KEUTAMAAN
BUDI PEKERTI YANG BAIK DAN CELANYA BUDI PEKERTI YANG JELEK
Allah ta’ala berfirman, sebagai
pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. serta untuk memperlihatkan kenikmatan yang
telah dilimpahkan kepadanya, yaitu dalam surah Al Qolam 4 :
Sesungguhnya engkau (Muhammad), niscaya memiliki budi
pekerti yang agung. وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Budi pekerti rasulullah s.a.w.
adalah Al Quran. كَانَ رَسُولُ الله ِصَلَّ االله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّم خُلُقُهُ الْقُرْآنُ
Rasulullah s.a.w. sendiri pernah
menyatakan dalam sabdanya (diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim dan Baihaqi):
Bahwa aku ini, diutus untuk
menyempurnakan kebaikan budi pekerti.اِنَّمَابُعِثْتُ ِلاُتَمِّمَ مَكَارِمَ
اْلاَخْلاَقِ
Beliau s.a.w. bersabda pula (diriwayatkan
oleh Muhammad bin Nashr Almaruzi) :
Agama adalah kebaikan budi
pekerti. اَلدِّيْنُ حُسْنُ الْخُلُقِ
Suatu ketika beliau s.a.w. ditanya,
apakah yang dianggap sebagai kecelakaan itu ? Beliau s.a.w. lalu menjawab
(diriwayatkan oleh Abu Dawud) :
Yaitu buruknya budi pekerti. سُوْءُالْخُلُقِ
Selain itu beliau s.a.w. bersabda
lagi (diriwayatkan oleh Tirmidzi):
اِتَّقِ الله َحَيْثُمَاكُنْتَ
وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَاوَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Takutlah kepada Allah dimana
saja engkau berada dan ikutilah suatu kejelekan itu dengan kebaikan, maka
kebaikan itu dapat menghapus kejelekan tadi, juga pergaulilah seluruh manusia
dengan budi pekerti yang bagus.
Sekali waktu nabi Muhammad s.a.w.
diberitahu bahwa ada seorang wanita yang suka berpuasa pada siang harinya dan
bangun untuk shalat diwaktu malamnya, tetapi ia mempunyai budi pekerti yang
jelek lagi suka mengganggu tetangganya dengan ucapannya. Demi mendengar itu
rasulullah s.a.w. lalu bersabda (diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim) :
لاَخَيْرَفِيْهَا, هِيَ مِنْ
اَهْلِ النَّارِ
Wanita itu tidak ada
kebaikannya sama sekali dan ia termasuk golongan penghuni neraka.
Ada lagi sabda rasulullah s.a.w.
yaitu (diriwayatkan oleh Daraquthni dan Kharaithi) :
اِنَّ الله َاِسْتَخْلَصَ
هذَالدِّيْنَ لِنَفْسِهِ وَلاَيَصْلُحُ لِدِيْنِكُمْ اِلاَّالسَّخَاءَ وَحُسْنَ
الْخُلُقِ. اَلاَفَزَيِّنُوْادِيْنَكُمْ بِهِمَا
Sesungguhnya Allah memurnikan
agama ini untuk Zat-Nya sendiri dan tidak patutlah untuk agamamu itu melainkan
bersifat dermawan dan berbudi yang baik. Ingatlah, maka hiasilah agamamu itu
dengan kedua sifat tadi.
Ketika rasulullah s.a.w. ditanya,
manakah diantara kaum mukminin itu yang terbaik keimanannya, maka beliau s.a.w.
menjawab (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan lain-lain) :
Ialah yang terbaik budi
pekertinya diantara mereka itu.اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Beliau s.a.w. bersabda lagi
(diriwayatkan oleh Bazzar, Abu Ya’la dan Thabrani) :
اِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوْ
النَّاسَ بِاَمْوَالِكُمْ فَسَعُوهُمْ بِبَسْطِ الْوَجْهِ وَحُسْنِ الْخُلُقِ
Sesungguhnya kamu semua tidak
dapat mempergauli para manusia itu hanya dengan hartamu saja, maka pergaulilah
mereka itu dengan wajah yang berseri-seri serta baiknya budi pekerti.
Dan sabdanya lagi (diriwayatkan
oleh Baihaqi dan Ibnu Hibban) :
يَااَبَاذَرٍّ, لاَعَقْلَ
كَالتَّدْبِيْرِوَلاَحَسَبَ كَحُسْنِ الْخُلُقِ
Hai Abu Dzar, tidak ada akal
(yang bermanfaat) seperti memikirkan dan tidak ada usaha (yang berguna) seperti
baiknya budi pekerti.
Hasan berkata, “Perumpamaan budi
pekerti yang buruk adalah bagaikan benda dari tanah liat yang sudah pecah,
tidak dapat diperbaiki (ditambal) dan tidak pula dijadikan tanah liat kembali”.
Fudlail berkata, “Sebenarnyalah
kalau saya ini berkawan dengan orang yang durhaka, tetapi baik budi pekertinya,
adalah lebih baik bagiku daripada berkawan dengan seorang yang ahli ibadat,
tetapi sangat buruk budi pekertinya”.
PENDAPAT
KAUM SALAF TENTANG BUDI PEKERTI YANG BAIK
Ketahuilah bahwa dari kaum salaf,
dalam mengupas perihal budi pekerti yang baik itu, ada yang menganggap bahwa
itulah yang merupakan buah dan ada yang menganggap sebagai tujuan.
Diantaranya ialah yang diuraikan
oleh Hasan rahimahullah yaitu, “Budi pekerti yang baik ialah menunjukkan wajah
yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda kedermawanan dan menahan
diri dari perbuatan yang menyakiti”.
Selanjutnya di bagian lain ia
berkata, “Budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh makhluk, baik
dalam kesukaan (keadaan murah rizki) atau dalam kedukaan (keadaan kekurangan)”.
Ada lagi keterangan-keterangan
yang lain yang dari semuanya itu dapat diambil kesimpulan bahwa
kelakuan-kelakuan yang baik itulah yang merupakan buah dari budi pekerti yang
baik pula.
Tetapi apakah sebenarnya hakikat
dari pengertian budi pekerti itu ?
Hakikat daripada pengertian budi
pekerti itu ialah suatu hayat atau bentuk dari sesuatu jiwa yang benar-benar
telah meresap dan dari situlah timbulnya berbagai-bagai perbuatan dengan cara
spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan tanpa membutuhkan pemikiran atau
angan-angan. Apabila dari hayat tadi timbul kelakuan-kelakuan yang baik dan
terpuji menurut pandangan syari’at dan akal fikiran, maka hayat yang demikian
itulah yang dinamakan budi pekerti yang baik. Sebaliknya apabila yang timbul
daripadanya itu kelakuan-kelakuan yang buruk, maka hayat yang demikian itulah
yang dinamakan budi pekerti yang buruk pula.
Sebabnya kami mengatakan bahwa
itu adalah hayat yang meresap terpateri, sebab andaikata ada seseorang yang
mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk sesuatu hajat yang
secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang sedemikian ini disebut orang yang
dermawan sebagai dasar budi pekertinya, selama keadaan yang semacam itu belum
lagi meresap dan menetap benar-benar dalam jiwanya. Juga kami syaratkan bahwa
timbulnya perbuatan-perbuatan tadi haruslah dengan cara sebagai kebiasaan dan
mudah, tanpa diangan-angan atau memerlukan pemikiran, sebab andaikata ada
seorang yang dengan memaksa sekali pada dirinya untuk membelanjakan hartanya,
atau memaksa hatinya untuk berdiam diwaktu timbul sesuatu yang menyebabkan
kemarahan, sedang hal itu diusahakan dengan bersungguh-sungguh dan penekanan
atau dipikir-pikirkan dahulu, maka bukanlah orang yang semacam itu dapat
dinamakan seorang dermawan atau penyantun dan sabar.
Adapun induk seluruh akhlak dan
yang merupakan sendi-sendinya itu ada empat
hal, yaitu ;
a. Hikmat atau kebijaksanaan.
b. Keberaranian.
c. Kelapangan dada.
d. Keadilan.
Hikmat
ialah suatu keadaan jiwa yang dengannya itulah dapat ditemukannya hal-hal yang
benar dengan menyisihkan mana-mana yang salah dalam segala urusan yang dihadapi
secara ikhtiariah.
Keberanian
ialah suatu keadaan jiwa yang merupakan sifat kemarahan, tetapi yang dituntun
dengan akal fikiran untuk terus maju atau mengekangnya.
Kelapangan
dada ialah mendidik kekuatan syahwat atau kemauan dengan didikan yang
bersendikan akal fikiran serta syari’at agama.
Keadilan
ialah suatu kekuatan dalam jiwa yang dapat membimbing kemarahan dan syahwat itu
dan membawanya ke arah yang sesuai dengan hikmat dan kebijaksanaan. Adakalanya
dibiarkan dan adakalanya dikekang dan semua ini dengan mengingat keadaan dan
suasana yang sedang dihadapinya.
Dari kelurusan keempat macam
sendi-sendi pokok itulah timbulnya semua akhlak yang baik dan terpuji. Al Quran
telah mengisyaratkan perihal akhlak-akhlak ini dalam memberikan sifat kepada
kaum mukminin, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al Hujurat 15 :
اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ
الَّذِيْنَ اَامَنُوْابِالله
ِوَرَسُولِهِى ثُمَّ لَمْ
يَرْتَابُوْاوَجَاهَدُوْابِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ الله ِ.
اُولئِكَ هُمُ الصّدِقُوْنَ
Bahwa orang-orang mukmin ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu
dan berjihad dengan harta dan jiwanya untuk sabilillah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.
Jadi keimanan kepada Allah dan
rasul-Nya tanpa keragu-raguan itulah yang merupakan keyakinan yang kuat dan
kokoh dan inilah sebagai buah daripada akal fikiran dan ujung dari hikmat dan
kebijaksanaan.
Berjuang dengan harta ialah
dengan kedermawanan yang ditujukan untuk menekan kekuatan syahwat, sedang
berjuang dengan jiwa ialah dengan keberanian yang ditujukan untuk menggunakan
kekuatan kemarahan menurut syarat akal fikiran dan batas kejujuran dan bersikap
sedang dalam segala hal. Allah ta’ala dalam menguraikan sifat-sifat sahabat
nabi s.a.w., berfirman dalam surah Al Fath 29 :
...
اَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ...
Mereka itu bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi saling kasih-mengasihi antara sesama mereka
sendiri.
Ini adalah sebagai petunjuk bahwa
kekerasan itu ada tempatnya sendiri dan kasih sayang pun ada tempatnya sendiri
pula. Jadi tidaklah dapat dinamakan
kesempurnaan, jikalau kekerasan digunakan dalam segala tempat atau
kasih-sayang diterapkan pada segala tempat juga.
PERANAN
LATIHAN DALAM PEMBINAAN AKHLAK
Ketahuilah bahwa seseorang yang
jiwanya sudah senantiasa dikalahkan oleh nafsu kebathilan, tentulah ia akan
sukar untuk bersungguh-sungguh melatih jiwanya itu atau berusaha untuk
menyucikannya serta membekasnya didikan budi pekerti, sehingga jiwanya tidak
berkesempatan lagi untuk berbuat sedemikian tadi. Keadaan yang semacam ini
boleh jadi karena keteledorannya atau kurang keikhlasan hatinya atau memang
buruk watak dan tabiatnya. Akhirnya ia lalu menyangka bahwa akhlak itu tidak
mungkin dapat diubah, sebab menurut anggapannya akhlak itu memang tidak dapat
berubah-ubah. Terhadap orang yang berfaham sedemikian ini perlulah kita berikan
jawabannya yaitu andaikata akhlak itu memang tidak dapat berubah-ubah, tentu
tidak berguna lagi perintah-perintah untuk memberikan wasiat, pesan, nasehat
dan pendidikan. Juga kalau demikian halnya, pastilah rasulullah s.a.w. tidak
perlu bersabda (diriwayatkan oleh Abu Bakal bin La-al) :
Perbaikilah akhlakmu.حَسِّنُوْااَخْلاَقَكُمْ
Jadi untuk apa beliau s.a.w.
bersabda semacam itu andaikata memang tidak dapat diubah. Jelaslah bahwa
pendapat semacam ini salah sekali. Memang akhlak itu dapat diubah-ubah. Mengapa
ini diingkari bagi suatu makhluk yang berujud manusia, sedangkan mengubah
tabiat binatang masih dapat dilaksanakan. Bukankah burung rajawali yang asalnya
ganas dapat dijadikan jinak, dan kuda yang asalnya enggan dikekang dapatlah
akhirnya dipimpin dan dikendalikan. Semuanya itu adalah sebagai bukti yang
jelas bahwa akhlak memang dapat diubah-ubah dan mungkin mengalami perubahan.
Untuk lebih menjelaskan uraian di
atas, baiklah kita berikan kupasannya sebagai berikut ;
Segala sesuatu yang maujud atau
ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua
macam, yakni ;
Pertama
; sesuatu yang tidak ada pengaruh manusia sama sekali didalamnya dan sejak asal
mulanya memang bukan merupakan ikhtiar manusia itu. Perinciannya ialah seperti
langit, bintang-bintang dan bahkan semua anggota tubuh yang luar dan dalam,
juga semua macam binatang. Ringkasnya ialah segala benda yang sudah ada dan
sempurna, yang sejak adanya sudah sebagaimana adanya tadi dan memang itulah
kesempurnaan kejadiannya.
Kedua
; sesuatu yang sudah ada dan masih dalam keadaan kurang, tetapi di dalamnya
dikaruniai oleh Allah ta’ala suatu kekuatan untuk menerima kesempurnaan,
apabila ada syarat-syaratnya yang diperlukan untuk membuatnya menjadi sempurna itu.
Syarat-syarat ini adakalanya berhubungan dengan usaha manusia. Misalnya ialah
biji-bijian. Biji itu tidak mungkin dapat menjadi buah apel atau kurma
andaikata ia tidak diolah sedemikian rupa sehingga dapat menjadi buah apel atau
kurma dengan mengadakan perawatan yang baik. Tanpa ini pastilah tidak mungkin
timbul buah-buahan itu. Jikalau biji-bijian saja dapat menerima
pembekasan-pembekasan karena usaha manusia, dapat menerima perubahan dari
sebagian keadaan yang menurut pertumbuhannya yang wajar, maka demikian itu
pulalah halnya sifat kemarahan dan kesyahwatan. Sebagaimana halnya biji-bijian,
sekalipun telah diolah dan diusahakan, ada pula diantaranya yang dapat menjadi
buah-buahan yang kita inginkan, tetapi ada pula yang kurang atau tidak baik
sama sekali, maka itu pulalah halnya kemarahan dan kesyahwatan. Jikalau kita
menginginkan agar kedua sifat ini dapat ditindas atau dilenyapkan sema sekali,
sehingga sedikitpun tidak ada bekasnya, pastilah tidak mungkin itu terlaksana.
Memang kita tidak kuasa untuk berbuat sedemikian. Tetapi jikalau kita
menginginkan supaya kedua sifat itu dapat dikendalikan dan dibimbing dengan
jalan melatih dan bersungguh-sungguh, pastilah kita dapat melakukannya dengan
pertolongan Allah ta’ala. Bahkan kita semua diperintah untuk melaksanakan itu.
Itulah yang menyebabkan keselamatan kita di dunia dan akhirat dan dapat sampai
di hadirat Allah s.w.t. dengan ketenangan hati.
Memang tidak perlu kita ingkari
bahwa watak dan tabiat itu berbeda-beda keadaannya. Ada yang cepat menerima dan
ada pula yang lambat menerima. Insafilah bahwa yang dimaksudkan dengan
bersungguh-sungguh itu bukanlah sama sekali hendak menumpas sifat-sifat itu
secara keseluruhan atau hendak melenyapkannya sama sekali, itu tidak. Jauh
sekali kalau yang dimaksudkan itu sedemikian, sebab kesyahwatan itu sengaja
diciptakan oleh Allah ta’ala untuk suatu kemanfaatan. Ini penting sekali dalam
watak dan tabiat. Sebagai contoh yang mudah sekali ialah andaikata syahwat
bersetubuh lenyap, pastilah habis keturunan segala makhluk dan andaikata sifat
kemarahan itu tidak ada sama sekali, sehingga orang tidak dapat mempertahankan
dirinya sendiri terhadap apa-apa yang akan membinasakannya, pastilah manusia
itu sendiri yang hancur dan musnah.
Itulah kemanfaatannya agar
syahwat itu tetap ada dan terpelihara menurut ketentuannya yang wajar. Maka
oleh sebab pokok kesyahwatan masih ada, maka pasti akan tetap pula ada rasa
cinta kepada harta, sebab inilah yang dapat menyampaikan diri seseorang kepada
syahwat yang diingini dan dengan demikian lalu membawa orang itu tetap harus
menggenggam harta yang dimilikinya. Pendek kata yang dimaksudkan disini
bukanlah hendak melenyapkan sifat-sifat kemarahan atau kesyahwatan itu secara
keseluruhan, sehingga tidak ada yang tertinggal sama sekali. Tetapi yang
dituntut ialah menetapkan sifat-sifat itu dalam kedudukan sedang atau
pertengahan, yakni antara sifat melampaui batas dan sifat menyia-nyiakan atau
meneledorkan. Misalnya dalam hal marah, maka yang dikehendaki ialah supaya
seseorang itu pandai mempertahankan diri, artinya hendaklah lenyap dari sikap
hantam keromo dan lenyap pula dari sifat pengecut atau penakut. Singkatnya
supaya dalam jiwanya itu ada suatu kekuatan dan dengan kekuatan ini seseorang
itu dapat mengikuti bimbingan akal fikirannya yang sehat. Oleh sebab itulah
Allah memfirmankan dalam surah Al Fath 29
:
...
اَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ...
Bersikap keras terhadap
orang-orang kafir dan bersikap kasih-sayang terhadap sesama kaum mukminin.
Jadi kaum mukminin yang
benar-benar baik ialah yang memiliki sifat yang sedemikian itu. Disatu pihak ia
memiliki kekerasan dan dipihak lain ia berlemah-lembut. Kekerasan ini timbul
diwaktu seseorang itu marah. Oleh sebab itu, andaikata sifat kemarahan ini
hilang lenyap, maka tidak ada pula pengorbanan berjihad dan berperang. Maka
jikalau ada yang mengira bahwa yang dikehendaki itu supaya hilang sama sekali
adanya sifat kemarahan dan kesyahwatan itu pastilah salah belaka. Sebab
bagaimana kedua sifat ini akan dilenyapkan sampai licin, sedangkan para nabi
‘alayhimush sholatu wassalam sendiri tidak terlepas dari sifat-sifat itu.
Renungkanlah apa yang disabdakan oleh rasulullah s.a.w. (diriwayatkan oleh
Muslim) :
اِنَّمَااَنَابَشَرٌاَغْضَبُ
كَمَايَغْضَبُ الْبَشَرُ
Bahwasanya saya ini adalah
manusia yang dapat marah sebagaimana marahnya manusia biasa.
Dalam sebuah hadits lain yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan sifat beliau s.a.w. demikian :
كَانَااِذَاتَكَلَّمَ بَيْنَ يَدَيْهِ
بِمَايَكْرَهُهُ يَغْضَبُ حَتَّى تَحْمَرَّ وَجْنَتَاهُ وَلكِنْ لاَيَقُولُ اِلاَّحَقًّا,
فَكَانَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لاَيُخْرِجُهُ غَضَبُهُ عَنِ الْحَقِّ
Apabila dihadapan rasulullah
s.a.w. dipercakapkan sesuatu yang tidak disenangi, beliau s.a.w. menunjukkan
kemarahannya sehingga tampak merah kedua pipinya, tetapi sekalipun demikian
beliau s.a.w tidak mengucapkan kecuali yang haq. Jadi kemarahan rasulullah s.a.w.
itu tidak mengeluarkan dirinya dari yang haq itu.
Dalam hal ini Allah ta’ala
berfirman dalam surah Ali ‘Imran 134 :
...
وَالْكَاظِمِيْنَ اْلغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ ...
(Orang-orang yang bertakwa itu) sama menahan marahnya dan
memberi maaf kepada orang-orang lain.
Dalam ayat tersebut dijelaskan
dengan kata-kata “walkaazhimiinal ghaizho (menahan marah)”, bukan dengan
kata-kata “walfaqidinal ghaizho (lenyap sifat marahnya)”. Jadi kemarahan dan
kesyahwatan itu dikembalikan ke batas yang sedang, sehingga salah satu dari
kedua sifat tadi tidak sampai memaksa takluknya akal fikiran dan tidak sampai
mengalahkannya, tetapi bahkan sebaliknya yakni bahwa akal fikiranlah yang
merupakan penekan atau pemberi komando dari kedua sifat tadi serta dapat mengarahkannya
ke tujuan yang baik.
Nah, inilah yang dimaksudkan
dengan uraian perubahan akhlak.
Memang akhlak yang tidak baik
perlu diubah, sebab kadang-kadang ada juga manusia yang menurut sifat aslinya
dapat dikalahkan oleh kesyahwatannya, sehingga akal fikiran tidak kuat untuk
menahan kehendak syahwat tadi untuk menerjunkan diri dalam lembah kejahatan dan
kekejian. Maka dengan jalan berlatih itulah manusia tadi dapat menjadi insaf
dan kembali ke arah pertengahan dan akhirnya bersikap senantiasa sedang dalam
membimbing syahwatnya. Jelaslah bahwa yang sedemikian ini sebagai bukti
mungkinnya akhlak itu diubah dengan adanya latihan yang bersungguh-sungguh.
Pengalaman dan kenyataan inilah yang menjadi bahan pembuktian yang tidak perlu
diragukan lagi.
Adapun yang menunjukkan bahwa
yang dituntut itu ialah sikap pertengahan dalam semua akhlak dan tidak boleh
berat sebelah sehingga lebih condong ke arah yang satu, yaitu seperti adanya
sifat kedermawanan. Ini adalah budi pekerti yang amat terpuji baik dipandang
dari sudut syari’at atau akal manusia Kedermawanan itu sebenarnya adalah sifat
pertengahan antara dua macam sifat yang semuanya tidak baik, yaitu obral dan
kikir. Obral adalah dermawan yang melebihi batas dan kikir adalah kehilangan
kedermawanan sama sekali.
Resapkanlah ayat ini, sebagai pujian
Allah ta’ala kepada orang yang dermawan, yaitu dalam surah Al Furqon 67 :
وَالَّذِيْنَ اِذَآاَنْفَقُوْالَمْ
يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذَالِكَ قَوَمًا
Mereka itu apabila
membelanjakan hartanya tidaklah mengobral dan tidak pula kikir yaitu
pertengahan antara kedua sifat yang sedemikian itu.
Allah ta’ala berfirman pula dalam
surah Al Isra’ 29 :
وَلاَتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً
اِلَى عُنُقِكَ وَلاَتَبْسُطْهَا...
Jangan engkau menjadikan
tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan jangan pula membebernya dengan cara
yang luar biasa (obral).
Demikian pula halnya
dengan syahwat terhadap makanan yaitu hendaklah merupakan pertengahan antara
rakus dan membeku, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Al A’raf 31 :
...
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلاَتُسْرِفُوْا, اِنَّهُولاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
Makanlah dan minumlah dan
jangan melampaui batas, sesungguhnya Allah itu tidak senang kepada orang-orang
yang melampaui batas itu.
Dalam hal marah ialah firman-Nya
sebagaimana di atas yakni keras kepada orang-orang kafir dan kasih-sayang
antara sesama kaum mukminin.
Rasulullah s.a.w. juga bersabda
mengenai pertengahan dalam segala persoalan itu (diriwayatkan oleh Baihaqi)
yakni :
Sebaik-baik perkara ialah yang
pertengahan.خَيْرُاْلاُمُوْرِاَوْسَاطُهَا
DORONGAN
UNTUK MENCAPAI BUDI PEKERTI YANG BAIK
Kita telah memaklumi bahwa
kebaikan budi pekerti itu ialah pertengahan antara kekuatan akal fikiran dan
kesempurnaan hikmat atau kebijaksanaan dengan kekuatan kemarahan dan kesyahwatan,
juga bahwa kedua sifat ini wajib suka mengikuti jalannya akal fikiran serta
sesuai dengan syari’at agama. Cara pertengahan itu dapat diperoleh dengan dua hal yaitu ;
Pertama
; Dengan melimpahnya karunia Ilahiah dan kesempurnaan fitrah kejadian. Dengan
kata lain bahwa manusia itu sejak diciptakan oleh Allah ta’ala dilimpahi
karunia kesempurnaan sejak lahirnya lalu ditakdirkan menjadi manusia yang
berbudi pekerti yang baik. Ia dapat mencukupi menurut batasnya masing-masing
kepada sifat kemarahan dan kesyahwatan dan keduanya ini dapat dijadikan
pertengahan dan suka dibimbing oleh akal fikiran serta syari’at.
Kedua
; Mengusahakan akhlak-akhlak ini dengan jalan bersungguh-sungguh dalam melatih
jiwanya. Maksudnya ialah melatih jiwa tadi ke arah pekerjaan-pekerjaan yang
membawanya ke tujuan budi pekerti yang dikehendaki itu. Misalnya seseorang yang
ingin memiliki sifat kedermawanan, maka jalannya supaya memaksa jiwanya agar
senantiasa melakukan apa saja yang menjadikan dirinya sebagai seorang yang
dermawan dengan jalan membelanjakan harta. Jadi ia tidak berhenti-henti
menyuruh jiwanya sendiri untuk berbuat sedemikian itu dan ini dilangsungkan
terus dengan paksaan dan kegiatan yang sangat, sehingga akhirnya nanti akan
menjadi tabi’at baginya dan akan dirasakan mudah dan ringan berbelanja. Jikalau
sudah demikian, tercapailah tujuannya untuk menjadi seorang dermawan. Begitu
pula halnya seseorang yang ingin memiliki sifat merendah diri, sedangkan ia
pada saat itu merasa mempunyai sikap congkak dan takabbur. Jalannya ialah
supaya ia senantiasa mengikuti kelakuan-kelakuan orang-orang yang ahli dalam
hal ini sampai waktu yang amat lama sekali. Ia harus benar-benar
bersungguh-sungguh dan memaksa jiwanya untuk tetap merendahkan dirinya,
sehingga kebiasaan itu akhirnya menjadi suatu tabi’at. Jikalau ini sudah
terlaksana dengan ringan tanpa dipaksa-paksakan lagi, maka tercapailah
tujuannya dan ia adalah seorang yang bersifat merendahkan diri . Dengan cara
sebagaimana di atas itulah dapat dihasilkannya semua akhlak yang terpuji
menurut pandangan syari’at.
Tujuannya ialah agar perbuatan
yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kelezatan dan
kenikmatan bagi yang melakukannya. Maka dari itu, seorang dermawan akan merasa
lezat dalam mengeluarkan hartanya, jadi berbeda sekali dengan orang yang
mengeluarkannya dengan perasaan terpaksa atau didorong oleh suatu hal yang
dianggap menguntungkan dirinya di belakang nanti. Seorang yang tawadhu’ akan
merasa lezat dengan sikap merendahkan dirinya. Akhlak yang luhur yang dianggap
mulia oleh agama itu tidak mungkin akan dapat meresap dalam jiwa seseorang,
selama orang ini tidak membiasakan jiwanya beradat-istiadat yang baik-baik itu
dan selama ia belum suka meninggalkannya kelakuan-kelakuan yang jahat dan keji
dan juga selama ia tidak mengekalkannya sampai terlatih benar-benar, sebagai
latihan yang dilaksanakan orang yang sangat rindu kepada perbuatan-perbuatan
yang baik tadi, sehinga sungguh-sungguh dapat merasakan kenikmatan dalam
menunaikannya. Jikalau ini sudah dapat dicapai, maka pastilah orang tadi akan
membenci perbuatan-perbuatan yang buruk dan akan merasa tersiksa dan hatinya
merana sekali diwaktu melihat orang lain melakukannya, apalagi kalau di dipaksa
untuk melakukannya sendiri.
Dalam hal ini rasulullah s.a.w.
bersabda (diriwayatkan oleh Nasa-i) :
Dijadikanlah kegembiraan
hatiku itu diwaktu bersembahyang. وَجُعِلَتْ قُرَّةُ
عَيْنِى فِى الصَّلاَةِ
Perlu sekali disadari benar-benar, bahwa apabila
ibadat-ibadat atau meninggalkan larangan-larangan agama itu dilakukannya dengan
sebab keadaan terpaksa atau pun karena perasaan amat berat dalam jiwa, maka
itulah sebagai tanda kekurangan seseorang dan oleh karenanya, maka belumlah
orang itu akan dapat mencapai kesempurnaan kebahagiaan dengan apa-apa yang
dilakukan tadi. Resapkanlah firman Allah ta’ala dalam surah Al Baqorah 45 ini :
...
وَاِنَّهَالَكَبِيْرَةٌ اِلاَّعَلَى الْخشِعِيْنَ ...
Sesungguhnya shalat itu dirasakan berat sekali, melainkan
bagi orang-orang yang khusyu’.
Selanjutnya perlu lagi diketahui, bahwa untuk memperoleh
kebahagiaan yang dijanjikan dalam melakukan budi pekerti yang baik itu,
tidaklah cukup dengan hanya merasakan kelezatan taat dan membenci kemaksiatan
dalam sebagian waktu atau beberapa waktu, tetapi hendaklah hal itu dilakukan
secara terus-menerus, langsung dan dikekalkan selama-lamanya, bahkan selama
hayat masih dikandung badan. Malahan belum dianggap sesuai jikalau puncak dari
shalat itu hanya sampai pada batas sebagai kegembiraan jiwa atau hanya merasa
lezat di waktu melakukannya saja, sebab ibadat itu haruslah menimbulkan
berbagai-bagai keajaiban dalam jiwa yang lebih dari itu. Cobalah kita lihat
dahulu seorang penjudi yang sudah bangkrut, kadang-kadang ia dapat memiliki
rasa gembira dan lezat serta perasaan-perasaan lain yang belum tentu dapat dirasakan oleh manusia
tanpa melakukan perjudian, padahal perjudian itu sebenarnya adalah yang merampas
seluruh harta bendanya, merobohkan rumah tangganya dan mengakibatkan orang tadi
menjadi miskin dan hina. Namun demikian, anehnya orang yang berjudi itu masih
tetap gembira dan merasa memperoleh kelezatan yang tiada taranya. Hal yang
sedemikian ini tentu saja disebabkan ia sangat lama berkecimpungan di dalam
perjudian dan telah mengeluarkan harta yang sebanyak-banyaknya dan dalam waktu
yang sudah cukup lama. Perbuatan itu telah mendarah daging dalam jiwa. Lihat
pulalah halnya seorang yang gemar bermain-main dengan burung merpati. Ia
kadang-kadang sampai sepanjang hari berada di bawah terik matahari, berdiri di
atas kedua kakinya, tetapi sekalipun demikian ia tidak merasakan kesakitannya
sama sekali, sebab mungkin ia merasa terhibur dengan banyaknya burung-burung
yang beterbangan di atasnya, gerakan-gerakannya dan cara bersenda-guraunya.
Semua itu adalah akibat atau hasil dari suatu adat atau kebiasaan yang
dilakukannya dengan tanpa putus sama sekali yakni begitu itulah yang merupakan
karyanya sepanjang masa secara terus-menerus, lagipula hanya itulah yang
disaksikan di antara kawan-kawan sepergaulan. Jikalau menurut kebiasaannya jiwa
itu dapat menikmati hal-hal yang batil dan dapat condong serta gembira untuk
melakukannya, maka mengapalah ia tidak dapat menikmati hal-hal yang haq dan
benar, sekiranya ini juga dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan dengan
secara terus-menerus melakukannya itu. Bahkan jikalau kita fikirkan
dalam-dalam, bahwa kecondongan jiwa pada kelakuan-kelakuan yang buruk
sebagaimana di atas itu sebenarnya adalah keluar dari tabi’at yang wajar. Sama
halnya dengan orang yang condong atau gemar makan tanah liat, mungkin sekali
yang sedemikian ini akan menjadi kebiasaan bagi sebagian manusia, sekiranya
dilatihnya secara terus-menerus. Adapun kecondongan manusia kepada kehikmatan,
kecintaan kepada Allah s.w.t, berma’rifat serta beribadat kepada-Nya itu adalah
sebagai kecondongannya pada makan dan minum, sebab memang inilah yang merupakan
kehendak yang wajar dari tabi’at hati. Condong kepada kebenaran adalah perintah
rabbaniah, sedang condong kepada kesyahwatan yang jahat adalah amat menganehkan
dan bahkan amat bertentangan pada tabi’atnya semula menurut zatnya.
Bukankah makanan hati itu adalah kenikmatan, kema’rifatan
serta kecintaan kepada Allah ta’ala. Jadi kalau seseorang itu sudah beralih ke
arah lain dan kemudian menyukai sesuatu yang bertentangan dengan tabi’at
aslinya, maka hal yang demikian itu tentulah terjadinya karena adanya suatu
penyakit dalam jiwanya itu. Jadi jelaslah bahwa di dalam jiwanya ada penyakit
yang bersarang dan ini tentulah penyakit batiniah. Perhatikanlah, sebagaimana
halnya suatu penyakit yang bersarang di perut besar misalnya, tentulah
menyebabkan si sakit itu enggan makan dan minum, bahkan tidak menyukainya sama sekali,
padahal makan dan minum itulah yang menyebabkan kelangsungan hidupnya. Maka
dari itu semua penyakit yang menyerang jiwa dan hati itulah yang menyebabkan
seseorang itu menyeleweng dan akhirnya condonglah untuk mencintai sesuatu yang
selain Allah ta’ala. Ia tidak akan dapat melepaskan diri dari penyakit tadi
selama ia masih condong kepada sesuatu yang tidak diridhai Allah s.w.t. Menurut
kadaar penyelewengannya itulah dapat diukur besar kecilnya penyakit yang
bersarang dalam jiwanya. Ini tentu saja dikecualikan jikalau umpamanya
seseorang itu mencintai sesuatu selain Allah ta’ala, tetapi dimaksudkan untuk
dijadikan sebagai penolong baginya untuk akhirnya ditujukan kepada maksud
mencintai-Nya, menggerakkan agama-Nya dengan benar-benar dan menuju keridhaan-Nya.
Jikalau demikian halnya, maka jelaslah bahwa bukan karena ada penyakit dalam
jiwanya ia berhal demikian.
Dengan mengikuti uraian dimuka itu, kita dapat memaklumi
secara pasti bahwa budi pekerti yang baik dan akhlak-akhlak yang luhur itu
memang dapat dicapai dengan jalan melatih diri yakni mula-mula sekali dengan
memaksa jiwa untuk berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan budi dan akhlak yang
baik tadi, sehingga akhirnya akan merupakan watak dan tabi’at sehari-hari.
Inilah suatu keajaiban mengenai adanya hubungan yang sangat erat antara
kedudukan hati dan anggota-anggota tubuh, atau dengan kata lain antara jiwa dan
tubuh. Memang, segala sifat yang dimiliki oleh jiwa itu pasti akan meluap
keluar dan bekas-bekasnya itu tentu tampak sekali diantara anggota-anggota
lahiriah, sehingga anggota-anggota tadi tidak akan bergerak sama sekali
melainkan sesuai menurut irama jiwanya. Ini sudah pasti dan tidak perlu
diingkari lagi. Sebaliknya segala perbuatan yang sudah diperlihatkan oleh anggota
badan, ia juga akan memberi bekas dan kesan pada hati. Maka antara jiwa dan
perbuatan tubuh itu kesan-mengesankan, berjalin-berkelindan dan berputar terus
sesuai dengan kodrat Allah ta’ala.
Apabila kita telah dapat meyakinkan bahwa akhlak-akhlak
yang luhur itu dapat diperoleh, kadang-kadang memang sudah merupakan watak
aslinya (fitrah) dan kadang-kadang dengan jalan latihan dengan membiasakan
melakukan itu, maka kadang-kadang ada juga yang dapat diperoleh dengan jalan
pergaulan yaitu dengan menyaksikan dan mengawani orang-orang yang memiliki budi
pekerti yang luhur tadi. Mereka itul tentulah kawan-kawan yang baik dan
sahabat-sahabat yang shalih. Sebabnya ialah karena watak itu dapat mencuri dari
watak orang lain, apakah ia baik atau jelek, semuanya sama saja. Bersahabat
dengan orang baik, sudah pasti sedikit banyak akan terpengaruh dengan oleh
kebaikannya dan tidak mustahil yang akhirnya akan mencontohnya, sedang
sebaliknya juga demikian, apabila sahabat itu seorang yang buruk dan jahat.
Apabila seseorang itu sudah dapat menimbulkan
kelakuan-kelakuan yang utama, perbuatan-perbuatan yang bagus dengan sebab
memiliki akhlak yang luhur itu, baik memang sudah wataknya atau dengan berlatih
ataupun sebab bergaul dengan orang-orang shalih, maka orang yang sedemikian
itulah yang berhak untuk dinamakan orang yang berbudi luhur dan berakhlak
tinggi. Karena ada tiga macam jalan yang dapat ditempuh, maka sebutannya pun
berbeda-beda pula yaitu berbudi luhur karena tabi’at, berbudi luhur karena
latihan dan berbudi luhur karena pelajaran. Namun demikian, semua itulah tujuan
keutamaan.
Sebagai kebalikan di atas itu ialah seseorang yang memang
watak dan tabi’atnya buruk dan secara kebetulan sekali ia berkawan dengan
manusia-manusia jahat, sehingga wataknya yang serba buruk sejak aslinya itu
ditambah pula dengan pelajaran-pelajaran yang diperoleh dari kawan-kawan tadi,
sehingga dengan mudah saja ia melakukan segala sesuatu yang menyebabkan
timbulnya kejahatan, kemudian hal-hal itu dibiasakannya juga secara
terus-menerus, maka orang yang demikian itulah orang yang benar-benar jauh dari
Allah ta’ala, jauh dari kerahmatan-Nya dan jauh pula dari kebenaran.
Sementara itu ada pula tingkat lain yakni antara kedua
macam tingkat diatas itu, yakni seseorang yang berbeda-beda arahnya yang
kadang-kadang timbul kebaikannya dan kadang-kadang timbul pula keburukannya.
Semua tingkat, baik yang dapat mendekat atau yang menjauh dari sisi Allah ‘azza
wa jalla itu adalah dengan menilik sampai di batas mana sifat-sifat dan
hal-ihwal serta kelakuan-kelakuan yang ditimbulkan oleh jiwanya tadi. Untuk ini
Allah ta’ala berfirman dalam surah Al Zalzalah 7-8 :
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ خَيْرًايَّرَهُو. وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ شَرًّايَّرَهُو.
Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat debu,
ia akan mengetahuinya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan seberat debu,
juga akan mengetahuinya.
Allah ta’ala berfirman pula dalam surah Ali ‘Imran 117 :
... وَمَاظَلَمَهُمُ الله
ُوَلكِنْ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
Mereka itu tidak akan dianiaya oleh Allah tetapi justeru
merekalah yang menganiaya dirinya sendiri.
JALAN
YANG DITEMPUH BAGI PENDIDIKAN AKHLAK
Dari uraian sebelumnya telah kita
sadari bahwa bersikap jujur dalam melaksanakan akhlak yang luhur itu sebagai
tanda sehatnya jiwa, sedang menyeleweng dari padanya adalah merupakan penyakit
yang bersarang di dalam jiwa tadi. Sama halnya dengan keadaan normal dalam
percampuran bahan-bahan keperluan tubuh adalah menandakan kesehatan tubuh itu
sedang menyimpang dari kenormalan itu adalah tanda bersarangnya sesuatu
penyakit dalam tubuh itu. Jadi baiklah tubuh itu kita gunakan sebagai
perumpamaan sedemikian :
Mengobati jiwa dengan tujuan
untuk melenyapkan segala sifat-sifat kerendahan dan akhlak-akhlak yang buruk
daripadanya dan untuk menarik sifat-sifat keutamaan dan akhlak-akhlak yang baik
ke dalamnya, adalah sama halnya dengan mengobati tubuh agar lenyap
penyakit-penyakit yang bersarang di dalamnya dan memperoleh kesehatan dan menarik
kesegar-bugaran kembali ke dalamnya. Sebagaimana halnya keadaan tubuh, pada
dasarnya ia memiliki kenormalan sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah
ta’ala, tetapi kadang-kadang tubuh itu lalu dihinggapi oleh sesuatu macam
penyakit semacam di perut dan lain-lain. Yang demikian ini tentu ada
sebab-sebab yang menimbulkannya, misalnya karena makanan, udara atau hal-ihwal
lainnya. Apabila demikian itu halnya tubuh kasar, maka hati dan jiwa juga
seperti itu. Setiap anak yang baru mulai dilahirkan, ia pasti dalam keadaan
normal jiwanya, sehat fitrahnya dan masih murni dan bersih dari segala
pengaruh. Tetapi akhirnya kedua orang tuanya itulah yang membuatnya menjadi
penganut agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentulah karena
adanya hasil kebiasaan, pendidikan dan pengajaran atau pergaulan yang
menyebabkan anak tadi menjadi gemar melihat sifat-sifat kerendahan dan bahkan
tidak segan-segan melakukannya.
Kita semua juga memaklumi bahwa
pada permulaannya, tubuh itupun bukannya sekaligus diciptakan oleh Allah dalam
keadaan sempurna, tetapi kesempurnaan ini pun dapat diperolehnya sedekit demi
sedikit. Ia dapat menjadi kuat dan kokoh setelah mengalami evolusi pertumbuhan,
mendapatkan makanan dan lain-lain lagi. Hal yang sedemikian ini tidak berbeda
sedikit pun dengan halnya jiwa. Ia mula-mula dalam keadaan serba kurang, namun
begitu ia dapat menerima hal-hal yang akan menyempurnakannya. Jalan untuk
menyempurnakannya itu ialah dengan memberikan didikan budi pekerti yang luhur,
akhlak yang mulia serta mengisinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang
bermanfaat.
Apakah yang dilakukan oleh
seorang dokter, apabila ia memeriksa seseorang yang keadaan tubuhnya sebenarnya
sehat wal ‘afiat dan bagaimanakah kalau orang itu sakit ? Yang sehat tentulah
diperintah untuk menetapi dasar-dasar peraturan kesehatan dan dengan demikian itu
orang tersebut akan tetap sehat dan terpelihara dari datangnya segala macam
penyakit yang mungkin mengganggunya. Terhadap orang yang sakit, diberinya obat
dan usaha-usaha lain untuk mempercepat sembuhnya, sehingga kesehatan yang sudah
hilang itu akan kembali ke dalam tubuhnya. Demikian itu pula lah halnya jiwa,
apabila ia dalam keadaan sehat atau sakit. Hanya saja yang terutama bertindak
sebagai dokternya adalah manusia yang memiliki itu sendiri, sedang orang-orang
lain cukulah sebagai pembantunya belaka. Maka dari itu jikalau jiwa itu sudah
sehat, suci, terdidik baik, hendaklah kita tetap berusaha memelihara
kesehatannya itu dan bahkan kita perlu mencari tambahnya kekuatan dan
kejernikan serta kesuciannya. Tetapi jikalau ia sedang sakit, bagaimana agar ia
dapat jernih dan suci itu. Mengobatinya jiwa itu, tentulah tidak sama dengan
mengobati tubuh. Jikalau tubuh dengan obat-obatan, maka jiwa ialah dengan
perasaan kesadaran, latihan dan pergaulan dengan orang-orang shalih.
Satu hal lain yang lebih penting
lagi untuk dimaklumi ialah bahwa tubuh itu dapat disembuhkan dengan memberikan
obat yang merupakan penentang atau pembasmi dari penyakitnya, harus diketahui
lebih dahulu apa-apa jenis penyakit tadi dan sekiranya mungkin diambilnya obat
yang lebih berkesan serta lebih cepat untuk menyembuhkannya. Panas dapat
diobati dengan dingin dan demikian pula sebaliknya. Begitu pula lah halnya
jiwa. Sifat-sifat kehinaan yang merupakan penyakit hati, maka obatnya ialah
dengan mengambil sesuatu yang merupakan perlawanannya. Penyakit bodoh dapat
dilenyapkan dengan belajar yang tekun, penyakit kikir dengan bersikap dermawan,
penyakit sombong atau takabbur dengan jalan merendahkan diri, penyakit rakus
dengan menahan nafsu dari apa-apa yang diingininya dengan cara memaksa dan demikianlah
seterusnya.
Sementara itu seseorang yang
sedang sakit, haruslah ia tahan merasakan kepahitan obat, harus sabar
benar-benar, tidak melakukan atau makan sesuatu yang mungkin akan memperlambat
kesembuhannya, tidak semua yang diingini boleh diambil begitu saja. Dengan cara
ini penyakitnya akan segera lenyap dari tubuh. Jikalau itu dilalaikan, mungkin
akan lambat sembuhnya atau makin buruk lagi keadaannya. Demikian pula lah
halnya orang yang ingin menyembuhkan jiwanya dari penyakit hati. Ia wajib tahan
kepahitan karena harus bersungguh-sungguh melenyapkan itu, wajib sabar dan
lain-lain lagi. Bahkan kepahitan yang dialami oleh seseorang yang ingin hilang
penyakit-penyakit dalam hatinya itu pasti akan dirasakan lebih berat, lebih
sengsara dan lebih harus bersabar dari orang yang ingin sembuh dari penyakit
lahiriah.
Kita wajib sadar bahwa penyakit
tubuh itu akan segera lenyap apabila kita telah meninggal dunia, tetapi
penyakit-penyakit dalam hati itu akan kekal sampai pun kita sudah mati nanti
dan ini akan diderita akibatnya untuk selama-lamanya. Semoga kita semua
dilindungi oleh Allah ta’ala dari hal-hal yang semacam ini.
Ringkasnya ialah bahwa jalan
untuk mengobati penyakit-penyakit dalam hati itu tentulah dengan menempuh
segala sesuatu yang merupakan perlawanan dari apa yang diingini oleh jiwa itu
sendiri dan yang cenderung kepadanya. Dalam masalah ini Allah s.w.t. telah
menghimpun keseluruhannya dalam satu kalimat yang tercantum di dalam kitab
suci-Nya yaitu dalam surah An Nazi’at 40-41 :
وَاَمَّامَنْ خَافَ مَقَامَ
رَبِّهِى وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَاى.
فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَاى.
Barangsiapa yang takut akan
kedudukan Tuhannya dan mencegah jiwanya dari hawa nafsu, maka surga itulah
tempat kediamannya.
Pokok utama yang dapat dijadikan
sebagai obat penyakit-penyakit hati itu ialah bersungguh-sungguh, dan
bersungguh-sungguh itu maksudnya ialah dengan kemantapan hati untuk
melaksanakan apa yang dikehendaki atau dengan ‘azam yang kokoh kuat dan tidak
dengan setengah-setengah saja. Apabila ini dapat terpenuhi dan jiwanya sudah
sengaja dengan sesungguh-sungguhnya akan meninggalkan segala kesyahwatan yang
keliru, maka akan dirasakan mudahlah sebab-sebabnya nanti. Yang sedemikian ini
anggaplah sebagai ujian dan cobaan dari Allah ta’ala. Oleh sebab itu, maka
sangat diperlukan adanya kesabaran dan terus-menerus berusaha melenyapkan
penyakit itu. Sebaliknya jikalau hatinya sudah tidak mempunyai ‘azam yang
kokoh, kemauannya hanya setengah-setengah saja, maka jiwanya pun akan terbiasa
berbuat seenaknya dan akhirnya tetap rusak dan mungkin akan lebih hebat lagi
kehancurannya. Semogalah Allah melindungi kita semua dari kehancuran jiwa itu.
Amin ya Robbal ‘alamin.
USAHA
UNTUK MENGETAHUI CELA DIRI SENDIRI
Ketahuilah bahwa Allah ‘azza wa
jalla itu apabila menginginkan seseorang itu menjadi baik, tentulah ia
ditunjuki apa-apa yang merupakan cela dari dirinya sendiri. Jadi seseorang yang
penglihatannya itu benar-benar dapat menembus jiwanya, sudah pasti tidak satu
cela pun dalam dirinya yang ia tidak menyadarinya. Selanjutnya jikalau penyakit
itu telah dimaklumi adanya serta macam apa dan bagaimana bentuk penyakitnya
tadi, maka mudah sajalah ia akan mengobati itu. Hanya saja sebagian besar
manusia itu tidak mengetahui apa-apa yang menjadi cela dalam jiwanya itu,
tetapi yang lebih jahat dari itu ialah orang yang berpura-pura seolah-olah ia
tidak mengetahuinya. Lebih buruk lagi ialah orang yang dengan mudah saja melihat
cela orang lain, tetapi sukar untuk melihat celanya sendiri. Ia melihat adanya
kotoran di mata kawannya, tetapi batang pohon yang di matanya sendiri tidak
disadarinya.
Oleh sebab itu penting sekali
setiap orang itu menyadari celanya sendiri dan untuk ini ada empat jalan yang dapat ditempuh ;
Jalan
pertama ; Hendaklah seseorang itu suka
duduk-duduk di hadapan seorang syaikh (guru) yang bijaksana, lagi mempunyai
keistimewaan dan kepandaian perihal penyakit-penyakit jiwanya, dapat meneliti
noda-noda dan penyakit-penyakit yang samar-samar serta pelik-pelik. Kemudian orang
tersebut hendaklah mengikuti nasehat dan anjurannya, kemudian melaksanakannya
dengan kesungguhan hati dan ‘azam yang sekokoh-kokohnya. Demikian inilah halnya
seorang murid di hadapan gurunya. Guru itu memberitahukan padanya apa-apa yang
menjadi ‘aib muridnya itu dan memberitahu pula kepadanya bagaimana cara-cara
menyembuhkannya.
Jalan
kedua ; Hendaklah seseorang itu mencari
seorang sahabat yang dapat dipercaya, yang suka membenarkan kesalahan dan yang
bukan hanya mempercayai saja apa yang dikatakan serta mengiakan apa yang
diinginkan. Selain itu kawan tersebut haruslah seorang yang pandai memeriksa
dan kuat pula agamanya dan dimintanya agar senantiasa meneliti hal-ihwal
dirinya dan segala kelakuan-kelakuannya. Jikalau ia berbuat sesuatu yang tidak
baik menurut pandangan kawannya itu, baik yang berupa akhlak, perbuatan atau
cela-celanya, hendaklah kawan tadi mengingatkan dan dengan terang-terangan
menjelaskan keburukannya. Cara inilah yang dahulu lazim dilakukan oleh
orang-orang besar dari golongan pemimpin-pemimpin agama.
Umar bin Khattab r.a. berkata, “Semogalah
Allah merahmati seseorang yang suka menunjukkan padaku apa-apa yang menjadi
celaku”. Sekali waktu ia pernah pula bertanya kepada Khudzaifah dan berkata,
“Saudara ini adalah yang memiliki rahasia rasulullah s.a.w mengenai sifat-sifat
kaum munafik. Tolonglah saudara beritahukan padaku, apakah dalam diriku ini
masih ada sesuatu yang merupakan bekas sifat kemunafikan”.
Resapkanlah apa yang diucapkan
oleh Umar r.a. itu. Bukankah ia seorang yang terpandang, tinggi derajatnya,
luhur pula akhlaknya, tetapi masih sedemikian itu persangkaan buruknya pada dirinya
sendiri. Memang seseorang yang makin lebih sempurna akalnya, lebih tinggi
pangkatnya, pastilah akan makin lebih sedikit kecongkakannya, lebih besar
kecurigaannya pada dirinya sendiri dan lebih gembira jikalau ada orang lain
yang menunjukkan cela dan ‘aib jiwanya.
Tetapi pada zaman kita sekarang
keadaan telah menjadi berubah, kini yang ada ialah kebalikannya. Orang yang
paling kita benci pada zaman ini ialah justeru orang yang suka memberi nasehat
baik pada kita dan orang yang suka menunjukkan cela diri kita. Hampir saja hal
yang sedemikian ini merupakan pertanda yang jelas bagi kelemahan keimanan
manusia. Sadarilah bahwa akhlak yang buruk itu dapat dimisalkan ular-ular
berbisa atau kala yang amat berbahaya sekali. Bagaimanakah andaikata ada
seseorang yang memberitahukan kepada kita bahwa dibalik pakaian kita atau di
bawah kursi yang kita duduki itu ada seekor ular atau kala ? Marahkah kita
mendengar pemberitahuannya itu ataukah kita makin berterima kasih dan memujinya
? Sudah tentu kita akan menganggapnya ia seorang yang berikhlas hati, kita
memberikan pujian setinggi-tingginya kepadanya dan kita gembira yang hampir
tiada taranya. Selanjutnya sementara kita dalam hal yang sedemikian tadi, kita
pun berusaha membunuh atau setidak-tidaknya melenyapkan ular atau kala itu dari
sisi kita. Padahal kesakitan yang diderita karena patukan ular atau sengatan
kala itu masih tidak seberapa lagi. Kesakitan itu tidak kekal dan mungkin dalam
satu atau dua hari telah hilang. Tetapi kesakitan dan penderitaan yang akan dialami
dengan sebab memiliki akhlak yang hina dan budi pekerti yang rendah itu, pasti
akan dirasakan lebih hebat menusuk ulu hati dan wajib lebih ditakuti, karena
akan tetap kekal selama-lamanya sampai pun setelah meninggal dunia nanti.
Benar-benar zaman sudah terbalik.
Kalau dahulu kaum salaf itu suka sekali menerima petunjuk-petunjuk yang baik,
tetapi kita bahkan merasa benci dan tidak gembira sama sekali menerima
petunjuk-petunjuk baik itu. Kadang-kadang, selain tidak gembira kepada orang
yang mengingatkan, juga tidak berusaha melenyapkannya, malahan kita hendak
menentang orang yang menasehati kita itu, sebagaimana yang ia ucapkan kepada
kita. Kita bahkan berani mengatakan pada kawan itu, “Saudara juga melakukan
demikian, demikian”. Aneh sekali keadaannya, kita lebih suka menganggap nasehat
itu sebagai bahan perseteruan dan pertengkaran daripada sebagai suatu
kemanfaatan yang dapat kita peroleh tanpa mengeluarkan biaya. Hal yang semacam
ini lebih dekat kalau dikatakan bahwa timbulnya ialah karena kekerasan hati
(qasawatul qalb), sedang yang menyebabkan itu ialah banyaknya dosa yang sudah
bertimbun-timbun dalam dirinya. Tetapi pokok pangkalnya semua tadi ialah karena
kelemahan keimanan dalam jiwa.
Marilah kita memohonkan kepada
Allah s.w.t, semoga kita semua diilhami mana yang menjadikan kebaikan kita,
ditunjukkan apa-apa yang merupakan cela diri kita, diberi kekuatan agar kita
dapat mengobati dan diberi pertolongan untuk suka berterima kasih kepada orang
yang mengingatkan kekeliruan kita dengan karunia dan keutamaan-Nya. Amin.
Jalan
ketiga ; Hendaklah seseorang itu dapat
mengambil kemanfaatan tentang adanya cela jiwanya itu dari mulut musuh-musuhnya,
sebab mata orang yang benci itu dapat menampakkan keburukan-keburukan yang
tidak mungkin diketahui oleh orang-orang yang cinta. Bahkan kadang-kadang
pengambilan kemanfaatan dari musuh yang cerdik yang dapat memperlihatkan
keburukan dirinya itu lebih banyak dari kemanfaatan yang didapatkan dari
seorang sahabat yang erat, yang karyanya hanyalah memuji-muji dan
menyanjung-nyanjung dirinya, bahkan tidak jarang menutup-nutupi celanya. Hanya
saja amat sayang sekali bahwa tabi’at manusia itu rupanya telah dititahkan
untuk mendustakan ucapan musuh dan menyangka bahwa segala yang dari musuh itu
sebagai hal yang timbul karena kedengkian belaka. Namun demikian, seseorang
yang bijaksana pasti dapat memilih-milih, ia tidak akan membuang segala yang
datang dari musuhnya itu secara serampangan. Orang yang berakal masih dapat
mengambil keuntungan dengan mempunyai musuh itu, sebab keburukan-keburukan yang
ada dalam dirinya, pasti sudah tersiar di kalangan pendukung-pendukung musuhnya
itu. Malahan seorang yang suka menggunakan akal fikirannya yang sehat pasti
dapat berterima kasih kepada musuhnya itu sebab dapat menampakkan kejelekan
yang tidak pernah diucapkan oleh pendukung-pendukung dan sahabat-sahabatnya
yang karib.
Jalan
keempat ; Hendaklah seseorang itu suka
mempergauli manusia banyak. Apa saja yang dilihatnya sebagai celaan di kalangan
ummat, baiklah digunakan sebagai bahan penuntutan terhadap dirinya, seolah-olah
dirinya sendiri itu pun ikut semacam itu pula. Ingatlah bahwa seorang mukmin
itu adalah cermin bagi orang mukmin lain. Ia dapat melihat cela dirinya sendiri
karena melihat cela orang lain. Ia insaf pula bahwa tabi’at manusia itu hampir
sama saja dalam hal sukanya mengikuti hawa nafsu. Jadi apa yang menjadi
sifatnya orang lain, maka ia sendiri pasti tidak akan terlepas dari sifat itu
sama sekali. Bahkan mungkin ia sendiri yang merupakan sumbernya dan lebih hebat
dari orang lain itu atau setidak-tidaknya sedikit-sedikit ada jugalah sifat itu
di dalam jiwanya. Dengan memiliki perasaan semacam ini, maka ia akan berusaha
sekuat-kuatnya untuk meneliti dan kemudian membersihkannya dari sifat yang
berupa cela dari orang lain. Cara ini sudah cukuplah sebagai bahan pengajaran
pada diri manusia itu masing-masing. Andaikata seluruh manusia itu sudah suka
meninggalkan segala sesuatu yang mereka benci dari orang lain, tentunya tidak
perlu lagi adanya pendidik dan pengasuh jiwa. Ini semua mungkin merupakan
tipudaya dari seseorang yang memang tidak mendapatkan seorang guru sebagai
pendidik dan penasehatnya dalam hal keagamaan. Bagi mereka itu bolehlah
berpendidikan dari pengalaman. Tetapi seseorang yang dapat memperoleh seorang
dokter, alangkah baiknya kalau ia mendekatinya terus-menerus, sebab dengan
demikian ia akan terlepas dari penyakitnya dengan pertolongan dokter tadi.
CIRI-CIRI
BUDI PEKERTI YANG BAIK
Marilah ketahui lebih dulu yaitu
bahwa setiap manusia itu jarang sekali dapat mengetahui celanya diri sendiri.
Jadi andaikata ia mula-mula merasa buruk jiwanya, lalu berusaha memperbaiki dan
menyucikannya. Belum lama apa yang diusahakannya itu dan baru saja ia
meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang jelek-jelek,
tiba-tiba ia telah merasa bahwa dirinya sudah suci, jiwanya sudah terdidik
cukup, akhlaknya sudah baik dan tidak perlu lagi meneruskan untuk
bersungguh-sungguh melatihnya. Untuk itulah, maka perlu kiranya diberikan
penerangan dan penjelasan, bagaimanakah alamat atau tanda baiknya budi pekerti
itu, sebab budi pekerti itu adalah termasuk bagian keimanan, sedangkan buruknya
budi pekerti adalah sebagai kemunafikan.
Allah s.w.t telah menyebutkan
sifat-sifat kaum munafiqin dan kaum mukminin itu dalam kitab suci Al Quran yang
pada pokoknya ialah bahwa sifat kemunafikan adalah buah dari buruknya budi
pekerti, sedang keimanan adalah buah dari bagusnya budi pekerti itu. Untuk
kelengkapannya saja, marilah dibawah ini kita cantumkan beberapa ayat mengenai
budi pekerti yang baik itu ;
Allah ta’ala berfirman dalam
surah Al Mu’minun 1-11 :
قَدْاَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ.
اَلَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَواتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِمُعْرِضُوْنَ.
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَواةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حفِظُوْنَ.
اِلاَّعَلَى ا اَزْوَاجِهِمْ اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُمَلُوْمِيْنَ.
فَمَنِ ابْتَغَى ا وَرَآءَ ذَالِكَ فَاُولئِكَ هُمُ الْعدُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ
ِلاَمنتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلَىا صَلَوَاتِهِمْ يحُاَفِظُوْنَ.
اُولئِكَ هُمُ اْلوَارِثُوْنَ. الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ اْلفِرْدَوْسَ, هُمْ فِيْهَاخلِدُوْنَ.
Sungguh, berbahagialah
orang-orang mukminin yaitu orang yang berlaku khusyu’ dalam sholatnya; yang menjauhkan
diri dari kekotoran (lahir dan bathin); yang berbuat untuk kesucian (tubuh dan
hati); yang menjaga kehormatan diri, melainkan kepada isteri atau hamba sahaya
yang menjadi milik tangan kanannya, maka untuk ini mereka itu tidaklah tercela.
Adapun orang yang mencari selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melanggar batas ketentuan.
Orang-orang mukmin itu juga
memelihara kepercayaan yang diberikan pada mereka serta janji-janji yang
dibuat; yang menjaga shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang mewarisi, yaitu
mewarisi surga Firdaus dan mereka itu kekal disitu selama-lamanya.
Allah ta’ala berfirman lagi dalam
surah At Taubah 112 :
اَلتَّآءِبُوْنَ اْلعئِدُوْنَ
الْحَامِدُوْنَ السَّآئِحُوْنَ الرَّاكِعُوْنَ السَّاجِدُوْنَ اْلاَامِرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ
وَالنَّاهُوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحفِظُوْنَ لِحُدُوْدِاللهِ, وَبَشِّرِالْمُؤْمِنِيْنَ
Orang-orang yang bertaubat
kepada Allah, orang-orang yang menyembah, orang-orang yang memuji, orang-orang
yang berpuasa, orang-orang yang ruku’, orang-orang yang bersujud, orang-orang
yang menyuruh mengerjakan perbuatan baik, orang-orang yang melarang mengerjakan
kejahatan dan orang-orang yang menjaga batas-batas syari’at Allah, sampaikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang mukmin itu.
Ada pula firman-Nya dalam surah
Al Anfal 2-4 :
اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ
اِذَاذُكِرَالله ُوَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَاتُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَايتُهُو زَادَتْهُمْ اِيْمَانًاوَّعَلَىا
رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلَواةَ وَمِمَّارَزَقْنهُمْ يُنْفِقُوْنَ.
اُولئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا, لَهُمْ دَرَجتٌ عِنْدَرَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ
وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
Bahwasanya orang-orang mukmin
itu ialah mereka di waktu disebut nama Allah, maka hati mereka itu penuh
ketakutan dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah
keimanan mereka itu dan mereka itu bertawakal kepada tuhannya. Mereka itu sama
mendirikan shalat dan membelanjakan sebagian rizki yang Kami berikan kepada
mereka itu. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sesungguh-sungguhnya, mereka
memperoleh beberapa derajat di sisi tuhan mereka, juga pengampunan serta rizki
yang mulia.
Lagi firman-Nya dalam surah Al
Furqon 63 :
وَعِبَادُالرَّحْمنِ الَّذِيْنَ
يَمْشُوْنَ عَلَى اْلاَرْضِ هَوْنًاوَّاِذَاخَاطَبَهُمُ الْجهِلُوْنَ قَالُوْاسَلمًا
Dan hamba-hamba Allah yang
Maha Pengasih ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan kesopanan dan
apabila orang-orang yang bodoh menghadapkan perkataan pada mereka, maka mereka
itu menjawab, “Selamat”.
Dalam ayat-ayat berikutnya
disebutkan pula beberapa sifat kaum mukminin itu diantaranya ialah ;
a. Pada malam hari selalu
menyembah Allah.
b. Jikalau berbelanja tidak boros
dan tidak kikir.
c. Tidak membunuh jiwa yang
dilarang agama.
d. Tidak berzina.
e. Tidak suka menjadi saksi
palsu.
f. Mohon kepada Allah ta’ala supaya dijadikan pemimpin bagi orang-orang
yang bertakwa kepada Tuhan.
Itulah beberapa sifat yang
dijelaskan oleh Allah ta’ala perihal jiwa kaum mukminin.
Oleh sebab itu, barangsiapa yang
mash membimbangkan keadaan dirinya sendiri, apakah ia sudah tergolong kaum
mukmin ataukah kaum munafik, hendaklah meneliti baik-baik isi ayat-ayat
tersebut. Jikalau sifat-sifat yang baik-baik sudah dirasa ada di dalam jiwanya,
maka itulah sebagai pertanda bahwa budi pekerti yang baik itu sudah dimiliki
dan sebaliknya jikalau semua itu tidak ada, maka sebagai pertanda pula bahwa
jiwanya masih sangat kotor dan dapat disebut bahwa ia adalah berbudi buruk.
Jikalau yang ada hanya sebagian, sedang yang lainnya tidak, maka hendaklah
berusaha menemukan yang belum dimiliki dan memelihara terus tetapnya apa yang
sudah dimiliki itu.
Rasulullah s.a.w. sudah pula
menjelaskan sifat-sifat yang banyak sekali perihal orang mukmin dan semuanya
itu dianggap sebagai akhlak yang luhur dan bagus. Diantara sabda-sabda beliau
s.a.w itu ialah ;
1. Cinta kepada orang lain
seperti kepada dirinya sendiri (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
اَلْمُؤْمِنُ يُحِبُّ
ِلاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Orang mukmin itu mencintai
untuk saudaranya dengan sesuatu yang ia mencintai untuk dirinya sendiri.
2. Memuliakan tetangga (diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim) :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله
ِوَالْيَوْمِ اْلاَاخِرِ, فَلْيُكْرِمْ
جَارَهُ
Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya.
3. Berkata baik atau berdiam saja
(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله
ِوَالْيَوْمِ اْلاَاخِرِ, فَلْيَقُلْ خَيْرًا
اَوْلِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau berdiam saja
(kalau tidak dapat berkata yang baik)
Rasulullah s.a.w. menegaskan pula
bahwa semua sifat yang dimiliki oleh orang mukmin adalah merupakan keluhuran
akhlak dan budi. Dalam sebuah hadits disebutkan (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
Dawud dan lain-lain) :
اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
اِيْمَانًااَحْسَنُهُمْ اَخْلاَقًا
Sesempurna-sempurna orang-orang
mukmin perihal keimanannya ialah yang terbagus akhlaknya diantara mereka itu.
Beliau s.a.w. besabda pula
(diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak) :
لاَيَحِلُّ لِمُؤْمِنٍ اَنْ
يُشِيْرَاِلَى اَخِيْهِ بِنَظْرَةٍ تُوَذِيْهِ
Tidak halal bagi seorang
mukmin itu apabila mengisyaratkan kepada saudaranya dengan pandangan yang
menyakitkannya.
Lagi pula sabdanya (diriwayatkan
oleh Thabrani) :
لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ اَنْ
يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Tidak halal bagi seorang
muslim apabila membuat ketakutan kepada orang muslim lain.
Sekali lagi sabdanya
(diriwayatkan oleh Hakim dan lain-lain) :
اِنَّمَايَتَجَالَسُ الْمُتَجَالِسَانِ
بِاَمَانَةِ الله ِعَزَّوَجَلَّ, فَلاَيَحِلُّ ِلاَحَدِهِمَااَنْ يُفْشِيَ عَلَى اَخِيْهِ
مَايَكْرَهُهُ
Bahwasanya dua orang yang
sedang duduk-duduk berkawan itu adalah dengan amanat Allah wa jalla, maka tidak
halal bagi seseorang diantara keduanya itu apabila melahirkan sesuatu yang dapat
menimbulkan kebencian kepada kawannya.
Adapun yang merupakan ujian yang
utama sekali untuk dapat disebut memiliki budi pekerti yang luhur ialah dengan
adanya kesabaran menahan segala sesuatu yang bersifat menyakiti diri orang lain
dan juga menanggung keadaan yang serba dalam kekurangan. Diriwayatkan bahwa
pada suatu hari rasulullah s.a.w bersama Anas r.a. berjalan di suatu tempat,
lalu dibuntuti oleh seorang Arab (orang Arab pedalaman), kemudian ditariknyalah
baju beliau s.a.w dengan sangat keras. Beliau s.a.w saat itu sedang mengenakan
baju najran yang kasar tepinya. Anas berkata, “Karena tarikan orang itu sampai
saya dapat melihat leher rasulullah s.a.w tampak bekas kemerah-merahan, sebab
menariknya sangat keras”. Arab itu lalu berkata, “Harap Tuan berikan kepada
saya harta Allah yang ada di sisi Tuan”. Tetapi rasulullah s.a.w yang melihat
kelakuan orang tersebut, setelah menolehnya, bukannya marah, bahkan ketawa dan
menyuruh ia diberi. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Demikian pula halnya beliau s.a.w
setelah seringkali disakiti oleh kaum Quraisy, bukannya doa buruk yang beliau
ucapkan, tetapi sebaliknya beliau s.a.w berdoa (diriwayatkan oleh Baihaqi) :
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِقَوْمِى,
فَاِنَّهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ
Ya Allah, berikanlah pengampunan
kepada kaumku, sebab mereka itu memang tidak mengerti
Selanjutnya baik pulalah kita
uraikan di bawah ini beberapa atsar yang berhubungan dengan keluhuran akhlak,
yaitu ;
Diriwayatkan bahwa Ahnaf bin Qais
pernah ditanya, “Dari manakah Tuan mempelajari kesabaran itu ?”. Ia menjawab,
“Dari Qais bin ‘Ashim”. Ia ditanya pula, “Sampai dimana sifat kesabarannya itu
?”. Ahnaf menjawab, “Pada suatu ketika Qais bin ‘Ashim sedang duduk di
rumahnya, kemudian datanglah pelayan, seorang hamba sahaya perempuan dan
membawa sebuah bejana dari besi yang disitu ada daging panggangnya. Tiba-tiba
bejana itu tanpa disengaja jatuh dan mengenai puterinya yang masih kecil dan
seketika itu pula meninggal dunia. Pelayan itu ketakutan sangat, tetapi Qais
berkata, “Jangan engkau takut, engkau kini saya nyatakan sebagai seorang
merdeka dan saya merdekakan untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala”.
Diriwayatkan pula bahwa sayyidina
Ali karromallahu wajhah, pada suatu ketika memanggil bujangnya, seorng hamba
sahaya laki-laki. Sekali, dua kali dan sampai tiga kali ia tidak memperoleh
jawaban. Beliau lalu berdiri dan melihat bujangnya itu sedang duduk enak-enakan
sambil berbaring, kemudian bertanya, “Apakah engkau tidak mendengar
panggilanku, nak ?”. Ia menjawab, “Mendengar juga”. Beliau bertanya pula,
“Kalau begitu, mengapa engkau tidak menyahut atau datang ke tempatku ?”. Ia
menjawab, “Saya merasa aman dan tidak akan Tuan marahi, maka dari itu saya
bermalas-malasan saja”. Tiba-tiba Ali r.a berkata, “Baiklah, engkau kini bebas,
engkau kumerdekakan untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala”.
Suatu peristiwa lagi terjadi atas
diri seorang ulama bernama Malik bin Dinar. Pada suatu ketika ia dipanggil oleh
seorang wanita dengan kata ejekan, “Hai tukang pamer (ria)”. Tetapi ia tidak
marah, bahkan menjawab, “Ai, ibu. Betul, memang itulah namaku yang sudah
dilenyapkan oleh penduduk Basrah ini”.
Resapkanlah benar-benar, itulah
jiwa-jiwa manusia yang sudah ditundukkan dengan adanya latihan dan riadhah,
sehingga akhlaknya menjadi lurus dan jujur, bersih dan suci dari tipu daya hati
sendiri, lenyap dari perasaan mengkal dan benci, dengki dan keinginan membalas
dendam, baik lahiriah maupun bathiniahnya menimbulkan perilaku-perilaku yang
terpuji semata-mata. Akhirnya yang ada hanyalah rela dan menerima segala
sesuatu yang jelas telah menjadi takdir Allah s.w.t. Memang inilah yang
merupakan puncak dari keluhuran budi pekerti itu.
Oleh sebab itu, maka barangsiapa
yang belum menemukan sifat-sifat tersebut dalam jiwanya, seyogyanya jangan dirinya
itu tertipu lalu mengira bahwa ia sudah berbudi luhur dan berakhlak tinggi.
Tetapi sebaliknya hendaklah berusaha dengan jalan berlatih dan
bersungguh-sungguh sehingga benar-benar dapat mencapai tingkat keluhuran budi
yang setinggi-tingginya. Insaflah bahwa budi luhur adalah suatu tingkat yang
merupakan puncak yang teratas sekali dan hanya dapat dicapai oleh orang-orang
yang sungguh-sungguh sudah mendekatkan dirinya kepada Allah ta’ala serta kaum
shiddiqin.
PEMBINAAN
AKHLAK ANAK-ANAK
Ketahuilah bahwa usaha untuk
melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh didikan yang baik serta akhlak
yang mulia itu adalah termasuk hal yang maha penting dan wajib dilaksanakan
dengan sebenar-benarnya dan sama sekali tidak boleh dilengahkan sedikitpun.
Anak adalah amanat atau titipan
yang diberikan oleh Allah ta’ala kepada kedua orangtuanya. Hati anak-anak yang
masih suci itu merupakan suatu jauhar yang bernilai tinggi, yang penuh harapan
dan keadaannya masih kosong sama sekali. Hati anak itu bagaikan suatu kertas yang
belum tergores sedikit pun oleh tulisan gambar yang bagaimana pun juga
coraknya. Tetapi ia dapat menerima apa saja bentuk yang digoreskan, apa saja
yang akan digambarkan di dalamnya, malahan ia akan condong dan cocok kepada
sesuatu yang diberikan kepadanya. Kecondongan ini akhirnya akan menjadi
kebiasaan dan yang terakhir sekali sebagai kepercayaan.
Oleh sebab itu, apabila si anak
tadi dibiasakan untuk mengamalkan apa-apa yang baik, diberi pendidikan ke arah
itu, pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi dan akibatnya ia dapat
selamat sentosa di dunia dan akhirat. Kedua orangtuanya dan semua pendidik,
pengajar serta pengasuhnya pun ikut memperoleh pahalanya. Sebaliknya jikalau
anak itu sejak kecilnya sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan dibiarkan
begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan pengajarannya yakni sebagaimana
halnya seorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka
dan rusak binasa akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikulkan
kepada orang yang bertanggungjawab untuk memelihara dan mengasuhnya. Dalam hal
ini Allah ta’ala berfirman dalam surah At Tahrim 6 :
ياَيُّهَاالَّذِيْنَ اَامَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ
وَاَهْلِيْكُمْ نَارً ...
Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka
Seorang ayah tentunya akan menjaga benar-benar agar
anaknya itu tidak tersentuh oleh api dunia. Jikalau demikian, maka keharusan
memeliharanya agar anak itu tidak tersentuh oleh api neraka di akhirat haruslah
lebih diutamakan, lebih dipentingkan dan lebih diperhatikan. Cara memeliharanya
dari api akhirat ialah dengan jalan memberikan didikan, ajaran dan
latihan-latihan yang baik yang semuanya ditujukan untuk memperoleh budi pekerti
yang bagus dan akhlak yang luhur. Wajib pula ayah itu menjaga anaknya agar
tidak berkumpul dengan kawan-kawannya yang jahat, jangan dibiasakan segala
sesuatu serba lezat dan enak-enak saja, jangan pula digemari berhias yang tidak
sepatutnya atau apa saja yang akan menimbulkan sifat keborosan. Jikalau ini
dilakukan, pastilah usia anak itu nantinya akan dihabiskan semata-mata untuk
mencari kesenangan dan berbuat keborosan saja sewaktu besarnya dan dengan
demikian ia akan rusaklah jiwanya sepanjang masa. Maka dari itu sejak mula
pertama tumbuhnya, seyogyanya diamat-amati dengan teliti sekali. Untuk pengasuh
dan penyusunya hendaklah dipilihkan seorang wanita yang shalihah, kuat dalam
beragama dan makanannya yang halal selalu. Apabila anak itu sudah tampak tanda mencapai tamyiz yakni
dapat membedakan sesuatu, hendaklah lebih cermat memperhatikan dan menelitinya.
Pertama kali baiklah ditunjukkan apa-apa yang harus disegani olehnya, sebab
jikalau anak itu sudah memiliki perasaan malu oleh dirinya sendiri, ia akan
segan untuk memperbuat hal-hal yang tidak patut dan akan meninggalkan
kelakuan-kelakuan yang dianggapnya tidak senonoh, maka inilah sebagai pertanda
bahwa yang memancar dari jiwanya itu ialah cahaya akal yang dapat menerangi
tindak langkahnya sewaktu-waktu nanti. Baiklah ayah bergembira sedikit dengan
melihat anaknya sudah berhal sedemikian ini, karena itulah tandanya bahwa
anaknya sudah lurus akhlaknya, hatinya jernih dan akalnya bagus. Sementara itu
hendaknya diingat bahwa anak yang sudah mempunyai sifat malu oleh dirinya
sendiri, janganlah diabaikan. Ia harus terus ditolong untuk melanjutkan
pendidikannya sesuai dengan malu dan tamyiznya itu.
Salah satu hal yang biasa terjadi
terhadap diri anak-anak ialah mempunyai sifat rakus makan, maka ini pun perlu
dididiknya pula. Misalnya hendaknya ia di waktu makan itu senantiasa menggunakan
tangan kanannya dan supaya mengucapkan “bismillaahir rahmaanir rahiim”
dihadapan ayahnya dan supaya makan apa yang ada didekatnya saja. Tidak boleh
anak itu bersegera makan sebelum orang lain memulainya, jangan dibolehkan
memandang terlampau tajam kepada makanan yang dihadapi atau melihat selalu
kepada orang yang ada di sampingnya. Diwaktu makan tidak boleh cepat-cepat,
tetapi suruhlah mengunyah makanannya itu sebaik-baiknya. Antara suapan yang
satu dan yang lainnya janganlah terlalu cepat, jangan pula boleh mengotori
kedua tangannya atau pakaiannya. Kadang-kadang supaya dibiasakan makan roti
atau nasi tanpa lauk-pauk, sehingga tidak selalu suka makan jikalau pasti ada
lauk-pauknya. Boleh saja ayah mencela di muka anaknya itu tidak baiknya makan terlampau
banyak dan disamakan dengan cara makan binatang, sementara itu dipujinyalah
anak yang sopan dan sedikit makannya. Hendaknya pula anak-anak itu diajaknya
membiasakan makan seadanya, memilih makanan apa saja asalkan patut dan halal,
suka pula makanan yang kasar-kasar dan tidak lezat.
Tentang berpakaian pun demikian
pula, yaitu hendaklah digemari pakaian yang tidak berwarna, berkembang dan
bukan pula sutera. Kepadanya supaya dijelaskan bahwa pakaian yang semacam itu
hanyalah baik untuk kaum wanita atau banci saja sedang kaum lelaki tidak
sepantasnya mengenakan itu. Ucapan yang demikian perlu sekali diulang-ulangi
agar anak itu menyadari dengan sebenar-benarnya. Jikalau pada suatu saat
melihat seorang anak orang lain mengenakan pakaian berwarna, berkembang atau
terbuat dari sutera, hendaknya ayah menunjukkan keingkarannya di muka anaknya
tadi serta mencelanya.
Perlu pula ayah itu menjaga
anaknya dari pengaruh anak-anak lain yang senantiasa dibiasakan oleh
ayah-ayahnya dalam keenakan-enakan serta diliputi kesenangan belaka atau yang
kegemarannya mengenakan pakaian-pakaian yang indah-indah dan serba baik. Juga
perlu dijaga apabila bergaul dengan orang-orang yang suka membisik-bisikkan
sesuatu untuk menjadi keinginan yang kurang diperlukan. Sebabnya semua itu
harus diperhatikan ialah karena seorang anak itu apabila sejak mulai
pertumbuhannya sudah dilalaikan dari pendidikan yang baik, dilalaikan dari
ajaran budi pekerti yang luhur, maka pada ghalibnya ia akan memiliki akhlak
yang rendah dan hina, suka berdusta, bahkan akhirnya dapat menjadi anak
pendengki, pencuri, gemar mengadu domba, suka meminta sesuatu dengan paksaan,
banyak berkata-kata yang tidak berguna, suka ketawa berlebih-lebihan, suka
melucu yang tidak pada tempatnya, dan tidak jarang yang merasa gembira dapat
mengeluarkan kata-kata kotor sebanyak-banyaknya. Keadaan-keadaan yang tidak
baik semacam di atas itu dapat dihindarkan dengan jalan memberikan pendidikan
yang baik, juga supaya disibukkan dengan apa-apa yang diterimanya dari sekolah
dengan mempelajari kitab suci Al Quran, hadists-hadits, sejarah hikayat-hikayat
orang-orang yang budiman dan berbakti serta hal-ihwal hidup mereka. Dengan
demikian, maka dalam jiwa anak itu akan tumbuhlah benih mencintai kaum
shalihin. Satu hal yang penting pula ialah hendaknya anak itu dijaga jangan
sekali-kali ia menyukai syair-syair yang mengandung cinta-cintaan antara lelaki
dan wanita atau yang sebangsa dengan itu, sebab inilah yang juga dapat
menumbuhkan benih kerusakan dan kehancuran dalam jiwanya.
Selanjutnya apabila anak itu
tampaknya sudah sekedarnya memiliki budi luhur dn perbuatan yang terpuji, maka
seyogyanya ia juga dimuliakan dan diberi hadiah karena kelakuan-kelakuannya itu
yang berupa sesuatu yang bermanfaat baginya, tetapi yang ia dapat merasa
gembira dengan menerima hadiah itu. Boleh juga ia kadang-kadang dipuji dimuka
orang banyak. Jikalau pada suatu ketika anak itu menyalahi apa-apa yang sudah
diajarkan, maka untuk pertama kali kesalahannya itu baiklah diampuni dan orang
tua pura-pura lalai atau tidak mengetahuinya, sama sekali jangan dibuka
rahasianya atau dinodai kehormatannya. Tetapi jangan pula pengampunannya itu
diperlihatkan, lebih-lebih lagi diperlihatkannya di hadapan orang lain. Yang
sedemikian ini akan menimbulkan kelakuan yang kedua kalinya, ketiga kalinya dan
selanjutnya. Jadi ringkasnya ayah hendaklah bijaksana mengasuh anaknya.
Lebih-lebih tidak boleh kesalahannya itu diperlihatkan, jikalau anak itu
sendiri sudah berusaha menutupi celanya dan bersungguh-sungguh hendak menyembunyikannya.
Ini adalah pertanda bahwa ia tidak ingin melakukannya lagi dan bahwa apa yang
dilakukan pertama itu mungkin karena kekhilafan yang tidak disengaja. Jikalau
hanya sekali ia berbuat kekeliruan, lalu diperlihatkan, maka kadang-kadang hal
itu dapat membuat anak itu berani dan tidak perduli untuk diperlihatkan
kelakuannya yang salah kepada siapa pun juga.
Apabila kelakuannya yang salah
itu sudah didiamkan, tetapi masih juga ia melakukan untuk kedua kalinya, maka
seyogyanya ia diberi hukuman secara rahasia dan hanya ayah dengan anak itu
sendiri lah yang mengetahuinya. Anak tersebut hendaklah diberi peringatan,
bahwa yang dikerjakannya itu adalah suatu kesalahan yang besar sekali.
Kepadanya hendaklah dikatakan, “Betul-betul jangan kau ulangi lagi kelakuan
semacam itu setelah saat ini. Jangan sampai timbul sekali lagi perbuatan
semacam itu dari dirimu, sebab akhirnya akan tampak di kalangan orang banyak.
Engkau harus malu berbuat lagi”.
Ucapan yang berupa nasehat itu
hendaklah dilakukan dengan bijaksana, jangan memperbanyak kata-kata yang tidak
patut atau kurang berguna, jangan pula terlampau banyak mencela dan mengejek
dalam setiap waktu. Hal ini tidak perlu, sebab kalau yang sedemikian ini biasa,
maka akan dianggap ringanlah oleh anak tadi mendengar celaan dan cemoohan serta
akan dianggap biasa sajalah menanggung cercaan karena perbuatan-perbuatan buruk
yang dilakukannya dan akhirnya akan lenyaplah wibawa nasehat itu dan jatuhlah
pengaruh serta mengesannya dalam hati si anak tadi.
Oleh sebab itu sekali lagi ayah
hendaklah bersikap bijaksana, menjaga benar-benar susunan kata-kata yang akan
dihadapkan kepadanya dan jangan memperolok-olok anaknya itu melainkan dalam
waktu yang sangat diperlukan. Sementara itu tugas ibu ialah mengingatkan
anaknya akan wibawa ayahnya dan disertai pula kadang-kadang penjelasan
keburukan pada perbuatannya itu. Ringkasnya antara ayah dan ibu itu hendaklah
ada kerjasama yang sebaik-baiknya untuk mendidik anak yang tampaknya ada
gejala-gejala tidak baiknya tadi. Suatu pendidikan yang utama lagi supaya ayah
melarang anaknya tidur di waktu siang, sebab hal ini banyak menimbulkan
kemalasan bekerja dan lain-lain. Tetapi untuk di waktu malam, maka jangan
dilarang sama sekali, hanya saja sebaiknya jangan dibiasakan tidur di atas
kasur yang empuk-empuk atau alat-alat tidur yang serba mewah. Hal semacam ini
kurang baik, sebab akan kakulah anggota tubuh anak itu dan suka
bermalas-malasan saja. Bahkan dapat pula hal ini menyebabkan tumpulnya otak si
anak yang terlampau dimanjakan itu. Jikalau yang sedemikian ini diteruskan,
kecuali bahaya-bahayanya sebagaimana di atas itu, juga di waktu besarnya anak
tadi akan menjadi seorang yang tidak dapat sabar dan tahan menderita dan ingin
berkecimpung dalam kenikmatan saja, sekalipun kehormatan dan haknya akan
dilanggar. Oleh karena itu, maka seyogyanya dibiasakan sajalah yang serba kasar
dan kurang nyaman, baik dalam tidur, berpakaian, makan dan lain-lain
sebagainya.
Selain itu baiklah anak itu
dilarang mengerjakan sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi, sebab sebenarnya ia
tidak akan melakukannya dengan cara demikian, kecuali ia sendiri agaknya telah
meyakinkan bahwa perbuatannya adalah tidak baik atau tidak patut dilihat orang.
Maka jikalau yang sedemikian ini benar-benar diawasi, maka anak itu pun akan terbiasa
meninggalkan perbuatan yang tercela.
Sebagian harinya, hendaklah
dibiasakan oleh anak itu untuk digunakan berjalan dan bergerak serta
berolahraga, supaya tidak timbul kemalasan tubuhnya. Biasakanlah pula agar anak
itu jangan membangga-banggakan nenek moyangnya atau mencercanya. Jangan pula
dibolehkan berjalan terlampau cepat-cepat seperti orang ketakutan atau
kebingungan.
Suatu hal lagi ialah agar anak
itu diawasi benar-benar, jangan sampai membangga-banggakan dirinya kepada
kawan-kawannya baik yang berhubungan dengan makanan atau pakaian yang diperoleh
dari rumahnya, juga hal-ihwal keluarga atau keadaan rumah tangganya, tetapi
sebaliknya hendaklah ia dibiasakan merendah diri dan memuliakan setiap kawan
yang dihubungi dan senantiasa lemah lembut dalam kata-katanya.
Baik sekali anak itu dinasehati
agar jangan suka menerima sesuatu pemberian dari kawannya, lebih-lebih jikalau
sampai memintanya. Hendaklah ia diinsafkan bahwa keluhuran budi itu ialah
apabila dapat memberi dan bukan menerima. Meminta adalah suatu tanda
kerendahan, kehinaan, cela dan kekurangan harga diri. Tetapi harus pula dijaga,
agar dengan demikian ini, jangan sampai anak itu menjadi seorang yang congkak
dan takabbur. Jadi hendaklah dilihat dan diteliti mana yang boleh diterima dan
mana yang tidak. Namun demikian, kebiasaan meminta jangan diizinkan sama
sekali. Sebab kelakuan semacam ini adalah watak anjing yang senantiasa
mengibas-ngibaskan ekornya untuk menantikan sesuap makanan yang sedang dimakan
oleh tuannya dan ingin benar menerimanya.
Perihal harta dunia, hendaklah
anak itu diinsafkan tentang buruknya mencintai emas dan perak atau ingin
memilikinya yang tidak wajar dan kurang diperlukan. Harus ditanamkan akan
kelebihan bahayanya daripada ular dan kala, sebab kecelakaan yang akan diperoleh
karena mencintai emas dan perak itu lebih hebat dan lebih besar penderitaannya
daripada racun atau bisa yang keluar dari ular atau kala itu. Ini tentunya
untuk anak-anak. Sedangkan untuk kaum dewasa pun demikian pula, sekiranya ia
tidak pandai menggunakannya.
Suatu soal lagi yang termasuk
pendidikan ialah jangan anak itu diperkenankan biasa berludah di tempat yang
bukan semestinya, yakni dimana saja ia berada, disitulah ia berludah dengan
semau-maunya, jangan pula beringus atau menguap tanpa menutupi mulutnya di
hadapan orang lain. Tidak baik pula kalau ia membelakangi orang lain.
Meletakkan kaki yang sebuah di
atas kaki yang lainnya hendaklah dilarang, demikian pula meletakkan tangan
dibawah dagu atau menyandarkan kepala di atas tangan, sebab semuanya ini adalah
tanda kemalasan.
Seorang ayah hendaklah mengajar
anaknya itu bagaimana cara duduk yang baik. Didiklah ia supaya jangan terlampau
banyak cakap yang tidak perlu. Beritahukanlah padanya bahwa obral omongan itu
menunjukkan ketololan, kurang sifat malunya dan hal itu hanya dilakukan oleh
anak-anak yang kurang akal belaka dan sangat tercela.
Bersumpah jangan dibolehkan sama
sekali, baik di waktu ia dalam keadaan benar, apalagi jikalau bersalah.
Kepentingannya ialah agar ia tidak membiasakannya sejak kecil. Biasakanlah anak
itu mendengar ucapan-ucapan yang baik di waktu orang lain berbicara, terutama
dari orang-orang yang usianya lebih tua daripadanya.
Kepada orang yang lebih tua itu,
hendaklah ia dibiasakan suka menghormati dan meluaskan tempat untuknya dan
boleh saja ia duduk di hadapannya untuk belajar kesopanan.
Anak itu harus dilarang berkata
kotor atau yang kiranya tidak patut didengar, terutama sekali melaknati orang
lain atau mencaci-makinya. Laranglah ia bergaul dengan anak yang membiasakan
kata-kata seperti di atas itu, agar tidak menjalar pula ke dalam wataknya.
Keadaan semacam ini memang pasti dapat mempengaruhi anak yang baik, ini pasti
menjalar dan akan ditirukan. Maka bergaul dengan kawan-kawan yang dianggap
buruk dan tidak sopan, wajib dilarang sama sekali. Bahkan pokok daripada cara
mendidik anak itu ialah dijaga dan kalau dapat dilarang sama sekali berkawan
dengan anak-anak yang kurang pendidikan dan kesopanan.
Setelah anak itu keluar dari
sekolahnya, tidak ada halangannya jikalau anak itu diperbolehkan bermain-main
yang baik dan cara bermainnya sopan, sedang alat permainannya pun layak menurut
usianya. Ini dimaksudkan agar anak itu dapat beristirahat secukupnya dari
kelelahan belajar di sekolah dan juga supaya terhibur hatinya sesudah menerima
pelajaran-pelajaran dan memutar otak. Perlu kita insafi bahwa melarang anak
bermain dan memaksanya untuk terus belajar, pastilah akan mematikan hati dan
jiwanya, menumpulkan otak dan melenyapkan kecerdasannya. Jikalau ini
dilanjutkan, anak itu pasti akan merasa terkekang hidupnya, sempit ruangan
geraknya dan bosan hatinya menghadapi yang itu-itu juga sepanjang hari.
Akibatnya ia pasti akan berdaya upaya untuk melepaskan diri dari kungkungan
yang tidak wajar ini dan bahkan berdaya upaya untuk lari dari keadaan yang
dirasakan sangat menekan dan memberatkan itu. Akhirnya ia akan mencari-cari
kesempatan yang tidak wajar, mencuri-curi waktu yang terluang dan membuat
alasan-alasan yang bukan-bukan untuk dapat bermain dan keluar dari rumah.
Sangat penting sekali jikalau
anak itu diajari bagaimana ia harus taat dan patuh kepada kedua orangtuanya,
guru pengajar dan pendidiknya, juga setiap orang yang lebih tinggi usianya
daripada anak itu sendiri, tanpa memandang apakah orang itu masih sekeluarga dengannya
atau orang lain. Suruhlah anak itu memandang mereka itu dengan mata
penghormatan dan sikap memuliakan sebagaimana mestinya. Dihadapan mereka
janganlah dibiarkan ia bermain-main.
Jikalau anak itu sudah mencapai
usia antara tujuh dan sepuluh tahun pada saat itu tentulah ia sudah dapat
disebut tamyiz yakni dapat membeda-bedakan antara sesuatu yang baik dan buruk,
maka janganlah sekali-kali anak itu diberi kesempatan atau diizinkan
meninggalkan bersuci secara agama dan lebih-lebih lagi shalat.
Dalam bulan Ramadhan hendaklah ia
diperintah puasa dengan cara yang baik. Tentu saja sebagai latihan bolehlah
beberapa hari dahulu dan tahun kemudiannya ditambah lagi sehingga akhirnya ia
membiasakan berpuasa penuh sebulan.
Ketentuan-ketentuan syari’at
agama, wajiblah ia diajari di rumah, disamping pelajaran yang diterima di
sekolahnya.
Laranglah benar-benar anak itu
dengan sesungguh-sungguhnya sehingga takut mencuri dan makan sesuatu yang
diharamkan. Demikian pula haruslah dicegah benar-benar dari kelakuan-kelakuan
yang bersifat pengkhianatan, kata-kata dusta dan kotor dan segala sesuatu yang
dianggap buruk, baik dipandangan masyarakat dan agama. Hal ini sangat penting
untuk diperhatikan, sebab jikalau anak itu sejak tumbuhnya sudah dibiasakan dan
diajari yang baik-baik maka nantinya setelah ia mencapai usia hampir baligh,
tentulah ia akan dapat mengetahui sendiri rahasia-rahasianya yakni mengapa
perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu dilarang oleh ayahnya. Sebaliknya
jikalau hal itu dibiarkan saja, maka anak tersebut akan terbiasa melakukannya
sampai saat dewasanya nanti dan akibatnya sangat memalukan ayah sendiri. Anak
yang sedemikian ini dapat menjadi seorang pencuri, pengkhianat, penipu,
pendusta, dan seringan-ringannya sebagai seorang yang suka berkata kotor dan
tidak layak didengar umum.
Sumber :
Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun
oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah
almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan
ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan
Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar