السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Sabtu, 26 November 2016

Tausiah ke-5 ('Ujub)

‘Ujub artinya merasa bangga pada diri sendiri, merasa heran terhadap diri sendiri dengan sebab adanya satu dan lain hal. Diri sendiri yang dimaksudkan disini ialah mengenai pribadinya, golongannya, kelompoknya atau apa saja yang dianggap erat hubungannya dengan dirinya sendiri itu.


Akhlak semacam ini adalah sangat tercela dan sama sekali tidak ada kebaikannya. Ini disebutkan dalam Al Quran serta hadits rasulullah s.a.w.

Allah s.w.t dalam surah At Taubah 25 berfirman :
... وَّيَوْمَ حُنَيْنٍ ,لا اِذْ اَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْأً ...
Dan pada hari perang Hunain, diwaktu kamu semua terheran-heran oleh banyak jumlahmu, tetapi jumlah yang banyak itu tidak dapat menolong sedikitpun padamu.

Allah ta’ala menyebutkan ini sebagai suatu pengingkaran yakni tidak menyetujui sikap kaum muslimin yang membanggakan dirinya, merasa heran terhadap jumlahnya yang banyak yang dikiranya dengan itu pasti akan memperoleh kemenangan di medan perang. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Allah berfirman lagi dalam surah Hasyr 2 :

وَظَنُّوْآ اَنَّهُمْ مَّا نِعَتُهُمْ حُصُوْنَهُمْ مِّنَ للهِ فَاَتهُمُ الله ُمِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوْا ...

Mereka itu mengiran bahwa benteng-benteng mereka itu akan dapat mempertahankan diri mereka terhadap kekuasaan Allah. Kemudian datanglah siksaan Allah kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sangka-sangka sedikitpun.

Dalam ayat ini Allah ta’ala mencemoohkan orang-orang kafir yang membanggakan keadaan perbentengan, heran terhadap kekuatan yang telah mereka susun, sehingga menyangka tidak akan dapat runtuh sama sekali. Kenyataannya tidaklah demikian. Mereka akhirnya jatuh berantakan.

Allah ta’ala berfirman pula dalam surah Al Kahf 104 :
... وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعاً
Mereka mengira bahwa mereka itu berbuat kebaikan.

Inipun timbulnya adalah karena adanya sifat ‘ujub pada perbuatannya sendiri.

Sesuatu yang dipergunakan sebagai bahan ‘ujub itu adakalanya perbuatan yang nyata salahnya dan adakalanya perbuatan yang nyata benar. Jadi tidak ada perbedaannya dan dengan kedua hal ini sama-sama orang dapat berbuat ‘ujub.

Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abusy-syaikh bersabda :
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ , وَهَوًى مَتَّبَعٌ , وَاِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
Ada tiga hal yang merusakkan (akhlak, jiwa dan agama) yaitu kikir yang diikuti, hawa nafsu yang diperturutkan dan keheranan seseorang pada dirinya sendiri (‘ujub).

Ibnu Mas’ud berkata, “Kebinasaan itu terletak dalam dua perkara yaitu putus asa dan ‘ujub”.

Pengulas ucapan Ibnu Mas’ud itu menerangkan apa sebabnya dua hal itu membinasakan. Sebabnya ialah karena kebahagiaan itu tidak mungkin dapat diperoleh dengan malas-malasan. Ia harus dikejar dengan kegiatan, kesungguhan hati dan perbuatan, menuntut dengan sekeras-kerasnya, tanpa mengenal lelah dan sengsara serta tangkas melakukan daya upaya dan pula memasuki setiap kesempatan yang ada. Sedangkan orang yang berputus asa itu tidak suka lagi berusaha dan tidak pula mencari apa-apa yang dicita-citakannya. Manakah dapat orang semacam ini akan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebagai kebalikan orang yang berputus asa ialah orang yang ‘ujub pada dirinya sendiri. Ia seolah-olah sudah meyakinkah bahwa dirinyalah yang bahagia serta merasa sudah pasti selamat dan sejahtera. Oleh sebab itu menganggap tidak ada gunanya untuk berusaha memperoleh kebahagiaan tadi. Keduanya sama-sama merusakkan dan menghancurkan segala kebaikan.

Allah ta’ala berfirman dalam surah An Najm 32 :
Janganlah kamu mengira sudah menyucikan dirimu sendiri                                     ...  ... فَلاَ تُزَكُّوْآ اَنْفُسَكُمْ

Maksudnya ialah jangan sekali-kali hatimu menyangka bahwa dirimu itu sudah suci dan bersih dari segala kesalahan, sebab dengan sangkaan yang keliru ini, nantinya akan timbullah rasa ‘ujub pada diri sendiri.

Allah ta’ala berfirman pula dalam surah Al Baqarah 264 :
... لاَتُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَاْلاَذَى
Janganlah kamu semua membatalkan sedekah-sedekahmu dengan kebanggaan dan cercaan.

Kebanggan itu tentunya ditimbulkan oleh rasa menganggap amat berharga sekali apa yang disedekahkan, sedang menganggap besarnya suatu amalan itupun termasuk ‘ujub juga.

BAHAYA ‘UJUB

Ketahuilah bahwa afat atau bahaya sifat ‘ujub itu amat banyak sekali.

Yang pertama ialah bahwa ‘ujub itu menyebabkan timbulnya rasa sombong, sebab memang ‘ujub itulah yang merupakan salah satu dari berbagai sebab kesombongan itu. Jadi dari ‘ujub maka muncullah sifat ketakabburan itu, sedangkan takabbur itu bukan main banyaknya tentang afat dan bahayanya, sebagaimana kita pun memakluminya. Ini adalah yang berhubungan dengan sesama makhluk manusia.

Adapun yang berhubungan langsung dengan Allah ta’ala ialah bahwa ‘ujub itu menyebabkan seseorang itu lupa akan dosa-dosanya dan dengan demikian lalu melalaikannya, tidak mengindahkannya dan kurang memperhatikan akibat-akibatnya. Jadi sebagian dari dosanya itu tidak lagi diingatnya, sebab merasa tidak perlu lagi menelitinya. Kalau pun ada yang diingat, juga dianggapnya kecil dan sepele saja. Oleh sebab itu, lalu tidak berusaha segiat-giatnya untuk melenyapkan. Mungkin sekali ia merasa bahwa dosanya sudah diampuni oleh Allah ta’ala.

Selanjutnya ‘ujub yang berhubungan dengan peribadatan atau amalan-amalan yang shalih ialah bahwa ia mengira amat banyak dan amat besar sekali pahala yang akan diterimanya, mengira amat berharga sekali amalan yang dilakukan. Harapannya terlampau besar terhadap Allah, hanya dengan melaksanakan amalan yang belum seberapa itu, tetapi dianggapnya sudah sangat dan bermutu tinggi. Ia agaknya lupa bahwa segala yang diamalkan itu semata-mata dengan taufik Allah ta’ala dan lagi dengan perkenan-Nya juga.

Yang merupakan afat kedua ialah apabila seseorang itu sudah dihinggapi penyakit ‘ujub, lalu buta pada bahaya-bahaya ‘ujub itu sendiri. Sebabnya ialah karena seseorang yang ber’ujub sudah tentu tertipu oleh dirinya sendiri, tertipu oleh pendapatnya sendiri dan tertipu oleh perasaannya sendiri. Ia merasa bahwa apa-apa yang terbit dari tubuhnya itu semuanya serba hebat dan agung. Inilah tipuannya. Orang yang sudah tertipu oleh dirinya sendiri itu, pasti merasa akan tersingkir dari tipu daya Allah ta’ala serta siksa-Nya. Ia mengira bahwa ia memiliki tempat yang istimewa dan amat baik disisi Allah dan mengira pula bahwa Allah akan mengaruniakan limpahan rahmat padanya. Bahkan ia mengira pula bahwa dirinya sudah berhak memperoleh kenikmatan-kenikmatan dari Allah dengan sebab banyaknya amalan yang dilakukan itu.

Bahaya yang ketiga ialah seseorang itu akan dikeluarkan oleh ‘ujubnya sendiri ke suatu keadaan kurang sadar terhadap kedudukan dirinya. Akhirnya ia akan memuji-muji pada dirinya, menyanjung-nyanjungnya dan menganggapnya amat suci dan bersih dari segala kesalahan dosa. Padahal yang sedemikian itu amat membosankan orang-orang yang mendengarnya.

Bahaya keempat ialah bahwa seseorang yang meng’ujubkan pendapatnya, amalannya serta akal fikirannya itu akan berakibat ;
a. Tidak suka mencari kemanfaatan ilmu pengetahuan pada orang lain, sebab sudah merasa amat pandai.
b. Tidak suka mengajak bermusyawarat pada kawan-kawannya dalam segala hal, sekalipun mengenai kepentingan ummat dan masyarakat dan kalaupun tampaknya sebagai permusyawaratan, maka sifatnya hanyalah sebagaimana tuntutan supaya kawan-kawannya itu mengiyakan atau menyetujui saja apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan. Ini tentulah disebabkan karena merasa bahwa pendapatnyalah yang terbaik dan harus dijadikan tuntunan dan pedoman, ajarannya wajib dilaksanakan dan segala keinginannya wajib dipenuhi. Padahal semua orang sudah bosan kepada kepribadiannya yang tidak jujur itu.
c. Tidak suka bertanya kepada siapapun juga, sebab adanya perasaan malu kalau-kalau dianggap sebagai orang bodoh.

Bahaya yang kelimanya ialah bahwa seseorang yang ‘ujub itu akan mengutamakan dirinya sendiri, tidak perlu lagi memikirkan kepentingan orang lain. Ia akan memutuskan segala sesuatu dengan pemikirannya sendiri, berlagak sebagai diktator, tukang memaksakan kemauannya, enggan bertanya kepada orang yang lebih mengerti dari dirinya sendiri, baik dalam bidang apapun. Akibatnya kalau dipercaya untuk membereskan sesuatu pekerjaan, kemudian apabila ternyata gagal, lalu dilemparkanlah kesalahan itu kepada orang lain, pembantu-pembantunya atau siapapun yang dapat dijadikan kambing hitamnya.

Bahaya keenamnya ialah bahwa seseorang yang’ujub itu kadang-kadang melampaui batas dari akalnya yang sehat. Sesuatu yang salah pun di’ujubkan, padahal kesalahan itu nyata-nyata telah disadarinya. Ia gembira kalau segala sesuatu itu timbul dari gagasannya dan suka sekali mempopulerkan apa-apa yang dari dirinya. Sebaliknya tidak suka terhadap kemasyhuran yang dicapai karena gagasan orang lain. Hal ini akan ditindasnya betul-betul. Orang yang ber’ujub yang sudah melampaui batas ini pasti tidak akan suka mengindahkan nasihat yang baik, fatwa yang berharga dan petunjuk yang benar. Bahkan ia memandang orang lain, apalagi orang-orang yang ada di bawah pengaruhnya dengan mata membodohkan dan ia tetap meneruskan kesalahan-kesalahannya. Itulah yang merupakan afat-afat atau bahaya-bahayanya ‘ujub dan semua itu pasti merusakkan segala kebaikan.

Sementara ada suatu afat yang pokok dari sifat ‘ujub ini dan itulah yang paling merusakkan lagi, yaitu bahwa ia sudah tidak perlu lagi mengusahakan tambahnya kebaikan amalan, sebab mengira bahwa ia telah beruntung. Jadi tidak perlu lagi untuk mencari yang lain sebab sudah merasa cukup dengan yang ada. Anggapan demikian inilah yang nyata-nyata amat merusakkan. Maka dari itu marilah kita semua berdoa kepada Allah ta’ala, semoga diberi taufik oleh-Nya untuk dapat mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.


PENGOBATAN ‘UJUB

Sudah sering kami ketengahkan bahwa untuk mengobati sesuatu penyakit, haruslah dicarikan obat yang merupakan lawannya. Penentang itulah yang pasti dapat menyembuhkannya.

Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui lebih dulu, apakah yang menimbulkan penyakit ‘ujub ini ?

Penyakit ini ditimbulkan oleh sebab adanya kebodohan semata-mata. Jadi obatnya tentulah dengan mengetahui apa yang merupakan lawan kebodohan itu.

Seorang yang bersifat ‘ujub itu adakalanya meng’ujubkan kegantengannya, kecantikannya, kekuatannya, ketangkasannya, keturunannya, kekayaannya dan lain-lain yang semuanya itu tentu hanya secara kebetulan saja dimiliki oleh dirinya. Ringkasnya ia meng’ujubkan sesuatu yang bukan haknya sendiri, sebab semuanya tentulah dari keutamaan Allah s.w.t semata-mata. Yang harus diingat ialah bahwa semuanya itulah yang merupakan limpahan kedemawanan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya yang seharusnya diperbuat bukanlah ber’ujub, tetapi bahkan berterimakasih serta bersyukur kepada Zat yang melimpahkan kenikmatan yang besar itu. Ia seharusnya bersyukur bahwa karena ia sebenarnya tidak berhak mendapatkannya, namun begitu ia lebih diutamakan oleh Allah daripada orang lain. Padahal tidak ada timbal baliknya antara ia dengan Zat Yang Maha Pemberi itu, tidak juga ada perantara yang memintakannya dan ia sendiri pun tidak pernah memintanya.

Nah, jadi pokok pangkal yang menimbulkan sifat ‘ujub itu adalah kebodohan. Untuk melenyapkan ini tentulah harus menggunakan ilmu pengetahuan yang mentahkikkan, yang menjelaskan dengan seterang-terangnya bahwa seseorang hamba Tuhan, amalan-amalannya serta keadaan-keadaan dirinya itu semuanya adalah dari Allah ta’ala. Semua itu adalah kenikmatan yang dilimpahkan padanya sejak dahulu kala, padahal ia tidak berhak untuk memperolehnya secara mutlak. Maksudnya bahwa hal-hal itu boleh saja Allah memberikan pada orang lain dan bukan pada dirinya. Perasaan demikian inilah yang pasti dapat melenyapkan rasa ‘ujub atau megah atau heran pada diri sendiri. Sebaliknya akan menimbulkan sifat tunduk, patuh, syukur dan takut kalau-kalau kenikmatan yang telah dimiliki itu akan ditarik kembali oleh Allah, dirampas dari dirinya sehingga ia akan menjadi hina dina dan miskin dari apa-apa yang telah ada.

Allah ta’ala berfirman dalam surah An Nur 21 :
...وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ وَرَحْمَتُهُو مَازَكَى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًا ...
Andaikata tiada keutamaan Allah padamu semua serta kerahmatan-Nya, pasti tidak ada seorang pun diantara kamu yang bersih (suci) selama-lamanya.

Rasulullah s.a.w. bersabda kepada sahabat-sahabatnya yang jelas-jelas bahwa beliau-beliau ini adalah sebaik-baik manusia (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
مَا مِنْكُمْ مِنْ اَحَدٍ يُنَجِّيْهِ عَمَلُهُ قَالُوْا : وَلاَ اَنْتَ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : وَلاَاَنَا . اِلاَّ اَنْ يَتَغَمَّهَ نِيَ الله ُبِرَحْمَتِهِ
Tidak seorangpun dari kamu semua yang dapat diselamatkan oleh amalannya sendiri. Para sahabat bertanya, “Tuan juga apakan tidak, ya Rasulullah ?”. Beliau s.a.w. menjawab, “Saya pun tidak dapat, kecuali apabila Allah meliputi diriku dengan kerahmatan-Nya”.

Begitulah  yang sebenarnya. Maka apabila seseorang itu hatinya sudah merasa takut kepada Allah, ia takut pula kalau-kalau kenikmatan yang telah diterimanya itu akan lenyap dengan sebab ia meng’ujubkannya. Jadi bagaimana seseorang yang mengerti dengan sebenar-benarnya itu akan meng’ujubkan amalannya dan tidak mengkhawatirkan pada dirinya sendiri ?

Demikianlah pengobatan yang sungguh-sungguh dapat mematahkan rasa ‘ujub itu dari dalam hati.

HAL YANG DAPAT MENIMBULKAN ‘UJUB DAN USAHA PENGOBATANNYA

Ketahuilah bahwa himpunan bahan ke’ujuban itu ada delapan macam yaitu ;

Pertama ; ‘Ujub dengan badannya baik yang berhubungan dengan kegantengan, kecantikan, keadaan besar dan tingginya, keindahan suara dan segala sesuatu yang ada disitu.

Agaknya manusia yang meng’ujubkan ini lupa bahwa semua yang dimiliki tadi adalah berasal dari Allah ta’ala yakni bahwa itulah sesungguhnya kenikmatan yang dilimpahkan padanya. Padahal manusia itu pun sadar bahwa tubuhnya itu pasti akan sirna dan lenyap pada suatu ketika. Maka untuk mengobatinya ini hendaklah suka memikirkan kekotoran-kekotoran batinnya, sejak pada permulaan kejadiannya sehingga pada akhir penghabisannya nanti. Perlu disadarinya pula bahwa sekalipun muka yang ganteng dan wajah yang cantik atau pun badan yang halus bagaikan sutera, akhirnya pasti akan terkoyak-koyak dalam tanah dan akan menjadi bacin baunya dalam kubur, sehingga semua orang pun akan jijik melihatnya.

Kedua ; ‘Ujub dengan kekuatan dan ketangkasan, sebagaimana yang diriwayatkan perihal keadaan kaum ‘Ad. Mereka ini dahulu pernah berkata, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala dalam surah Hamim Sajdah 15 :
Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kita ini ?                       مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً 

Untuk mengobati ini ialah supaya diingat baik-baik bahwa dirinya itu berat sekali untuk menahan suatu penyakit, sehingga sakit panas sehari saja sudah cukup dapat melumpuhkan seluruh kekuatan tubuhnya. Juga sekiranya ia terus-menerus akan meng’ujubkan kekuatan dan ketangkasannya, maka tidak mustahil bahwa Allah ta’ala akan memurkainya dan merampas seluruh daya yang ada dalam dirinya dengan jalan memberikan suatu bencana yang segera akan diturunkan, mungkin sekali seperti kejatuhan pohon besar hingga tulang kakinya patah atau ketubruk kendaraan hingga tangannya putus dan sebagainya.

Ketiga ; ‘Ujub dengan akal fikiran, kecerdasan otak, kecerdikan atau kepandaian, terutama dalam hal-hal yang pelik dan sulit, baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan atau keduniaan.

Buah daripada ini ialah kegemaran untuk mengutamakan pendapat diri sendiri dan tidak menghargai buah fikiran orang lain, bersikap sebagai seorang diktator dalam segala hal, mengabaikan permusyawatan, menganggap bodoh pada orang-orang yang menyalahi kehendak dan pendapatnya, serta kurang memperhatikan nasehat dan fatwa para ahli ilmu agama dan lain-lain, sebab merasa tidak memerlukannya lagi dan merasa akal fikiran serta kepandaiannya sudah cukup sekali.

Adapun mengobatinya ini ialah hendaknya mengembalikan semua itu kepada kekuasaan Allah ta’ala, bersyukur sebab telah dikaruniai akal yang cerdas, fikiran yang cerdik, kepandaian yang banyak dan pandangan yang luas. Selain itu, baiklah ia berfikir sedalam-dalamnya, bagaimana sekiranya ia ditakdirkan otaknya terkena suatu penyakit, bagaimanakah sekiranya ia menjadi seorang yang linglung, sinting atau gila ? Apakah ia sendiri tidak akan ketawa menyaksikan dirinya nanti ? Padahal kekuasaan Allah ta’ala tiada batasnya sama sekali. Jikalau Allah ta’ala hendak membuat dirinya sebagaimana di atas itupun tidak pula akan ada halangannya. Bahkan sekiranya ia tetap meng’ujubkan, mungkin sekali Allah ta’ala akan memberinya balasan yang setimpal selagi ia masih di dunia ini yakni dengan menjadikannya berubah akal dan lain-lain, sebab kenikmatan yang dilimpahkan itu bukan lebih disyukuri, bahkan lebih digunakan tidak sebagaimana mestinya. Ia berbuat teledor dan sembrono dengan ilmu dan akalnya.

Sementara itu hendaklah diinsafi betul-betul bahwa ilmu-ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu sebenarnya hanyalah sedikit sekali, sekalipun menurut pandangan umumnya manusia sudah dikatakan luar biasa. Ingatlah bahwa apa yang belum diketahui dengan apa yang sudah diketahui, pasti masih lebih banyak yang belum. Ini barulah dalam hal pengetahuan yang sudah menjadi milik manusia. Konon pula ilmu pengetahuan yang merupakan rahasia dalam kekuasaan Allah s.w.t. Juga hendaklah menyadari bahwa akalnya itu belum tentu sesempurna yang dikirakan sendiri. Lihatlah kepada orang-orang yang kurang akalnya, mereka ini pun ber’ujub dengan akal dan otaknya, sekalipun orang lain semua menertawakan hal-ihwal dan perbuatannya. Berhati-hatilah jangan sampai menjadi seperti orang-orang itu, sedang ia sendiri tidak mengerti. Orang yang masih kurang akalnya itu lazimnya tidak mengerti bahwa ia kurang akal dan orang gila itu pasti tidak sadar bahwa ia gila. Oleh sebab itu, seyogyanya ia memahami benar sampai dimana taraf ketinggian dan kerendahan akalnya itu, bandingkanlah itu dengan orang lain, jangan dirasa-rasakan sendiri dan boleh pula dibandingkan dengan lawannya dan jangan dengan kawannya saja. Sebabnya ialah orang yang erat pergaulan dengan dirinya itu pasti akan memujinya selalu, sehingga menyebabkan akan bertambah lebih ‘ujub lagi. Dirinya dikiranya baik selalu dan tidak ingat sama sekali pada kebodohannya. Akhirnya bukan makin bertambah baik jadinya, tetapi makin lebih ‘ujub dan celaka.

Keempat ; ‘Ujub dengan nasab atau keturunan serta silsilah merasa bahwa dirinya itu amat mulia dan harus dihormati. Bahkan ada yang mengira bahwa keturunan yang mulia itu dapat menyelamatkan dirinya, juga nenek moyangnya, malahan ada yang menyangka bahwa dengan memiliki keturunan itu, segala kesalahan dan dosanya akan diampuni atau diakhir kehidupannya pasti akan memperoleh husnul khotimah (penghabisan yang baik). Orang semacam ini benar-benar tertipu oleh perasaannya sendiri.

Untuk mengobatinya ialah supaya diketahui bahwa apabila ia menyalahi nenek moyangnya, baik yang berhubungan dengan kelakuan dan akhlaknya, sekiranya dengan demikian tetap mengira bahwa dirinya masih dapat digolongkan dengan mereka itu, maka orang semacam ini benar-benr orng yang bodoh dan tolol. Selanjutnya jikalau ia mengikuti sepak terjang nenek moyangnya, maka hendaklah disadari bahwa mereka itu sama sekali tidak pernah berhati ‘ujub tetapi sebaliknya bahkan amat takut kepada Allah ta’ala serta menganggap kecil amalannya sendiri. Nenek moyangnya itu sebabnya menjadi mulia adalah sebab usahanya sendiri, yakni sangat taat, luas ilmu pengetahuannya, melaksanakan segala akhlak yang luhur dan bukannya kesemerbakan mereka itu dengan sebab memiliki keturunan atau silsilah yang di’ujubkan sebagaimana dirinya sendiri itu. Jadi sekiranya ingin menjadi mulia, hendaklah mengikuti nenek moyangnya itu pula yakni bukan menonjolkan nasab atau keturunan, tetapi bahkan memperbanyak ketaatan, amalan dan berbudi pekerti yang tinggi.

Tentang adanya nasab itu sama sekali tidak perlu di’ujubkan. Bukankan Allah ta’ala berfirman dalam surah Al Hujurat 13 :
يَآَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثَى ...
Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami (Allah), menciptakan kamu semua itu dari jenis laki-laki dan perempuan.

Dalam ayat di atas jelaslah bahwa tidak ada pebedaan sama sekali mengenai nasab atau keturunan seseorang, sebab semua itu pasti dari satu pokok dan satu macam keadaan.
Selanjutnya Allah menyebutkan perihal gunanya ada nasab itu, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al Hujurat 13 :
...وَجَعَلْنكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا....
Dan Kami menjadikan kamu semua berbangsa-bangsa serta berlainan daerah-daerahnya, agar supaya kamu semua kenal-mengenal.

Jadi adanya keturunan itu bukanlah untuk dijadikan bahan bermegah-megahan, ber’ujub-‘ujuban atau merasa lebih mulia dari golongan yang lain. Sebabnya ialah karena Allah ta’ala sendiri menjelaskan bahwa yang dianggap termulia ialah yang paling takwa dan sama sekali bukan karena silsilah keturunan. Ini tercantum dalam firman-Nya dalam surah Al Hujurat 13 :
....اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقكُمْ....
Sesungguhnya orang yang termulia diantara kamu semua ialah orang yang paling takwa.

Dalam hal ini rasulullah s.a.w.  yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi bersabda :
اِنَّ الله َاَذْهَبَ عَنْكُمْ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ
Sesungguhnya Allah sudah melenyapkan dari kamu semua akan pembelaan secara Jahiliah dahulu.

Maksudnya hamiyyah atau pembelaan secara Jahiliah ialah memberikan pertolongan karena merasa bahwa sukunya lebih mulia tingkatannya dari yang lain. Jadi dengan meng’ujubkan kebesaran kabilahnya itu, lalu hendak terus bertahan untuk membela golongannya, sekalipun jelas bahwa golongannya sendiri itu yang salah.

Hadits di atas dilanjutkan dengan sabda s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi :
Kamu semua itu adalah putera Adam, dan Adam itu dibuat dari tanah                 كُلُّكُمْ بَنُوْ اَادَمَ وَاَادَمَ مِنْ تُرَابٍ

Memang tidak ada keturunan yang menyebabkan keselamatn seseorang di akhirat nanti. Karena itu hanya amalannya dan ketakwaannya saja yang akan dinilai dan dihargai. Diwaktu turunnya ayat yang berbunyi (Asy Syu’ara 214) :
Dan berilah peringatan kepada keluargamua yang terdekat.                                  وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلاَقْرَبِيْنَ

Beliau s.a.w. lalu mengajak mereka seorang demi seorang dengan berhadap-hadapan muka, tidak dengan bergerombol-gerombol dan beliau s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
يَافَاطِمَهُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ , يَاصَفِيَّةُ بِنْتُ عَبْدِالْمُطَّلِبِ , عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ , اِعْمَلاَ ِلاَنْفُسِكُمَا , فَاِنِّى لاَ اُغْنِى عَنْكُمَا مِنَ اللهِ شَيْئاً
Hai Fatimah puteri Muhammad, hai Shafiah puteri Abdul Muthalib bibi rasulullah, saya harap kalian suka beramal untuk dirimu sendiri, sebab saya tidak akan dapat memberikan kemanfaatan sedikitpun, untukmu berdua dari siksa Allah.

Hadits di atas menjukkan bahwa sekiranya keduanya lebih condong pada keduniaan, maka tentulah tidak akan memberi kemanfaatan sama sekali keturunannya, sekalipun dari nasab Quraisy, suatu silsilah yang dianggap termulia di kalangan bangsa Arab dahulu.

Nah, barangsiapa yang dapat memahami dengan sebenar-benarnya hal-hal sebagaimana diatas itu, mengetahui pula bahwa letak kemuliaannya itu hanya menurut kadar ketakwaannya, mengerti pula bahwa yang menjadi adat-istiadat nenek moyang itu dahulu adalah tawadhu’, tentulah akan mengikuti jejak mereka, baik dalam ketakwaannya, ketawadhu’annya dan segala amalannya yang baik-baik. Jikalau tidak demikian perilaku dan perbuatannya, samalah halnya dengan menodai dan mencemarkan nasabnya sendiri, baik secara langsung atau tidak. Sebabnya ialah jikalau seseorang itu mengaku-akukan bahwa dirinya dari golongan si Anu, tetapi yang dilakukan malahan yang buruk-buruk, tentulah orang-orang lain akan menganggap bahwa golongan yang dimaksud tadi adalah kurang sopan, biadab dan tidak mengerti tata tertib sebagai manusia. Ini pun demikian pula, seseorang yang mengatakan dirinya dari suku atau keturunan atau bangsa ini atau itu, tetapi tidak berlaku tawadhu’ dan takwa, takut yang sebenar-benarnya serta kasih sayang pada diri sendiri dengan meninggalkan kemaksiatan dan lain-lain, tentu sama halnya dengan membusukkan sukunya sendiri, keturunannya sendiri, dan juga bangsanya sendiri.

Kelima ; ‘Ujub dengan nasab pembesar negara atau pejabat-pejabat sebawahnya, bukan dengan nasab ahli ilmu agama. Misalnya seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah anak si Jenderal Anu, cucu menteri Anu dan sebagainya. Ini pun menunjukkan kebodohan yang sangat pula. Untuk mengobatinya baiklah orang itu merenungkan betapa banyaknya kemungkaran dan kemaksiatan yang lazim dilakukan oleh golongan itu serta larangan-larangan yang biasa diterjang sebagai penganiayaan terhadap sesama ummat manusia. Jadi dengan meneliti sedemikian tadi, akan bersyukurlah kepada Allah ta’ala sebab dirinya dilindungi dari keburukan-keburukan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang besar itu.

Keenam ; ‘Ujub dengan banyaknya anak, pelayan, pengikut, keluarga dan kerabat. Ini sama saja dengan ucapan orang kafir yang disebutkan oleh Allah ta’ala dalam firmannya di surah Saba’ 35 :
Kita ini lebih banyak harta dan anak-anaknya.   ... نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالاً وَّاَوْلاَدًا ....                                        

Juga seperti yang dikatakan oleh kaum mukmin pada waktu perang Hunain, karena meng’ujubkan jumlah bala tentaranya yang amat banyak itu, sehingga mereka berkata, “Nah, hari ini kita tidak akan terkalahkan lagi oleh kaum musyrikin”. Tetapi karena ‘ujub, Allah ta’ala tidak memberikan kemenangan kepada mereka itu dan bahkan sebaliknya.

Untuk mengobati penyakit ‘ujub semacam ini samalah halnya dengan yang kami uraikan dalam hal mengobati kesombongan dengan sebab ini pula, yaitu hendaklah seseorang itu memikirkan dalam-dalam bahwa dirinya itu lemah, begitupun semua pengikut-pengikutnya, anak-anaknya, keluarga serta kerabatnya yang di’ujub-‘ujubkan itu. Mereka semuanya itu tidak dapat memberikan kemanfaatan atau kemudharatan kepada diri mereka sendiri, apalagi kepada orang lain. Bagaimanakah ia meng’ujubkan mereka itu, untuk apa melakukan semacam itu, padahal tentunya ia sendiri sudah memaklumi bahwa mereka pun pada suatu ketika akan berpisah dengannya, jikalau disuatu saat ia telah pergi ke alam baka. Bukankah dalam kuburnya itu nanti ia hanya seorang diri, merasa sangat hina dan dihinakan, tubuhnya diserahkan oleh orang-orang yang dijadikan tempat ‘ujubnya itu kepada alam penuh bencana, di dalam tanah yang banyak dijadikan tempat bagi ular dan kala. Apakah mereka di waktu itu dapat memberikan pertolongan pada dirinya lebih daripada menguburkannya ke dalam tanah. Semuanya juga akan mencari keselamatannya sendiri-sendiri pada hari kiamat, lari tunggang-langgang tak karuan kemana yang dituju. Badannya sendiri tidak dapat mencarikan tempat perlindungan yang aman, konon pula kepada orang lain.

Cobalah resapkan benar-benar firman Allah ta’ala dalam surah ‘Abasa 34-36 ini :
يَوْمَ يَفِرُّالْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِ . وَاُمِّهِى وَاَبِيْهِ . وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيْهِ
Pada hari kiamat itu larilah seseorang dari saudaranya, ibu dan ayahnya, isteri (atau suami) serta sekalian anak-anaknya.

Bagaimanakah kita akan meng’ujubkan seseorang yang disaat kita menemui kesukaran dan kesengsaraan, tiba-tiba saja ia lari dari sisi kita, bukan menjadi penolong kita, tetapi hendak mencari keselamatan dan keenakannya sendiri. Bagaimanakah kita akan bersandar kepada seseorang yang tidak akan memberikan kemanfaatan sedikitpun pada kita ? Bagaimana pula kita akan melupakan kenikmatan Zat yang benar-benar dapat memberikan kemanfaatan serta kemudharatan pada kita ?

Pemikiran-pemikiran semacam itulah yang dapat digunakan sebagai obat penyakit ini. Apabila dapat diresapi dengan seteliti-telitinya, maka insya-Allah Tuhan akan menyembuhkannya.

Ketujuh ; ‘Ujub dengan harta. Ini adalah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang kafir yang mengatakan, seperti disebutkan dalam Quran surah Al Kahf 34 :
... اَنَاْ اَكْثَرُ مِنْكَ مَالاً وَّاَعَزُّ نَفَرًا
Akulah yang lebih banyak daripadamu perihal harta dan lebih mulia pula golongannya.

Untuk mengobati ini, hendaklah seseorang itu mengenang-ngenangkan betapa besarnya afat atau bahaya yang ditimbulkan oleh harta itu dan betapa pula banyaknya hak-hak yang harus dipenuhi dengan sebab memiliki harta yang bertumpuk-tumpuk. Perlu diingat pula bahwa orang Yahudi lah yang paling banyak hartanya, sedang mereka itu kebanyakan amat durhaka kepada Allah ta’ala.

Selain itu perlu dikenangkan betapa keutamaan yang dicapai oleh kaum fakir-miskin yang sabar, betapa ringan pula hisabnya dan yang terbanyak menjadi penghuni surga di akhirat nanti.

Oleh karena itu, bagaimanakah seorang mukmin akan meng’ujubkan hartanya, padahal ia tidak akan sunyi dari melalaikan hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang wajib dilaksanakan dengan sebab memiliki harta yang berlimpah-ruah itu. Cobalah ingat benar-benar, apakah harta yang dimiliki sudah diletakkan sebagaimana mestinya yaitu diambil dari tempat yang halal dan diletakkan pada tempat yang sudah menjadi haknya. Ingatlah pula bahwa seseorang yang berharta dan sembrono dalam cara mengumpulkannya serta keengganannya membelanjakan hartanya untuk kebaikan itu akan menyeret dirinya sendiri ke arah kehinaan dan kemusnahan yang kekal.

Kedelapan ; ‘Ujub dengan pendapatnya yang salah. Dalam hal ini Allah ta’ala dalam surah Fathir 8 :
اَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُو سُوْءُ عَمَلِهِى فَرَاَاهُ حَسَنَا ....
Adakah orang yang memandang baik perbuatannya yang buruk, lalu perbuatan yang buruk itu dianggapnya baik (akan sama dengan orang yang mengerjakan perbuatan yang betul-betul baik) ?”.

Rasulullah s.a.w. sendiri sudah memberitahukan bahwa dengan meng’ujubkan pendapat yang salah itulah yang menyebabkan kerusakan serta kebinasaan ummat zaman dahulu, sebab akhirnya mereka itupun berpecah-pecah menjadi bermacam-macam golongan dan kelompok, tidak lagi utuh persatuan mereka. Begitulah halnya setiap orang yang heran pada pendapatnya sendiri, dan memanglah bahwa setiap golongan itu merasa gembira dengan apa yang dalam kelompoknya. Oleh sebab itu dibelanya mati-matian sekalipun dimaklumi bahwa golongannya sendiri itulah yang nyata-nyata salah.

Untuk mengobati ini hendaklah seseorang menyangka buruk selalu pada pendapatnya sendiri, tetapi jangan dihinggapi penyakit merasa diri rendah. Jadi janganlah tertipu oleh pendapatnya sendiri, kecuali jikalau ia sudah menyaksikan dengan nyata-nyata bahwa untuk memperkuat pendapatnya tadi ada alasan-alasan yang berupa nash-nash yang pasti dari Quran atau Sunnah rasulullah s.a.w. yang berupa hadits-hadits shahih, atau benar-benar dapat diuji kebenarannya oleh dalil aqli yang shahih pula serta mencukupi syarat-syarat untuk digunakan sebagai dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang itu tentunya tidak mungkin akan mendapatkan dalil-dalil syari’at ataupun yang berdasarkan akan fikiran serta syarat-syaratnya, begitu pula dimana letak rahasia kesalahan yang mungkin terjadi, melainkan dengan suatu pandangan yang luas, akal yang cerdik, giat serta bersungguh-sungguh dalam mengadakan penyelidikan dan pencarian ilmunya, bahkan harus pula memahami benar-benar akan isi Al Quran dan hadits-hadits dan pula segala ilmu yang berhubungan dengan kedua kitab yang merupakan pokok agama ini. Malahan harus ditambah pula dengan mempergauli ahli ilmu agama sepanjang usianya serta mempelajari ilmu-ilmu dari para guru yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Sekalipun semua itu sudah dilaksanakan, tetapi masih juga belum dapat diberikan jaminan bahwa pendapatnya itu pasti benar dalam berbagai persoalan. Jadi dalam setengah persoalan masih besar kemungkinan terjadinya kesalahan yang tidak disengaja itu.

Oleh sebab itu, yang sebaik-baiknya bagi seseorang yang belum mampu dan belum cukup cakap untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan dan tidak pula berkecimpung dalam bidang ilmu agama ini sepanjang umurnya, hendaknya jangan terlampau memperdalam soal-soal kemazhaban. Sebaliknya baik sekali baginya untuk menghabiskan waktunya dalam ketakwaan, menjauhi segala macam kemaksiatan, menunaikan ketaatan-ketaatan serta kasih sayang terhadap sesama kaum muslimin. Caranya tentulah dengan memberi pelajaran dan didikan pada mereka dengan memberikan ilmu-ilmu yang amat mereka butuhkan untuk kebahagiaan mereka sejak di dunia hingga di akhirat nanti.

Sebagai penghabisan bab ini, marilah kita bersama-sama memohon kepada Allah ta’ala, hendaknya kita semua dilindungi dari kesesatan dan marilah kita mohon perlindungan pada-Nya agar jangan sekali-kali kita terkena tipuan dari khayalan-khayalan kaum yang bodoh dan tidak mengerti.

Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar