadi, maka oleh sebab
itu kedua benda itu pula yang merupakan hakim pemisah secara seadil-adilnya
antara semua harta yang ada. Ada lagi hikmatnya yakni bahwa dengan kedua benda
inilah seseorang dapat memperoleh tujuannya untuk memiliki sesuatu yang
dikehendakinya. Masih banyak lagi hikmat-hikmatnya.
Maka dari itu, barangsiapa yang
mempergunakan uang tersebut untuk sesuatu amalan yang menyalahi tujuan tertentu
yang sebagaimana tersebut di atas, jelaslah bahwa orang yang berbuat demikian
tadi mengkufuri kenikmatan harta dan uang.
Demikian pula seorang yang hanya
menyimpannya saja dalam rumahnya, ia benar-benar menganiaya fungsi harta dan
uang itu dan melalaikan hikmat yang terkandung dalam penciptaan emas dan perak
tadi atau secara umumnya ialah menganggurkan tujuan pembuatan uang tadi.
4. Seseorang yang mematahkan
dahan atau ranting pohon, apabila tidak ada kebutuhan yang penting untuk
kegunaannya atau tidak ada tujuan yang benar, mengapa dipatahkannya itu, ia pun
telah mengkufuri kenikmatan Allah ta’ala. Yang dikufuri ada dua macam, yaitu
pembuatan pohon itu dan pembuatan tangan. Tangan itu dibuat bukanlah untuk
bermain-main yang sama sekali tidak ada gunanya, tetapi ia dibuat untuk berbuat
ketaatan atau apa-apa yang membantu untuk menuju kepada ketaatan itu. Adapun
pohon itu diciptakan oleh Allah ta’ala bukan untuk dipatah-patahkan. Pohon
diberi-Nya akar dan disini muncullah cabangnya. Pada akar itulah air dialirkan
dan diberi-Nya kekuatan makan dan tumbuh, supaya dapat sampai pada puncak pertumbuhannya.
Dengan demikian akhirnya manusia dapat mengambil kemanfaatannya. Oleh sebab
itu, mematahkan pohon sebelum cukup sempurna pertumbuhannya, sedangkan
kemanfaatan yang diambil dari pematahannya itu sama sekali tidak ada, teranglah
perbuatan sedemikian ini menyalahi tujuan hikmat untuk apa pohon itu dibuat.
Lagi pula membelokkan ketentuan yang seadil-adilnya yang semestinya harus
dipenuhi.
Adapun jikalau mematahkannya itu
ada tujuan yang dapat dianggap benar, maka itulah yang dikehendaki oleh Tuhan,
misalnya untuk dijadikan kayu bakar, atau untuk dicangkokkan dan lain-lain.
Memang, pohon dan binatang itu diciptakan untuk menyempurnakan kebutuhan
manusia. Keduanya itupun pasti akan rusak dan binasa pada akhirnya nanti. Jadi
membinasakan sesuatu yang lebih hina, untuk langsungnya kehidupan sesuatu yang
lebih mulia, adalah suatu hal yang dekat sekali pada keadilan daripada
menyia-nyiakan keduanya itu bersama-sama. Yang hina adalah pohon dan binatang
sedang yang mulia adalah manusia. Adillah apabila yang hina itu dikorbankan
untuk menjamin kelangsungan hidupnya yang mulia itu. Inilah yang diisyaratkan
oleh firman Allah ta’ala dalam surah Al Jatsiah 12 :
وَسَخَّرَلَكُمْ مَّافِى السَّموَاتِ وَمَافِى اْلاَرْضِ
جَمِيْعًامِّنْهُ ...
Allah menundukkan segala yang
ada di langit dan bumi semua itu untukmu dari karunia-Nya.
Jadi secara ringkasnya ialah
barangsiapa yang sudah memahami hikmat-hikmat kejadiannya segala yang
diciptakan oleh Allah ta’ala dari semua yang maujud ini, pasti ia dapat
menunaikan kewajiban bersyukur terhadap apa yang dikaruniakan padanya itu.
Untuk memberikan perincian
berbagai macam hikmat yang perlu disyukuri itu tentulah amat banyak sekali
uraiannya.
SEBAB
YANG MEMBELOKKAN SYUKUR
Kita tentu sudah mengetahui bahwa
tidak semua orang yang memperoleh kenikmatan itu pasti akan bersyukur kepada
Zat yang mengaruniakan kenikmatan tadi, bahkan ada yang mengkufurinya. Sebabnya
tidak suka menyukuri itu tentu ada. Yang terpenting ialah karena memang tidak
mengerti dan bodoh, tetapi adakalanya karena kelalaian belaka. Bodoh dan lalai
inilah yang merupakan penghalang, sebab memang tidak mengerti bentuk kenikmatan
tadi atau teledor untuk menyadarinya. Oleh sebab itu, kesyukuran pada
kenikmatan itu baru dapat tergambar dalam akal fikiran orang yang bodoh dan
lalai tadi, setelah ia mengetahui kenikmatan itu dengan sejelas-jelasnya.
Sementara itu ada pula orang yang
mengira bahwa setelah mengetahui kenikmatan itu dan hendak mensyukurinya, maka
untuk bersyukur itu cukuplah dengan mengucapkan ‘Alhamdulillah wa syukurillah
(segenap puji bagi Allah dan kesyukuran pun bagi Allah)’. Orang yang
beranggapan semacam ini agaknya belum mengetahui apa arti bersyukur itu yang
sebenar-benarnya. Padahal maksud bersyukur itu ialah hendaknya seseorang itu
menggunakan kenikmatan yang diterimanya tadi menurut hikmat yang sudah
ditentukan dan untuk menyempurnakan hikmat ini perlulah dilaksanakan
sebagaimana yang dikehendaki. Jelaslah bahwa yang dikehendaki dalam bersyukur
tadi adalah melakukan ketaatan kepad Allah wa Jalla.
Kalau pun setelah mengetahui
bahwa kedua macam ini yang menyebabkan, tetapi masih juga tidak dapat melakukan
kesyukuran sebagaimana yang dikehendaki, maka jelaslah bahwa orang tersebut
masih dapat dikalahkan oleh kesyahwatannya dan masih dapat ditakhlukkan oleh
pengaruh syaithan yang terlaknat.
HAL YANG
MEMERLUKAN KESABARAN DAN SYUKUR
Ketahuilah bahwa setiap
kenikmatan duniawiah itu mungkin sekali di dalamnya ada suatu bencana disamping
bentuknya bentuknya sebagai kenikmatan itu. Bayangkanlah sebagai misal, bahwa
seseorang yang dalam keadaan miskin dan sakit, mungkin lebih baik untuk
dirinya, sebab andaikata ia diberi kenikmatan banyak harta dan pula sehat
tubuhnya, ia akan berbuat kedurhakaan dan penyelewengan dari batas agama. Ini
sesuai benar dengan firman Allah ta’ala dalam surah Asy Syura 27 :
وَلَوْبَسَطَ الله الرِّزْقَ لِعِبَادِهِى لَبَغَوْافِى اْلاَرْضِ
...
Jikalau Allah melapangkan
rizki untuk hamba-hamba-Nya, pasti mereka itu akan berbuat kedurhakaan di atas
bumi.
Demikian pula firman-Nya dalam
surah Al Alaq 6-7 :
كَلاَّ, اِنَّ اْلاِنْسَانَ لَيَطْغَى.
اَنْرّاَاهُ اسْتَغْنَى
Jangan demikian, sesungguhnya
manusia itu bertindak melanggar batas, sebab ia meliat dirinya serba cukup.
Demikian pula halnya dengan
isteri (bagi suami) atau suami (bagi isteri), juga anak dan keluarga yang
lain-lain, maka Allah ta’ala pasti mengadakan hikmat serta kenikmatan disitu.
Jadi dalam membuat suatu bencana itupun oleh Allah diadakan pula kenikmatannya,
baik bagi yang terkena bencana itu sendiri ataupun bagi orang lain. Oleh karena
sesuatu hal, tidaklah dapat dianggap bahwa didalamnya itu hanya ada bencananya
saja atau hanya berisi kenikmatan saja. Dalam segala hal, pasti ada kenikmatan
dan ada pula bencananya.
Maka dari itu setiap manusia
mempunyai dua macam kewajiban yaitu harus memiliki kesabaran dan harus pula
tahu cara mensyukuri kenikmatan.
Mungkin ada orang yang bertanya,
“Bukankah kedua hal itu bertentangan, yakni kesabaran dan kesyukuran itu, maka
bagaimanakah keduanya itu dapat berkumpul menjadi satu ? Bukankah timbulnya
kesabaran itu karena adanya sesuatu yang menyedihkan sedang timbulnya kesyukuran
adalah karena adanya sesuatu yang menggembirakan ?”.
Untuk menjawab orang ini, baiklah
kita uraikan dulu, “Sesuatu hal itu kadang-kadang dapat menimbulkan kesedihan
bila dilihat dari satu sudut, tetapi dapat menimbulkan kegembiraan bila dilihat
dari sudut lainnya. Jadi kesabaran itu maksudnya ialah untuk mengimbangi segi
yang satunya yakni kesedihan, sedangkan kesyukuran untuk mengimbangi segi yang
satunya pula yakni kegembiraan”.
Selanjutnya perlu kita maklumi
bahwa setiap kemiskinan, kesakitan, ketakutan dan semua bencana di dunia ini di
dalamnya ada lima perkara yang seyogyanya patut dijadikan bahan untuk kegembiraan
bagi setiap orang yang berakal dan bahkan perlu sekali untuk disyukuri sebab
dapat dianggap sebagai kenikmatan. Jelasnya ialah ;
Pertama
; setiap bencana atau kesakitan itu dapat dibayangkan yang lebih besar dan
lebih mengerikan daripada yang dihadapinya atau yang sedang dideritanya.
Sebabnya ialah karena apa yang ditakdirkan oleh Allah ta’ala itu tidak dapat
dibatasi. Segala sesuatu pasti dalam kekuasaan-Nya. Karena itu bayangkanlah
bagaimana sekiranya bencana atau sakitnya itu dilipatgandakan atau ditambah
oleh Allah ta’ala, apakah kiranya dapat ditolak atau dihalang-halangi
kedatangannya ?
Nah, oleh karena itu patutlah
orang yang sedang terkena bencana atau yang sedang sakit itu bersyukur kepada
Tuhan, sebab tidak sampai diberi yang lebih hebat, lebih parah dan lebih
menyedihkan di dunia ini. Terutama jikalau semuanya itu ditanggulangi dengan
kesabaran, maka pahalanya akan berlipat ganda pula, sedang keburukannya dapat
dikurangi sebab sabarnya tadi.
Kedua
; datangnya bencana itu mungkin sekali sebagai musibah karena kekurangan
taatnya dalam agama. Oleh karena itu dalam sebuah keterangan disebutkanlah doa
yang diajarkan oleh nabi ‘Isa a.s. kepada kita, demikian :
اَللّهُمَّ لاَتَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَافِى
دِيْنِنَا
Ya Allah, janganlah menjadikan
musibah kita ini sebab keteledoran kita mengerjakan agama.
Ketiga
; sesuatu bencana atau musibah itu hendaklah digambarkan bagaimana sekiranya
diakhirkan sampai di akhirat nanti. Bukankah lebih baik disiksa di dunia ini
saja daripada dinantikan sampai hari kiamat.
Semua orang hendaknya mengingat
selalu bahwa bencana di dunia ini masih dapat diringankan dengan hal-hal yang
lain sehingga akan dirasakan tidak seberapa bagi penderitaannya dalam tubuh dan
jiwa, sedang bencana akhirat adalah kekal untuk seterusnya. Maka dari itu
hendaklah dibayangkan bahwa musibah yang diterimanya di dunia ini mudah-mudahan
saja sebagai siksaan yang disegerakan semasih hidupnya di alam fana ini supaya
tidak merasakannya lagi nanti di akhirat. Jikalau demikian, mengapa bencana
yang bahkan akan menyebabkan keselamatan dirinya diakhirat nanti tidak
disyukuri ?
Keempat
; sebenarnya semua bencana atau musibah itu sudah ditentukan secara pasti dan
tercatat tanpa ada yang kuasa mengubahnya selain Allah ta’ala sendiri.
Ketentuan dan catatan itu sudah ada sejak zaman azali di ummul kitab (induk
catatan) yang ada di sisi Allah s.w.t. Semua yang sudah ditentukan dan
dipastikan akan datang juga. Jadi jikalau sudah dialami, berarti sudah selesai
dan orang yang terkena itu sudah terlepas dari sebagian bencana yang dipastikan
untuknya atau sudah terlepas sama sekali, sudah tidak ada lagi bencana yang
tercatat untuknya selain yang dialaminya itu.
Jikalau demikian, maka tibanya
bencana tadi adalah sebagai kenikmatan, sebab sudah terlepas dari bencana yang
tertentu.
Kelima
; bahwa pahala yang akan diperolehnya tentu lebih besar lagi dengan adanya
musibah itu. Sebabnya ialah karena bencana dunia ini adalah sebagai jalan untuk
menuju ke akhirat dan semua bencana dalam urusan keduniaan itu dapat
diumpamakan sebagai obat yang pahit yang akan memberikan kemanfaatan di hari
yang akan datang.
Seseorang yang dapat menginsyafi
demikian ini tentu dapat membayangkan bagaimana caranya hendak bersyukur
jikalau mendapatkan bahaya. Sebaliknya orang yang tidak dapat menyadari ini,
tentunya sukar untuk menggambarkan bagaimana bencana atau musibah malahan
disyukuri. Baginya kesyukuran hanyalah mengikuti atau menyertai kenikmatan yang
tampak secara jelas. Padahal sebenarnya syukur yang lebih utama adalah dengan
mema’rifati bentuk kenikmatan itu dalam keadaan darurat. Maka dari itu
barangsiapa yang belum dapat mempercayai bahwa pahala terkena musibah itu
sebenarnya lebih besar daripada musibah itu sendiri, maka tentunya tidak dapat
membayangkan bagaimana hendak mensyukuri jikalau terkena musibah itu.
Perihal keterangan-keterangan dan
nash-nash agama yang berhubungan dengan pahala kesabaran jikalau ditimpa
musibah itu amat banyak sekali. Kiranya cukuplah untuk menguraikannya itu
dengan mengutip sebuah firman Allah ta’ala dalam surah Az Zumar 10 :
...
اِنَّمَايُوَفَّى الصّبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِحِسَابٍ
Hanyasanya orang-orang yang
sabar itu akan dipenuhi pahalanya tanpa ada hitungannya.
Sekalipun kita sudah mengetahui
betapa besarnya pahala orang yang sabar memperoleh bencana, namun jangan
sekali-kali kita mengharapkan datangnya bencana itu pada diri kita. Yang
sedemikian ini salah sekali. Apalagi kalau kita mencari-carinya.
Rasulullah s.a.w. yang sudah
mengetahui keutamaan kenikmatan yang berbentuk bencana itu, tetap jug
memohonkan kepada Allah ta’ala dalam doanya agar dilindungi dari bencana dunia
dan akhirat. Beliau s.a.w. juga mohon perlindungan kepada Allah ta’ala, jangan
sampai ditasymit oleh musuh. Tasymit musuh itu artinya musuh itu menjadi
gembira sebab beliau s.a.w. memperoleh bencana. Banyak lagi yang dimohonkan
oleh baliau s.a.w. agar Allah melindunginya, yang semuanya itu berupa bencana
dan kesengsaraan.
Dalam sebuah hadits disebutkan
(diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Nasa’i) :
سَلُواالله َالْعَافِيَةَ, فَمَااُعْطِيَ
اَحَدٌ اَفْضَلَ مِنَ الْعَافِيَةِ, اِلاَّالْيَقِيْنَ
Mintalah kamu semua kepada
Allah akan kesehatan (keselamatan dari bencana), sebab tidak seorang yang
diberi karunia oleh Allah yang lebih dari itu, melainkan keyakinan.
Yang dimaksudkan dengan
keyakinan(keimanan) ialah keselamatan hati dari segala macam penyakitnya
seperti bodoh atau bimbang. Keselamatan hati adalah lebih utama daripada
keselamatan badan.
Juga dalam doanya, beliau s.a.w.
berkata (diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq) :
Keselamatan yang Engkau
karuniakan adalah yang tercinta padaku. وَعَافِيَتُكَ اَحَبُّ اِلَيَّ
Marilah kita mohon kepada Allah
ta’ala semoga dengan keutamaan-Nya, dilimpahkanlah kenikmatan-Nya pada seluruh
makhluk-Nya yang berupa kesentosaan dan kesejahteraan serta keselamatan baik
dalam hal dunia, agama dan akhirat, lebih-lebih untuk kita sekalian dan seluruh
kaum muslimin sedunia. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar