السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Minggu, 11 Desember 2016

Tausiah ke-11 (Syahwat Perut)

KEUTAMAAN LAPAR DAN TERCELANYA KENYANG

Rasulullah bersabda :
جَاهِدُوْا اَنْفُسَكُمْ بِالْجُوْعِ وَالْعَطَشِ فَاِنَّ اْلاَجْرَ فِى ذَالِكَ كَاَجْرِالْمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَاِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ اَحَبَّ اِلَى اللهِ مِنْ جُوْعٍ وَعَطَشٍ
Perangilah dirimu dengan lapar dan dahaga. Sesungguhnya pahalanya seperti orang yang berperang di jalan Allah, dan sesungguhnya tiada suatu amal perbuatan yang paling disukai Allah melebihi lapar dan dahaga.



Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda :
Tidak akan bisa memasuki istana langit, orang yang penuh perutnya”.         لاَيَدْخُلُ مَلَكُوْتَ السَّمَآءِ مِنْ مَلَ أَ بَطْنُهُ

Rasulullah s.a.w. ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling utama ?”. Beliau bersabda :
مَنْ قَلَّ مَطْعَمَهُ وَضَحْكُهُ وَرَضِيَ بِمَايَسْتُرُبِهِ عَوْرَتُه
Orang yang sedikit makan dan tertawanya, dan rela dengan pakaian yang menutupi auratnya.

Rasulullah s.a.w bersabda :
سَيِّدُاْلاَعْمَالِ الْجُوْعُ وَذُلُّ النَّفْسِ لِبَاسُ الصُّوْفِ
Pemimpin segala amal perbuatan adalah lapar, dan kerendahan diri adalah memakai pakaian bulu.

Abu Sa’id Al Khudri r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda :
اَلْبِسُوْا وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا فِى اَمْضَافِ الْبُطُوْنِ فَاِنَّهُ جُرْءٌ مِنَ النُّبُوَّةِ
Berpakaianlah, makan dan minumlah setengah perut, sesungguhnya itu termasuk sebagian dari sifat kenabian”.

Al Hasan berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda :
اَلْفِكْرُ نِصْفُ الْعِبَادَةِ وَقَلِّةُ الطَّعَامِ هِيَ الْعِبَادَةُ
Berfikir merupakan sebagian dari ibadah, sedang sedikit makan adalah ibadah".

Al Hasan juga berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda :
اَفْضَلُكُمْ عِنْدَاللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَطْوَالُكُمْ جُوْعًا وَتَفَكُّرًا فِى اللهِ سُبْحَانَهُ وَاَبْغَضُكُمْ عِنْدَاللهِ عَزَّوَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كُلِّ نَئُوْمٍ اَكُوْلٍ شَرُوْبٍ
Kedudukan paling utama bagimu di sisi Allah pada hari kiamat adalah yang paling lama merasa lapar dan paling lama berfikir tentang keagungan Allah. Sedangkan yang paling dibenci Allah ‘Azza wa Jalla diantara kamu pada hari kiamat adalah setiap orang yang banyak tidur, banyak makan dan banyak minum”.

Dalam hadits lain (diriwayatkan oleh Al Baihaqi) :
Sesungguhnya nabi s.a.w. biasa lapar tanpa kekurangan.               اِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجُوْعُ مِنْ غَيْرَعَوَزٍ

Rasulullah s.a.w. bersabda : (diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi)
اِنَّ الله َتَعَالَى يُبَاهِى الْمَلاَئِكَةَ بِمَنْ قَلَّ مَطْعَمُهُ وَمَشْرَبُهُ فِى الدُّنْيَا. يَقوْلُ الله ُتَعَالَى: اُنْظُرُوْا اِلَى عَبْدِى اِبْتَلَيْتُهُ بِالطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِى الدُّنْيَا فَصَبَرَ وَتَرَكَهُمَا. اِشْهَدُوْا يَامَلاَئِكَتِى مَامِنْ اَكْلَةٍ يَدْعُهَااِلاَّ اَبْدَلْتُهُ بِهَادَرَجَاتٍ فِى الْجَنَّةِ
Sesungguhnya Allah ta’ala menyatakan bangga kepada para malaikat terhadap orang yang menyedikitkan makan dan minumnya di dunia. Allah ta’ala berfirman ; Lihatlah hamba-Ku ! Aku telah mencobanya dengan makanan dan minuman di dunia, namun ia dengan sabar meninggalkannya. Saksikanlah wahai para malaikat-Ku, tiada satu makanan yang ia tinggalkan melainkan akan Ku ganti dengan setumpuk derajat di surga.

Rasulullah s.a.w. bersabda :
لاَتُمِيْتُوْاالْقُلُوْبَ بِكَثْرَةِالطَّعَامِ وَالشَّرَابِ, فَاِنَّ الْقَلْبَ كَالزَّرْعِ يَمُوْتُ اِذَا كَثُرَعَلَيْهِ الْمَاءُ
Janganlah kau matikan hati dengan banyak makanan dan minuman, sesungguhnya hati seperti tanaman yang akan mati jika terlalu banyak air.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Atturmudzi) :
مَامَلأَ َابْنُ اَادَمَ وِعَاءً شَرًّامِنْ بَطْنِهِ. حَسْبُ ابْنِ اَادَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صَلْبَهُ. وَاِنْكَانَ لاَبُدَّفَاعِلاً فَثُلُثُ لِطَعَامِهِ وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ وَثُلُثُ لِنَفَسِهِ
Tidaklah anak Adam memenuhi bejana dengan lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap sekedar untuk menegakkan tulang punggungnya. Kalau ia harus melakukannya, hendaknya sepertiga untuk makanan sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk nafasnya.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Al Khatib) :
Sesungguhnya manusia yang paling dekat di sisi Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat adalah orang yang lama merasa lapar, dahaga, dan kesusahan di dunia, yang berjalan tanpa alas kaki, yang bertakwa, yang tidak dikenal jika mereka datang dan tidak dicari manakala tidak ada. Mereka dikenal segenap penjuru tanah dan dikelilingi para malaikat langit. Manusia hanyut dengan kenikmatan duniawi, sedang mereka hanyut dengan lezatnya berbakti kepada Allah. Manusia membentangkan permadani yang empuk, sedang mereka membentangkan dahi dan lutut. Manusia mengabaikan perilaku dan akhlak para nabi, sedang mereka memeliharanya. Bumi meratap manakala kehilangan mereka, dan Tuhan yang Maha Perkasa murka pada setiap penjuru negeri yang tidak dihuni oleh salah seorang dari mereka. Mereka tidak menyerbu duniawi sebagaimana anjing menyergap bangkai, pakaiannya kusut, dan makannya sedikit, rambutnya kumal dan berdebu mukanya. Manusia melihatnya, spontan menduga bahwa mereka mengidap penyakit, padahal sehat. Manusia mengatakan, “Mereka kacau fikirannya dan sirna akalnya”, padahal mereka normal. Padahal mereka memandang ketentuan Allah yang dapat menghilangkan rasa cinta duniawi dengan hati mereka, sedang manusia menganggap mereka berjalan tanpa akal. Mereka menggunakan akalnya ketika manusia kehilangan akalnya. Mereka mempunyai derajat yang tinggi di akhirat. Wahai Usamah, jika kamu mengetahui mereka di suatu negara, maka ketahuilah bahwasanya mereka adalah keamanan bagi penduduk negara itu dan Allah tidak akan menimpakan bencana pada suatu kaum yang mereka berada di dalam kaum itu. Bumi bahagia dengan mereka dan Tuhan yang Maha Perkasa rela terhadap mereka. Jadikanlah mereka saudaramu. Mudah-mudahan kau selamat sebab mereka. Jika kamu mampu kedatangan mati dalam keadaan perut lapar dan hati haus, maka lakukanlah, sesungguhnya dengan demikian ini kamu akan memperoleh kedudukan yang mulia, bersanding dengan para nabi dan malaikat gembira kedatangan ruhmu,sedang Tuhan yang Maha Perkasa melimpahkan rahmat atasmu.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Abu Mansur Addailami) :
اَلْبِسُوْا الصُّوْفَ وَشَمِّرُوْا وَكُلُوْا فِى اَنْصَافِ الْبُطُوْنِ تَدْخُلُوْا فِى مَلَكُوْتِ السَّمَاءِ
Pakailah kain bulu, singsingkanlah lengan bajumu dan makanlah setengah perut, niscaya kau akan menerobos istana langit.

Nabi Isa a.s. bersabda, “Wahai golongan Hawariri, laparkanlah hatimu dan telanjarkanlah tubuhmu. Semoga hatimu dapat melihat Allah ‘Azza wa Jalla”. Hal ini juga meriwayatkan dari nabi s.a.w. riwayat Thaus, dan ada yang mengatakan tertulis orang alim yang gemuk. Karena gemuk menunjukkan pada kelalaian dan banyak makan, dan yang demikian adalah jelek, terutama bagi orang alim. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Sesungguhnya Allah benci pada qari (ahli membaca quran) yang gemuk”.

Dalam hadits disebutkan :
اِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ اَادَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالْجُوْعِ وَالْعَطَشِ
Sesungguhnya syaithan berjalan pada anak Adam melalui jalannya darah, maka persempitlah jalan-jalannya dengan lapar dan dahaga.

Dan dalam hadits lain disebutkan :
Sesungguhnya makan sampai kenyang itu menyebabkan penyakit belang.      اِنَّ اْلاَكْلَ عَلَ السَّبْعِ يُوْرِثُ الْبَرَصَ

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِى مِعًى وَاحِدٍ وَالْمُنَافِقُ يَأْكُلُ فِى سَبْعَةِ اَمْعَآءٍ
Orang mukmin itu makan untuk satu usus, sedang orang munafik makan untuk tujuh usus.

Maksudnya, makanan orang munafik tujuh kali lipat makanan orang mukmin atau nafsu syahwatnya tujuh kali lipat syahwat orang mukmin, sedangkan usus merupakan kiasan dari syahwat, karena syahwat itulah yang menerima makanan dan mengambilnya sebagaimana usus mengambilnya. Dan tidak dimaksudkan lebih banyaknya jumlah usus orang munafik daripada usus orang mukmin.

Al Hasan meriwayatkan dari ‘Aisyah r.anha, katanya, “Saya mendengar rasulullah s.a.w. bersabda :
اَدِيْمُوْاقَرْعَ بَابِ الْجَنَّةِ يُفْنَحْ لَكُمْ. فَقُلْتُ كَيْفَ نُدِيْمُ قَرْعَ بَابِ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: بِالْجُوْعِ وَالظَّمْأِ
“Abadikanlah dalam mengetuk pintu surga, niscaya kau akan dipersilahkan”. Lalu saya bertanya, “Bagaimana kami dapat mengabadikan mengetuknya ?”. Beliau bersabda, “Dengan lapar dan dahaga”.

Diriwayatkan bahwa Abu Juhaifah r.a. bersendawa di majlis rasulullah s.a.w., lalu rasulullah s.a.w. bersabda :
اَقْصِرْمِنْ جُشَائِكَ. فَاِنَّ اَطْوَلَ النَّاسِ جُوْعًايَوْمَ الْقِيَامَةِ اَكْثَرُهُمْ سَبْعًا فِى الدُّنْيَا
Perpendekkanlah sendawamu. Sesungguhnya manusia yang paling lapar pada hari kiamat adalah orang yang selalu kenyang ketika di dunia.

‘Aisyah r.anha berkata, “Bahwasanya rasulullah s.a.w sama sekali tidak pernah kenyang, sampai-sampai saya menangis karena mengetahui kelaparan yag dijalaninya, lalu saya mengusap perutnya dengan tanganku dan berkata dalam diriku ; ‘Diriku menjadi tebusan bagimu. Andaikan engkau mencari dunia sekedar untuk menguatkan dirimu dan mencegahmu dari rasa lapar’.”. Maka beliau bersabda :
“Wahai ‘Aisyah, saudara-saudara ulul ‘azmi daripada rasul lebih sabar dalam menghadapi yang lebih berat dari ini, mereka lalui begitu saja seraya datang pada Tuhannya, maka Tuhan memuliakan tempat kembalinya dan melimpahkan pahalanya. Aku malu kalau mewah dalam hidupku (di dunia) lalu besok Tuhan mengurangiku sedang mereka tidak, maka bersabar dalam hari-hari yang sekejab ini lebih aku sukai daripada besok di akhirat dikurangi bagianku. Dan tiada yang lebih aku sukai daripada bertemu dengan teman-teman dan saudara-saudara”. ‘Aisyah berkata, “Demi Allah, setelah itu tidak sempurna satu Jum’at hingga Allah memanggil (kehadirat-Nya)”.

Dari Anas r.a. katanya, “Fatimah r.anha datang dengan membawa sepotong roti kepada rasulullah s.a.w. lalu beliau bertanya ;’Sepotong apa ini ?’. Fatimah menjawab ;’Saya membikin sepotong roti dan hatiku tidak enak hingga kubawa kepadamu’. Rasulullah s.a.w. bersabda ;’Ketahuilah, sesungguhnya inilah makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari’”.

Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengenyangkan keluarganya tiga hari berturut-turut dengan roti gandum sampai beliau wafat”.

Rasulullah s.a.w. bersabda :
اِنَّ اَهْلَ الْجُوْعِ فِى الدُّنْيَاهُمْ اَهْلَ الشَّبْعِ فِى اْلاَاخِرَةِ, وَاِنَّ اَبْغَضَ النَّاسِ اِلَى اللهِ الْمُتْخِمُوْنَ الْمَلاَى. وَمَاتَرَكَ عَبْدٌاَكْلَةً يَشْتَهِيْهَااِلاَّكَانَتْ لَهُ دَرَجَةٌ فِى الْجَنَّةِ
Sesungguhnya orang yang lapar di dunia adalah orang yang kenyang di akhirat, dan sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang perutnya penuh dengan makanan. Tidaklah seorang hamba meninggalkan makanan yang diinginkannya melainkan memperoleh derajat di surga.

Adapun atsar yang berhubungan dengan hal ini antara lain ;

Umar r.a. berkata, “Jauhilah kekenyangan, karenanya hidup menjadi berat dan busuk di waktu mati”.

Syaqiqi Al Bakhli berkata, “Ibadah merupakan suatu lapangan kerja yang kedainya adalah menyendiri dan alatnya adalah lapar”.

Luqman menasehati putranya, “Hai anakku, apabila perut penuh, niscaya pikiran tidur, hikmah membisu sedang anggota tubuh enggan beribadah”.

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata untuk dirinya, “Apakah yang menyebabkan engkau takut ?Apakah engkau takut jika kau lapar ? Jangan takuti hal itu ! Bagi Allah engkau lebih gampang demikian. Bahwasanya nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya selalu lapar”.

Khamas bin Al Hasan berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau laparkan aku, Engkau telanjangkan aku, malam gelap tanpa seberkas sinar lampu dan Engkau dudukkan aku. Maka dengan perantaraan apa Engkau sampaikan sesuatu yang telah Engkau sampaikan padaku ?”.

Sedang Fathul Mushili manakala sangat sakit dan lapar berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau telah mencobaku dengan sakit dan lapar dan begitu terhadap para wali-Mu, maka dengan laku perbuatan apa saya harus bersyukur atas anugerah yang terlimpahkan padaku ?”.

Malik bin Dinar berkata, “Saya berkata kepada Muhammad bin Wasi’ ; ‘Wahai Abdullah, berbahagialah orang yang berpenghasilan cukup dan menghindarkan dirinya dari meminta-minta’. Lalu dia berkata ; ‘Wahai Abu Yahya, berbahagialah orang yang di waktu sore dan senja dalam keadaan lapar, sedang ia rela kepada Tuhannya’.”

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau  laparkan diri dan keluargaku, Engkau biarkan aku dalam gelapnya malam tanpa lampu. Dan sesungguhnya Engkau lakukan yang demikian terhadap kekasih-Mu. Maka lantaran derajat apa hingga saya peroleh semacam ini ?”.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Laparnya orang yang cinta kebaikan adalah peringatan, laparnya orang yang bertaubat adalah pujian, laparnya orang yang rajin ibadah adalah kemuliaan dan laparnya orang yang sabar adalah siasat sedang laparnya orang yang zuhud adalah hikmah”.

Dalam kitabTaurat disebutkan, “Bartakwalah kepada Allah ! Apabila kamu kenyang ingatlah orang-orang yang lapar”.

Abu Sulaiman Ad Darani berkata, “Meninggalkan satu suap makan malam, lebih kusukai daripada shalat semalam suntuk”. Dia juga berkata, “Lapar di sisi Allah merupakan perbendaharaan yang tidak diberikan kecuali kekasih-Nya”.

Sahl At Tasturi tidak makan selama dua puluh hari lebih. Dan satu dirham cukup baginya untuk makan selama satu tahun. Ia menekuni dan mendambakan lapar, hingga berkata, “Tidak akan datang di hari kimat amal kebajikan yang lebih utama dari makan secukupnya karena mengikuti jejak rasulullah s.a.w.”.

Sahl At Tasturi berkata, “Orang yang normal akalnya tidak memandang sesuatu yang lebih bermanfaat daripada lapar di dunia dan agama. Saya tidak mengetahui sesuatu yang lebih daripadanya daripada orang yang mencari akhirat dengan makan. Hikmah dan ilmu diletakkan dalam lapar, sedang maksiat dan kebodohan diletakkan dalam kenyang. Tidaklah Allah disembah dengan sesuatu yang lebih utama daripada melawan hawa nafsu dalam meninggalkan perkara yang halal”.
Karena hadits telah menyebutkan :
ثُلُثٌ لِلطَّعَامِ, فَمَنْ زَادَعَلَيْهِ, فَاِنَّمَايَأْكُلُ مِنْ حَسَنَاتِهِ
Sepertiga untuk makanan, barangsiapa melebihinya, maka sesungguhnya ia memakan kebaikan-kebaikannya.

Shal ditanya tentang tanda-tanda ziyadah (menambah/melebihi), lalu menjawab, “Seorang tidak akan merasakan ziyadah sehingga meninggalkan makan lebih ia senangi, dan apabila kelaparan dalam semalam, ia meminta kepada Allah agar diperpanjang menjadi dua malam. Kalau sudah demikian, maka ia telah merasakan ziyadah”.

Sahl At Tasturi berkata, “Wali abdal tidak menjadi wali abdal melainkan dengan mengosongkan perut, berjaga malam hari, diam dan menyendiri”. Ia berkata, “Pokok setiap kebajikan yang turun dari langit adalah lapar, sedang pokok setiap kejahatan antara langit dan bumi adalah kenyang”. Ia juga berkata, “Barangsiapa melaparkan diri, niscaya terputus dari bisikan syaithan. Menerimanya Allah ‘Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya itu lantaran sakit, lapar dan bencana kecuali orang-orang yang dikehendaki-Nya”. Ia juga berkata, “Ketahuilah bahwa sekarang ini adalah masa yang tiada seorang pun memperoleh keselamatan kecuali dengan menyembelih hawa nafsunya, adapun menyembelihnya hanya dengan lapar, tidak tidur malam dan rajin ibadah”.

Dan Sahl At Tasturi juga berkata, “Tidak seorangpun di muka bumi yang meneguk air hingga puas, lalu ia terhindar dari perbuatan maksiat meskipun bersyukur kepada Allah. Maka bagaimana keadaan kekenyangan akibat makanan ?”.

Sesungguhnya ahli hikmah ditanya, “Dengan apa hawa nafsu harus diikat ?”. Ia menjawab, “Ikatlah nafsu dengan lapar dan dahaga, hinakanlah dengan tidak termasyhur dan meninggalkan kemuliaan, dan kecilkanlah dengan menempatkannya di telapak kaki anak-anak akhirat serta cabik-cabiklah ia dengan meninggalkan segi lahir perhiasan para qari’, selamatkanlah ia dari bencananya dengan selalu berburuk sangka padanya dan temanilah dengan menentang keinginannya !”.

Abdul Wahid bin Zaid bersumpah, “Demi Allah, Allah tidak memilih seorangpun melainkan dengan lapar, mereka tidak akan berjalan di atas air, bumi tidak akan dilipat untuknya kecuali dengan lapar, dan Allah tidak akan memberikan kekuasaan padanya melainkan dengan lapar”.

Abu Thalib Al Makki berkata, “Perut itu laksana alat musik, yakni kayu berlubang dan berdawai. Sungguh indah suaranya lantaran ringan dan halusnya serta berlubang nan hampa. Begitu pula manakala perut kosong, niscaya lebih besar untuk membaca, lebih kokoh menegakkan shalat dan lebih sedikit untuk tidur”.

Abu Bakar bin Abdullah Al Muzani berkata, “Ada tiga orang yang dicintai Allah yaitu orang yang sedikit tidurnya, sedikit makannya lagi sedikit istirahatnya”.

Diriwayatkan bahw nabi Isa a.s. berdiam untuk munajat kepada Tuhannya dalam enam puluh hari tanpa makan, lalu terlintas ada roti dalam hatinya, maka terputuslah dari munajatnya. Tiba-tiba terdapat roti di hadapannya, spontan ia duduk sambil menangis karena terputus dari keindahan munajatnya. Tidak ia sangka, tiba-tiba seorang tua telah menaunginya, maka nabi Isa berkata kepadanya, “Wahai kekasih Allah, berdoalah kepada Allah untukku ! Sesungguhnya saya sedang munajat, lalu terlintas roti di hatiku, maka terhentilah munajatku”. Orangtua itu berkata, “Ya Allah, jika Engkau mengerti bahwasanya terlintasnya roti dalam hatiku sejak aku mengenal-Mu, maka janganlah Engkau ampuni dosa-dosaku, tetapi bila yang terlintas memang bagianku, maka aku memakannya dengan tanpa pertimbangan dan terlintasnya hati”.

Juga diriwayatkan bahwa nabi Musa a.s. ketika Allah mendekati untuk membisikkannya, beliau benar-benar telah meninggalkan makan selama empat puluh hari, yaitu tiga puluh ditambah sepuluh hari sesuai apa yang tersebut dalam Al Quran, karena beliau menahan makan dengan tidak melakukan niat di malam hari (tabyit) maka ditambah sepuluh hari.


BENCANA KENYANG DAN FAEDAH LAPAR

Rasulullah s.a.w. bersabda :
جَاهِدُوْا اَنْفُسَكُمْ بِالْجُوْعِ وَالْعَطَشِ فَاِنَّ اْلاَجْرَفِى ذَالِكَ
Perangilah dirimu dengan lapar dan dahaga, sesungguhnya pahala pada yang demikian (sama dengan jihad fisabilillah).

Mungkin kamu berkata, “Keutamaan lapar sebesar ini darimana datangnya dan apa sebabnya, padahal hanya menyakitkan perut dan menahan sakit. Kalau besarnya pahala terjadi seperti itu, maka seyogyanya manusia memperbesar pahalanya dengan sesuatu yang amat menyakitkan, seperti memukul dirinya atau memotong-motong daging dirinya atau makan sesuatu yang tidak ia sukai atau yang sejenisnya.

Ketahuilah ini menyerupai perkataan orang minum obat dan memperoleh manfaatnya, lalu ia menduga bahwa kemanfaatannya itu karena pahitnya atau ketidak enakannya, lantas ia makan setiap apa yang tidak enak rasanya. Dugaan seperti ini tidak benar, padahal kemanfaatannya pada khasiat obat tersebut. Begitu juga tidak akan mengetahui kemanfaatan lapar kecuali para ‘ulama ahli rahasia.

Barangsiapa melaparkan dirinya karena membenarkan syari’at agama mengenai keutamaan lapar, memperoleh manfaat meskipun tanpa mengetahui alasan kemanfaatan itu, sebagaimana orang meminum obat, lalu memperoleh manfaatnya, padahal ia tidak mengetahui segi kemanfaatannya. Kami akan menguraikan semua itu, jika kamu bermaksud naik dari derajat iman menuju derajat ilmu.

Berfirman Allah ta’ala dalam surah Al Mujadalah 11 :
... يَرْفَعِ الله ُالَّذِيْنَ اَامَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُواالْعِلْمِ دَرَجتٍ ...
“... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

Menurut kami, lapar itu mempunyai sepuluh faedah yaitu ;

1. Membersihkan hati, memancarkan bakat dan menembuskan mata hati ;
Sedang kenyang menyebabkan kebodohan, membuat hati buta dan memperbanyak uap di dalam otak yang menyerupai gula sehingga melingkari tambang-tambang pemikiran. Dengan sebab itu, hati menjadi sulit menyalurkan hasil tambang pemikiran dan tangkasnya daya tangkap. Bahkan anak kecil jika banyak makan, niscaya lemah daya ingatnya, hatinya kacau, lambat daya faham dan daya tangkapnya.

Abu Sulaiman Ad Darani berkata, “Haruslah kamu lapar. Sesungguhnya lapar dapat merendahkan nafsu dan menjadikan lembutnya hati serta menimbulkan ilmu laduni (ilmu yang tidak ia cari).

Rasulullah s.a.w. bersabda :
اَحْيَوْا قُلُوْبُكُمْ بِقِلَّةِ الضَّحْكِ وَقِلَّةِ الشَّبْعِ وَطَهِّرُوْهَابِالْجُوْعِ تَصْفُوْ وَتَرِقُّ
Hidupkanlah hatimu dengan sedikit tertawa dan sedikit kenyang, dan sucikanlah dengan lapar, niscaya menjadi jernih dan lembut.

Memang, lapar laksana petir, qana’ah laksana awan dan hikmah laksana hujan.

Rasulullah s.a.w. bersabda :
مَنْ اَجَاعَ بَطْنَهُ عَظُمَتْ فِكْرَتُهُ وَفَظُنَ قَلْبُهُ
Barangsiapa melaparkan perutnya, niscaya besar pemikirannya dan cerdas hatinya.

Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwaatkan oleh Ibnu Majah) :
مَنْ شَبِعَ وَنَامَ قَسَاقَلْبُهُ. ثُمَّ قَالَ لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُالْبَدَانِ الْجُوْعُ
“Barangsiapa kenyang dan tidur, niscaya keras hatinya”. Kemudian beliau bersabda, “Segala sesuatu itu ada zakatnya, sedang zakatnya badan adalah lapar”.

Asy Syibbi berkata, “Saya lapar sehari tidak karena Allah, melainkan karena mengetahui terbukanya pintu hikmah alam hatiku dan pelajaran sama sekali tidak kuketahui sebelumnya”.

Teranglah sudah bahwa yang dimaksudkan dengan ibadah adalah pemikiran yang mengantarkan ke arah ma’rifat dan melihat dengan mata hati mengenai hakekat kebenaran. Penghalangnya adalah kenyang sedang lapar pembuka pintunya. Ma’rifat merupakan salah satu pintu surga, maka sudah sepantasnya jika ma’rifat selalu bersanding lapar. Oleh karena itu, hendaknya engkau selalu lapar untuk mengetuk pintu surga.

Luqman Hakim berkata kepada putranya, “Apabila perut penuh, niscaya pikiran tidur, hikmah menjadi buta dan anggota badan malas beribadah”.

Abu Yazid Al Bustami berkata, “Lapar adalah awan. Apabila hamba lapar, maka hikmah menghujani hatinya”.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad Dailami) :
نُوْرُالْحِكْمَةِ الْجُوْعُ. وَالتَّبَاعُدُمِنَ اللهِ عَزَّوَجَلَّ الشَّبْعُ, وَالْقُرْبَةُ اِلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ حُبُّ الْمَسَاكِيْنِ وَالدُّنُوُّمِنْهُمْ. لاَتَشْبَعُوْا, فَتُطْفِئُوْا نُوْرَالْحِكْمَةِ مِنْ قُلُوْبِكُمْ. وَمَنْ بَاتِ فىِ خِفَّةٍ مِنَ الطَّعَامِ بَاتَ الْحُوْرُحَوْلَهُ حَتَّى يُصْبِحَ
Cahaya hikmah adalah lapar. Menjauhkan diri dari Allah ‘Azza wa Jalla adalah kenyang, dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah mencintai orang miskin dan mendekati mereka. Jauhilah kenyang, sebab hal itu mematikan cahaya hikmah dari hatimu. Barangsiapa bermalam dalam keadaan ringan dari makanan niscaya bidadari menyandinginya sampai pagi.

2. Melembutkan dan membersihkan hati ;
Kelembutan dan bersihnya hati merupakan sarana untuk memperoleh kelezatan munajat meresapnya dzikir. Tidak sedikit dzikir melintas di atas lisan seiring hadirnya, tetapi dengannya hati tidak merasakan lezat dan bekasnya, seolah-olah antara dzikir dengan hatinya terhalang oleh kekasaran hati. Pada suatu saat hati dalam keadaan lembut, maka kesan dzikir semakin besar begitu juga kelezatan munajatnya. Dan semua ini karena kosongnya perut.

Abu Sulaiman Ad Darani berkata, “Semanis-manis ibadah bagiku adalah ketika punggungku bertemu dengan perutku”. Sedang Al Junaid berkata, “Seseorang menjadikan antara ia dengan dadanya keranjang makanan, sedang ia mengharapkan kelezatan munajat”.

Abu Sulaiman berkata, “Apabila hati lapar dan dahaga, niscaya menjadi bersih dan lembut, apabila ia kenyang, maka ia buta dan kasar. Dan bila hati berkesan kelezatan munajat, niscaya ia berkuasa dibalik kemudahan berfikir dan berburu ma’rifat”.

3. Menghancurkan, menghinakan dan menghilangkan kesombongan, kemewahan dan kufur nikmat yang merupakan dasar penganiayaan dan melalaikan Allah ta’ala ;
Nafsu memang tidak dapat hancur dan hina dengan apapun sebagaimana ia dapat hina dengan lapar. Ketika lapar, ia tenang dan khusyu’ kepada Tuhannya dan ia mengetahui kelemahan karena kekuatannya lemah dan sempitnya upaya akibat sesuap makanan yang hilang darinya. Dan menurutnya dunia gelap karena seteguk air yang terlambat untuknya.

Selama manusia tidak memandang kehinaan dan kelemahan hawa nafsunya, niscaya ia tidak dapat melihat kemuliaan dan keperkasaan Tuhannya. Sesungguhnya baginya kebahagiaan adalah apabila ia selalu menyaksikan dirinya dengan mata kehinaan dan kelemahan, dan mendekat diri pada Tuhannya dengan mata kemuliaan, kekuasaan dan keperkasaan. Maka hendaklah ia selalu lapar, membutuhkan Tuhannya dan menyaksikan-Nya dengan cahaya ma’rifat.

Karena itu ketika dunia dan perbendaharaannya ditawarkan kepada rasulullah s.a.w., maka beliau bersabda (diriwayatkan oleh Ahmad dan Turmudzi) :
لاَ, بَلْ اَجُوْعُ يَوْمًا وَاشْبَعُ يَوْمًا. فَاِذَاجُعْتُ, صَبَرْتُ وَتَضَرَّعْتُ. وَاِذَاشَبِعْتُ شَكَرْتُ
Tidak, bahkan aku lapar sehari dan kenyang sehari. Apabila aku lapar, maka aku sabar dan tadharru’ (merendahkan diri). Dan apabila aku kenyang maka aku bersyukur.

Perut dan farji adalah salah satu pintu neraka yang sumbernya adalah kenyang, sedang kehinaan dan kesengsaraan adalah salah satu dari beberapa pintu surga dan sumbernya adalah lapar. Barangsiapa menutup pintu dari pintu-pintu neraka, berarti ia membuka pintu dari beberapa pintu surga, karena keduanya selalu berkawan sebagaimana timur dan barat. Maka dekat dengan salah satunya adalah jauh dari lainnya.

4. Mengingat bencana dan siksa Allah serta tidak mengabaikan orang-orang yang menerima bencana 
Sesungguhnya orang kenyang lupa kepada orang lapar dan lupa kepada lapar. Hamba yang cerdas, tidak hanya menyaksikan bencana dari orang lain, akan tetapi ia juga bencana akhirat, lalu ia membayangkan hausnya semua makhluk di padang kiamat dan laparnya penghuni neraka yang memakan kayu berduri dan pohon zaqqum karena laparnya dan meminum air dingin bercampur nanah.

Maka tidak baik apabila seorang hamba tidak peduli terhadap azab akhirat dan kepedihan-kepedihannya, karena hal itu dapat membangkitkan rasa takut. Barangsiapa tidak pernah merasakan kehinaan, sakit, kekurangan dan bencana, niscaya lupa azan akhirat dan tidak membayangkannya serta tidak mengendalikan nafsunya.

Sebaiknya seorang hamba selalu merasa dalam lingkaran cobaan atau menyaksikan cobaan orang lain, sedang cobaan yang paling utama untuk dirasakan adalah lapar. Karena lapar mengandung banyak faedah disamping mengingatkan azab akhirat. Dan lapar merupakan salah satu keistimewaan cobaan untuk para nabi, para wali dan orang yang menyerupai mereka lalu orang yang lebih menyerupai mereka.

Oleh karena itu, ketika nabi Yusuf ditanya, “Mengapa kamu lapar, padahal pada genggaman tanganmu semua perbendaharaan bumi ?”. Nabi Yusuf menjawab, “Aku takut kenyang lalu aku lupa kepada orang yang lapar”. Dengan demikian, mengingat orang yang lapar merupakan salah satu faedah lapar. Karena lapar mendorong kepada kasih sayang, memberi makanan dan belas kasih terhadap makhluk Allah ‘Azza wa Jalla. Sedang orang yang kenyang dalam kelalaian dari kepedulian orang yang lapar.

5. Menghancurkan semua nafsu syahwat dan mengendalikan hawa nafsu ;
Ini paling besarnya faedah. Sesungguhnya sumber segala maksiat adalah nafsu syahwat dan kekuatan, sedangkan kekuatan dan nafsu syahwat tidak lepas dari makanan. Maka menyedikitkannya dapat melemahkan keduanya.

Sebenarnya segala kebahagiaan itu terletak pada setiap orang yang dapat menguasai hawa nafsu syahwatnya. Dan celakalah orang yang dirinya dikuasai nafsu syahwatnya. Sebagaimana kamu tidak dapat menguasai binatang mogok kecuali dengan melemahkannya dengan lapar. Apabila binatang itu kenyang, maka ia cekatan larinya, demikian pula hawa nafsu.

Sebagian hukama’ ditanya, “Bagaimana kepedulianmu seiring lanjut usiamu. Kamu tidak mengurus badanmu hingga telah menjadi rusak ?”. Orang itu menjawab, “Sesungguhnya badan cepat gembira lagi keji saya tidak patuh padamu kemudian menempatkanku pada kedudukan yang sulit. Dengan demikian, aku membawa badanku kepada kesulitan-kesulitan itu lebih aku cintai daripada ia membawaku kepada kekejian”.

Dza Nun Al Mishri berkata, “Sekali-kali tidaklah saya kenyang melainkan saya berbuat maksiat atau berkehendak berbuatnya”.

‘Aisyah r.anha berkata, “Bid’ah yang pertama-tama terjadi sepeninggal rasulullah s.a.w. adalah kenyang. Sesungguhnya kaum apabila kenyang perutnya, niscaya menjadi jiwa mereka memperturutkan duniawi. Dan ini bukan satu-satunya faedah, melainkan beberapa perbendaharaan faedah. Oleh karena itu dikatakan bahwa ‘Lapar merupakan perbendaharaan dari beberapa perbendaharaan Allah’”.

Yang pertama-tama tercegah dengan lapar adalah syahwat farji dan syahwat bicara. Sebab orang lapar tidak akan tergerak kepada syahwat yang berlebihan, dengan demikian ia selamat dari bencana-bencana lisan sebagaimana mengumpat, berkata keji, berdusta, adu domba dan lainnya. Maka lapar mencegah dari semua itu. Apabila orang itu kenyang, niscaya ia memerlukan buah-buahan, lalu memakannya demi kehormatannya. Dan manusia tidak akan mencampakkan dirinya ke dalam neraka kecuali oleh ladang lidahnya.

Adapun syahwat farji amat jelas bencananya, Apabila seorang kenyang, maka ia tidak dapat mengendalikan farjinya meskipun takwa mencegahnya, apabila mengendalikan matanya. Akibatnya mata berzina, farji berzina. Kalaupun ia dapat menguasai mata dengan memejamkannya, maka ia tidak dapat menguasai fikirannya, lalu terlintas olehnya macam-macam kesesatan jalan fikirannya dan bisikan suara hatinya akibat keinginan nafsunya berupa sesuatu yang mengganggu munajatnya. Bahkan acapkali demikian ini terlintas dipertengahan shalatnya.

Sengaja kami sebutkan bencana lisan dan farji sebagai contoh. Kalau tidak, maka maksiat tujuh anggota badan itu penyebabnya adalah kekuatan yang bersumber dari kenyang.

Ahli hikmah berkata, “Setiap murid yang sabar atas tipu daya dan secuil roti dalam setahun, dimana dengannya ia tidak mencampurkan keinginannya serta makan setengah perutnya, niscaya Allah membebaskan ia dari beban wanita”.

6. Mencegah tidur ;
Bahwasanya barangsiapa banyak makan minumnya niscaya banyak tidurnya. Sebagian syaikh ketika makanan datang berkata, “Janganlah banyak makan, karena menyebabkan banyak minum, lalu banyak tidur yang akhirnya kamu akan sangat merugi”.

Tujuh puluh orang shiddiq (jujur) sepakat bahwa banyak tidur itu akibatnya dari banyak minum, sedangkan dalam banyak tidur terkandung sia-sianya, hilangnya shalat tahajjud, dungunya tabiat dan kerasnya hati, padahal umur merupakan mutiara yang paling indah dan modal pokok bagi hamba yang berdagang. Dan tidur adalah kematian. Maka perbanyak tidur dapat mengurangi umur.

Keutamaan shalat tahajjud sangat jelas, dan dalam tidur berarti hilangnya keutamaan tersebut. Manakala tidur telah kuat, lantas suatu ketika ia tahajjud, niscaya tidak merasakan manisnya ibadah.

Apabila orang bujangan tidur dalam keadaan kenyang, lalu bermimpi keluar mani, maka yang demikian itu memperbanyaknya untuk tahajjud karena mewajibkan mandi. Kadang-kadang dengan air dingin terasa sakit, maka hilang lezatnya ibadah. Atau kadang-kadang ia memerlukan kamar mandi, karena ia tidak mampu di malam hari, dengan demikian ia kehilangan shalat witir dan telah lambat dari shalat tahajjud. Kemudian ia memerlukan ongkos kamar mandi dan acapkali matanya jatuh kepada aurat ketika memasukinya. Sesungguhnya di dalam kamar mandi terdapat banyak bahaya. Dan semua itu karena pengaruh kenyang.

Abu Sulaiman Ad Darani berkata, “Bermimpi keluar mani merupakan siksaan”. Menurutnya, keluar mani dapat mencegah banyak ibadah karena sulitnya mandi pada setiap saat. Dengan demikian tidur merupakan sumber bencana, sedang kenyang mendorong tidur dan lapar memutuskannya.

7. Mempermudah kerajinan beribadah ;
Makan dapat menghalangi beberapa ibadah, karena waktu untuk membeli makanan dan memasaknya, memerlukan waktu untuk mencuci tangan dan mencukil gigi dan memerlukan waktu untuk keluar masuk ke kamar mandi karena banyak minumnya. Padahal andaikan waktu tersebut dipergunakan untuk berdzikir, munajat atau ibadah lainnya, niscaya memperoleh keuntungan yang banyak.

As Sirri berkata, “Saya melihat Ali Jurjani menelan tepung. Lalu saya bertanya ; ‘Apa yang mendorongmu berbuat demikian ?’. Ali Jurjani menjawab bahwa waktu antara mengunyah dan menelan, ternyata cukup untuk bertasbih tujuh puluh kali, maka saya tidak pernah mengunyah roti semenjak empat puluh tahun yang lalu”. Maka perhatikanlah, bagaimana ia menyayangi waktunya hingga ia tidak menyia-nyiakan waktunya untuk mengunyah.

Setiap nafas merupakan mutiara indah yang tak ternilai harganya. Maka sebaiknya seseorang mempergunakan waktunya untuk memenuhi perbendaharaan yang abadi di akhirat, yaitu dengan mempergunakan berdzikir dan mengabdikan kepada Allah.

Ibadah yang dikategorikan sulit dilakukan karena banyak makan adalah selalu dalam keadaan suci dan selalu dalam masjid. Karena makan memerlukan waktu untuk keluar disebabkan banyak minum dan menuangkannya.

Dan juga masih dalam kategori ibadah yang sulit dilaksanakan akibat banyak makan adalah puasa. Karena puasa itu mudah bagi setiap orang yang membiasakan lapar. Andaikan ia puasa, selalu i’tikaf dan suci serta memanfaatkan waktu yang dipakai makan dan hal yang menyertainya untuk beribadah, niscaya meraih keuntungan yang besar. Sesungguhnya yang demikian ini dipandang remeh oleh orang-orang yang tidak mengetahui keagungan agama, sebaliknya mereka hanyut dalam kehidupan dunia dan merasa tenang dengannya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah s.w.t. dalam surah Ar Rum 7 :
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًامِّنَ الْحَيَواةِالدُّنْيَا, وَهُمْ عَنِ اْلاَاخِرَةِ هُمْ غفِلُوْنَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.

Abu Sulaiman Ad Darani menunjukkan enam macam bencana kenyang dengan perkataannya, “Barangsiapa kenyang, niscaya enam macam bencana menimpanya yaitu ; hilangnya kemanisan munajatnya, sukarnya menguasai hikmah, hilangnya kasih sayang terhadap sesama makhluk karena menduga bahwa mereka telah kenyang, beratnya beribadah dan bertambahnya nafsu syahwat. Sesungguhnya semua orang mukmin berada di seputar masjid, sedang orang kenyang berada di seputar tempat pembuangan kotoran.

8. Menyehatkan badan dan mencegah penyakit ;
Telah kita maklumi bahwa penyakit timbul karena banyaknya makan dan hasil campuran beberapa makanan dalam perut dan usus, sedang penyakit dapat menghalangi ibadah, mengganggu hati, memberatkan dzikir dan tafakkur, menyempitkan penghidupan, memerlukan bekam serta obat dan dokter, dan semua itu memerlukan ongkos. Semua penyakit juga tidak lepas dari manusia setelah ia lelah karena maksiat dan tercebur dalam kekejaman hawa nafsu. Dan di dalam lapar terdapat pencegah semua itu.

Dikisahkan bahwa khalifah Harun Ar Rasyid mengumpulkan empat dokter yaitu dokter India, dokter Rumawi, dokter Iraq dan dokter Sawadi. Lalu khalifah meminta agar merekka menerangkan obat yang tidak ada efek sampingnya. Maka masing-masing mereka mengeluarkan pendapatnya ;
-  Menurut dokter India, obat yang tidak mengandung efek samping adalah ‘ihlilij hitam’.
-  Menurut dokter Iraq, adalah biji pohon ‘rasyad putih’.
-  Menurut dokter Rumawi, adalah ‘air panas’.
-  Dokter Sawadi, dokter yang paling ahli diantara mereka berkata, “Ihlilij dapat menyumbat perut, efek samping biji rasyad adalah menggelincirkan perut, sedang air panas dapat melunakkan perut’. Mereka bertanya, “Lalu apa menurut pendapatmu ?”. Kemudian ia menjawab, “Obat yang tidak mengandung efek samping adalah menghindari makanan sehingga menginginkannya dan mengangkat tangan ketika masih menginginkannya”. Serempak mereka berkata, “Kamu benar”.

Dokter ahli kitab mengatakan hadits rasulullah s.a.w. kepada ahli filsafat yang berbunyi :
ثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشُّرْبِ وَثُلُثٌ لِلنَّفْسِ
Sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk nafas.

Ahli filsafat kagum seraya ia berkata, “Saya belum pernah mendengar perkataan tentang sedikitnya makanan yang lebih berhikmah daripada ini dan sesungguhnya itu perkataan adalah perkataan yang mengandung hikmah.”.

Rasulullah s.a.w. bersabda :
اَلْبَطْنَةُ اَصْلُ الدَّاءِ وَالْحِمْيَةُ اَصْلُ الدَّوَاءِ وَعَوِّدُوْا كُلَّ جِسْمٍ مَااعْتَادَ
Perut adalah ladang penyakit dan menjaganya adalah pokok obat. Maka biasakanlah setiap tubuhmu itu menurut kebiasaannya.

Para ahli filsafat lebih kagum terhadap hadits ini.

Ibnu Salim berkata, “Barangsiapa makan roti dan gandum saja tetapi dengan sopan santun, niscaya ia tidak akan sakit kecuali sakit kematian”. Lalu ditanya, “Apa sopan santunnya ?”. Ia menjawab, “Makanlah ketika lapar dan angkatlah tanganmu sebelum kenyang”.

Sebagian dokter istimewa mencela banyak makan dengan perkataannya, “Sesungguhnya sesuatu yang paling bermanfaat untuk dimasukkan ke dalam perut seseorang adalah buah delima, sedang yang paling berbahaya adalah garam. Dan menyedikitkan garam lebih baik daripada memperbanyak buah delima”.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Ath Thabrani dan Abu Nu’aim) :
Puasalah, niscaya kamu sehat.                                                                                      صُوْمُوْاتَصِحُّوْا

Karena di dalam puasa, lapar dan menyedikitkan makan terdapat kesehatan tubuh dan terhindar dari berbagai penyakit serta sehatnya hati dari penyakit angkara murka, kesombongan dan lain-lain.

9. Meringankan biaya hidup ;
Barangsiapa membiasakan sedikit makan, maka cukuplah baginya sedikit harta, sedang orang yang membiasakan kenyang maka perutnya menjadi beban hutang yang selalu menyertainya, dan sambil memegang lehernya ia berkata, “Apa yang kamu makan hari ini ?”. Kemudian ia membutuhkan pekerjaan, lalu bekerjalah ia dalam jalan yang haram dengan tanpa merasa durhaka kepada Allah atau di jalan yang halal tetapi ia merasa hina dalam lelah. Dan manakala ia membelalakkan mata kerakusannya kepada manusia, berarti ia berada pada puncak kehinaan dan kerendahan. Dan orang mukminlah yang ringan biaya hidupnya.

Sebagian ahli hikmah berkata, “Bahwasanya penuhilah kebutuhanku yang terbiasa dengan meninggalkannya, maka hal itu membahagiakan hatiku”. Dan yang lain berkata, “Apabila saya cenderung mencari pinjaman uang kepada orang lain karena dorongan syahwatku atau untuk tambahan, maka saya pinjam kepada diriku lalu saya tinggalkan syahwat, maka nafsu syahwat merupakan sebaik-baik hutang bagiku”.

Ibrahim bin Adham bertanya kepada teman-temannya tentang harga makanan, lalu dijawab, “Makanan itu mahal harganya”. Lalu Ibrahim bin Adham berkata, “Murahkanlah ia dengan meninggalkannya”.

Sahl r.a. berkata, “Orang yang memperbanyak makan itu dicela dalam tiga hal yaitu ; bila ia termasuk ahli ibadah maka malas, bila ia pekerja maka ia tidak selamat dari bencana dan bila ia memperoleh suatu yang melimpah maka ia tidak mendermakan demi Allah”.

Secara keseluruhan yang menyebabkan manusia binasa adalah kerakusannya kepada dunia, dan kerakusan mereka terhadap dunia disebabkan perut dan farji, sedang syahwat farji merupakan akibat syahwat perut. Maka hanya menyedikitkan makanlah yang dapat memusnahkan semua keadaan ini. Sedang keadaan-keadaan itu merupakan beberapa pintu neraka, dan pemotongannya itu dapat membukakan pintu surga.

Sebagaimana sabda rasulullah s.a.w. :
Terus-meneruslah mengetuk pintu surga dengan lapar.                                    اَدِيْمُوْا قَرْعَ بَابِ الْجَنَّةِ بِالْجُوْعِ

Barangsiapa merasa cukup dengan sepotong roti, niscaya juga merasa cukup terhadap beberapa syahwat dan ia menjadi merdeka, tidak membutuhkan uluran manusia, istirahat dari kepayahan dan menyendiri untuk mengabdi kepada Allah serta demi perniagaan akhirat. Dengan demikian ia termasuk orang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah. Sedang hal itu tidak bisa melalaikan mereka karena tidak membutuhkannya dan menerima adanya. Adapun orang yang membutuhkannya, pasti ia terlalaikan.

10. Memungkinkah untuk mengutamakan orang lain dan mendermakan kelebihan makanan kepada anak yatim dan fakir miskin. Dan kelak di hari kiamat dalam naungan sedekah tersebut ;
Segala sesuatu yang termakan gudangnya adalah kakus, sedang apa yang disedekahkan gudangnya adalah anugerah Allah. Tidak ada harta seorang hamba yang ia sedekahkan melainkan akan kekal. Atau ia makan maka hancur, atau ia pakai maka akan hancur. Dan sedekah dengan kelebihan makanan itu lebih utama daripada makan banyak dan kenyang.

Al Hasan r.a. apabila membaca ayat 72 surah Al Ahzab yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh”.
Maka beliau berkata, “Allah mengemukakan amanat kepada langit tujuh dengan jalan-jalannya yang dihiasinya dengan aneka bintang dan beberapa malaikat penjaga arsy yang agung. Allah berfirman, “Apakah kamu mau memikul amanat dengan apa yang ada di dalamnya ?”. Langit bertanya, “Apakah yang ada di dalam amanat itu ?”. Allah berfirman, “Kalau kamu berbuat baik maka kamu mendapat pahala, sebaliknya bila kamu berbuat jelek maka kamu akan disiksa”. Maka langit berkata, “Tidak”.

Kemudian Allah mengemukakan amanat itu kepada bumi dan bumi enggan, lalu Allah mengemukakan amat kepada gunung yang menjulang tinggi keras lagi sulit didaki. Allah berfirman, “Apakah kamu mau memikul amanat dengan apa yang di dalamnya ?”. Gunung bertanya, “Apakah yang ada di dalamnya ?”. Lalu Allah menyebutkan, “Balasan dan siksa”. Dengan lantang ia (gunung) berkata, “Tidak”. Kemudian Allah menawarkan amanat kepada manusia, dan dipikullah amanat itu.

Sesungguhnya manusia itu zhalim kepada dirinya lagi bodoh terhadap perintah Tuhannya. Demi Allah kami melihat mereka membeli amanat dengan hartanya dan mereka memperoleh uang beribu-ribu, lantas apa yang mereka perbuat dengan uang beribu-ribu tersebut ? Dengannya, mereka memperluas rumah mereka dan menyempitkan kuburan mereka, mereka menggemukkan kuda-kudanya dan menguruskan agamanya, dan mereka melelahkan dirinya pada pagi dan sore ke pintu penguasa untuk menghadapi bencana, sedang mereka dari Allah dalam keadaan sehat wal afiat.

Seorang dari mereka berkata, “Juallah tanah itu kepadaku dan kamu akan saya tambah sekian-sekian”. Lantas ia bersandar atas sebelah kirinya dan makan dari bukan hartanya, pembicaraannya penghinaan dan hartanya haram dan ketika ia tersiksa oleh berat perutnya dan ditimpa kekenyangan, ia berkata, “Wahai teman, bawalah padaku sesuatu yang dapat mencernakan makananku”. Temannya berkata, “Wahai orang tolol, apakah makananmu yang ingin kau cernakan ? Padahal agamamu yang kau cerna. Mana orang fakir, mana wanita janda, mana orang miskin dan mana anak yatim yang kamu telah diperintahkan Allah untuk memeliharanya ?”. Ini merupakan isyarat tentang faedah memberikan kelebihan makanan kepada fakir miskin agar dengannya ia menyimpan pahala. Dan yang demikian ini lebih baik baginya daripada makanannya, sehingga dosa berlipat ganda atasnya.

Dan rasulullah s.a.w. pernah memandang seorang laki-laki yang gemuk perutnya dan menunjukkan perutnya dengan jari beliau seraya bersabda (diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi) :
Jikalau ini pada selain ini, niscaya itu lebih baik bagimu.                              لَوْكَانَ هذَا فِى غَيْرِهذَا لَكَانَ خَيْرًالَكَ

Maksudnya jikalau kau hidangkannya untuk akhiratmu dan dengannya orang lain kamu utamakan, niscaya itu lebih baik bagimu.

Al Hasan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya saya menjumpai kaum dimana seorang laki-laki dari mereka berjalan-jalan sedang di sisinya ada makanan yang cukup baginya, jika ia ingin, ia memakannya lalu berkata ; Demi Allah, tidaklah semua ini kami gunakan untuk perutku, tetapi sebagiannya kami gunakan untuk Allah”.

Inilah sepuluh faedah lapar yang dari setiap faedah mempunyai beberapa cabang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak ada penghabisannya.

Dengan demikian, maka lapar merupakan simpanan agung bagi faedah-faedah akhirat dan karena ini, sebagian orang salaf berkata, “Lapar adalah kunci akhirat dan pintu zuhud sedang kenyang merupakan pintu dunia dan pintu kegemaran”. Penjelasan ini telah tersebut dalam beberapa hadits.

Dengan mengetahui uraian faedah lapar secara terperinci, dapat diketahui arti-arti hadits dengan pengertian ilmu dan mata hati. Apabila kamu tidak mengetahuinya dan kamu membenarkan keutamaan lapar, maka kamu memiliki tingkat muqallid (pengikut) di dalam iman.

TATA CARA BERLATIH MEMUSNAHKAN SYAHWAT


Ketahuilah, bahwasanya tugas murid terhadap perut dan makanannya itu ada empat. Tugas utama ialah tidak makan kecuali yang halal. Karena ibadah dengan makan yang haram laksanakan membangun di atas gelombang lautan.

Dengan demikian tinggal tiga tugas, yaitu ; menentukan banyak dan sedikitnya makanan, menentukan waktu cepat atau lambatnya dan menentukan jenis makanan diinginkan dan meninggalkannya. Dan masing-masing diuraikan sebagai berikut ;

1. Menyediakan makan
Menyedikitkan makan memerlukan latihan yang bertahap. Barangsiapa biasa makan banyak kemudian pindah total ke makan yang sedikit, niscaya ia tidak mampu menanggung lemahnya, dan amat menyulitkan dirinya. Maka seyogyanya bertahap sedikit demi sedikit dalam melakukannya dengan mengurangi sedikit demi sedikit dari makanannya yang telah terbiasa.

Kalau ia makan dua roti setiap hari umpamanya, kemudian ia menginginkan makan satu roti setiap hari, hendaknya mengurangi satu bagian dari dua puluh delapan bagian atau satu bagian dari tiga puluh bagian, lalu ia akan terbiasa makan roti satu dalam masa setelah satu bulan dengan tidak merasa bahaya dengannya.

Apabila ia berkehendak melakukannya dengan timbangan atas dengan cara persaksian mata, hendaknya meninggalkan satu suapan setiap hari lalu menguranginya satu suap dari hari kemarin. Dengan demikian ia akan memperoleh empat derajat yaitu ;

a. Derajat yang paling utama ; Membiasakan diri makan sekedar untuk menguatkan urat-uratnya yang tanpa dengannya ia tidak kuat hidup. Dan demikian inilah kebiasaan orang-orang shiddiq dan merupakan kebiasaan Sahl At Tasturi r.a., terbukti dengan perkataannya, “Sesungguhnya Allah memperbudak makhluk-Nya dengan tiga perkara yaitu dengan hidup, akal dan kekuatan”.

Andaikan hamba takut kepada dua perkara (hidup dan akal), niscaya ia akan makan berbuka jika ia puasa, dan memaksa diri mencari harta bila ia fakir miskin. Kalau hamba hanya takut kepada kekuatan saja, Sahl At Tasturi berkata, “Sebaiknya ia tidak memperdulikan meskipun badannya lemah sehingga melakukan shalat dengan duduk, karena shalatnya dengan duduk beserta lemahnya lapar itu lebih baik shalatnya”.

Sahl At Tasturi ditanya tentang permulaan dan sesuatu yang dimakannya. Ia menjawab, “Makananku dalam setiap tahun adalah tiga dirham; dengan satu dirham saya membeli sirup, dengan satu dirham saya membeli tepung beras dan dengan satu dirham saya membeli minyak samin. Ketiganya saya campur dan saya bagi menjadi tiga ratus enam puluh butir, lalu saya ambil satu butir tiap malam untuk berbuka”. Kemudian ia ditanya, “Kapan waktu untuk makan ?”. Sahl At Tasturi menjawab, “Tanpa batas dan tanpa penentuan waktu”.

Diceritakan dari pendeta bahwa mereka kadang-kadang membawa dirinya kepada makan sekedar satu dirham.

b. Derajat kedua ; Membiasakan diri berlatih makan setengah mud yaitu sepotong roti dalam sehari semalam dan menyerupai sepertiga perut manusia pada umumnya sebagaimana disebutkan oleh rasulullah s.a.w. Demikian ini juga kebiasaan Umar r.a., karena ia makan tujuh suap atau sembilan suap.

c. Derajat ketiga ; Membiasakan diri makan satu mud yaitu dua roti dan setengah. Ini melebihi satu pertiga perut bahkan hampir sampai dua pertiga perut dan tinggal sepertiga perut untuk minum sedang untuk dzikir tidak tersisa sedikitpun. Pada sebagian hadits menggunakan kata, “Sepertiga untuk dzikir”. Dan ini sebagai ganti dari kata, “Sepertiga untuk nafas”.

d. Derajat keempat ; Melebihi satu mud. Dan ini merupakan pemborosan dan sekaligus bertentangan dengan firman Allah dalam surah Al Araf 31 :
Janganlah kamu berlebih-lebihan.                                                                                     ... لاَتُسْرِفُوْا ...

Sesungguhnya kadar keperluan kepada makanan itu berbeda-beda menurut umur, orang dan pekerjaan yang dikerjakannya.

Disini ada jalan yang kelima dn tidak ada derajatnya bahkan tempat kesalahan yaitu makan apabila benar-benar lapar dan menggenggamkan tangannya padahal masih menginginkannya.

Biasanya orang yang tidak dapat menentukan satu atau dua potong roti, maka tidak baginya batas kelaparan yang sebenarnya karena ia diragukan oleh nafsu syahwat yang dusta.

Dan telah diterangkan bahwa lapar yang benar itu mempunyai tanda-tanda. Salah satunya hawa nafsu tidak meminta lauk-pauk bersama roti, tetapi ia hanya ingin roti saja. Apabila nafsu meminta roti tertentu atau lauk-pauk, maka itu bukan lapar yang sebenarnya.

Juga termasuk tanda lapar yang sebenarnya ialah apabila hamba meludah, maka lalat tidak akan menghinggapinya karena tidak terdapat minyak atau lemak padanya dan hal ini menunjukkan kosongnya perut. Mengetahui yang demikian ini sangat sulit.

Yang benar, murid harus menentukan untuknya kadar makanan yang tidak melemahkan semangat ibadah yang dihadapinya, dan apabila sudah mencapai batas itu, hendaknya berhenti meskipun masih menginginkannya.

Pada umumnya, menentukan makanan itu tidak mungkin, karena makanan itu berbeda menurut kondisi dan kepribadiannya.

Memang benar, makanan sekelompok sahabat itu satu sha’ gandum semua setiap hari Jum’at (seminggu). Apabila mereka makan kurma, maka mereka memakannya satu setengah sha’ agar memperoleh kekuatan. Satu sha’ gandum adalah empat mud. Dengan demikian, makanan mereka setiap hari rata setengah mud. Inilah yang kami maksudkan bahwa makanan mereka sepertiga perut. Dan pada waktu makan kurma dibutuhkan tambahan setengah sha’ karena dibuangnya bijinya.

Abu Dzarr Al Ghaffari r.a. berkata, “Makananku setiap Jum’at (seminggu) satu sha’ gandum pada masa rasulullah s.a.w. Demi Allah, saya tidak menambahnya sedikitpun sehinggga saya berjumpa dengan beliau. Karena saya sungguh telah mendengar rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Ahmad) :
اَقْرَبُكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًايَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاَحَبُّكُمْ اِلَيَّ مَنْ مَاتَ عَلَى مَاهُوَعَلَيْهِ الْيَوْمَ
Orang yang kedudukannya paling dekat denganku diantaraku kelak di hari kiamat dan yang paling aku cintai adalah orang yang meninggal dunia dalam keadaan seperti hari ini.

Abu Dzar r.a., ketika tidak sependapat dengan teman-temannya berkata, “Kamu telah mengubah sunnah. Untukmu gandum kau ayak padahal dahulu tidak, dan kamu membikin roti dari tepung yang dihaluskan, kamu kumpulkan dua lauk-pauk, dihidangkan kepadamu bermacam-macam makanan dan diantara kamu ada seorang yang waktu pagi memakai pakaian yang lain. Dengan ini kamu tidak seperti pada masa rasulullah s.a.w. Dan makan para sahabat yang bertempat tinggal di serambi masjid adalah satu mud kurma untuk dua orang setiap hari, padahal satu mud sama dengan satu sepertiga kali belum lagi dibuang isinya”.

Al Hasan berkata, “Orang mukmin itu seperti kambing kecil yang cukup baginya segenggam roti dan sekepal tepung gandum serta setengah air, sedangkan orang munafik seperti binatang buas yang ganas dan menelan sekuat-kuatnya. Ia tidak pernah melihat perutnya demi tetangganya dan tidak mengutamakan saudaranya dengan kelebihan makanannya”.

Sahl At Tasturi berkata, “Andaikan dunia ini darah yang segar, niscaya halal bagi orang memakannya, karena orang mukmin itu makan ketika terpaksa dengan kadar secukupnya”.

2. Menentukan waktu makan dan jaraknya
Dalam tugas yang kedua ini terdapat tiga derajat yaitu ;

a. Derajat tertinggi ; Tidak makan selama tiga hari atau lebih. Diantara murid yang membiasakan lapar dan tidak menentukan kadar makanan sehingga sebagian mereka biasa lapar selama tiga puluh hari atau empat puluh hari. Ada beberapa ‘ulama yang mencapai tingkat derajat ini antara lain Muhammad bin Amir Al Qarni, Abdurrahman bin Ibrahim, Ibrahim At Tamimi, Hajjaj bin Furafishah, Hafh Al Abin Al Mushaisi, Muslim bin Said, Zuhair, Sulaiman Al Khawwash, Shal bin Abdullah At Tasturi dan Ibrahim bin Ahmad Al Khawaash. Sedang Abu Bakar As Shiddiq r.a. tidak makan (lapar) selama enam hari, begitu juga Abdullah bin Az Zubair dan Abul Jauza’ teman Ibnu Abbas lapar selama tujuh hari.

Dikisahkan bahwa Sufyan Ats Tsauri dan Ibrahim bin Adham, keduanya lapar tiga hari. Semua itu mereka lakukan untuk memperoleh pertolongan menuju jalan akhirat dengan lapar.

Sebagian ‘ulama berkata, “Barangsiapa lapar karena Allah selama empat puluh hari, niscaya tampak padanya kekuasaan dari alam malakut, artinya dibukakan baginya sebagian rahasia-rahasia ke-Tuhanan”.

Dikisahkan bahwa sebagian golongan sufi berjalan-jalan dan bertemu dengan pendeta, lalu mereka bertukar fikiran mengenai keadaannya, dan mereka menginginkan pendeta itu masuk Islam dan meninggalkan tipuan yang ia pegang selama ini. Mereka berbicara banyak dengan pendeta itu hingga pendeta itu berkata, “Bahwasanya nabi Isa pernah lapar selama empat puluh hari dan sesungguhnya demikian ini tidak akan terjadi kecuali pada seorang nabi atau shiddiq”. Lalu mereka berkata, “Kalau saya lapar selama lima puluh hari, bagaimana kalau kamu meninggalkan apa yang kamu pegangi selama ini dan kamu masuk ke dalam agama Islam dan saya yakin bahwa kamu telah mengerti bahwa Islam itu benar sedang kamu dalam agama yang bathil ?”. Pendeta itu menjawab, “Ya”. Maka orang sufi itu duduk dan tidak meninggalkan tempat kecuali pada tempat yang dilihat pendeta itu sehingga diketahui bahwa orang sufi itu selama lima puluh hari. Kemudian sufi berkata, “Saya sempurnakan sampai enam puluh hari”. Maka ia lapar selama enam puluh hari. Pendeta itu mengaguminya dan berkata, “Tidaklah saya menduga bahwa seseorang dapat melampaui Al Masih”. Seketika ia menyatakan masuk Islam.

Lapar yang seperti ini adalah derajat yang agung dan amat sedikit orang yang dapat meraihnya kecuali yang dibuka hijabnya dan menekuni ibadahnya serta memutuskan tabiat dan adat kebiasaan manusia. Dan ia menyempurnakan dirinya dengan kelezatannya dan merupakan rasa lapar dan kebutuhannya.

b. Derajat kedua ; Lapar dua hari sampai tiga hari. Derajat ini tidak keluar dari adat kebiasaan tetapi hampir mendekati keluar dari adat, dan tidak akan dapat mencapainya kecuali dengan ketekunan dan kesungguhan.

c. Derajat ketiga ; Membatasi sehari semalam dengan sekalian makan. Derajat yang paling rendah. Sedang melampaui derajat ini merupakan pemborong dan tidak henti-hentinya kenyang, sehingga ia tidak mempunyai keadaan lapar. Demikian ini adalah perbuatan orang-orang yang berkehidupan mewah. Dan perbuatan ini jauh dari sunnah rasulullah s.a.w.

Abu Said Al Khudri r.a. telah meriwayatkan bahwa rasulullah s.a.w. apabila makan siang, beliau tidak makan malam; sebaliknya apabila makan di waktu malam, beliau tidak makan siang. Dan orang salaf sehari semalam makan satu kali.

Rasulullah s.a.w. bersabda kepada ‘Aisyah r.anha (diriwayatkan oleh An Nasa’i) :
اِيَّاكَ وَالسَّرَفَ فَاِنَّ اَكْلَتَيْنِ فِى يَوْمٍ مِنَ السَّرَفِ وَاَكْلَةٌ وَاحِدَةٌ فِى كُلِّ يَوْمَيْنِ اِقْتَارٌ وَاَكْلَةٌ فِى كُلِّ يَوْمٍ قَوَمٌ بَيْنَ ذَالِكَ
Jauhilah berlebih-lebihan. Sesungguhnya dua kali makan dalam sehari-semalam adalah termasuk berlebih-lebihan, sekali makan malam setiap dua hari adalah kikir sedang sekali makan setiap hari tiang kokoh diantara keduanya.

Barangsiapa yang menentukan sehari dengan sekali makan, maka disunnahkan makan diwaktu sahur sebelum terbitnya fajar yakni setelah shalat tahajjud dan sebelum shubuh agar ia lapar dengan hasil puasa di siang hari dan lapar di malam hari untuk melakukan shalat, merdekanya hati karena kosongnya perut, lembutnya pemikiran dan terkumpulnya cita-cita serta tenangnya jiwa.

Dalam hdits ‘Ashim bin Khulaib dari ayahnya bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w. tidak pernah berdiri (melakukan shalat) seperti berdirimu ini, dan kalau beliau berdiri, niscaya beliau berdiri sehingga kakinya bengkak. Dan beliau tidak pernah melakukan wishal (menyambung puasa dengan hari berikutnya tanpa berbuka malam harinya) seperti wishalmu ini, hanya saja beliau mengakhirkan berbukanya sampai waktu sahur”. Dan ‘Aisyah r.anha berkata, “Rasulullah s.a.w. wishal sampai waktu sahur”.

Apabila hati seorang berpuasa menoleh kepada makanan setelah maghrib sehingga kekhusyu’annya shalat tahajjudnya terganggu, maka akan lebih utama apabila ia membagi makanannya menjadi dua bagian. Kalau makan itu roti umpamanya, hendaknya makan satu roti di waktu berbuka dan satu roti pada waktu sahur agar jiwanya tenang, badannya ringan di waktu tahajjud dan tidak terasa lapar di siang hari karena makan sahur. Dengan roti yang pertama ia kuat bertahajjud dan dengan roti yang kedua ia dapat berpuasa dengan tenang.

Barangsiapa yang kebiasaannya puasa sehari dan berbuka sehari, sebaiknya pada setiap hari berikutnya (hari ia tidak puasa) makan di waktu dzuhur dan waktu sahur.

Inilah tata cara mengatur waktu dan jarak antara makan.

3.Menentukan macam makanan dan meninggalkan lauk-pauk
Makanan yang paling tinggi adalah inti sari gandum, jika itu masih diayak, maka itu adalah puncak kemewahan. Dan makan yang sedang adalah gandum yang diayak, sedang paling rendahnya makan gandum tanpa diayak.

Paling tingginya lauk-pauk adalah daging dan manisan, dan lauk-pauk yang sedang adalah makan yang dicampur dengan minyak tanpa daging, sedang lauk-pauk yang paling rendah adalah garam dan cuka.

Kebiasaan orang yang menempuh jalan akhirat adalah selalu mencegah lauk-pauk bahkan mencegah dari segala keinginan nafsu. Karena setiap enak itu pasti diinginkan manusia, dan memakannya menuntut kesombongan pada jiwanya, kekasaran pada hatinya, dan kejinakannya terhadap kelezatan-kelezatan dunia sehingga ia menyukainya, takut mati dan takut bertemu Allah. Dunia menjadi surganya dan mati menjadi penjara baginya.

Apabila ia mencegah dirinya dari nafsu syahwatnya, menyempitkannya dan mencegah dari kelezatannya sehingga dunia terasa penjara dan sempit baginya, lalu ia ingin terlepas darinya, maka mati adalah pelepas darinya.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Laparkanlah dirimu untuk pesta surga firdaus. Sesungguhnya keinginan terhadap makanan itu menurut kadar melaparkan jiwa”.

Semua bencana-bencana kenyang yang telah disebutkan itu berlaku untuk semua nafsu syahwat dan memperoleh kelezatan-kelezatannya. Karena itu, amat besar pahala menghindari keinginan terhadap hal-hal yang mubah dan besar bahaya akibat memperolehnya sehingga rasulullah s.a.w bersabda :
Sejelek-jelek ummatku adalah orang-orang yang makan inti sari gandum.       شِرَارُاُمَّتِى الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ مُخَّ الْحِنْطَةِ

Memang benar memakannya tidak diharamkan, tetapi mubah dengan pengertian bahwa barangsiapa memakannya dua kali, niscaya tidak menjadi durhaka dengannya, tetapi jiwanya terdidik dengan kenikmatannya sehingga ia jinak dengan dunia, suka kelezatan-kelezatannya dan berusaha mendapatkannya. Hal inilah yang mendorong terhadap perbuatan maksiat. Dengan demikian mereka menjadi sejelek-jelek manusia. Sesungguhnya inti sari gandum itu membawa mereka tercebur ke dalam perkara maksiat.

Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi) :
شِرَارُاُمَّتِى الَّذِيْنَ غَدَوْا بِالنَّعِيْمِ وَنَبَتَتْ عَلَيْهِ اَجْسَامُهُمْ وَاِنَّمَاهِمَّتُهُمْ اَلْوَانُ الطَّعَامِ وَاَنْوَاعُ اللِّبَاسِ وَيَتَشَدَّقُوْنَ فِى الْكَلاَمِ
Sejelek-jelek ummatku adalah orang-orang yang makan makanan enak dan tubuh mereka tumbuh karenanya, cita-cita mereka adalah memperoleh bermacam-macam makanan dan mereka banyak bicara dengan tidak teliti.

Allah mewahyukan kepada nabi Musa a.s., “Ingatlah bahwa kamu adalah penduduk kuburan, sesungguhnya demikian itu dapat mencegahmu dari bahaya nafsu syahwat”.

‘Ulama salaf sangat takut makan makanan yang lezat dan membiasakannya. Mereka berpendapat bahwa makanan yang lezat dan membiasakan memakannya merupakan tanda-tanda kecelakaan dan larangan Allah terhadapnya merupakan puncak kebahagiaan sehingga Wahb bin Munabbin berkata, “Dua malaikat berjumpa di langit keempat, lalu salah satu dari keduanya bertanya, “Darimana ?”. Yang satunya menjawab, “Saya disuruh menggiring ikan dari laut yang diinginkan orang Yahudi laknatullah”. Yang lain berkata, “Saya diperintah menuangkan minyak yang diinginkan oleh seorang yang ahli ibadah”.

Ini merupakan peringatan bahwa mempermudah memperoleh sebab-sebab nafsu syahwat itu bukan termasuk tanda-tanda kebaikan. Dan karena inilah Umar r.a. mencegah minum air dingin bercampur madu dan ia berkata, “Singkirkanlah perhitungannya dariku”.

Tidak ada ibadah kepada Allah yang lebih besar daripada melawan hawa nafsu dan meninggalkan kelezatan-kelezatannya. Dalam hal ini Nafi’ telah mengisahkan bahwa Ibnu Umar r.a. sakit dan menginginkan ikan segar, lalu saya mencarinya ke kota tetapi tidak mendapatkannya. Selang beberapa hari saya mendapatkannya dengan harga satu setengah dirham, langsung saya goreng dan saya bawa dengan roti kepadanya, tiba-tiba seorang peminta mengetuk pintu. Maka Ibnu Umar berkata, “Bungkuslah ikan dengan itu dan serahkanlah kepada peminta”. Nafi’ berkata kepada Umar, “Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadamu, kamu telah menginginkannya sejak beberapa hari dan kami tidak mendapatkannya. Ketika kami mendapatkannya dan kami beli dengan harga satu setengah dirham dan kami telah membayarnya”. Ibnu Umar berkata, “Bungkuslah ikan itu dan serahkanlah kepadanya”. Nafi’ berkata kepada peminta, “Maukah kamu mengambil satu dirham dan kau tinggalkan ikan ini ?”. Peminta menjawab, “Ya”. Lalu Nafi’ memberinya satu dirham dan membawa ikan itu ke hadapan Ibnu Umar seraya berkata, “Saya telah memberinya satu dirham dan saya mengambil kembali ikan ini”. Ibnu Umar berkata, “Bungkuslah ikan itu dan serahkanlah kepadanya dan biarlah uang satu dirham tadi untuknya, karena saya telah mendengar rasulullah s.a.w. bersabda ; (diriwayatkan oleh Ibnu Hibban)
اَيُّمَاامْرِئٍ اِشْتَمَى شَهْوَةٌ فَرَدَّشَهْوَتَهُ وَآثَرِبَهَاعَلَى نَفْسِهِ غَفَرَالله ُلَهُ
Siapa saja yang menginginkan suatu keinginan, lalu ia menahan keinginannya dan dengannya ia mengutamakan orang lain daripada dirinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.

Dan rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Ad Dailami) :
اِذَاسَدَدْتَ كَلْبَ الْجُوْعِ بِرَغِيْفٍ وَكُوْزٍمِنَ الْمَآءِ الْقَرَاحِ فَعَلَى الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا الدِّمَارُ
Apabila kamu sumbat sakitnya lapar dengan sepotong roti dan segelas air jernih, niscaya kehancuran menimpa dunia dan penduduknya.

Rasulullah s.a.w. memberikan isyarat bahwa yang dimaksud adalah menolak sakitnya lapar dan dahaga dan menolak keduanya dengan tanpa menikmati kelezatan dunia.

Pada suatu hari Umar mendengar bahwa Yazid Abu Sufyan makan bermacam-macam makanan, lalu Umar berkata kepada salah seorang dari budak milik Yazid, “Apabila kamu mengetahui makanan malam majikanmu sudah siap, maka beritahukanlah padaku”. Setelah makan malamnya telah siap, budak tersebut memberitahukan kepada Umar. Lantas Umar masuk ke tempat Yazid. Beberapa saat kemudian, makanan malamnya yang berupa roti yang direndam dalam kuah daging dihidangkan Yazid, memakannya bersama Umar. Kemudian daging goreng dihidangkan dan Yazid membentangkan tangannya untuk mengambilnya, tiba-tiba Umar mencegah seraya berkata, “Takutlah kepada Allah ! Takutlah kepada Allah wahai Yazid ! Apakah kau akan makan setelah memakan makanan yang lain ? Demi Zat yang diriku dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu menyalahi jalan shahabat terdahulu, niscaya mereka menyalahimu dari jalan mereka”.

Yasar bin Umar berkata, “Saya tidak pernah mengayak tepung untuk Umar kecuali saya mendurhakainya”.

Dikisahkan bahwa Utbah Ghulam meremas-remas tepungnya dan menjemurnya di terik matahari kemudian memakannya sambil berkata, “Hanya sepotong roti dan garam sehingga tersedia kelak di akhirat daging goreng dan makanan yang enak untukku”. Kemudian Utbah mengambil gelas dan dengannya diciduk air dari kendi besar yang siangnya terjemur sinar matahari. Lalu budak wanitanya berkata, “Andaikan kau berikan tepungmu kepadaku, maka saya buatkan roti dan saya dinginkan air untukmu”. Spontan Utbah menjawab, “Wahai Ibu Fulan, telah saya usir rasa sangat lapar dari diriku”.

Syaqiqi bin Ibrahim berkata, “Saya berjumpa dengan Ibrahim bin Adham di Makkah di Suqullail daerah tempat dekat tempat lahirnya rasulullah s.a.w. tengah menangis sambil duduk di suatu jalan lalu saya menoleh kepadanya dan duduk di dekatnya sambil berkata, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Ishaq ?”. Ibrahim berkata, “Baik”. Lalu saya ulangi pertanyaanku sampai tiga kali. Ibrahim berkata, “Wahai Syaqiqi, tutuplah atasku”. Saya bertanya lagi, “Wahai saudaraku, katakanlah apa yang kau kehendaki ?”. Kemudian Ibrahim berkata, “Hawa nafsuku yang menginginkan sikbaj (gulai yang terbuat dari daging dan cuka) semenjak tiga puluh tahun yang lalu dan saya mencegahnya sekuat tenagaku, ketika saya duduk dan kantuk menguasaikku, tiba-tiba saya bertemu dengan seorang pemuda yang membawa mangkok hijau yang darinya timbul uap dan bauk sikbaj, kemudian saya kumpulkan keinginanku untuk menjauhinya, tetapi pemuda ia malah mendekat seraya berkata; Wahai Ibrahim, makanlah!”. Maka saya berkata, “Saya tidak makan dan saya meninggalkannya karena Allah ‘Azza wa Jalla”. Pemuda itu berkata, “Allah telah memberi makanan kepadamu, makanlah !”. Saya tidak mempunyai jawaban selain menangis. Pemuda itu berkata, “Makanlah ! Mudah-mudahan Allah memberi kesehatan dan kesejahteraan kepadamu. Sesungguhnya saya memberikannya”. Kemudian dikatakan kepadaku, “Wahai Hidhir, pergilah dengan membawa sikbaj ini dan berikan kepad hawa nafsu Ibrahim bin Adham, karena Allah telah memberikan rahmat kepadanya atas lamanya bersabar terhadap bebannya dengan mencegah keinginannya. Ketahuilah wahai Ibrahim, sesungguhnya malaikat berkata ; Barangsiapa diberi lalu tidak mengambilnya, niscaya apabila ia meminta tidak akan diberi”. Maka saya berkata, “Jika hal itu demikian, inilah saya di hadapanmu melakukan ikatan dengan Allah”. Kemudian saya menoleh, tiba-tiba saya bersama pemuda lain yang mengambilnya sedikit dan berkata, “Wahai Hidhir, suapilah ia”. Maka Hidhir terus-menerus menyuapiku sehingga saya mengantuk. Ketika saya bangun ternyata kemanisannya masih terasa dimulutku”.

Syaqiqi berkata, “Tunjukkanlah tapak tanganmu kepadaku”. Maka saya pegang tapak tangannya lalu saya menciuminya dan saya berkata, “Wahai Tuhan yang memberi makanan terhadap orang-orang yang melaparkan haw nafsunya, apabila mereka benar-benar mencegahnya. Wahai Tuhan yang menyembuhkan hati mereka dari mencintainya. Apakah Engkau melihat keadaan Syaqiqi di sisi-Mu ?”. Kemudian saya angkat tangan Ibrahim ke langit dan saya berkata, “Dengan keagungan tapak tangan ini, dan keagungan pemiliknya serta dengan kemurahan yang ia dapatkan dari-Mu, dapatkanlah hambamu yang miskin ini kepada anugerah-Mu, kebaikan-Mu dan kasih sayang-Mu, meskipun hamba-Mu ini tidak berhak yang demikian”. Lalu Ibrahim berdiri dan berjalan sampai kami menjumpai baitullah.

Dikisahkan dari Malik bin Dinar bahwa ia selama empat puluh tahun menginginkan susu tetapi ia tidak memakannya. Pada suatu hari ia diberi hadiah rutbah (kurma setengah masak). Maka ia berkata kepada temannya, “Makanlah, saya tidak pernah merasakannya selama empat puluh tahun”.

Ahmad bin Abil Hawari berkata, “Abu Sulaiman Ad Darani menginginkan roti hangat dan garam, lalu saya membawanya kepadanya. Abu Sulaiman menggigitnya dengan satu kali gigitan kemudian membuangnya dan terus menangis seraya berkata, “Saya tergesa-gesa mengikuti haw nafsuku setelah lama perjuanganku, alangkah celaka diriku. Saya bertekad bertaubat. Maka kurangilah dosa-dosaku”. Ahmad berkata, “Saya tidak pernah mengetahui Abu Sulaiman makan garam sehingga berjumpa dengan Allah ta’ala”.

Malik bin Daigham berkata, “Saya berjalan di pasar kota Basrah dan saya melihat sayur, kemudian hawa nafsu berkata ; Andaikata engkau memberi makan dari sayur ini kepadaku malam ini. Maka saya bersumpah bahwa saya tidak akan memberi makan sayur itu kepada nafsuku selama empat puluh malam”.

Malik bin Dinar bertempat tinggal di Bashrah lima puluh tahun. Dia tidak pernah makan kurma setengah masak dan kurma muda sama sekali, dan ia berkata, “Wahai penduduk Bashrah, saya hidup ditengah-tengah kamu selama lima puluh tahun, saya tidak pernah makan kurma masak dan kurma muda milikmu. Tidak menambah padamu apa yang kurang dariku dan tidak mengurangiku apa yang menambah padamu”. Dan ia berkata, “Telah saya cerai dunia semenjak lima puluh tahun, hawa nafsu menginginkan susu semenjak empat puluh tahun. Demi Allah, saya tidak akan memakannya sampai saya berjumpa dengan Allah ta’ala”.

Hammad bin Abu Hanifah berkata, “Saya mendatangi Dawud Ath Tha’i, sedang pintu rumahnya terkunci, tetapi saya mendengar ia berkata ; Kamu menginginkan lobak, maka saya memberi makan kamu lobak, kemudian kamu menginginkan kurma maka saya bersumpah bahwa kamu tidak akan memakannya selama-lamanya”. Lalu saya mengucapkan salam dan masuk, ternyata ia sendirian.

Pada suatu hari Abu Hazim berjalan-jalan di pasar, ia melihat buah-buahan dan menginginkannya. Kemudian ia berkata kepada anaknya, “Belikanlah untukku buah-buahan yang terpotong dan terlarang, mudah-mudahan kami dapat pergi ke buah-buahan yang tidak terpotong dan tidak terlarang”. Setelah anaknya membelikan dan membawa kepadanya, ia berkata kepada hawa nafsunya, “Kamu telah menipu sehingga saya melihat, menginginkan dan kau mengalahkanku sehingga saya membeli. Demi Allah, kamu tidak akan merasakannya”. Maka ia mengirimkannya kepad anak yatim piatu yang fakir.

Dari Musa Al Asyaj bahwa ia berkata, “Hawa nafsuku menginginkan garam yang ditumbuk semenjak dua puluh tahun”. Sedang Ahmad bin Khalifah berkata, “Hawa nafsuku menginginkan sejak dua puluh tahun hanya air untuk menyegarkannya, dan saya tidak memberinya minum”.

Dikisahkan bahwa Utbah Al Ghullan menginginkan daging selama tujuh tahun, kemudian ia berkata, “Saya merasa malu pada nafsuku, saya telah menahannya selama tujuh tahun. Demi tahun, saya membeli daging dengan roti, kemudian saya goreng dan saya biarkan di atas roti, mendadak saya bertemu dengan anak kecil, maka saya berkata ; Bukankah kau anak si Fulan dadn ia telah meninggal ?”. Anak itu berkata, “Ya’. Lalu saya berikan daging itu kepadanya. Kemudian Utbah mulai menangis dan membaca ayat 8 surah Al Insan :
وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلَىا حُبِّهِى مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرً
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.

Setelah itu Utbah tidak merasakannya. Dan Utbah menginginkan kurman bertahun-tahun. Pada suatu hari ia membeli kurma satu qirat dan ia mengangkatnya sampai malam hari untuk berbuka. Utbah berkata, “Lalu angin bertiup kencang sehingga menggelapkan dunia dan manusia menjadi takut”. Lalu Utbah menghadap pada nafsunya dan berkata, “Kejadian ini karena saya kepadamu dan saya beli kurma dengan harga satu qirat. Dan tidaklah aku menyangka siksa yang menimpa pada manusia kecuali disebabkan dosamu agar kamu merasakannya”.

Dawud Ath Thai’i membeli cuka seharga satu fals dan sayur setengah fals, ditengah malam ia berkata kepada dirinya, “Celakalah kamu hai Dawud ! Alangkah lama hisab (pemeriksaan) mu kelak di hari kiamat”. Setelah itu ia tidak makan kecuali roti tanpa lauk-pauk.

Pada suatu hari Utbah Ghulam kepada Abdul Wahib bin Zahid bahwa si Fulan menyifati dirinya dengan suatu sifat yang tidak saya ketahui. Lalu Abdul Wahib berkata, “Karena kamu makan kurma beserta rotimu, sedang ia tidak makan kecuali roti”. Maka Ghulam berkata, “Andaikata saya tinggalkan makan kurma, mungkinkah saya mengetahuinya ?”. Abdul Wahib berkata, “Ya”. Lalu Utbah menangis dan para sahabat bertanya, “Apakah Allah menangiskan matamu atau karena kurma kau menangis ?”. Abdul Wahib berkata, “Biarkanlah ia, sesungguhnya dirinya telah mengetahui kebenaran tekadnya dalam meninggalkan. Apabila ia meninggalkan sesuatu, niscaya ia tidak akan kembali kepadanya”.

Ja’far bin Mashar berkata, “Al Junaid menyuruhku untuk membelikan buah tin waziri. Setelah saya membeli dan kami serahkan, maka ia mengambil satu pada waktu sarapan pagi dan meletakkannya di mulutnya. Tiba-tiba ia melemparkannya dan menangis seraya berkata ; Bawalah buah itu !”. Lalu saya bertanya, “Apa yang menyebabkan terjadinya demikian ?”. Ia menjawab, “Hatif (suara tanpa diketahui orangnya) berkata kepadaku ; Apakah kamu tidak malu, kamu meninggalkannya karena Aku, kemudian kamu kembali kepadanya ?”.

Shaleh Al Marri berkata, “Saya berkata kepada Atha’ As Sulami, ; Sesungguhnya saya memaksakan diri membuat sesuatu untukmu, maka janganlah kamu menolak atas kehormatanku !”. Atha’ berkata, “Berbuatlah sekehendak hatimu !”. Lalu saya beserta anakku mengirim minuman yang terbuat dari tepung gandum bercampur keju dan madu, lalu saya berkata, “Janganlah kamu pergi kecuali telah meminumnya !”. Keesokan hari, saya membuat seperti itu lagi dan saya antarkan, tetapi ia menolak dan tidak mau meminumnya. Kemudian saya mencaci dan mencelanya dan saya berkata, “Subhanallah! Kamu telah menolak atas kemuliaanku”. Setelah ia mengetahui perasaanku yang demikian ini, maka ia berkata, “Janganlah hal ini menyakitimu, sesungguhnya saya telah meminumnya dan untuk kedua kalinya saya telah membujuk diriku untuk meminumnya tetapi saya tidak mampu melakukannya karena setiap saya menghendakinya maka saya ingat firman Allah dalam surah Ibrahim 17 :
يَّتَجَرَّعُهُو وَلاَيَكَادُيُسِيْغُهُو وَيَأْتِيْهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَّمَاهُوَبِمَيِّتٍ وَمِنْ وَّرَآئِهِى عَذَابٌ غَلِيْظٌ
Diminumnya air nanah dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati dan dihadapannya masih ada azab yang pedih.

Maka Shaleh Al Marri berkata, “Lalu saya menangis dan berkata kepada diriku ; Saya di suatu lembah sedang kamu di lembah yang lain”.

As Sarri As Siqti berkata, “Semenjak tiga puluh tahun hawa nafsuku meminta agar aku memberinya makan daging yang direndam dalam madu, tetapi aku tidak menurutinya”.

Abu Bakar Al Jalla berkata, “Saya mengenal seorang laki-laki yang hawa nafsunya berkata kepadanya ; Saya sabar bersamamu lapar selama sepuluh hari dan setelah itu turutilah keinginan yang saya ingin”. Maka ia menjawab, “Saya tidak menghendaki lapar sepuluh hari, tetapi tinggalkan keinginan ini”.

Seorang berkata, saya mendatangi Qasim Al Ja’ri, lalu saya bertanya kepadanya, “Apa saja zuhud itu ?”. Qasim berkata, “Apa saja yang telah kamu dengar tentang zuhud ?”. Kemudian saya menghitung beberapa perkataan, sedang dia diam, Lalu saya bertanya, “Dan apa saja yang kamu katakan ?”. Dan dia menjawab, “Ketahuilah, bahwa perut adalah dunia hamba, dengan kadar yang dimiliki perutnya, maka ia memiliki zuhud  dan dengan kadar yang dimiliki perutnya dunia memilikinya”.

Suatu ketika Bisyr bin Harits sakit, lalu ia mendatangi dokter Abdurrahman untuk menanyakan makanan yang sesuai dengannya. Kemudian Abdurrahman berkata, “Kamu menanyakan kepadaku, apabila saya menerangkannya kepadamu, tentu kamu tidak akan mempercayainya”. Bisyr berkata, “Terangkanlah kepadaku tentu saya akan mendengarkannya’. Abdurrahman berkata, “Minumlah sakanjabin (minuman terbuat dari cuka dan madu), hisaplah buah safarjal dan makanlah istidzibaj”. Bisyr bertanya, “Apakah kamu mengetahui sesuatu yang lebih murah dari sakanjabin sebagai gantinya ?”. Abdurrahman menjawab, “Tidak”. Bisyr berkata, “Saya tahu”. Abdurrahman berkata, “Handap dengan cuka”. Kemudian Bisyr bertanya, “Apakah kamu mengetahui sesuatu yang lebih murah dari safarjal gantinya?”. Abdurrahman menjawab, “Tidak”. Bisyr berkata, “Saya tahu”. Abdurrahman bertanya, “Apa itu ?”. Bisyr menjawab, “Khurnub Syami”. Bisyr bertanya lagi, “Apakah kamu mengetahui sesuatu yang lebih murah dari istidzibaj sebagai gantinya?”. Abdurrahman menjawab, “Tidak”. Bisyr berkata, “Saya tahu yaitu air khimsh dengan minyak sapi dan yang serupa dengannya”. Maka Abdurrahman berkata kepada Bisyr, “Kamu lebih mengerti daripadaku tentang kedokteran, mengapa engkau bertanya padaku ?”.

Maka dengan ini kamu tahu bahwa mereka mencegah diri dari segala nafsu syahwat kenyang dari makanan pokok. Dan mereka mencegahnya karena faedah-faedah yang telah kami sebutkan dan dalam waktu tertentu halalnya tidak bersih menurut mereka, maka mereka menghindarkannya kecuali sekedar darurat, dn segala hawa nafsu itu tidak termasuk darurat sehingga Abu Sulaiman berkata, “Garam termasuk hawa nafsu karena menjadi tambahan untuk makan roti, dan sesuatu yang dibalik roti itu adalah hawa nafsu”.

Inilah tingkatan yang terakhir, maka barangsiapa tidak mampu berbuat demikian, sebaiknya tidak lengah dan tidak menceburkan diri dalam segala hawa nafsunya. Cukup dikatakan pemborosan orang yang makan segala yang diingini dan berbuat segala apa yang dikehendaki dan sebaiknya ia tidak makan daging secara terus-menerus.

Ali r.a. berkata, “Barangsiapa meninggalkan daging selama empat puluh hari, niscaya tubuhnya jelek, dan barangsiapa makan daging secara terus-menerus selama empat puluh hari, niscaya keras hatinya”.

Dan dikatakan bahwa terus-menerus makan daging dapat menimbulkan kecanduan sebagaimana kecanduan minum arak. Manakala seorang hamba lapar, sedang nafsunya ingin bersetubuh, maka sebaiknya ia tidak makan tetapi hanya bersetubuh saja, karena kalau ia makan lalu bersetubuh, berarti ia memberi hawa nafsunya dua macam nafsu syahwat dan kadang-kadang hawa nafsunya meminta makan agar bersemangat dalam bersetubuh.

Dan bagi seorang hamba disunnahkan tidak tidur dalam keadaan kenyang karena dapat menimbulkan dua kelalaian dan karena itu juga ia menjadi lesu, malas dan keras hatinya. Sebaiknya ia mengerjakan shalat atau hendaknya duduk lalu berdzikir kepada Allah, karena sesungguhnya dengan dzikir ia lebih dekat kepada syukur.

Dalam suatu hadits disebutkan (diriwayatkan oleh Thabrani) :
اَذِيْـبُوْا طَعَامَكُمْ بِالذِّكْرِ وَالصَّلاَةِ وَلاَتَنَامُوْاعَلَيْهِ فَتَقْسُوَقُلُوْبُكُمْ
Cairkanlah makananmu dengan dzikir dan shalat, dan janganlah kamu tidur di atas makanan, karena hatimu akan menjadi keras.

Sedang pelaksanaannya paling sedikit shalat empat raka’at atau membaca tasbih seratus kali atau membaca satu juz Al Quran sehabis makan.

Sufyan Ats Tasturi apabila kenyang pada malam hari, maka ia hidupkan malam itu dengan ibadah, sedang apabila ia kenyang pada siang hari maka ia menyambungkannya dengan ibadah dan dzikir kemudian ia berkata, “Budak hitam telah kenyang dan melelahkan tuannya” atau ia mengatakan “Keledai telah kenyang dan melelahkan tuannya”.

Apabila seorang menginginkan suatu makanan dan buah-buahan yang enak, sebaiknya ia meninggalkan makanan (roti) dan ia memakan buah-buahan sebagai gantinya, agar buah-buahan itu menjadi makanan pokok dan tidak menjadi kelezatan dan supaya tidak berkumpul pada hawa nafsu antara kebiasaan dan nafsu syahwat.

Sahl memandang Ibnu Salim. Sedang ditangannya terdapat roti dan kurma, lalu Sahl berkata, “Mulailah dengan makan kurma, kalau kau merasa cukup dengannya, maka cukuplah kamu makan kurma saja, kalau kamu rasa tidak cukup lalu ambillah roti sekedar keperluanmu !”.

Apabila seorang hamba mempunyai makanan yang halus dan kasar, hendaklah ia mendahulukan makan yang halus, karena mungkin keperluannya sempurna dengan itu. Kalau ia mendahulukan makanan yang kasar, niscaya ia akan makan makanan yang halus juga untuk menambah kekuatannya.

Seorang berkata kepada teman-temannya, “Janganlah makan segala makanan yang kau inginkan, kalau kamu memakannya, janganlah kamu mencarinya, kalau kamu mencarinya maka janganlah kamu menyukainya. Dan mencari sebagian dari macam-macam roti adalah menuruti keinginan hawa nafsu”.

Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Tidaklah dapat kepada kami dari negeri Iraq buah-buahan yang paling kami sukai dari roti”. Karena ia berpendapat roti itu sama dengan buah-buahan.

Dengan kadar seorang hamba memenuhi keinginanya, maka dikhawatirkan kepadanya kelak di hari akhirat ; (surah Al Ahqaf 20) :
... اَذْهَبْتُمْ طَيِّبتِكُمِ فِي حَيَاتِكُمْ الدُّنْيَاوَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا ...
Kamu telah menghabiskannya rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu saja dan kamu telah bersenang-senang dengannya.

Dan dengan kadar ia melawan hawa nafsunya dan meninggalkan keinginannya, maka ia memperoleh kenikmatan di negeri akhirat dengan segala keinginannya.

Sebagian penduduk Bashrah berkata, “Hawanaf suku bertentangan denganku mengenai roti, beras dan ikan, lalu saya mencegahnya sedang tuntutannya amat kuat dan saya peranginya selama dua puluh tahun”. Setelah ia meninggal dunia, sebagian mereka berkata, “Saya bermimpi bertemu dengannya, lalu saya bertanya ; Apa yang diperbuat Allah terhadapmu ?”. Ia menjawab, “Saya tidak bisa menerangkan segala macam kenikmatan dan kemuliaan yang oleh Allah diberikan kepadaku akan tetapi yang pertama kali dihidangkan kepadaku ialah roti, beras dan ikan, kemudia Dia befirman ; Makanlah pada hari ini sesuatu yang kau inginkan dengan enak tanpa dihisab”.

Dan sesungguhnya Allah telah berfirman (surah Al Haqah 24)
كُلُوا وَاشْرَبُوْا هَنِيْأً بِمَآاَسْلَفْتُمْ فِى اْلاَيَّامِ الْخَالِيَةِ
Makanlah dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.

Mereka telah meninggalkan hawa nafsu. Karena itulah Abu Sulaiman berkata, “Meninggalkan satu keinginan hawa nafsu dari beberapa keinginannya itu lebih bermanfaat untuk hati daripada puasa setahun disertai shalat pada malam harinya”.

Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada kita menuju sesuatu yang diridhoi-Nya.


KEANEKARAGAMAN BATASAN LAPAR DAN KEUTAMAANNYA SEIRING TINGKAT KONDISI MANUSIA

Ketahuilah bahwa tuntutan maksimal dalam segala urusan dan budi pekerti adalah tengah-tengah, karena sebaik-baik perkara adalah tengah-tengah, sedang kedua ujung dari hal-hal yang pertengahan adalah tercela.

Dan keutamaan-keutamaan lapar yang telah kami kemukakan kadang-kadang terkesan bahwa keterlaluan dalam lapar itu dianjurkan, padahal laku itu amat jauh. Tetapi sebagian dari rahasia hikmah syari’ah menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diminta oleh tabiat itu adalah ujung yang jauh, padahal padanya terdapat kerusakan. Maka syari’at agama datang dengan sangat keras menolak segi yang dapat memberi isyarat bagi orang yang bodoh bahwa yang diminta adalah berlawanan dengan apa yang dituntut oleh tabiat dengan sejauh mungkin dan orang yang pandai mengetahui bahwa yang dimaksud adalah tengah-tengah. Karena tabiat menuntut puncak kenyang, maka agama sebaiknya memuji puncak lapar sehingga tabiat merupakan pendorong sedang agama sebagai pencegah. Dengan demikian keduanya berlawan dan berhasillah sedang (tengah-tengah), sesungguhnya orang yang mampu menolak tabiat secara keseluruhan itu melangkah jauh, meskipun demikian ia tidak akan sampai pada batas akhir. Karena seorang yang telah melawan tabiatnya, dalam agama juga terdapat sesuatu yang menunjukkan keburukannya, sebagaimana agama sangat memuji bangun shalat malam dengan puasa siang harinya, kemudian ketika rasulullah s.a.w. mengetahui sebagian shahabat melakukannya, maka beliau melarangnya.

Apabila kamu telah mengetahui yang demikian ini, maka ketahuilah bahwa yang lebih utama sehubungan dengan tabiat yang sedang ialah hendaknya ia makan sebatas tidak merasakan beratnya perut dan tidak merasakan pedihnya lapar, bahkan sebaiknya ia lupa terhadap perutnya sehingga meskipun lapar ia tidak terpengaruh sama sekali. Karena sesungguhnya maksud makan adalah melestarikan hidup dan kekuatan ibadah, sedang beratnya perut dapat mencegah ibadah dan pedihnya lapar mengganggu hati dan juga mencegah ibadah.

Idealnya, hamba makan yang tidak terlalu mempengaruhinya agar ia menyerupai malaikat. Sesungguhnya para malaikat disucikan dari beratnya perut dan pedihnya lapar. Dan puncak keutamaan manusia adalah mengikuti mereka. Kalau manusia tidak dapat terlepas dari kenyang dan lapar, maka sejauh-jauh keadaan dari dua ujung adalah tengah-tengah itu yang sedang.

Perumpamaan tuntutan manusia untuk jauh dari ujung-ujung yang saling berlawanan dengan kembali ke tengah-tengah adalah seperti semut yang dilemparkan ke tengah-tengah lingkaran yang dipanaskan di atas api yang diletakkan di atas tanah, maka semut itu lari karena panasnya lingkaran sedang panas itu mengitarinya, sehingga ia tidak bisa keluar dari lingkaran, dengan demikian ia selalu lari dan bertempat di pusar yakni di tengah-tengah. Karena tengah-tengah adalah sejauh-jauh tempat dari panas yang berada dalam lingkaran yang mengelilinginya.

Begitu pula hawa nafsu dalam mengelilingi manusia seperti lingkaran mengelilingi semut, sedang malaikat itu berada diluar lingkaran tersebut. Maka tidak ada harapan bagi manusia untuk keluar sedang ia ingin menyerupai malaikat dalam hal terbebas dari hawa nafsu. Dengan demikian, keadaan manusia yang paling menyerupai malaikat adalah jauh, dan tempat yang paling dari ujung-ujung adalah tengah-tengah, maka tengah-tengah itu dituntut dalam segala keadaan yang berlawanan ini.

Dan hal ini berlandaskan sabda rasulullah s.a.w. (diriwayatkan oleh Baihaqi) :
Sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengahnya.                                                        خَيْرُاْلاُمُوْرِاَوْسَطُهاَ

Dan juga berlandaskan firman Allah dalam surah Al A’raf 31 :
Dan makanlah dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan.                         ... وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلاَتُسْرِفُوْا ...

Manakala manusia tidak merasa lapar dan kenyang niscaya ia mudah ibadan dan berpikir, badannya terasa ringan dan kuat bekerja karena ringannya dan ini terjadi setelah seimbangnya tabiat. Apabila pada permulaan suatu perkara hawa nafsu tidak taat, rindu kepada keinginan lagi condong untuk melampaui batas, maka keadaan tabiat seimbang tidak berguna baginya, tetapi harus melemahkannya dengan lapar sebagaimana melemahkan binatang yang liar dengan lapar, pukulan dan lainnya sehingga binatang menjadi seimbang (i’tidal). Apabila binatang itu telah terlatih, lurus dan kembali seimbang, maka penyiksaan dan menyakitkan ditinggalkan.

Karena rahasia inilah guru menyuruh muridnya mengerjakan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerjakannya. Guru menyuruh muridnya lapar, sedang ia sendiri kenyang. Dan guru mencegah muridnya makan buah-buahan sedang ia sendiri memakannya, karena ia telah selesai melatih dirinya, maka tidak perlu melatih lagi.

Manakala kebiasaan hawa nafsunya rakus, memperturutkan keinginan, mogok dan malas ibadah, maka yang terbaik baginya adalah lapar yang dengannya hawa nafsu merasa pedih dalam segala keadaan agar hancur. Yang dimaksud adalah agar nafsunya hancur sehingga menjadi i’tidal (sedang), setelah itu hawa nafsu juga diarahkan mengenai makanan menjadi sedang-sedang.

Sesungguhnya menahan diri, selalu lapar yang dijalani oleh orang yang menempuh jalan akhirat itu adakalanya orang shiddiq, adakalanya orang bodoh yang tertipu.

Adapun orang yang shiddiq itu, karena hawa nafsunya pada jalan yang lurus, maka tidak perlu digiring dengan cambuk lapar menuju kebenaran. Sedang orang yang tertipu, ia menduga dirinya adalah orang yang shiddiq yang tidak perlu mendidik (melatih) dirinya, bahkan ia menduga dirinya adalah orang yang baik. Ini adalah tipuan yang besar dan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia.

Sesungguhnya sedikit sekali hawa nafsu yang dididik dengan didikan yang sempurna bahkan banyak sekali yang tertipu, lalu memandang orang shiddiq dengan segala kebolehannya dan ia praktikkan pada dirinya tak ubah seperti orang yang sakit memandang orang sehat, kemudian ia makan apa yang dimakannya karena ia menduga dirinya sehat akibatnya binasalah ia.

Sesuatu yang menunjukkan terhadap penentuan makanan dengan ukuran yang sedikit dalam waktu tertentu dan jenis tertentu itu bukan merupakan maksud yang dikehendaki tetapi semua itu diperuntukkan hawa nafsu yang jauh dari kebenaran yang tidak mencapai tingkatan sempurna. Rasulullah s.a.w. juga tidak menentukan ukuran dan waktu makan, sebagaimana ‘Aisyah r.anha (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَيُفْطِرُ, وَيُفْطِرُحَتَّى نَقُوْلَ لاَيَصُوْمُ
Rasulullah s.a.w. berpuasa sehingga kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan beliau berbuka sehingga kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa.

Dan rasulullah s.a.w. masuk kepada keluarganya, lalu beliau bersabda, “Apakah kamu memiliki suatu makanan ?”. Kalau mereka menjawab, “Ya”, maka beliau makan dan kalau mengatakan “Tidak”, maka beliau bersabda, “Kalau begitu, aku berpuasa”.

Suatu makan dihidangkan kepada rasululah s.a.w., lalu beliau bersabda, “Sebenarnya aku bermaksud berpuasa”. Kemudian beliau makan. Pada suatu hari rasulullah s.a.w. keluar dan bersabda, “Sesungguhnya aku berpuasa”, lantas ‘Aisyah r.anha berkata, “Hais (kurma tanpa biji) telah dihadiahkan kepada kita”. Beliau bersabda, “Sebenarnya aku bermaksud puasa, tetapi dekatkanlah ia”.

Dikisahkan dari Sahl At Tasturi bahwa ia ditanya, “Bagaimana keadaanmu dahulu ketika memulai suluk ?”. Shal memberitahukan macam-macam latihan, diantaranya ia makan daun nabiq dalam satu makan, ia makan buah tin yang dihaluskan selama tiga tahun, ia makan seharga tiga dirham selama tiga tahun dan lain-lain. Kemudian ia ditanya, “Bagaimana keadaan sekarang ?”. Ia menjawab, “Saya makan tanpa batas dan tanpa ketentuan waktu”. Maksudnya, ia tidak menentukan waktu makan dan tidak menentukan ukurannya serta tidak makan terlalu banyak.

Ma’ruf Al Karkhi diberi hadiah makanan yang enak, lalu ia memakannya kemudian dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya saudaramu Bisyr tidak makan seperti ini”. Ma’ruf Al Karkhi berkata, “Sesungguhnya saudaraku Bisyr digenggam oleh sifat wara’, sedang saya dibentang oleh ma’rifat”. Dan katanya, “Sesungguhnya aku adalah tamu di negeri Tuhanku. Apabila Dia memberi makan kepadaku, saya memakannya dan apabila Dia melaparkanku, saya sabar. Maka bagaimana saya akan menentang dan memilih ?”.

Ibrrahim bin Adham memberikan beberapa dirham kepada sebagian saudaranya sambil berkata, “Dengan uang dirham itu belikan mentega, madu dan roti hawari”. Ditanyakan, “Wahai Abu Ishaq, dengan semua uang ini ?”. Ibrahim menjawab, “Sial ! Apabila kami dalam keadaan ada, kita makan seperti makannya para lelaki, dan bila dalam keadaan tidak punya apa-apa, kami sabar seperti sabarnya para lelaki”.

Pada suatu hari Ibrahim bin Adham membuat makanan yang enak lagi banyak kemudian mengundng sebagian temannya, diantaranya Al Auza’i dan Sufyan Ats Tasauri. Sufyan bertanya, “Wahai Abu Ishaq, tidak takutkah kamu terhadap berlebih-lebihan ?”. Ibrahim menjawab, “Tidak ada berlebih-lebihan dalam makanan, sesungguhnya berlebih-lebihan itu dalam pakaian dan perkakas rumah”. Maka orang yang memperoleh ilmu melalui pendengaran dan mempraktikkan secara taqlid menyandarkan pendapatannya kepada pendapat Ibrahim bin Adham. Pada kesempatan lain orang-orang mendengar Malik bin Dinar berkata, “Semenjak dua puluh tahun garam tidak pernah masuk ke rumahku”. Sedang Sirri As Siqthi sejak dua puluh tahun ingin merendam daging dalam sirup tetapi ia tidak melakukannya.

Maka orang-orang tadi mengetahui dua pendapat yang bertentangan dan merasa kebingungan, sebagian mereka memutuskan bahwa salah satunya adalah salah, sedang orang yang dapat melihat rahasia-rahasia perkataan berpendapat bahwa semua itu benar tetapi dengan disandarkan pada perbedaan kondisi pribadi. Perbedaan pendapat ini didengar oleh orang yang cerdas yang hati-hati dan atau orang dungu yang tertipu.

Maka orang yang hati-hati berkata, “Saya tidak termasuk golongan orang arif, sehinggga saya memperbolehkan diriku, karena diriku tidak lebih taat dari Sirri As Siqthi dan Malik bin Dinar. Mereka itu termasuk golongan orang-orang yang mencegah diri dari semua keinginan hawa nafsu”. Sedang orang yang tertipu berkata, “Tidaklah diriku lebih durhaka daripada ma’rifat Al Karkhi dan Ibrahim bin Adham, maka saya mengikutinya. Dan saya tidak menentukan makananku, karena saya juga tamu di negeri Tuhanku, bagaimana saya menentang-Nya ?”.

Apabila seseorang membatasi hak dan kemuliaannya atau harta dan kedudukannya dengan satu jalan, niscaya kiamat datang adanya sedang ia sibuk menentang. Ini adalah jalan yang lapang bagi syaithan dan orang-orang dungu. Bahkan menghindari penentuan makanan dan puasa dan makan segala keinginan itu tidak akan selamat kecuali bagi orang yang mengandung dari lubang kewalian dan kenabian. Maka antara dia dan Allah terdapat tanda pelepas dan tergenggamnya. Dan yang demikian ini tidak akan sempurna kecuali setelah keluarnya diri dari memperturut hawa nafsu dan seluruh kebiasaan dan baiknya niat sehingga ia makan berdasarkan niat begitu juga ketika meninggalkannya, dengan demikian ia akan dan berbuka karena Allah semata. Maka sebaiknya ia memperhatikan kehati-hatian Umar r.a. bahwasanya ia mengetahui rasulullah s.a.w. menyukai madu dan memakannya tetapi tidak mengkiaskan (menyamakan) dirinya dengan beliau, bahkan ketika ditawarkan kepadanya minuman dingin yang bercampur dengan madu, ia memutar-mutar gelas digenggamannya sambil berkata, “Saya meminumnya dan hilang kemanisannya lalu tetap pengaruhnya. Menyingkirlah dariku hisabnya”. Dan ia meninggalkannya.

Seorang syaikh (guru) tidak boleh membenarkan rahasia-rahasia tersebut kepada muridnya, tetapi hendaknya ia membatasi kepada memuji lapar saja, dan tidak menganjurkan i’tidal (sedang-sedang) karena ia pasti mencukupkan sebatas apa yang dianjurkannya, sebaiknya syaikh mengajak muridnya ke puncak lapar. I’tidal mudah bagi mereka dan hendaknya ia tidak menjelaskan kepada muridnya bahwa orang arif yang sempurna itu tidak perlu latihan lagi. Karena dengan itu syaithan mendapatlah tempat bergantung di hati orang arif dan setiap saat membisikkan, “Sesungguhnya kamu adalah orang arif yang sempurna, lantas apa yang dapat menghilangkanmu dari ma’rifat dan kesempurnaan ?”. Bahkan diantara kebiasaan Ibrahim Al Khawas ialah selalu ikut serta bersama-sama muridnya pada setiap latihan yang ia anjurkan agar tidak terkesan di hati muridnya bahwa syaithan tidak menyuruhnya berlatih sesuatu yang tidak diperbuatnya dan yang demikian ini menjauhkan murid dari kebiasaan berlatih. Orang yang kuat perkasa apabila memperbaiki orang lain harus menyamar seperti orang-orang lemah untuk menyerupai mereka dan dengan lemah lembut menggiring mereka menuju kebahagiaan. Ini merupakan cobaan yang berat bagi para nabi dan para wali.

Apabila batas i’tidal sangat kabur pada hak setiap orang, maka yang lebih hati-hati sebaiknya setiap orang tidak meninggalkan pada segala kondisi. Oleh karena itu Umar r.a. mendidik anaknya ‘Abdullah’ ketika menjumpainya tengah makan daging dan mentega sebagai lauk-pauknya, Umar memukulnya dengan cambuk sambil berkata, “Kamu kan tidak punya ibu ! Maka makanlah sehari roti dengan daging, sehari roti dengan susu, sehari roti dengan mentega, sehari roti dengan minyak zaitun, sehari roti dengan garam, dan roti saja pada hari yang lain, dan inilah i’tidal”. Adapun terus-menerus makan daging dan menuruti keinginan-keinginan lainnya adalah melampaui batas dan berlebih-lebihan, sedang meninggalkan makan daging secara terus-menerus adalah kikir, dan ini merupakan tiang (lurus=sedang) antara keduanya”. Wallahu a’lam.

BAHAYA RIA’ YANG MENIMPA ORANG YANG MENINGGALKAN KEINGINAN MAKAN DAN MENYEDIKITKANNYA

Perlu diketahui bahwa dua bahaya besar bahkan lebih besar dari bahaya makan segala keinginan, menghinggapi orang yangmeninggalkan keinginan hawa nafsunya ;

1. Syirik tersembunyi ; Hawa nafsu tidak mampu meninggalkan sebagian keinginannya, lalu ia menginginkannya, tetapi ingin diketahui bahwa ia menginginkannya, maka ia menyembunyikan keinginannya dan di tempat sepi ia makan sesuatu yang tidak ia makan bersama khalayak.

Sebagian ‘ulama ditanya tentang sebagian orang zuhud tetapi tidak menjawab. Kemudian ditanya, “Apakah kamu mengetahui dosanya ?”. Ia menjawab, “Di tempat yang sepi ia makan sesuatu yang tidak ia makan bersama orang banyak”. Demikian ini merupakan bencana yang besar, sebaiknya apabila seorang hamba dicoba dengan segala keinginan dan yang disukainya hendaknya ia menampakkan perbuatannya, karena ini merupakan kenyataan yang sebenarnya dan sebagai ganti hilangnya mujahadah dengan amal perbuatan.

Sesungguhnya menyembunyikan kekurangan dan menampakkan sebaliknya berupa kesempurnaan adalah dua kekurangan yang ganda, dusta beserta menyembunyikan adalah dua dusta. Dengan demikian ia berhak memboyong dua dosa, dan ia tidak akan diridhoi kecuali dengan dua taubat yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu urusan munafik diperberat.

Firman Allah dalam surah An Nisa 145 :
اِنَّ الْمُنفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ اْلاَسْفَلِ مِنَ النَّارِ ...
Sesungguhnya orng-orang munafik itu di tempat yang paling bawah dari neraka.

Orang kafir itu menampakkan kekufurannya sedang orang munafik kufur dan menutupi kekufurannya. Menutupi kekufurannya adalah kekufuran yang lain, karena ia meremehkan pandangan Allah terhadap hatinya dan memandang besar perhatian makhluk, lalu ia menghapus kekufurannya dari lahiriahnya.

Orang arif itu dicoba dengan segala hawa nafsu bahkan dengan maksiat dan tidak dicoba dengan ria’, tipuan dan penyembunyian. Sedang orang arif yang sempurna meninggalkan segala keinginan hawa nafsunya karena Allah dan menampakkan keinginan hawa nafsunya untuk menjatuhkan kedudukannya dari pandangan hati para makhluk.

Sebagian mereka membeli keinginan-keinginan dan menggantungkannya di rumah, padahal ia termasuk orang zuhud, dengan ini ia bermaksud menutupi keadaannya agar hati orang-orang yang lalai tidak memperhatikannya sehingga tidak mengganggu keadaan dirinya.

Puncak zuhud adalah zuhud dalam zuhud dengan menampakkan kebalikannya dan ini merupakan perbuatan orang-orang shiddiq, karena ia mengumpulkan dua kebenaran sebagaimana orang pertama (munafik) mengumpulkan dan kedustaan. Dan orang shiddiq membebani dirinya dengan dua beban dan menegukkan kepada dirinya dua gelas kesabaran yakni satu kali dengan meminumnya dan sekali dengan melemparkannya, maka tidak ada keraguan, mereka itu pasti dianugerahi dua kali pahala karena kesabarannya.

Dan ini menyerupai jalan orang yang diberi secara terang-terangan, lalu ia mengambil dan mengembalikan secara sembunyi-sembunyi untuk menghancurkan dirinya dengan kehinaan secara terang-terangan dan dengan kemiskinan secara sembunyi-sembunyi.

Barangsiapa kehilangan jalan ini, maka tidak baik bila ia kehilangan kemampuan menampakkan keinginan, kekurangannya dan kejujuran padanya serta tidak seyogyanya ia tertipu perkataan syaithan, “Sesungguhnya apabila kamu menampakkan, niscaya orang lain mengikutimu, maka tutupilah demi perbaikan orang lain”. Karena sesungguhnya kalau yang dikehendaki adalah memperbaiki orang lain, maka memperbaiki dirinya itu lebih penting daripada orang lain.

Sesungguhnya tujuan yang demikian ini adalah ria’ semata dan ini dilakukan oleh syaithan kepadanya dengan alasan memperbaiki orang lain. Oleh karena itu, ia merasa berat menampakkan yang sebenarnya meskipun ia tahu bahwa orang lain yang mengetahui tidak akan mengikutinya dalam perbuatan dan tidak akan tercegah disebabkan keyakinannya bahwa ia meninggalkan segala keinginan hawa nafsunya.

2. Hawa nafsu tersembunyi ; Ia tidak mampu meninggalkan segala keinginannya tetapi ia senang termasyhur sebagai orang yang meninggalkannya, sehingga ia terkenal menjaga diri dari segala keinginannya. Dengan demikian, ia telah melawan hawa nafsu makan dan taat kepada hawa nafsu yang lebih jelek yaitu hawa nafsu kedudukan.

Apabila demikian ini terasa dalam dirinya, maka menghancurkan hawa nafsu ini lebih penting daripada hawa nafsu makan. Maka yang lebih utama hendaknya ia makan. Abu Sulaiman berkata, “Apabila keinginanmu datang sedang kamu telah meninggalkannya, maka ambillah sedikit saja dan janganlah kamu serahkan dirimua sebagai mangsanya. Dengan demikian, berarti kamu telah meruntuhkan hawa nafsu dan menghalanginya, karena kamu tidak menuruti keinginannya”.

Ja’far bin Muhammad Ash Shiddiq berkata, “Apabila keinginan datang kepadaku, maka saya memandang hawa nafsuku. Kalau hawa nafsu menampakkan keinginannya maka kuberikan makan dan kalau ia menyembunyikan keinginannya dan menampakkan, maka saya menyiksanya dengan meninggalkan keinginannya dan tidak memberinya sedikitpun”. Ini merupakan jalan menyiksa hawa nafsu terhadap keinginan yang tersembunyi.

Kesimpulannya, barangsiapa meninggalkan hawa nafsu makan kemudian jatuh ke dalam hawa nafsu ria’, maka ia seperti orang yang lari dari kalajengking dan terkejut bertemu ular. Karena sesungguhnya hawa nafsu ria’ itu lebih berbahaya daripada hawa nafsu makan. Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber : Kiat Mengatasi Syahwat Perut dan Alat Kemaluan (Disusun oleh A. Hufaf Ibriy) yang merupakan terjemahan dari Kasrusy Syahwatain (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar