السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Senin, 09 Januari 2017

Tausiah ke-14 (Latihan Mental, Pendidikan Akhlak dan Pengobatan Penyakit Hati)

KEUTAMAAN BUDI PEKERTI YANG BAIK DAN CELANYA BUDI PEKERTI YANG JELEK

Allah ta’ala berfirman, sebagai pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. serta untuk memperlihatkan kenikmatan yang telah dilimpahkan kepadanya, yaitu dalam surah Al Qolam 4 :
Sesungguhnya engkau (Muhammad), niscaya memiliki budi pekerti yang agung.        وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

‘Aisyah r.’anha meriwayatkan sebuah hadit demikian (diriwayatkan oleh Muslim) :
Budi pekerti rasulullah s.a.w. adalah Al Quran.    كَانَ رَسُولُ الله ِصَلَّ االله ُعَلَيْهِ وَسَلَّم خُلُقُهُ الْقُرْآنُ                                

Rasulullah s.a.w. sendiri pernah menyatakan dalam sabdanya (diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim dan Baihaqi):
Bahwa aku ini, diutus untuk menyempurnakan kebaikan budi pekerti.اِنَّمَابُعِثْتُ ِلاُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلاَخْلاَقِ                

Beliau s.a.w. bersabda pula (diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Almaruzi) :
Agama adalah kebaikan budi pekerti.                       اَلدِّيْنُ حُسْنُ الْخُلُقِ                                                               
Suatu ketika beliau s.a.w. ditanya, apakah yang dianggap sebagai kecelakaan itu ? Beliau s.a.w. lalu menjawab (diriwayatkan oleh Abu Dawud) :
Yaitu buruknya budi pekerti.         سُوْءُالْخُلُقِ                                                                                               

Selain itu beliau s.a.w. bersabda lagi (diriwayatkan oleh Tirmidzi):
اِتَّقِ الله َحَيْثُمَاكُنْتَ وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَاوَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Takutlah kepada Allah dimana saja engkau berada dan ikutilah suatu kejelekan itu dengan kebaikan, maka kebaikan itu dapat menghapus kejelekan tadi, juga pergaulilah seluruh manusia dengan budi pekerti yang bagus.

Sekali waktu nabi Muhammad s.a.w. diberitahu bahwa ada seorang wanita yang suka berpuasa pada siang harinya dan bangun untuk shalat diwaktu malamnya, tetapi ia mempunyai budi pekerti yang jelek lagi suka mengganggu tetangganya dengan ucapannya. Demi mendengar itu rasulullah s.a.w. lalu bersabda (diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim) :
لاَخَيْرَفِيْهَا, هِيَ مِنْ اَهْلِ النَّارِ
Wanita itu tidak ada kebaikannya sama sekali dan ia termasuk golongan penghuni neraka.

Ada lagi sabda rasulullah s.a.w. yaitu (diriwayatkan oleh Daraquthni dan Kharaithi) :
اِنَّ الله َاِسْتَخْلَصَ هذَالدِّيْنَ لِنَفْسِهِ وَلاَيَصْلُحُ لِدِيْنِكُمْ اِلاَّالسَّخَاءَ وَحُسْنَ الْخُلُقِ. اَلاَفَزَيِّنُوْادِيْنَكُمْ بِهِمَا
Sesungguhnya Allah memurnikan agama ini untuk Zat-Nya sendiri dan tidak patutlah untuk agamamu itu melainkan bersifat dermawan dan berbudi yang baik. Ingatlah, maka hiasilah agamamu itu dengan kedua sifat tadi.

Ketika rasulullah s.a.w. ditanya, manakah diantara kaum mukminin itu yang terbaik keimanannya, maka beliau s.a.w. menjawab (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan lain-lain) :
Ialah yang terbaik budi pekertinya diantara mereka itu.اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا                                                       

Beliau s.a.w. bersabda lagi (diriwayatkan oleh Bazzar, Abu Ya’la dan Thabrani) :
اِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوْ النَّاسَ بِاَمْوَالِكُمْ فَسَعُوهُمْ بِبَسْطِ الْوَجْهِ وَحُسْنِ الْخُلُقِ
Sesungguhnya kamu semua tidak dapat mempergauli para manusia itu hanya dengan hartamu saja, maka pergaulilah mereka itu dengan wajah yang berseri-seri serta baiknya budi pekerti.

Dan sabdanya lagi (diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnu Hibban) :
يَااَبَاذَرٍّ, لاَعَقْلَ كَالتَّدْبِيْرِوَلاَحَسَبَ كَحُسْنِ الْخُلُقِ
Hai Abu Dzar, tidak ada akal (yang bermanfaat) seperti memikirkan dan tidak ada usaha (yang berguna) seperti baiknya budi pekerti.

Hasan berkata, “Perumpamaan budi pekerti yang buruk adalah bagaikan benda dari tanah liat yang sudah pecah, tidak dapat diperbaiki (ditambal) dan tidak pula dijadikan tanah liat kembali”.

Fudlail berkata, “Sebenarnyalah kalau saya ini berkawan dengan orang yang durhaka, tetapi baik budi pekertinya, adalah lebih baik bagiku daripada berkawan dengan seorang yang ahli ibadat, tetapi sangat buruk budi pekertinya”.

PENDAPAT KAUM SALAF TENTANG BUDI PEKERTI YANG BAIK

Ketahuilah bahwa dari kaum salaf, dalam mengupas perihal budi pekerti yang baik itu, ada yang menganggap bahwa itulah yang merupakan buah dan ada yang menganggap sebagai tujuan.

Diantaranya ialah yang diuraikan oleh Hasan rahimahullah yaitu, “Budi pekerti yang baik ialah menunjukkan wajah yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda kedermawanan dan menahan diri dari perbuatan yang menyakiti”.

Selanjutnya di bagian lain ia berkata, “Budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh makhluk, baik dalam kesukaan (keadaan murah rizki) atau dalam kedukaan (keadaan kekurangan)”.

Ada lagi keterangan-keterangan yang lain yang dari semuanya itu dapat diambil kesimpulan bahwa kelakuan-kelakuan yang baik itulah yang merupakan buah dari budi pekerti yang baik pula.

Tetapi apakah sebenarnya hakikat dari pengertian budi pekerti itu ?

Hakikat daripada pengertian budi pekerti itu ialah suatu hayat atau bentuk dari sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari situlah timbulnya berbagai-bagai perbuatan dengan cara spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan tanpa membutuhkan pemikiran atau angan-angan. Apabila dari hayat tadi timbul kelakuan-kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari’at dan akal fikiran, maka hayat yang demikian itulah yang dinamakan budi pekerti yang baik. Sebaliknya apabila yang timbul daripadanya itu kelakuan-kelakuan yang buruk, maka hayat yang demikian itulah yang dinamakan budi pekerti yang buruk pula.

Sebabnya kami mengatakan bahwa itu adalah hayat yang meresap terpateri, sebab andaikata ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk sesuatu hajat yang secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang sedemikian ini disebut orang yang dermawan sebagai dasar budi pekertinya, selama keadaan yang semacam itu belum lagi meresap dan menetap benar-benar dalam jiwanya. Juga kami syaratkan bahwa timbulnya perbuatan-perbuatan tadi haruslah dengan cara sebagai kebiasaan dan mudah, tanpa diangan-angan atau memerlukan pemikiran, sebab andaikata ada seorang yang dengan memaksa sekali pada dirinya untuk membelanjakan hartanya, atau memaksa hatinya untuk berdiam diwaktu timbul sesuatu yang menyebabkan kemarahan, sedang hal itu diusahakan dengan bersungguh-sungguh dan penekanan atau dipikir-pikirkan dahulu, maka bukanlah orang yang semacam itu dapat dinamakan seorang dermawan atau penyantun dan sabar.

Adapun induk seluruh akhlak dan yang merupakan sendi-sendinya itu ada empat hal, yaitu ;
a. Hikmat atau kebijaksanaan.
b. Keberaranian.
c. Kelapangan dada.
d. Keadilan.

Hikmat ialah suatu keadaan jiwa yang dengannya itulah dapat ditemukannya hal-hal yang benar dengan menyisihkan mana-mana yang salah dalam segala urusan yang dihadapi secara ikhtiariah.

Keberanian ialah suatu keadaan jiwa yang merupakan sifat kemarahan, tetapi yang dituntun dengan akal fikiran untuk terus maju atau mengekangnya.

Kelapangan dada ialah mendidik kekuatan syahwat atau kemauan dengan didikan yang bersendikan akal fikiran serta syari’at agama.

Keadilan ialah suatu kekuatan dalam jiwa yang dapat membimbing kemarahan dan syahwat itu dan membawanya ke arah yang sesuai dengan hikmat dan kebijaksanaan. Adakalanya dibiarkan dan adakalanya dikekang dan semua ini dengan mengingat keadaan dan suasana yang sedang dihadapinya.

Dari kelurusan keempat macam sendi-sendi pokok itulah timbulnya semua akhlak yang baik dan terpuji. Al Quran telah mengisyaratkan perihal akhlak-akhlak ini dalam memberikan sifat kepada kaum mukminin, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al Hujurat 15 :
اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اَامَنُوْابِالله ِوَرَسُولِهِى ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْاوَجَاهَدُوْابِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ الله ِ. اُولئِكَ هُمُ الصّدِقُوْنَ
Bahwa orang-orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwanya untuk sabilillah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Jadi keimanan kepada Allah dan rasul-Nya tanpa keragu-raguan itulah yang merupakan keyakinan yang kuat dan kokoh dan inilah sebagai buah daripada akal fikiran dan ujung dari hikmat dan kebijaksanaan.

Berjuang dengan harta ialah dengan kedermawanan yang ditujukan untuk menekan kekuatan syahwat, sedang berjuang dengan jiwa ialah dengan keberanian yang ditujukan untuk menggunakan kekuatan kemarahan menurut syarat akal fikiran dan batas kejujuran dan bersikap sedang dalam segala hal. Allah ta’ala dalam menguraikan sifat-sifat sahabat nabi s.a.w., berfirman dalam surah Al Fath 29 :
... اَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ...
Mereka itu bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi saling kasih-mengasihi antara sesama mereka sendiri.

Ini adalah sebagai petunjuk bahwa kekerasan itu ada tempatnya sendiri dan kasih sayang pun ada tempatnya sendiri pula. Jadi tidaklah dapat dinamakan  kesempurnaan, jikalau kekerasan digunakan dalam segala tempat atau kasih-sayang diterapkan pada segala tempat juga.

PERANAN LATIHAN DALAM PEMBINAAN AKHLAK

Ketahuilah bahwa seseorang yang jiwanya sudah senantiasa dikalahkan oleh nafsu kebathilan, tentulah ia akan sukar untuk bersungguh-sungguh melatih jiwanya itu atau berusaha untuk menyucikannya serta membekasnya didikan budi pekerti, sehingga jiwanya tidak berkesempatan lagi untuk berbuat sedemikian tadi. Keadaan yang semacam ini boleh jadi karena keteledorannya atau kurang keikhlasan hatinya atau memang buruk watak dan tabiatnya. Akhirnya ia lalu menyangka bahwa akhlak itu tidak mungkin dapat diubah, sebab menurut anggapannya akhlak itu memang tidak dapat berubah-ubah. Terhadap orang yang berfaham sedemikian ini perlulah kita berikan jawabannya yaitu andaikata akhlak itu memang tidak dapat berubah-ubah, tentu tidak berguna lagi perintah-perintah untuk memberikan wasiat, pesan, nasehat dan pendidikan. Juga kalau demikian halnya, pastilah rasulullah s.a.w. tidak perlu bersabda (diriwayatkan oleh Abu Bakal bin La-al) :
Perbaikilah akhlakmu.حَسِّنُوْااَخْلاَقَكُمْ                                                                                                            

Jadi untuk apa beliau s.a.w. bersabda semacam itu andaikata memang tidak dapat diubah. Jelaslah bahwa pendapat semacam ini salah sekali. Memang akhlak itu dapat diubah-ubah. Mengapa ini diingkari bagi suatu makhluk yang berujud manusia, sedangkan mengubah tabiat binatang masih dapat dilaksanakan. Bukankah burung rajawali yang asalnya ganas dapat dijadikan jinak, dan kuda yang asalnya enggan dikekang dapatlah akhirnya dipimpin dan dikendalikan. Semuanya itu adalah sebagai bukti yang jelas bahwa akhlak memang dapat diubah-ubah dan mungkin mengalami perubahan.

Untuk lebih menjelaskan uraian di atas, baiklah kita berikan kupasannya sebagai berikut ;

Segala sesuatu yang maujud atau ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua macam, yakni ;

Pertama ; sesuatu yang tidak ada pengaruh manusia sama sekali didalamnya dan sejak asal mulanya memang bukan merupakan ikhtiar manusia itu. Perinciannya ialah seperti langit, bintang-bintang dan bahkan semua anggota tubuh yang luar dan dalam, juga semua macam binatang. Ringkasnya ialah segala benda yang sudah ada dan sempurna, yang sejak adanya sudah sebagaimana adanya tadi dan memang itulah kesempurnaan kejadiannya.

Kedua ; sesuatu yang sudah ada dan masih dalam keadaan kurang, tetapi di dalamnya dikaruniai oleh Allah ta’ala suatu kekuatan untuk menerima kesempurnaan, apabila ada syarat-syaratnya yang diperlukan untuk membuatnya menjadi sempurna itu. Syarat-syarat ini adakalanya berhubungan dengan usaha manusia. Misalnya ialah biji-bijian. Biji itu tidak mungkin dapat menjadi buah apel atau kurma andaikata ia tidak diolah sedemikian rupa sehingga dapat menjadi buah apel atau kurma dengan mengadakan perawatan yang baik. Tanpa ini pastilah tidak mungkin timbul buah-buahan itu. Jikalau biji-bijian saja dapat menerima pembekasan-pembekasan karena usaha manusia, dapat menerima perubahan dari sebagian keadaan yang menurut pertumbuhannya yang wajar, maka demikian itu pulalah halnya sifat kemarahan dan kesyahwatan. Sebagaimana halnya biji-bijian, sekalipun telah diolah dan diusahakan, ada pula diantaranya yang dapat menjadi buah-buahan yang kita inginkan, tetapi ada pula yang kurang atau tidak baik sama sekali, maka itu pulalah halnya kemarahan dan kesyahwatan. Jikalau kita menginginkan agar kedua sifat ini dapat ditindas atau dilenyapkan sema sekali, sehingga sedikitpun tidak ada bekasnya, pastilah tidak mungkin itu terlaksana. Memang kita tidak kuasa untuk berbuat sedemikian. Tetapi jikalau kita menginginkan supaya kedua sifat itu dapat dikendalikan dan dibimbing dengan jalan melatih dan bersungguh-sungguh, pastilah kita dapat melakukannya dengan pertolongan Allah ta’ala. Bahkan kita semua diperintah untuk melaksanakan itu. Itulah yang menyebabkan keselamatan kita di dunia dan akhirat dan dapat sampai di hadirat Allah s.w.t. dengan ketenangan hati.
Memang tidak perlu kita ingkari bahwa watak dan tabiat itu berbeda-beda keadaannya. Ada yang cepat menerima dan ada pula yang lambat menerima. Insafilah bahwa yang dimaksudkan dengan bersungguh-sungguh itu bukanlah sama sekali hendak menumpas sifat-sifat itu secara keseluruhan atau hendak melenyapkannya sama sekali, itu tidak. Jauh sekali kalau yang dimaksudkan itu sedemikian, sebab kesyahwatan itu sengaja diciptakan oleh Allah ta’ala untuk suatu kemanfaatan. Ini penting sekali dalam watak dan tabiat. Sebagai contoh yang mudah sekali ialah andaikata syahwat bersetubuh lenyap, pastilah habis keturunan segala makhluk dan andaikata sifat kemarahan itu tidak ada sama sekali, sehingga orang tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri terhadap apa-apa yang akan membinasakannya, pastilah manusia itu sendiri yang hancur dan musnah.

Itulah kemanfaatannya agar syahwat itu tetap ada dan terpelihara menurut ketentuannya yang wajar. Maka oleh sebab pokok kesyahwatan masih ada, maka pasti akan tetap pula ada rasa cinta kepada harta, sebab inilah yang dapat menyampaikan diri seseorang kepada syahwat yang diingini dan dengan demikian lalu membawa orang itu tetap harus menggenggam harta yang dimilikinya. Pendek kata yang dimaksudkan disini bukanlah hendak melenyapkan sifat-sifat kemarahan atau kesyahwatan itu secara keseluruhan, sehingga tidak ada yang tertinggal sama sekali. Tetapi yang dituntut ialah menetapkan sifat-sifat itu dalam kedudukan sedang atau pertengahan, yakni antara sifat melampaui batas dan sifat menyia-nyiakan atau meneledorkan. Misalnya dalam hal marah, maka yang dikehendaki ialah supaya seseorang itu pandai mempertahankan diri, artinya hendaklah lenyap dari sikap hantam keromo dan lenyap pula dari sifat pengecut atau penakut. Singkatnya supaya dalam jiwanya itu ada suatu kekuatan dan dengan kekuatan ini seseorang itu dapat mengikuti bimbingan akal fikirannya yang sehat. Oleh sebab itulah Allah memfirmankan  dalam surah Al Fath 29 :
... اَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ...
Bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih-sayang terhadap sesama kaum mukminin.

Jadi kaum mukminin yang benar-benar baik ialah yang memiliki sifat yang sedemikian itu. Disatu pihak ia memiliki kekerasan dan dipihak lain ia berlemah-lembut. Kekerasan ini timbul diwaktu seseorang itu marah. Oleh sebab itu, andaikata sifat kemarahan ini hilang lenyap, maka tidak ada pula pengorbanan berjihad dan berperang. Maka jikalau ada yang mengira bahwa yang dikehendaki itu supaya hilang sama sekali adanya sifat kemarahan dan kesyahwatan itu pastilah salah belaka. Sebab bagaimana kedua sifat ini akan dilenyapkan sampai licin, sedangkan para nabi ‘alayhimush sholatu wassalam sendiri tidak terlepas dari sifat-sifat itu. Renungkanlah apa yang disabdakan oleh rasulullah s.a.w. (diriwayatkan oleh Muslim) :
اِنَّمَااَنَابَشَرٌاَغْضَبُ كَمَايَغْضَبُ الْبَشَرُ
Bahwasanya saya ini adalah manusia yang dapat marah sebagaimana marahnya manusia biasa.

Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan sifat beliau s.a.w. demikian :
كَانَااِذَاتَكَلَّمَ بَيْنَ يَدَيْهِ بِمَايَكْرَهُهُ يَغْضَبُ حَتَّى تَحْمَرَّ وَجْنَتَاهُ وَلكِنْ لاَيَقُولُ اِلاَّحَقًّا, فَكَانَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لاَيُخْرِجُهُ غَضَبُهُ عَنِ الْحَقِّ
Apabila dihadapan rasulullah s.a.w. dipercakapkan sesuatu yang tidak disenangi, beliau s.a.w. menunjukkan kemarahannya sehingga tampak merah kedua pipinya, tetapi sekalipun demikian beliau s.a.w tidak mengucapkan kecuali yang haq. Jadi kemarahan rasulullah s.a.w. itu tidak mengeluarkan dirinya dari yang haq itu.

Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman dalam surah Ali ‘Imran 134 :
... وَالْكَاظِمِيْنَ اْلغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ ...
(Orang-orang yang bertakwa itu) sama menahan marahnya dan memberi maaf kepada orang-orang lain.

Dalam ayat tersebut dijelaskan dengan kata-kata “walkaazhimiinal ghaizho (menahan marah)”, bukan dengan kata-kata “walfaqidinal ghaizho (lenyap sifat marahnya)”. Jadi kemarahan dan kesyahwatan itu dikembalikan ke batas yang sedang, sehingga salah satu dari kedua sifat tadi tidak sampai memaksa takluknya akal fikiran dan tidak sampai mengalahkannya, tetapi bahkan sebaliknya yakni bahwa akal fikiranlah yang merupakan penekan atau pemberi komando dari kedua sifat tadi serta dapat mengarahkannya ke tujuan yang baik.

Nah, inilah yang dimaksudkan dengan uraian perubahan akhlak.

Memang akhlak yang tidak baik perlu diubah, sebab kadang-kadang ada juga manusia yang menurut sifat aslinya dapat dikalahkan oleh kesyahwatannya, sehingga akal fikiran tidak kuat untuk menahan kehendak syahwat tadi untuk menerjunkan diri dalam lembah kejahatan dan kekejian. Maka dengan jalan berlatih itulah manusia tadi dapat menjadi insaf dan kembali ke arah pertengahan dan akhirnya bersikap senantiasa sedang dalam membimbing syahwatnya. Jelaslah bahwa yang sedemikian ini sebagai bukti mungkinnya akhlak itu diubah dengan adanya latihan yang bersungguh-sungguh. Pengalaman dan kenyataan inilah yang menjadi bahan pembuktian yang tidak perlu diragukan lagi.

Adapun yang menunjukkan bahwa yang dituntut itu ialah sikap pertengahan dalam semua akhlak dan tidak boleh berat sebelah sehingga lebih condong ke arah yang satu, yaitu seperti adanya sifat kedermawanan. Ini adalah budi pekerti yang amat terpuji baik dipandang dari sudut syari’at atau akal manusia Kedermawanan itu sebenarnya adalah sifat pertengahan antara dua macam sifat yang semuanya tidak baik, yaitu obral dan kikir. Obral adalah dermawan yang melebihi batas dan kikir adalah kehilangan kedermawanan sama sekali.

Resapkanlah ayat ini, sebagai pujian Allah ta’ala kepada orang yang dermawan, yaitu dalam surah Al Furqon 67 :
وَالَّذِيْنَ اِذَآاَنْفَقُوْالَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذَالِكَ قَوَمًا
Mereka itu apabila membelanjakan hartanya tidaklah mengobral dan tidak pula kikir yaitu pertengahan antara kedua sifat yang sedemikian itu.

Allah ta’ala berfirman pula dalam surah Al Isra’ 29 :
وَلاَتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلَى عُنُقِكَ وَلاَتَبْسُطْهَا...
Jangan engkau menjadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan jangan pula membebernya dengan cara yang luar biasa (obral).

Demikian pula halnya dengan syahwat terhadap makanan yaitu hendaklah merupakan pertengahan antara rakus dan membeku, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Al A’raf 31 :
... كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلاَتُسْرِفُوْا, اِنَّهُولاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
Makanlah dan minumlah dan jangan melampaui batas, sesungguhnya Allah itu tidak senang kepada orang-orang yang melampaui batas itu.

Dalam hal marah ialah firman-Nya sebagaimana di atas yakni keras kepada orang-orang kafir dan kasih-sayang antara sesama kaum mukminin.

Rasulullah s.a.w. juga bersabda mengenai pertengahan dalam segala persoalan itu (diriwayatkan oleh Baihaqi) yakni :
Sebaik-baik perkara ialah yang pertengahan.خَيْرُاْلاُمُوْرِاَوْسَاطُهَا                                                                       


DORONGAN UNTUK MENCAPAI BUDI PEKERTI YANG BAIK

Kita telah memaklumi bahwa kebaikan budi pekerti itu ialah pertengahan antara kekuatan akal fikiran dan kesempurnaan hikmat atau kebijaksanaan dengan kekuatan kemarahan dan kesyahwatan, juga bahwa kedua sifat ini wajib suka mengikuti jalannya akal fikiran serta sesuai dengan syari’at agama. Cara pertengahan itu dapat diperoleh dengan dua hal yaitu ;

Pertama ; Dengan melimpahnya karunia Ilahiah dan kesempurnaan fitrah kejadian. Dengan kata lain bahwa manusia itu sejak diciptakan oleh Allah ta’ala dilimpahi karunia kesempurnaan sejak lahirnya lalu ditakdirkan menjadi manusia yang berbudi pekerti yang baik. Ia dapat mencukupi menurut batasnya masing-masing kepada sifat kemarahan dan kesyahwatan dan keduanya ini dapat dijadikan pertengahan dan suka dibimbing oleh akal fikiran serta syari’at.

Kedua ; Mengusahakan akhlak-akhlak ini dengan jalan bersungguh-sungguh dalam melatih jiwanya. Maksudnya ialah melatih jiwa tadi ke arah pekerjaan-pekerjaan yang membawanya ke tujuan budi pekerti yang dikehendaki itu. Misalnya seseorang yang ingin memiliki sifat kedermawanan, maka jalannya supaya memaksa jiwanya agar senantiasa melakukan apa saja yang menjadikan dirinya sebagai seorang yang dermawan dengan jalan membelanjakan harta. Jadi ia tidak berhenti-henti menyuruh jiwanya sendiri untuk berbuat sedemikian itu dan ini dilangsungkan terus dengan paksaan dan kegiatan yang sangat, sehingga akhirnya nanti akan menjadi tabi’at baginya dan akan dirasakan mudah dan ringan berbelanja. Jikalau sudah demikian, tercapailah tujuannya untuk menjadi seorang dermawan. Begitu pula halnya seseorang yang ingin memiliki sifat merendah diri, sedangkan ia pada saat itu merasa mempunyai sikap congkak dan takabbur. Jalannya ialah supaya ia senantiasa mengikuti kelakuan-kelakuan orang-orang yang ahli dalam hal ini sampai waktu yang amat lama sekali. Ia harus benar-benar bersungguh-sungguh dan memaksa jiwanya untuk tetap merendahkan dirinya, sehingga kebiasaan itu akhirnya menjadi suatu tabi’at. Jikalau ini sudah terlaksana dengan ringan tanpa dipaksa-paksakan lagi, maka tercapailah tujuannya dan ia adalah seorang yang bersifat merendahkan diri . Dengan cara sebagaimana di atas itulah dapat dihasilkannya semua akhlak yang terpuji menurut pandangan syari’at.

Tujuannya ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kelezatan dan kenikmatan bagi yang melakukannya. Maka dari itu, seorang dermawan akan merasa lezat dalam mengeluarkan hartanya, jadi berbeda sekali dengan orang yang mengeluarkannya dengan perasaan terpaksa atau didorong oleh suatu hal yang dianggap menguntungkan dirinya di belakang nanti. Seorang yang tawadhu’ akan merasa lezat dengan sikap merendahkan dirinya. Akhlak yang luhur yang dianggap mulia oleh agama itu tidak mungkin akan dapat meresap dalam jiwa seseorang, selama orang ini tidak membiasakan jiwanya beradat-istiadat yang baik-baik itu dan selama ia belum suka meninggalkannya kelakuan-kelakuan yang jahat dan keji dan juga selama ia tidak mengekalkannya sampai terlatih benar-benar, sebagai latihan yang dilaksanakan orang yang sangat rindu kepada perbuatan-perbuatan yang baik tadi, sehinga sungguh-sungguh dapat merasakan kenikmatan dalam menunaikannya. Jikalau ini sudah dapat dicapai, maka pastilah orang tadi akan membenci perbuatan-perbuatan yang buruk dan akan merasa tersiksa dan hatinya merana sekali diwaktu melihat orang lain melakukannya, apalagi kalau di dipaksa untuk melakukannya sendiri.

Dalam hal ini rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Nasa-i) :
Dijadikanlah kegembiraan hatiku itu diwaktu bersembahyang.                                   وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِى فِى الصَّلاَةِ
                              
Perlu sekali disadari benar-benar, bahwa apabila ibadat-ibadat atau meninggalkan larangan-larangan agama itu dilakukannya dengan sebab keadaan terpaksa atau pun karena perasaan amat berat dalam jiwa, maka itulah sebagai tanda kekurangan seseorang dan oleh karenanya, maka belumlah orang itu akan dapat mencapai kesempurnaan kebahagiaan dengan apa-apa yang dilakukan tadi. Resapkanlah firman Allah ta’ala dalam surah Al Baqorah 45 ini :
... وَاِنَّهَالَكَبِيْرَةٌ اِلاَّعَلَى الْخشِعِيْنَ ...
Sesungguhnya shalat itu dirasakan berat sekali, melainkan bagi orang-orang yang khusyu’.

Selanjutnya perlu lagi diketahui, bahwa untuk memperoleh kebahagiaan yang dijanjikan dalam melakukan budi pekerti yang baik itu, tidaklah cukup dengan hanya merasakan kelezatan taat dan membenci kemaksiatan dalam sebagian waktu atau beberapa waktu, tetapi hendaklah hal itu dilakukan secara terus-menerus, langsung dan dikekalkan selama-lamanya, bahkan selama hayat masih dikandung badan. Malahan belum dianggap sesuai jikalau puncak dari shalat itu hanya sampai pada batas sebagai kegembiraan jiwa atau hanya merasa lezat di waktu melakukannya saja, sebab ibadat itu haruslah menimbulkan berbagai-bagai keajaiban dalam jiwa yang lebih dari itu. Cobalah kita lihat dahulu seorang penjudi yang sudah bangkrut, kadang-kadang ia dapat memiliki rasa gembira dan lezat serta perasaan-perasaan lain yang  belum tentu dapat dirasakan oleh manusia tanpa melakukan perjudian, padahal perjudian itu sebenarnya adalah yang merampas seluruh harta bendanya, merobohkan rumah tangganya dan mengakibatkan orang tadi menjadi miskin dan hina. Namun demikian, anehnya orang yang berjudi itu masih tetap gembira dan merasa memperoleh kelezatan yang tiada taranya. Hal yang sedemikian ini tentu saja disebabkan ia sangat lama berkecimpungan di dalam perjudian dan telah mengeluarkan harta yang sebanyak-banyaknya dan dalam waktu yang sudah cukup lama. Perbuatan itu telah mendarah daging dalam jiwa. Lihat pulalah halnya seorang yang gemar bermain-main dengan burung merpati. Ia kadang-kadang sampai sepanjang hari berada di bawah terik matahari, berdiri di atas kedua kakinya, tetapi sekalipun demikian ia tidak merasakan kesakitannya sama sekali, sebab mungkin ia merasa terhibur dengan banyaknya burung-burung yang beterbangan di atasnya, gerakan-gerakannya dan cara bersenda-guraunya. Semua itu adalah akibat atau hasil dari suatu adat atau kebiasaan yang dilakukannya dengan tanpa putus sama sekali yakni begitu itulah yang merupakan karyanya sepanjang masa secara terus-menerus, lagipula hanya itulah yang disaksikan di antara kawan-kawan sepergaulan. Jikalau menurut kebiasaannya jiwa itu dapat menikmati hal-hal yang batil dan dapat condong serta gembira untuk melakukannya, maka mengapalah ia tidak dapat menikmati hal-hal yang haq dan benar, sekiranya ini juga dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan dengan secara terus-menerus melakukannya itu. Bahkan jikalau kita fikirkan dalam-dalam, bahwa kecondongan jiwa pada kelakuan-kelakuan yang buruk sebagaimana di atas itu sebenarnya adalah keluar dari tabi’at yang wajar. Sama halnya dengan orang yang condong atau gemar makan tanah liat, mungkin sekali yang sedemikian ini akan menjadi kebiasaan bagi sebagian manusia, sekiranya dilatihnya secara terus-menerus. Adapun kecondongan manusia kepada kehikmatan, kecintaan kepada Allah s.w.t, berma’rifat serta beribadat kepada-Nya itu adalah sebagai kecondongannya pada makan dan minum, sebab memang inilah yang merupakan kehendak yang wajar dari tabi’at hati. Condong kepada kebenaran adalah perintah rabbaniah, sedang condong kepada kesyahwatan yang jahat adalah amat menganehkan dan bahkan amat bertentangan pada tabi’atnya semula menurut zatnya.

Bukankah makanan hati itu adalah kenikmatan, kema’rifatan serta kecintaan kepada Allah ta’ala. Jadi kalau seseorang itu sudah beralih ke arah lain dan kemudian menyukai sesuatu yang bertentangan dengan tabi’at aslinya, maka hal yang demikian itu tentulah terjadinya karena adanya suatu penyakit dalam jiwanya itu. Jadi jelaslah bahwa di dalam jiwanya ada penyakit yang bersarang dan ini tentulah penyakit batiniah. Perhatikanlah, sebagaimana halnya suatu penyakit yang bersarang di perut besar misalnya, tentulah menyebabkan si sakit itu enggan makan dan minum, bahkan tidak menyukainya sama sekali, padahal makan dan minum itulah yang menyebabkan kelangsungan hidupnya. Maka dari itu semua penyakit yang menyerang jiwa dan hati itulah yang menyebabkan seseorang itu menyeleweng dan akhirnya condonglah untuk mencintai sesuatu yang selain Allah ta’ala. Ia tidak akan dapat melepaskan diri dari penyakit tadi selama ia masih condong kepada sesuatu yang tidak diridhai Allah s.w.t. Menurut kadaar penyelewengannya itulah dapat diukur besar kecilnya penyakit yang bersarang dalam jiwanya. Ini tentu saja dikecualikan jikalau umpamanya seseorang itu mencintai sesuatu selain Allah ta’ala, tetapi dimaksudkan untuk dijadikan sebagai penolong baginya untuk akhirnya ditujukan kepada maksud mencintai-Nya, menggerakkan agama-Nya dengan benar-benar dan menuju keridhaan-Nya. Jikalau demikian halnya, maka jelaslah bahwa bukan karena ada penyakit dalam jiwanya ia berhal demikian.

Dengan mengikuti uraian dimuka itu, kita dapat memaklumi secara pasti bahwa budi pekerti yang baik dan akhlak-akhlak yang luhur itu memang dapat dicapai dengan jalan melatih diri yakni mula-mula sekali dengan memaksa jiwa untuk berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan budi dan akhlak yang baik tadi, sehingga akhirnya akan merupakan watak dan tabi’at sehari-hari. Inilah suatu keajaiban mengenai adanya hubungan yang sangat erat antara kedudukan hati dan anggota-anggota tubuh, atau dengan kata lain antara jiwa dan tubuh. Memang, segala sifat yang dimiliki oleh jiwa itu pasti akan meluap keluar dan bekas-bekasnya itu tentu tampak sekali diantara anggota-anggota lahiriah, sehingga anggota-anggota tadi tidak akan bergerak sama sekali melainkan sesuai menurut irama jiwanya. Ini sudah pasti dan tidak perlu diingkari lagi. Sebaliknya segala perbuatan yang sudah diperlihatkan oleh anggota badan, ia juga akan memberi bekas dan kesan pada hati. Maka antara jiwa dan perbuatan tubuh itu kesan-mengesankan, berjalin-berkelindan dan berputar terus sesuai dengan kodrat Allah ta’ala.

Apabila kita telah dapat meyakinkan bahwa akhlak-akhlak yang luhur itu dapat diperoleh, kadang-kadang memang sudah merupakan watak aslinya (fitrah) dan kadang-kadang dengan jalan latihan dengan membiasakan melakukan itu, maka kadang-kadang ada juga yang dapat diperoleh dengan jalan pergaulan yaitu dengan menyaksikan dan mengawani orang-orang yang memiliki budi pekerti yang luhur tadi. Mereka itul tentulah kawan-kawan yang baik dan sahabat-sahabat yang shalih. Sebabnya ialah karena watak itu dapat mencuri dari watak orang lain, apakah ia baik atau jelek, semuanya sama saja. Bersahabat dengan orang baik, sudah pasti sedikit banyak akan terpengaruh dengan oleh kebaikannya dan tidak mustahil yang akhirnya akan mencontohnya, sedang sebaliknya juga demikian, apabila sahabat itu seorang yang buruk dan jahat.

Apabila seseorang itu sudah dapat menimbulkan kelakuan-kelakuan yang utama, perbuatan-perbuatan yang bagus dengan sebab memiliki akhlak yang luhur itu, baik memang sudah wataknya atau dengan berlatih ataupun sebab bergaul dengan orang-orang shalih, maka orang yang sedemikian itulah yang berhak untuk dinamakan orang yang berbudi luhur dan berakhlak tinggi. Karena ada tiga macam jalan yang dapat ditempuh, maka sebutannya pun berbeda-beda pula yaitu berbudi luhur karena tabi’at, berbudi luhur karena latihan dan berbudi luhur karena pelajaran. Namun demikian, semua itulah tujuan keutamaan.

Sebagai kebalikan di atas itu ialah seseorang yang memang watak dan tabi’atnya buruk dan secara kebetulan sekali ia berkawan dengan manusia-manusia jahat, sehingga wataknya yang serba buruk sejak aslinya itu ditambah pula dengan pelajaran-pelajaran yang diperoleh dari kawan-kawan tadi, sehingga dengan mudah saja ia melakukan segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya kejahatan, kemudian hal-hal itu dibiasakannya juga secara terus-menerus, maka orang yang demikian itulah orang yang benar-benar jauh dari Allah ta’ala, jauh dari kerahmatan-Nya dan jauh pula dari kebenaran.

Sementara itu ada pula tingkat lain yakni antara kedua macam tingkat diatas itu, yakni seseorang yang berbeda-beda arahnya yang kadang-kadang timbul kebaikannya dan kadang-kadang timbul pula keburukannya. Semua tingkat, baik yang dapat mendekat atau yang menjauh dari sisi Allah ‘azza wa jalla itu adalah dengan menilik sampai di batas mana sifat-sifat dan hal-ihwal serta kelakuan-kelakuan yang ditimbulkan oleh jiwanya tadi. Untuk ini Allah ta’ala berfirman dalam surah Al Zalzalah 7-8 :
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًايَّرَهُو. وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّايَّرَهُو.
Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat debu, ia akan mengetahuinya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan seberat debu, juga akan mengetahuinya.

Allah ta’ala berfirman pula dalam surah Ali ‘Imran 117 :
... وَمَاظَلَمَهُمُ الله ُوَلكِنْ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
Mereka itu tidak akan dianiaya oleh Allah tetapi justeru merekalah yang menganiaya dirinya sendiri.

JALAN YANG DITEMPUH BAGI PENDIDIKAN AKHLAK

Dari uraian sebelumnya telah kita sadari bahwa bersikap jujur dalam melaksanakan akhlak yang luhur itu sebagai tanda sehatnya jiwa, sedang menyeleweng dari padanya adalah merupakan penyakit yang bersarang di dalam jiwa tadi. Sama halnya dengan keadaan normal dalam percampuran bahan-bahan keperluan tubuh adalah menandakan kesehatan tubuh itu sedang menyimpang dari kenormalan itu adalah tanda bersarangnya sesuatu penyakit dalam tubuh itu. Jadi baiklah tubuh itu kita gunakan sebagai perumpamaan sedemikian :

Mengobati jiwa dengan tujuan untuk melenyapkan segala sifat-sifat kerendahan dan akhlak-akhlak yang buruk daripadanya dan untuk menarik sifat-sifat keutamaan dan akhlak-akhlak yang baik ke dalamnya, adalah sama halnya dengan mengobati tubuh agar lenyap penyakit-penyakit yang bersarang di dalamnya dan memperoleh kesehatan dan menarik kesegar-bugaran kembali ke dalamnya. Sebagaimana halnya keadaan tubuh, pada dasarnya ia memiliki kenormalan sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah ta’ala, tetapi kadang-kadang tubuh itu lalu dihinggapi oleh sesuatu macam penyakit semacam di perut dan lain-lain. Yang demikian ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, misalnya karena makanan, udara atau hal-ihwal lainnya. Apabila demikian itu halnya tubuh kasar, maka hati dan jiwa juga seperti itu. Setiap anak yang baru mulai dilahirkan, ia pasti dalam keadaan normal jiwanya, sehat fitrahnya dan masih murni dan bersih dari segala pengaruh. Tetapi akhirnya kedua orang tuanya itulah yang membuatnya menjadi penganut agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentulah karena adanya hasil kebiasaan, pendidikan dan pengajaran atau pergaulan yang menyebabkan anak tadi menjadi gemar melihat sifat-sifat kerendahan dan bahkan tidak segan-segan melakukannya.

Kita semua juga memaklumi bahwa pada permulaannya, tubuh itupun bukannya sekaligus diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna, tetapi kesempurnaan ini pun dapat diperolehnya sedekit demi sedikit. Ia dapat menjadi kuat dan kokoh setelah mengalami evolusi pertumbuhan, mendapatkan makanan dan lain-lain lagi. Hal yang sedemikian ini tidak berbeda sedikit pun dengan halnya jiwa. Ia mula-mula dalam keadaan serba kurang, namun begitu ia dapat menerima hal-hal yang akan menyempurnakannya. Jalan untuk menyempurnakannya itu ialah dengan memberikan didikan budi pekerti yang luhur, akhlak yang mulia serta mengisinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Apakah yang dilakukan oleh seorang dokter, apabila ia memeriksa seseorang yang keadaan tubuhnya sebenarnya sehat wal ‘afiat dan bagaimanakah kalau orang itu sakit ? Yang sehat tentulah diperintah untuk menetapi dasar-dasar peraturan kesehatan dan dengan demikian itu orang tersebut akan tetap sehat dan terpelihara dari datangnya segala macam penyakit yang mungkin mengganggunya. Terhadap orang yang sakit, diberinya obat dan usaha-usaha lain untuk mempercepat sembuhnya, sehingga kesehatan yang sudah hilang itu akan kembali ke dalam tubuhnya. Demikian itu pula lah halnya jiwa, apabila ia dalam keadaan sehat atau sakit. Hanya saja yang terutama bertindak sebagai dokternya adalah manusia yang memiliki itu sendiri, sedang orang-orang lain cukulah sebagai pembantunya belaka. Maka dari itu jikalau jiwa itu sudah sehat, suci, terdidik baik, hendaklah kita tetap berusaha memelihara kesehatannya itu dan bahkan kita perlu mencari tambahnya kekuatan dan kejernikan serta kesuciannya. Tetapi jikalau ia sedang sakit, bagaimana agar ia dapat jernih dan suci itu. Mengobatinya jiwa itu, tentulah tidak sama dengan mengobati tubuh. Jikalau tubuh dengan obat-obatan, maka jiwa ialah dengan perasaan kesadaran, latihan dan pergaulan dengan orang-orang shalih.

Satu hal lain yang lebih penting lagi untuk dimaklumi ialah bahwa tubuh itu dapat disembuhkan dengan memberikan obat yang merupakan penentang atau pembasmi dari penyakitnya, harus diketahui lebih dahulu apa-apa jenis penyakit tadi dan sekiranya mungkin diambilnya obat yang lebih berkesan serta lebih cepat untuk menyembuhkannya. Panas dapat diobati dengan dingin dan demikian pula sebaliknya. Begitu pula lah halnya jiwa. Sifat-sifat kehinaan yang merupakan penyakit hati, maka obatnya ialah dengan mengambil sesuatu yang merupakan perlawanannya. Penyakit bodoh dapat dilenyapkan dengan belajar yang tekun, penyakit kikir dengan bersikap dermawan, penyakit sombong atau takabbur dengan jalan merendahkan diri, penyakit rakus dengan menahan nafsu dari apa-apa yang diingininya dengan cara memaksa dan demikianlah seterusnya.

Sementara itu seseorang yang sedang sakit, haruslah ia tahan merasakan kepahitan obat, harus sabar benar-benar, tidak melakukan atau makan sesuatu yang mungkin akan memperlambat kesembuhannya, tidak semua yang diingini boleh diambil begitu saja. Dengan cara ini penyakitnya akan segera lenyap dari tubuh. Jikalau itu dilalaikan, mungkin akan lambat sembuhnya atau makin buruk lagi keadaannya. Demikian pula lah halnya orang yang ingin menyembuhkan jiwanya dari penyakit hati. Ia wajib tahan kepahitan karena harus bersungguh-sungguh melenyapkan itu, wajib sabar dan lain-lain lagi. Bahkan kepahitan yang dialami oleh seseorang yang ingin hilang penyakit-penyakit dalam hatinya itu pasti akan dirasakan lebih berat, lebih sengsara dan lebih harus bersabar dari orang yang ingin sembuh dari penyakit lahiriah.

Kita wajib sadar bahwa penyakit tubuh itu akan segera lenyap apabila kita telah meninggal dunia, tetapi penyakit-penyakit dalam hati itu akan kekal sampai pun kita sudah mati nanti dan ini akan diderita akibatnya untuk selama-lamanya. Semoga kita semua dilindungi oleh Allah ta’ala dari hal-hal yang semacam ini.

Ringkasnya ialah bahwa jalan untuk mengobati penyakit-penyakit dalam hati itu tentulah dengan menempuh segala sesuatu yang merupakan perlawanan dari apa yang diingini oleh jiwa itu sendiri dan yang cenderung kepadanya. Dalam masalah ini Allah s.w.t. telah menghimpun keseluruhannya dalam satu kalimat yang tercantum di dalam kitab suci-Nya yaitu dalam surah An Nazi’at 40-41 :
وَاَمَّامَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِى وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَاى. فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَاى.
Barangsiapa yang takut akan kedudukan Tuhannya dan mencegah jiwanya dari hawa nafsu, maka surga itulah tempat kediamannya.

Pokok utama yang dapat dijadikan sebagai obat penyakit-penyakit hati itu ialah bersungguh-sungguh, dan bersungguh-sungguh itu maksudnya ialah dengan kemantapan hati untuk melaksanakan apa yang dikehendaki atau dengan ‘azam yang kokoh kuat dan tidak dengan setengah-setengah saja. Apabila ini dapat terpenuhi dan jiwanya sudah sengaja dengan sesungguh-sungguhnya akan meninggalkan segala kesyahwatan yang keliru, maka akan dirasakan mudahlah sebab-sebabnya nanti. Yang sedemikian ini anggaplah sebagai ujian dan cobaan dari Allah ta’ala. Oleh sebab itu, maka sangat diperlukan adanya kesabaran dan terus-menerus berusaha melenyapkan penyakit itu. Sebaliknya jikalau hatinya sudah tidak mempunyai ‘azam yang kokoh, kemauannya hanya setengah-setengah saja, maka jiwanya pun akan terbiasa berbuat seenaknya dan akhirnya tetap rusak dan mungkin akan lebih hebat lagi kehancurannya. Semogalah Allah melindungi kita semua dari kehancuran jiwa itu. Amin ya Robbal ‘alamin.

USAHA UNTUK MENGETAHUI CELA DIRI SENDIRI

Ketahuilah bahwa Allah ‘azza wa jalla itu apabila menginginkan seseorang itu menjadi baik, tentulah ia ditunjuki apa-apa yang merupakan cela dari dirinya sendiri. Jadi seseorang yang penglihatannya itu benar-benar dapat menembus jiwanya, sudah pasti tidak satu cela pun dalam dirinya yang ia tidak menyadarinya. Selanjutnya jikalau penyakit itu telah dimaklumi adanya serta macam apa dan bagaimana bentuk penyakitnya tadi, maka mudah sajalah ia akan mengobati itu. Hanya saja sebagian besar manusia itu tidak mengetahui apa-apa yang menjadi cela dalam jiwanya itu, tetapi yang lebih jahat dari itu ialah orang yang berpura-pura seolah-olah ia tidak mengetahuinya. Lebih buruk lagi ialah orang yang dengan mudah saja melihat cela orang lain, tetapi sukar untuk melihat celanya sendiri. Ia melihat adanya kotoran di mata kawannya, tetapi batang pohon yang di matanya sendiri tidak disadarinya.

Oleh sebab itu penting sekali setiap orang itu menyadari celanya sendiri dan untuk ini ada empat jalan yang dapat ditempuh ;

Jalan pertama ; Hendaklah seseorang itu suka duduk-duduk di hadapan seorang syaikh (guru) yang bijaksana, lagi mempunyai keistimewaan dan kepandaian perihal penyakit-penyakit jiwanya, dapat meneliti noda-noda dan penyakit-penyakit yang samar-samar serta pelik-pelik. Kemudian orang tersebut hendaklah mengikuti nasehat dan anjurannya, kemudian melaksanakannya dengan kesungguhan hati dan ‘azam yang sekokoh-kokohnya. Demikian inilah halnya seorang murid di hadapan gurunya. Guru itu memberitahukan padanya apa-apa yang menjadi ‘aib muridnya itu dan memberitahu pula kepadanya bagaimana cara-cara menyembuhkannya.

Jalan kedua ; Hendaklah seseorang itu mencari seorang sahabat yang dapat dipercaya, yang suka membenarkan kesalahan dan yang bukan hanya mempercayai saja apa yang dikatakan serta mengiakan apa yang diinginkan. Selain itu kawan tersebut haruslah seorang yang pandai memeriksa dan kuat pula agamanya dan dimintanya agar senantiasa meneliti hal-ihwal dirinya dan segala kelakuan-kelakuannya. Jikalau ia berbuat sesuatu yang tidak baik menurut pandangan kawannya itu, baik yang berupa akhlak, perbuatan atau cela-celanya, hendaklah kawan tadi mengingatkan dan dengan terang-terangan menjelaskan keburukannya. Cara inilah yang dahulu lazim dilakukan oleh orang-orang besar dari golongan pemimpin-pemimpin agama.

Umar bin Khattab r.a. berkata, “Semogalah Allah merahmati seseorang yang suka menunjukkan padaku apa-apa yang menjadi celaku”. Sekali waktu ia pernah pula bertanya kepada Khudzaifah dan berkata, “Saudara ini adalah yang memiliki rahasia rasulullah s.a.w mengenai sifat-sifat kaum munafik. Tolonglah saudara beritahukan padaku, apakah dalam diriku ini masih ada sesuatu yang merupakan bekas sifat kemunafikan”.

Resapkanlah apa yang diucapkan oleh Umar r.a. itu. Bukankah ia seorang yang terpandang, tinggi derajatnya, luhur pula akhlaknya, tetapi masih sedemikian itu persangkaan buruknya pada dirinya sendiri. Memang seseorang yang makin lebih sempurna akalnya, lebih tinggi pangkatnya, pastilah akan makin lebih sedikit kecongkakannya, lebih besar kecurigaannya pada dirinya sendiri dan lebih gembira jikalau ada orang lain yang menunjukkan cela dan ‘aib jiwanya.

Tetapi pada zaman kita sekarang keadaan telah menjadi berubah, kini yang ada ialah kebalikannya. Orang yang paling kita benci pada zaman ini ialah justeru orang yang suka memberi nasehat baik pada kita dan orang yang suka menunjukkan cela diri kita. Hampir saja hal yang sedemikian ini merupakan pertanda yang jelas bagi kelemahan keimanan manusia. Sadarilah bahwa akhlak yang buruk itu dapat dimisalkan ular-ular berbisa atau kala yang amat berbahaya sekali. Bagaimanakah andaikata ada seseorang yang memberitahukan kepada kita bahwa dibalik pakaian kita atau di bawah kursi yang kita duduki itu ada seekor ular atau kala ? Marahkah kita mendengar pemberitahuannya itu ataukah kita makin berterima kasih dan memujinya ? Sudah tentu kita akan menganggapnya ia seorang yang berikhlas hati, kita memberikan pujian setinggi-tingginya kepadanya dan kita gembira yang hampir tiada taranya. Selanjutnya sementara kita dalam hal yang sedemikian tadi, kita pun berusaha membunuh atau setidak-tidaknya melenyapkan ular atau kala itu dari sisi kita. Padahal kesakitan yang diderita karena patukan ular atau sengatan kala itu masih tidak seberapa lagi. Kesakitan itu tidak kekal dan mungkin dalam satu atau dua hari telah hilang. Tetapi kesakitan dan penderitaan yang akan dialami dengan sebab memiliki akhlak yang hina dan budi pekerti yang rendah itu, pasti akan dirasakan lebih hebat menusuk ulu hati dan wajib lebih ditakuti, karena akan tetap kekal selama-lamanya sampai pun setelah meninggal dunia nanti.

Benar-benar zaman sudah terbalik. Kalau dahulu kaum salaf itu suka sekali menerima petunjuk-petunjuk yang baik, tetapi kita bahkan merasa benci dan tidak gembira sama sekali menerima petunjuk-petunjuk baik itu. Kadang-kadang, selain tidak gembira kepada orang yang mengingatkan, juga tidak berusaha melenyapkannya, malahan kita hendak menentang orang yang menasehati kita itu, sebagaimana yang ia ucapkan kepada kita. Kita bahkan berani mengatakan pada kawan itu, “Saudara juga melakukan demikian, demikian”. Aneh sekali keadaannya, kita lebih suka menganggap nasehat itu sebagai bahan perseteruan dan pertengkaran daripada sebagai suatu kemanfaatan yang dapat kita peroleh tanpa mengeluarkan biaya. Hal yang semacam ini lebih dekat kalau dikatakan bahwa timbulnya ialah karena kekerasan hati (qasawatul qalb), sedang yang menyebabkan itu ialah banyaknya dosa yang sudah bertimbun-timbun dalam dirinya. Tetapi pokok pangkalnya semua tadi ialah karena kelemahan keimanan dalam jiwa.

Marilah kita memohonkan kepada Allah s.w.t, semoga kita semua diilhami mana yang menjadikan kebaikan kita, ditunjukkan apa-apa yang merupakan cela diri kita, diberi kekuatan agar kita dapat mengobati dan diberi pertolongan untuk suka berterima kasih kepada orang yang mengingatkan kekeliruan kita dengan karunia dan keutamaan-Nya. Amin.

Jalan ketiga ; Hendaklah seseorang itu dapat mengambil kemanfaatan tentang adanya cela jiwanya itu dari mulut musuh-musuhnya, sebab mata orang yang benci itu dapat menampakkan keburukan-keburukan yang tidak mungkin diketahui oleh orang-orang yang cinta. Bahkan kadang-kadang pengambilan kemanfaatan dari musuh yang cerdik yang dapat memperlihatkan keburukan dirinya itu lebih banyak dari kemanfaatan yang didapatkan dari seorang sahabat yang erat, yang karyanya hanyalah memuji-muji dan menyanjung-nyanjung dirinya, bahkan tidak jarang menutup-nutupi celanya. Hanya saja amat sayang sekali bahwa tabi’at manusia itu rupanya telah dititahkan untuk mendustakan ucapan musuh dan menyangka bahwa segala yang dari musuh itu sebagai hal yang timbul karena kedengkian belaka. Namun demikian, seseorang yang bijaksana pasti dapat memilih-milih, ia tidak akan membuang segala yang datang dari musuhnya itu secara serampangan. Orang yang berakal masih dapat mengambil keuntungan dengan mempunyai musuh itu, sebab keburukan-keburukan yang ada dalam dirinya, pasti sudah tersiar di kalangan pendukung-pendukung musuhnya itu. Malahan seorang yang suka menggunakan akal fikirannya yang sehat pasti dapat berterima kasih kepada musuhnya itu sebab dapat menampakkan kejelekan yang tidak pernah diucapkan oleh pendukung-pendukung dan sahabat-sahabatnya yang karib.

Jalan keempat ; Hendaklah seseorang itu suka mempergauli manusia banyak. Apa saja yang dilihatnya sebagai celaan di kalangan ummat, baiklah digunakan sebagai bahan penuntutan terhadap dirinya, seolah-olah dirinya sendiri itu pun ikut semacam itu pula. Ingatlah bahwa seorang mukmin itu adalah cermin bagi orang mukmin lain. Ia dapat melihat cela dirinya sendiri karena melihat cela orang lain. Ia insaf pula bahwa tabi’at manusia itu hampir sama saja dalam hal sukanya mengikuti hawa nafsu. Jadi apa yang menjadi sifatnya orang lain, maka ia sendiri pasti tidak akan terlepas dari sifat itu sama sekali. Bahkan mungkin ia sendiri yang merupakan sumbernya dan lebih hebat dari orang lain itu atau setidak-tidaknya sedikit-sedikit ada jugalah sifat itu di dalam jiwanya. Dengan memiliki perasaan semacam ini, maka ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk meneliti dan kemudian membersihkannya dari sifat yang berupa cela dari orang lain. Cara ini sudah cukuplah sebagai bahan pengajaran pada diri manusia itu masing-masing. Andaikata seluruh manusia itu sudah suka meninggalkan segala sesuatu yang mereka benci dari orang lain, tentunya tidak perlu lagi adanya pendidik dan pengasuh jiwa. Ini semua mungkin merupakan tipudaya dari seseorang yang memang tidak mendapatkan seorang guru sebagai pendidik dan penasehatnya dalam hal keagamaan. Bagi mereka itu bolehlah berpendidikan dari pengalaman. Tetapi seseorang yang dapat memperoleh seorang dokter, alangkah baiknya kalau ia mendekatinya terus-menerus, sebab dengan demikian ia akan terlepas dari penyakitnya dengan pertolongan dokter tadi.

CIRI-CIRI BUDI PEKERTI YANG BAIK

Marilah ketahui lebih dulu yaitu bahwa setiap manusia itu jarang sekali dapat mengetahui celanya diri sendiri. Jadi andaikata ia mula-mula merasa buruk jiwanya, lalu berusaha memperbaiki dan menyucikannya. Belum lama apa yang diusahakannya itu dan baru saja ia meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang jelek-jelek, tiba-tiba ia telah merasa bahwa dirinya sudah suci, jiwanya sudah terdidik cukup, akhlaknya sudah baik dan tidak perlu lagi meneruskan untuk bersungguh-sungguh melatihnya. Untuk itulah, maka perlu kiranya diberikan penerangan dan penjelasan, bagaimanakah alamat atau tanda baiknya budi pekerti itu, sebab budi pekerti itu adalah termasuk bagian keimanan, sedangkan buruknya budi pekerti adalah sebagai kemunafikan.

Allah s.w.t telah menyebutkan sifat-sifat kaum munafiqin dan kaum mukminin itu dalam kitab suci Al Quran yang pada pokoknya ialah bahwa sifat kemunafikan adalah buah dari buruknya budi pekerti, sedang keimanan adalah buah dari bagusnya budi pekerti itu. Untuk kelengkapannya saja, marilah dibawah ini kita cantumkan beberapa ayat mengenai budi pekerti yang baik itu ;

Allah ta’ala berfirman dalam surah Al Mu’minun 1-11 :
قَدْاَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَواتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِمُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَواةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حفِظُوْنَ. اِلاَّعَلَى ا اَزْوَاجِهِمْ اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُمَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى ا وَرَآءَ ذَالِكَ فَاُولئِكَ هُمُ الْعدُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ ِلاَمنتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلَىا صَلَوَاتِهِمْ يحُاَفِظُوْنَ. اُولئِكَ هُمُ اْلوَارِثُوْنَ. الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ اْلفِرْدَوْسَ, هُمْ فِيْهَاخلِدُوْنَ.
Sungguh, berbahagialah orang-orang mukminin yaitu orang yang berlaku khusyu’ dalam sholatnya; yang menjauhkan diri dari kekotoran (lahir dan bathin); yang berbuat untuk kesucian (tubuh dan hati); yang menjaga kehormatan diri, melainkan kepada isteri atau hamba sahaya yang menjadi milik tangan kanannya, maka untuk ini mereka itu tidaklah tercela. Adapun orang yang mencari selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang melanggar batas ketentuan.
Orang-orang mukmin itu juga memelihara kepercayaan yang diberikan pada mereka serta janji-janji yang dibuat; yang menjaga shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang mewarisi, yaitu mewarisi surga Firdaus dan mereka itu kekal disitu selama-lamanya.

Allah ta’ala berfirman lagi dalam surah At Taubah 112 :
اَلتَّآءِبُوْنَ اْلعئِدُوْنَ الْحَامِدُوْنَ السَّآئِحُوْنَ الرَّاكِعُوْنَ السَّاجِدُوْنَ اْلاَامِرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّاهُوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحفِظُوْنَ لِحُدُوْدِاللهِ, وَبَشِّرِالْمُؤْمِنِيْنَ
Orang-orang yang bertaubat kepada Allah, orang-orang yang menyembah, orang-orang yang memuji, orang-orang yang berpuasa, orang-orang yang ruku’, orang-orang yang bersujud, orang-orang yang menyuruh mengerjakan perbuatan baik, orang-orang yang melarang mengerjakan kejahatan dan orang-orang yang menjaga batas-batas syari’at Allah, sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang mukmin itu.

Ada pula firman-Nya dalam surah Al Anfal 2-4 :
اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَاذُكِرَالله ُوَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَاتُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَايتُهُو زَادَتْهُمْ اِيْمَانًاوَّعَلَىا رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلَواةَ وَمِمَّارَزَقْنهُمْ يُنْفِقُوْنَ. اُولئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا, لَهُمْ دَرَجتٌ عِنْدَرَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
Bahwasanya orang-orang mukmin itu ialah mereka di waktu disebut nama Allah, maka hati mereka itu penuh ketakutan dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka itu dan mereka itu bertawakal kepada tuhannya. Mereka itu sama mendirikan shalat dan membelanjakan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka itu. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sesungguh-sungguhnya, mereka memperoleh beberapa derajat di sisi tuhan mereka, juga pengampunan serta rizki yang mulia.

Lagi firman-Nya dalam surah Al Furqon 63 :
وَعِبَادُالرَّحْمنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى اْلاَرْضِ هَوْنًاوَّاِذَاخَاطَبَهُمُ الْجهِلُوْنَ قَالُوْاسَلمًا
Dan hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan kesopanan dan apabila orang-orang yang bodoh menghadapkan perkataan pada mereka, maka mereka itu menjawab, “Selamat”.

Dalam ayat-ayat berikutnya disebutkan pula beberapa sifat kaum mukminin itu diantaranya ialah ;
a. Pada malam hari selalu menyembah Allah.
b. Jikalau berbelanja tidak boros dan tidak kikir.
c. Tidak membunuh jiwa yang dilarang agama.
d. Tidak berzina.
e. Tidak suka menjadi saksi palsu.
f. Mohon kepada Allah ta’ala supaya dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan.

Itulah beberapa sifat yang dijelaskan oleh Allah ta’ala perihal jiwa kaum mukminin.

Oleh sebab itu, barangsiapa yang mash membimbangkan keadaan dirinya sendiri, apakah ia sudah tergolong kaum mukmin ataukah kaum munafik, hendaklah meneliti baik-baik isi ayat-ayat tersebut. Jikalau sifat-sifat yang baik-baik sudah dirasa ada di dalam jiwanya, maka itulah sebagai pertanda bahwa budi pekerti yang baik itu sudah dimiliki dan sebaliknya jikalau semua itu tidak ada, maka sebagai pertanda pula bahwa jiwanya masih sangat kotor dan dapat disebut bahwa ia adalah berbudi buruk. Jikalau yang ada hanya sebagian, sedang yang lainnya tidak, maka hendaklah berusaha menemukan yang belum dimiliki dan memelihara terus tetapnya apa yang sudah dimiliki itu.

Rasulullah s.a.w. sudah pula menjelaskan sifat-sifat yang banyak sekali perihal orang mukmin dan semuanya itu dianggap sebagai akhlak yang luhur dan bagus. Diantara sabda-sabda beliau s.a.w itu ialah ;

1. Cinta kepada orang lain seperti kepada dirinya sendiri (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
اَلْمُؤْمِنُ يُحِبُّ ِلاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya dengan sesuatu yang ia mencintai untuk dirinya sendiri.
2. Memuliakan tetangga (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله ِوَالْيَوْمِ اْلاَاخِرِ, فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya.
3. Berkata baik atau berdiam saja (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله ِوَالْيَوْمِ اْلاَاخِرِ, فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْلِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau berdiam saja (kalau tidak dapat berkata yang baik)

Rasulullah s.a.w. menegaskan pula bahwa semua sifat yang dimiliki oleh orang mukmin adalah merupakan keluhuran akhlak dan budi. Dalam sebuah hadits disebutkan (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain) :
اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًااَحْسَنُهُمْ اَخْلاَقًا
Sesempurna-sempurna orang-orang mukmin perihal keimanannya ialah yang terbagus akhlaknya diantara mereka itu.

Beliau s.a.w. besabda pula (diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak) :
لاَيَحِلُّ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يُشِيْرَاِلَى اَخِيْهِ بِنَظْرَةٍ تُوَذِيْهِ
Tidak halal bagi seorang mukmin itu apabila mengisyaratkan kepada saudaranya dengan pandangan yang menyakitkannya.

Lagi pula sabdanya (diriwayatkan oleh Thabrani) :
لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ اَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim apabila membuat ketakutan kepada orang muslim lain.

Sekali lagi sabdanya (diriwayatkan oleh Hakim dan lain-lain) :
اِنَّمَايَتَجَالَسُ الْمُتَجَالِسَانِ بِاَمَانَةِ الله ِعَزَّوَجَلَّ, فَلاَيَحِلُّ ِلاَحَدِهِمَااَنْ يُفْشِيَ عَلَى اَخِيْهِ مَايَكْرَهُهُ
Bahwasanya dua orang yang sedang duduk-duduk berkawan itu adalah dengan amanat Allah wa jalla, maka tidak halal bagi seseorang diantara keduanya itu apabila melahirkan sesuatu yang dapat menimbulkan kebencian kepada kawannya.

Adapun yang merupakan ujian yang utama sekali untuk dapat disebut memiliki budi pekerti yang luhur ialah dengan adanya kesabaran menahan segala sesuatu yang bersifat menyakiti diri orang lain dan juga menanggung keadaan yang serba dalam kekurangan. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari rasulullah s.a.w bersama Anas r.a. berjalan di suatu tempat, lalu dibuntuti oleh seorang Arab (orang Arab pedalaman), kemudian ditariknyalah baju beliau s.a.w dengan sangat keras. Beliau s.a.w saat itu sedang mengenakan baju najran yang kasar tepinya. Anas berkata, “Karena tarikan orang itu sampai saya dapat melihat leher rasulullah s.a.w tampak bekas kemerah-merahan, sebab menariknya sangat keras”. Arab itu lalu berkata, “Harap Tuan berikan kepada saya harta Allah yang ada di sisi Tuan”. Tetapi rasulullah s.a.w yang melihat kelakuan orang tersebut, setelah menolehnya, bukannya marah, bahkan ketawa dan menyuruh ia diberi. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Demikian pula halnya beliau s.a.w setelah seringkali disakiti oleh kaum Quraisy, bukannya doa buruk yang beliau ucapkan, tetapi sebaliknya beliau s.a.w berdoa (diriwayatkan oleh Baihaqi) :
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِقَوْمِى, فَاِنَّهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ
Ya Allah, berikanlah pengampunan kepada kaumku, sebab mereka itu memang tidak mengerti

Selanjutnya baik pulalah kita uraikan di bawah ini beberapa atsar yang berhubungan dengan keluhuran akhlak, yaitu ;

Diriwayatkan bahwa Ahnaf bin Qais pernah ditanya, “Dari manakah Tuan mempelajari kesabaran itu ?”. Ia menjawab, “Dari Qais bin ‘Ashim”. Ia ditanya pula, “Sampai dimana sifat kesabarannya itu ?”. Ahnaf menjawab, “Pada suatu ketika Qais bin ‘Ashim sedang duduk di rumahnya, kemudian datanglah pelayan, seorang hamba sahaya perempuan dan membawa sebuah bejana dari besi yang disitu ada daging panggangnya. Tiba-tiba bejana itu tanpa disengaja jatuh dan mengenai puterinya yang masih kecil dan seketika itu pula meninggal dunia. Pelayan itu ketakutan sangat, tetapi Qais berkata, “Jangan engkau takut, engkau kini saya nyatakan sebagai seorang merdeka dan saya merdekakan untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala”.

Diriwayatkan pula bahwa sayyidina Ali karromallahu wajhah, pada suatu ketika memanggil bujangnya, seorng hamba sahaya laki-laki. Sekali, dua kali dan sampai tiga kali ia tidak memperoleh jawaban. Beliau lalu berdiri dan melihat bujangnya itu sedang duduk enak-enakan sambil berbaring, kemudian bertanya, “Apakah engkau tidak mendengar panggilanku, nak ?”. Ia menjawab, “Mendengar juga”. Beliau bertanya pula, “Kalau begitu, mengapa engkau tidak menyahut atau datang ke tempatku ?”. Ia menjawab, “Saya merasa aman dan tidak akan Tuan marahi, maka dari itu saya bermalas-malasan saja”. Tiba-tiba Ali r.a berkata, “Baiklah, engkau kini bebas, engkau kumerdekakan untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala”.

Suatu peristiwa lagi terjadi atas diri seorang ulama bernama Malik bin Dinar. Pada suatu ketika ia dipanggil oleh seorang wanita dengan kata ejekan, “Hai tukang pamer (ria)”. Tetapi ia tidak marah, bahkan menjawab, “Ai, ibu. Betul, memang itulah namaku yang sudah dilenyapkan oleh penduduk Basrah ini”.

Resapkanlah benar-benar, itulah jiwa-jiwa manusia yang sudah ditundukkan dengan adanya latihan dan riadhah, sehingga akhlaknya menjadi lurus dan jujur, bersih dan suci dari tipu daya hati sendiri, lenyap dari perasaan mengkal dan benci, dengki dan keinginan membalas dendam, baik lahiriah maupun bathiniahnya menimbulkan perilaku-perilaku yang terpuji semata-mata. Akhirnya yang ada hanyalah rela dan menerima segala sesuatu yang jelas telah menjadi takdir Allah s.w.t. Memang inilah yang merupakan puncak dari keluhuran budi pekerti itu.

Oleh sebab itu, maka barangsiapa yang belum menemukan sifat-sifat tersebut dalam jiwanya, seyogyanya jangan dirinya itu tertipu lalu mengira bahwa ia sudah berbudi luhur dan berakhlak tinggi. Tetapi sebaliknya hendaklah berusaha dengan jalan berlatih dan bersungguh-sungguh sehingga benar-benar dapat mencapai tingkat keluhuran budi yang setinggi-tingginya. Insaflah bahwa budi luhur adalah suatu tingkat yang merupakan puncak yang teratas sekali dan hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang sungguh-sungguh sudah mendekatkan dirinya kepada Allah ta’ala serta kaum shiddiqin.

PEMBINAAN AKHLAK ANAK-ANAK

Ketahuilah bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh didikan yang baik serta akhlak yang mulia itu adalah termasuk hal yang maha penting dan wajib dilaksanakan dengan sebenar-benarnya dan sama sekali tidak boleh dilengahkan sedikitpun.

Anak adalah amanat atau titipan yang diberikan oleh Allah ta’ala kepada kedua orangtuanya. Hati anak-anak yang masih suci itu merupakan suatu jauhar yang bernilai tinggi, yang penuh harapan dan keadaannya masih kosong sama sekali. Hati anak itu bagaikan suatu kertas yang belum tergores sedikit pun oleh tulisan gambar yang bagaimana pun juga coraknya. Tetapi ia dapat menerima apa saja bentuk yang digoreskan, apa saja yang akan digambarkan di dalamnya, malahan ia akan condong dan cocok kepada sesuatu yang diberikan kepadanya. Kecondongan ini akhirnya akan menjadi kebiasaan dan yang terakhir sekali sebagai kepercayaan.

Oleh sebab itu, apabila si anak tadi dibiasakan untuk mengamalkan apa-apa yang baik, diberi pendidikan ke arah itu, pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi dan akibatnya ia dapat selamat sentosa di dunia dan akhirat. Kedua orangtuanya dan semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya pun ikut memperoleh pahalanya. Sebaliknya jikalau anak itu sejak kecilnya sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan pengajarannya yakni sebagaimana halnya seorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikulkan kepada orang yang bertanggungjawab untuk memelihara dan mengasuhnya. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman dalam surah At Tahrim 6 :
ياَيُّهَاالَّذِيْنَ اَامَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارً ...
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka

Seorang  ayah tentunya akan menjaga benar-benar agar anaknya itu tidak tersentuh oleh api dunia. Jikalau demikian, maka keharusan memeliharanya agar anak itu tidak tersentuh oleh api neraka di akhirat haruslah lebih diutamakan, lebih dipentingkan dan lebih diperhatikan. Cara memeliharanya dari api akhirat ialah dengan jalan memberikan didikan, ajaran dan latihan-latihan yang baik yang semuanya ditujukan untuk memperoleh budi pekerti yang bagus dan akhlak yang luhur. Wajib pula ayah itu menjaga anaknya agar tidak berkumpul dengan kawan-kawannya yang jahat, jangan dibiasakan segala sesuatu serba lezat dan enak-enak saja, jangan pula digemari berhias yang tidak sepatutnya atau apa saja yang akan menimbulkan sifat keborosan. Jikalau ini dilakukan, pastilah usia anak itu nantinya akan dihabiskan semata-mata untuk mencari kesenangan dan berbuat keborosan saja sewaktu besarnya dan dengan demikian ia akan rusaklah jiwanya sepanjang masa. Maka dari itu sejak mula pertama tumbuhnya, seyogyanya diamat-amati dengan teliti sekali. Untuk pengasuh dan penyusunya hendaklah dipilihkan seorang wanita yang shalihah, kuat dalam beragama dan makanannya yang halal selalu. Apabila anak  itu sudah tampak tanda mencapai tamyiz yakni dapat membedakan sesuatu, hendaklah lebih cermat memperhatikan dan menelitinya. Pertama kali baiklah ditunjukkan apa-apa yang harus disegani olehnya, sebab jikalau anak itu sudah memiliki perasaan malu oleh dirinya sendiri, ia akan segan untuk memperbuat hal-hal yang tidak patut dan akan meninggalkan kelakuan-kelakuan yang dianggapnya tidak senonoh, maka inilah sebagai pertanda bahwa yang memancar dari jiwanya itu ialah cahaya akal yang dapat menerangi tindak langkahnya sewaktu-waktu nanti. Baiklah ayah bergembira sedikit dengan melihat anaknya sudah berhal sedemikian ini, karena itulah tandanya bahwa anaknya sudah lurus akhlaknya, hatinya jernih dan akalnya bagus. Sementara itu hendaknya diingat bahwa anak yang sudah mempunyai sifat malu oleh dirinya sendiri, janganlah diabaikan. Ia harus terus ditolong untuk melanjutkan pendidikannya sesuai dengan malu dan tamyiznya itu.

Salah satu hal yang biasa terjadi terhadap diri anak-anak ialah mempunyai sifat rakus makan, maka ini pun perlu dididiknya pula. Misalnya hendaknya ia di waktu makan itu senantiasa menggunakan tangan kanannya dan supaya mengucapkan “bismillaahir rahmaanir rahiim” dihadapan ayahnya dan supaya makan apa yang ada didekatnya saja. Tidak boleh anak itu bersegera makan sebelum orang lain memulainya, jangan dibolehkan memandang terlampau tajam kepada makanan yang dihadapi atau melihat selalu kepada orang yang ada di sampingnya. Diwaktu makan tidak boleh cepat-cepat, tetapi suruhlah mengunyah makanannya itu sebaik-baiknya. Antara suapan yang satu dan yang lainnya janganlah terlalu cepat, jangan pula boleh mengotori kedua tangannya atau pakaiannya. Kadang-kadang supaya dibiasakan makan roti atau nasi tanpa lauk-pauk, sehingga tidak selalu suka makan jikalau pasti ada lauk-pauknya. Boleh saja ayah mencela di muka anaknya itu tidak baiknya makan terlampau banyak dan disamakan dengan cara makan binatang, sementara itu dipujinyalah anak yang sopan dan sedikit makannya. Hendaknya pula anak-anak itu diajaknya membiasakan makan seadanya, memilih makanan apa saja asalkan patut dan halal, suka pula makanan yang kasar-kasar dan tidak lezat.

Tentang berpakaian pun demikian pula, yaitu hendaklah digemari pakaian yang tidak berwarna, berkembang dan bukan pula sutera. Kepadanya supaya dijelaskan bahwa pakaian yang semacam itu hanyalah baik untuk kaum wanita atau banci saja sedang kaum lelaki tidak sepantasnya mengenakan itu. Ucapan yang demikian perlu sekali diulang-ulangi agar anak itu menyadari dengan sebenar-benarnya. Jikalau pada suatu saat melihat seorang anak orang lain mengenakan pakaian berwarna, berkembang atau terbuat dari sutera, hendaknya ayah menunjukkan keingkarannya di muka anaknya tadi serta mencelanya.

Perlu pula ayah itu menjaga anaknya dari pengaruh anak-anak lain yang senantiasa dibiasakan oleh ayah-ayahnya dalam keenakan-enakan serta diliputi kesenangan belaka atau yang kegemarannya mengenakan pakaian-pakaian yang indah-indah dan serba baik. Juga perlu dijaga apabila bergaul dengan orang-orang yang suka membisik-bisikkan sesuatu untuk menjadi keinginan yang kurang diperlukan. Sebabnya semua itu harus diperhatikan ialah karena seorang anak itu apabila sejak mulai pertumbuhannya sudah dilalaikan dari pendidikan yang baik, dilalaikan dari ajaran budi pekerti yang luhur, maka pada ghalibnya ia akan memiliki akhlak yang rendah dan hina, suka berdusta, bahkan akhirnya dapat menjadi anak pendengki, pencuri, gemar mengadu domba, suka meminta sesuatu dengan paksaan, banyak berkata-kata yang tidak berguna, suka ketawa berlebih-lebihan, suka melucu yang tidak pada tempatnya, dan tidak jarang yang merasa gembira dapat mengeluarkan kata-kata kotor sebanyak-banyaknya. Keadaan-keadaan yang tidak baik semacam di atas itu dapat dihindarkan dengan jalan memberikan pendidikan yang baik, juga supaya disibukkan dengan apa-apa yang diterimanya dari sekolah dengan mempelajari kitab suci Al Quran, hadists-hadits, sejarah hikayat-hikayat orang-orang yang budiman dan berbakti serta hal-ihwal hidup mereka. Dengan demikian, maka dalam jiwa anak itu akan tumbuhlah benih mencintai kaum shalihin. Satu hal yang penting pula ialah hendaknya anak itu dijaga jangan sekali-kali ia menyukai syair-syair yang mengandung cinta-cintaan antara lelaki dan wanita atau yang sebangsa dengan itu, sebab inilah yang juga dapat menumbuhkan benih kerusakan dan kehancuran dalam jiwanya.

Selanjutnya apabila anak itu tampaknya sudah sekedarnya memiliki budi luhur dn perbuatan yang terpuji, maka seyogyanya ia juga dimuliakan dan diberi hadiah karena kelakuan-kelakuannya itu yang berupa sesuatu yang bermanfaat baginya, tetapi yang ia dapat merasa gembira dengan menerima hadiah itu. Boleh juga ia kadang-kadang dipuji dimuka orang banyak. Jikalau pada suatu ketika anak itu menyalahi apa-apa yang sudah diajarkan, maka untuk pertama kali kesalahannya itu baiklah diampuni dan orang tua pura-pura lalai atau tidak mengetahuinya, sama sekali jangan dibuka rahasianya atau dinodai kehormatannya. Tetapi jangan pula pengampunannya itu diperlihatkan, lebih-lebih lagi diperlihatkannya di hadapan orang lain. Yang sedemikian ini akan menimbulkan kelakuan yang kedua kalinya, ketiga kalinya dan selanjutnya. Jadi ringkasnya ayah hendaklah bijaksana mengasuh anaknya. Lebih-lebih tidak boleh kesalahannya itu diperlihatkan, jikalau anak itu sendiri sudah berusaha menutupi celanya dan bersungguh-sungguh hendak menyembunyikannya. Ini adalah pertanda bahwa ia tidak ingin melakukannya lagi dan bahwa apa yang dilakukan pertama itu mungkin karena kekhilafan yang tidak disengaja. Jikalau hanya sekali ia berbuat kekeliruan, lalu diperlihatkan, maka kadang-kadang hal itu dapat membuat anak itu berani dan tidak perduli untuk diperlihatkan kelakuannya yang salah kepada siapa pun juga.

Apabila kelakuannya yang salah itu sudah didiamkan, tetapi masih juga ia melakukan untuk kedua kalinya, maka seyogyanya ia diberi hukuman secara rahasia dan hanya ayah dengan anak itu sendiri lah yang mengetahuinya. Anak tersebut hendaklah diberi peringatan, bahwa yang dikerjakannya itu adalah suatu kesalahan yang besar sekali. Kepadanya hendaklah dikatakan, “Betul-betul jangan kau ulangi lagi kelakuan semacam itu setelah saat ini. Jangan sampai timbul sekali lagi perbuatan semacam itu dari dirimu, sebab akhirnya akan tampak di kalangan orang banyak. Engkau harus malu berbuat lagi”.

Ucapan yang berupa nasehat itu hendaklah dilakukan dengan bijaksana, jangan memperbanyak kata-kata yang tidak patut atau kurang berguna, jangan pula terlampau banyak mencela dan mengejek dalam setiap waktu. Hal ini tidak perlu, sebab kalau yang sedemikian ini biasa, maka akan dianggap ringanlah oleh anak tadi mendengar celaan dan cemoohan serta akan dianggap biasa sajalah menanggung cercaan karena perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukannya dan akhirnya akan lenyaplah wibawa nasehat itu dan jatuhlah pengaruh serta mengesannya dalam hati si anak tadi.

Oleh sebab itu sekali lagi ayah hendaklah bersikap bijaksana, menjaga benar-benar susunan kata-kata yang akan dihadapkan kepadanya dan jangan memperolok-olok anaknya itu melainkan dalam waktu yang sangat diperlukan. Sementara itu tugas ibu ialah mengingatkan anaknya akan wibawa ayahnya dan disertai pula kadang-kadang penjelasan keburukan pada perbuatannya itu. Ringkasnya antara ayah dan ibu itu hendaklah ada kerjasama yang sebaik-baiknya untuk mendidik anak yang tampaknya ada gejala-gejala tidak baiknya tadi. Suatu pendidikan yang utama lagi supaya ayah melarang anaknya tidur di waktu siang, sebab hal ini banyak menimbulkan kemalasan bekerja dan lain-lain. Tetapi untuk di waktu malam, maka jangan dilarang sama sekali, hanya saja sebaiknya jangan dibiasakan tidur di atas kasur yang empuk-empuk atau alat-alat tidur yang serba mewah. Hal semacam ini kurang baik, sebab akan kakulah anggota tubuh anak itu dan suka bermalas-malasan saja. Bahkan dapat pula hal ini menyebabkan tumpulnya otak si anak yang terlampau dimanjakan itu. Jikalau yang sedemikian ini diteruskan, kecuali bahaya-bahayanya sebagaimana di atas itu, juga di waktu besarnya anak tadi akan menjadi seorang yang tidak dapat sabar dan tahan menderita dan ingin berkecimpung dalam kenikmatan saja, sekalipun kehormatan dan haknya akan dilanggar. Oleh karena itu, maka seyogyanya dibiasakan sajalah yang serba kasar dan kurang nyaman, baik dalam tidur, berpakaian, makan dan lain-lain sebagainya.

Selain itu baiklah anak itu dilarang mengerjakan sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi, sebab sebenarnya ia tidak akan melakukannya dengan cara demikian, kecuali ia sendiri agaknya telah meyakinkan bahwa perbuatannya adalah tidak baik atau tidak patut dilihat orang. Maka jikalau yang sedemikian ini benar-benar diawasi, maka anak itu pun akan terbiasa meninggalkan perbuatan yang tercela.

Sebagian harinya, hendaklah dibiasakan oleh anak itu untuk digunakan berjalan dan bergerak serta berolahraga, supaya tidak timbul kemalasan tubuhnya. Biasakanlah pula agar anak itu jangan membangga-banggakan nenek moyangnya atau mencercanya. Jangan pula dibolehkan berjalan terlampau cepat-cepat seperti orang ketakutan atau kebingungan.

Suatu hal lagi ialah agar anak itu diawasi benar-benar, jangan sampai membangga-banggakan dirinya kepada kawan-kawannya baik yang berhubungan dengan makanan atau pakaian yang diperoleh dari rumahnya, juga hal-ihwal keluarga atau keadaan rumah tangganya, tetapi sebaliknya hendaklah ia dibiasakan merendah diri dan memuliakan setiap kawan yang dihubungi dan senantiasa lemah lembut dalam kata-katanya.

Baik sekali anak itu dinasehati agar jangan suka menerima sesuatu pemberian dari kawannya, lebih-lebih jikalau sampai memintanya. Hendaklah ia diinsafkan bahwa keluhuran budi itu ialah apabila dapat memberi dan bukan menerima. Meminta adalah suatu tanda kerendahan, kehinaan, cela dan kekurangan harga diri. Tetapi harus pula dijaga, agar dengan demikian ini, jangan sampai anak itu menjadi seorang yang congkak dan takabbur. Jadi hendaklah dilihat dan diteliti mana yang boleh diterima dan mana yang tidak. Namun demikian, kebiasaan meminta jangan diizinkan sama sekali. Sebab kelakuan semacam ini adalah watak anjing yang senantiasa mengibas-ngibaskan ekornya untuk menantikan sesuap makanan yang sedang dimakan oleh tuannya dan ingin benar menerimanya.

Perihal harta dunia, hendaklah anak itu diinsafkan tentang buruknya mencintai emas dan perak atau ingin memilikinya yang tidak wajar dan kurang diperlukan. Harus ditanamkan akan kelebihan bahayanya daripada ular dan kala, sebab kecelakaan yang akan diperoleh karena mencintai emas dan perak itu lebih hebat dan lebih besar penderitaannya daripada racun atau bisa yang keluar dari ular atau kala itu. Ini tentunya untuk anak-anak. Sedangkan untuk kaum dewasa pun demikian pula, sekiranya ia tidak pandai menggunakannya.

Suatu soal lagi yang termasuk pendidikan ialah jangan anak itu diperkenankan biasa berludah di tempat yang bukan semestinya, yakni dimana saja ia berada, disitulah ia berludah dengan semau-maunya, jangan pula beringus atau menguap tanpa menutupi mulutnya di hadapan orang lain. Tidak baik pula kalau ia membelakangi orang lain.

Meletakkan kaki yang sebuah di atas kaki yang lainnya hendaklah dilarang, demikian pula meletakkan tangan dibawah dagu atau menyandarkan kepala di atas tangan, sebab semuanya ini adalah tanda kemalasan.

Seorang ayah hendaklah mengajar anaknya itu bagaimana cara duduk yang baik. Didiklah ia supaya jangan terlampau banyak cakap yang tidak perlu. Beritahukanlah padanya bahwa obral omongan itu menunjukkan ketololan, kurang sifat malunya dan hal itu hanya dilakukan oleh anak-anak yang kurang akal belaka dan sangat tercela.

Bersumpah jangan dibolehkan sama sekali, baik di waktu ia dalam keadaan benar, apalagi jikalau bersalah. Kepentingannya ialah agar ia tidak membiasakannya sejak kecil. Biasakanlah anak itu mendengar ucapan-ucapan yang baik di waktu orang lain berbicara, terutama dari orang-orang yang usianya lebih tua daripadanya.

Kepada orang yang lebih tua itu, hendaklah ia dibiasakan suka menghormati dan meluaskan tempat untuknya dan boleh saja ia duduk di hadapannya untuk belajar kesopanan.

Anak itu harus dilarang berkata kotor atau yang kiranya tidak patut didengar, terutama sekali melaknati orang lain atau mencaci-makinya. Laranglah ia bergaul dengan anak yang membiasakan kata-kata seperti di atas itu, agar tidak menjalar pula ke dalam wataknya. Keadaan semacam ini memang pasti dapat mempengaruhi anak yang baik, ini pasti menjalar dan akan ditirukan. Maka bergaul dengan kawan-kawan yang dianggap buruk dan tidak sopan, wajib dilarang sama sekali. Bahkan pokok daripada cara mendidik anak itu ialah dijaga dan kalau dapat dilarang sama sekali berkawan dengan anak-anak yang kurang pendidikan dan kesopanan.

Setelah anak itu keluar dari sekolahnya, tidak ada halangannya jikalau anak itu diperbolehkan bermain-main yang baik dan cara bermainnya sopan, sedang alat permainannya pun layak menurut usianya. Ini dimaksudkan agar anak itu dapat beristirahat secukupnya dari kelelahan belajar di sekolah dan juga supaya terhibur hatinya sesudah menerima pelajaran-pelajaran dan memutar otak. Perlu kita insafi bahwa melarang anak bermain dan memaksanya untuk terus belajar, pastilah akan mematikan hati dan jiwanya, menumpulkan otak dan melenyapkan kecerdasannya. Jikalau ini dilanjutkan, anak itu pasti akan merasa terkekang hidupnya, sempit ruangan geraknya dan bosan hatinya menghadapi yang itu-itu juga sepanjang hari. Akibatnya ia pasti akan berdaya upaya untuk melepaskan diri dari kungkungan yang tidak wajar ini dan bahkan berdaya upaya untuk lari dari keadaan yang dirasakan sangat menekan dan memberatkan itu. Akhirnya ia akan mencari-cari kesempatan yang tidak wajar, mencuri-curi waktu yang terluang dan membuat alasan-alasan yang bukan-bukan untuk dapat bermain dan keluar dari rumah.

Sangat penting sekali jikalau anak itu diajari bagaimana ia harus taat dan patuh kepada kedua orangtuanya, guru pengajar dan pendidiknya, juga setiap orang yang lebih tinggi usianya daripada anak itu sendiri, tanpa memandang apakah orang itu masih sekeluarga dengannya atau orang lain. Suruhlah anak itu memandang mereka itu dengan mata penghormatan dan sikap memuliakan sebagaimana mestinya. Dihadapan mereka janganlah dibiarkan ia bermain-main.

Jikalau anak itu sudah mencapai usia antara tujuh dan sepuluh tahun pada saat itu tentulah ia sudah dapat disebut tamyiz yakni dapat membeda-bedakan antara sesuatu yang baik dan buruk, maka janganlah sekali-kali anak itu diberi kesempatan atau diizinkan meninggalkan bersuci secara agama dan lebih-lebih lagi shalat.

Dalam bulan Ramadhan hendaklah ia diperintah puasa dengan cara yang baik. Tentu saja sebagai latihan bolehlah beberapa hari dahulu dan tahun kemudiannya ditambah lagi sehingga akhirnya ia membiasakan berpuasa penuh sebulan.

Ketentuan-ketentuan syari’at agama, wajiblah ia diajari di rumah, disamping pelajaran yang diterima di sekolahnya.

Laranglah benar-benar anak itu dengan sesungguh-sungguhnya sehingga takut mencuri dan makan sesuatu yang diharamkan. Demikian pula haruslah dicegah benar-benar dari kelakuan-kelakuan yang bersifat pengkhianatan, kata-kata dusta dan kotor dan segala sesuatu yang dianggap buruk, baik dipandangan masyarakat dan agama. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab jikalau anak itu sejak tumbuhnya sudah dibiasakan dan diajari yang baik-baik maka nantinya setelah ia mencapai usia hampir baligh, tentulah ia akan dapat mengetahui sendiri rahasia-rahasianya yakni mengapa perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu dilarang oleh ayahnya. Sebaliknya jikalau hal itu dibiarkan saja, maka anak tersebut akan terbiasa melakukannya sampai saat dewasanya nanti dan akibatnya sangat memalukan ayah sendiri. Anak yang sedemikian ini dapat menjadi seorang pencuri, pengkhianat, penipu, pendusta, dan seringan-ringannya sebagai seorang yang suka berkata kotor dan tidak layak didengar umum.

Sumber :
Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar