‘Ujub artinya merasa bangga pada
diri sendiri, merasa heran terhadap diri sendiri dengan sebab adanya satu dan
lain hal. Diri sendiri yang dimaksudkan disini ialah mengenai pribadinya,
golongannya, kelompoknya atau apa saja yang dianggap erat hubungannya dengan
dirinya sendiri itu.
Akhlak semacam ini adalah sangat
tercela dan sama sekali tidak ada kebaikannya. Ini disebutkan dalam Al Quran
serta hadits rasulullah s.a.w.
Allah s.w.t dalam surah At Taubah
25 berfirman :
...
وَّيَوْمَ حُنَيْنٍ ,لا اِذْ اَعْجَبَتْكُمْ
كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْأً ...
Dan pada hari perang Hunain,
diwaktu kamu semua terheran-heran oleh banyak jumlahmu, tetapi jumlah yang
banyak itu tidak dapat menolong sedikitpun padamu.
Allah ta’ala menyebutkan ini
sebagai suatu pengingkaran yakni tidak menyetujui sikap kaum muslimin yang
membanggakan dirinya, merasa heran terhadap jumlahnya yang banyak yang
dikiranya dengan itu pasti akan memperoleh kemenangan di medan perang. Tetapi
kenyataannya tidaklah demikian.
Allah berfirman lagi dalam surah
Hasyr 2 :
وَظَنُّوْآ اَنَّهُمْ مَّا نِعَتُهُمْ حُصُوْنَهُمْ
مِّنَ للهِ فَاَتهُمُ الله ُمِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوْا ...
Mereka itu mengiran bahwa
benteng-benteng mereka itu akan dapat mempertahankan diri mereka terhadap
kekuasaan Allah. Kemudian datanglah siksaan Allah kepada mereka dari tempat
yang tidak mereka sangka-sangka sedikitpun.
Dalam ayat ini Allah ta’ala
mencemoohkan orang-orang kafir yang membanggakan keadaan perbentengan, heran
terhadap kekuatan yang telah mereka susun, sehingga menyangka tidak akan dapat
runtuh sama sekali. Kenyataannya tidaklah demikian. Mereka akhirnya jatuh
berantakan.
Allah ta’ala berfirman pula dalam
surah Al Kahf 104 :
...
وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعاً
Mereka mengira bahwa mereka
itu berbuat kebaikan.
Inipun timbulnya adalah karena
adanya sifat ‘ujub pada perbuatannya sendiri.
Sesuatu yang dipergunakan sebagai
bahan ‘ujub itu adakalanya perbuatan yang nyata salahnya dan adakalanya
perbuatan yang nyata benar. Jadi tidak ada perbedaannya dan dengan kedua hal
ini sama-sama orang dapat berbuat ‘ujub.
Rasulullah s.a.w. yang
diriwayatkan oleh Abusy-syaikh bersabda :
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ
, وَهَوًى مَتَّبَعٌ , وَاِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
Ada tiga hal yang merusakkan
(akhlak, jiwa dan agama) yaitu kikir yang diikuti, hawa nafsu yang diperturutkan
dan keheranan seseorang pada dirinya sendiri (‘ujub).
Ibnu Mas’ud berkata, “Kebinasaan
itu terletak dalam dua perkara yaitu putus asa dan ‘ujub”.
Pengulas ucapan Ibnu Mas’ud itu
menerangkan apa sebabnya dua hal itu membinasakan. Sebabnya ialah karena
kebahagiaan itu tidak mungkin dapat diperoleh dengan malas-malasan. Ia harus
dikejar dengan kegiatan, kesungguhan hati dan perbuatan, menuntut dengan
sekeras-kerasnya, tanpa mengenal lelah dan sengsara serta tangkas melakukan
daya upaya dan pula memasuki setiap kesempatan yang ada. Sedangkan orang yang
berputus asa itu tidak suka lagi berusaha dan tidak pula mencari apa-apa yang
dicita-citakannya. Manakah dapat orang semacam ini akan memperoleh kebahagiaan
dan kesejahteraan. Sebagai kebalikan orang yang berputus asa ialah orang yang
‘ujub pada dirinya sendiri. Ia seolah-olah sudah meyakinkah bahwa dirinyalah
yang bahagia serta merasa sudah pasti selamat dan sejahtera. Oleh sebab itu
menganggap tidak ada gunanya untuk berusaha memperoleh kebahagiaan tadi.
Keduanya sama-sama merusakkan dan menghancurkan segala kebaikan.
Allah ta’ala berfirman dalam
surah An Najm 32 :
Janganlah kamu mengira sudah
menyucikan dirimu sendiri ... ...
فَلاَ تُزَكُّوْآ اَنْفُسَكُمْ
Maksudnya ialah jangan
sekali-kali hatimu menyangka bahwa dirimu itu sudah suci dan bersih dari segala
kesalahan, sebab dengan sangkaan yang keliru ini, nantinya akan timbullah rasa
‘ujub pada diri sendiri.
Allah ta’ala berfirman pula dalam
surah Al Baqarah 264 :
...
لاَتُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَاْلاَذَى
Janganlah kamu semua
membatalkan sedekah-sedekahmu dengan kebanggaan dan cercaan.
Kebanggan itu tentunya
ditimbulkan oleh rasa menganggap amat berharga sekali apa yang disedekahkan,
sedang menganggap besarnya suatu amalan itupun termasuk ‘ujub juga.
BAHAYA
‘UJUB
Ketahuilah bahwa afat atau bahaya
sifat ‘ujub itu amat banyak sekali.
Yang pertama ialah bahwa ‘ujub
itu menyebabkan timbulnya rasa sombong, sebab memang ‘ujub itulah yang
merupakan salah satu dari berbagai sebab kesombongan itu. Jadi dari ‘ujub maka
muncullah sifat ketakabburan itu, sedangkan takabbur itu bukan main banyaknya
tentang afat dan bahayanya, sebagaimana kita pun memakluminya. Ini adalah yang
berhubungan dengan sesama makhluk manusia.
Adapun yang berhubungan langsung
dengan Allah ta’ala ialah bahwa ‘ujub itu menyebabkan seseorang itu lupa akan
dosa-dosanya dan dengan demikian lalu melalaikannya, tidak mengindahkannya dan
kurang memperhatikan akibat-akibatnya. Jadi sebagian dari dosanya itu tidak
lagi diingatnya, sebab merasa tidak perlu lagi menelitinya. Kalau pun ada yang
diingat, juga dianggapnya kecil dan sepele saja. Oleh sebab itu, lalu tidak
berusaha segiat-giatnya untuk melenyapkan. Mungkin sekali ia merasa bahwa
dosanya sudah diampuni oleh Allah ta’ala.
Selanjutnya ‘ujub yang
berhubungan dengan peribadatan atau amalan-amalan yang shalih ialah bahwa ia
mengira amat banyak dan amat besar sekali pahala yang akan diterimanya, mengira
amat berharga sekali amalan yang dilakukan. Harapannya terlampau besar terhadap
Allah, hanya dengan melaksanakan amalan yang belum seberapa itu, tetapi
dianggapnya sudah sangat dan bermutu tinggi. Ia agaknya lupa bahwa segala yang
diamalkan itu semata-mata dengan taufik Allah ta’ala dan lagi dengan
perkenan-Nya juga.
Yang merupakan afat kedua ialah
apabila seseorang itu sudah dihinggapi penyakit ‘ujub, lalu buta pada bahaya-bahaya
‘ujub itu sendiri. Sebabnya ialah karena seseorang yang ber’ujub sudah tentu
tertipu oleh dirinya sendiri, tertipu oleh pendapatnya sendiri dan tertipu oleh
perasaannya sendiri. Ia merasa bahwa apa-apa yang terbit dari tubuhnya itu
semuanya serba hebat dan agung. Inilah tipuannya. Orang yang sudah tertipu oleh
dirinya sendiri itu, pasti merasa akan tersingkir dari tipu daya Allah ta’ala
serta siksa-Nya. Ia mengira bahwa ia memiliki tempat yang istimewa dan amat
baik disisi Allah dan mengira pula bahwa Allah akan mengaruniakan limpahan
rahmat padanya. Bahkan ia mengira pula bahwa dirinya sudah berhak memperoleh
kenikmatan-kenikmatan dari Allah dengan sebab banyaknya amalan yang dilakukan
itu.
Bahaya yang ketiga ialah
seseorang itu akan dikeluarkan oleh ‘ujubnya sendiri ke suatu keadaan kurang
sadar terhadap kedudukan dirinya. Akhirnya ia akan memuji-muji pada dirinya,
menyanjung-nyanjungnya dan menganggapnya amat suci dan bersih dari segala
kesalahan dosa. Padahal yang sedemikian itu amat membosankan orang-orang yang
mendengarnya.
Bahaya keempat ialah bahwa
seseorang yang meng’ujubkan pendapatnya, amalannya serta akal fikirannya itu
akan berakibat ;
a. Tidak suka mencari kemanfaatan ilmu pengetahuan pada orang lain,
sebab sudah merasa amat pandai.
b. Tidak suka mengajak bermusyawarat pada kawan-kawannya dalam segala
hal, sekalipun mengenai kepentingan ummat dan masyarakat dan kalaupun tampaknya
sebagai permusyawaratan, maka sifatnya hanyalah sebagaimana tuntutan supaya
kawan-kawannya itu mengiyakan atau menyetujui saja apa-apa yang dikehendaki dan
dikemukakan. Ini tentulah disebabkan karena merasa bahwa pendapatnyalah yang
terbaik dan harus dijadikan tuntunan dan pedoman, ajarannya wajib dilaksanakan
dan segala keinginannya wajib dipenuhi. Padahal semua orang sudah bosan kepada
kepribadiannya yang tidak jujur itu.
c. Tidak suka bertanya kepada siapapun juga, sebab adanya perasaan
malu kalau-kalau dianggap sebagai orang bodoh.
Bahaya yang kelimanya ialah bahwa
seseorang yang ‘ujub itu akan mengutamakan dirinya sendiri, tidak perlu lagi
memikirkan kepentingan orang lain. Ia akan memutuskan segala sesuatu dengan
pemikirannya sendiri, berlagak sebagai diktator, tukang memaksakan kemauannya,
enggan bertanya kepada orang yang lebih mengerti dari dirinya sendiri, baik
dalam bidang apapun. Akibatnya kalau dipercaya untuk membereskan sesuatu
pekerjaan, kemudian apabila ternyata gagal, lalu dilemparkanlah kesalahan itu
kepada orang lain, pembantu-pembantunya atau siapapun yang dapat dijadikan
kambing hitamnya.
Bahaya keenamnya ialah bahwa
seseorang yang’ujub itu kadang-kadang melampaui batas dari akalnya yang sehat.
Sesuatu yang salah pun di’ujubkan, padahal kesalahan itu nyata-nyata telah
disadarinya. Ia gembira kalau segala sesuatu itu timbul dari gagasannya dan
suka sekali mempopulerkan apa-apa yang dari dirinya. Sebaliknya tidak suka
terhadap kemasyhuran yang dicapai karena gagasan orang lain. Hal ini akan
ditindasnya betul-betul. Orang yang ber’ujub yang sudah melampaui batas ini
pasti tidak akan suka mengindahkan nasihat yang baik, fatwa yang berharga dan
petunjuk yang benar. Bahkan ia memandang orang lain, apalagi orang-orang yang
ada di bawah pengaruhnya dengan mata membodohkan dan ia tetap meneruskan
kesalahan-kesalahannya. Itulah yang merupakan afat-afat atau bahaya-bahayanya
‘ujub dan semua itu pasti merusakkan segala kebaikan.
Sementara ada suatu afat yang
pokok dari sifat ‘ujub ini dan itulah yang paling merusakkan lagi, yaitu bahwa
ia sudah tidak perlu lagi mengusahakan tambahnya kebaikan amalan, sebab mengira
bahwa ia telah beruntung. Jadi tidak perlu lagi untuk mencari yang lain sebab
sudah merasa cukup dengan yang ada. Anggapan demikian inilah yang nyata-nyata
amat merusakkan. Maka dari itu marilah kita semua berdoa kepada Allah ta’ala,
semoga diberi taufik oleh-Nya untuk dapat mentaati segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
PENGOBATAN
‘UJUB
Sudah sering kami ketengahkan
bahwa untuk mengobati sesuatu penyakit, haruslah dicarikan obat yang merupakan
lawannya. Penentang itulah yang pasti dapat menyembuhkannya.
Oleh sebab itu, kita perlu
mengetahui lebih dulu, apakah yang menimbulkan penyakit ‘ujub ini ?
Penyakit ini ditimbulkan oleh
sebab adanya kebodohan semata-mata. Jadi obatnya tentulah dengan mengetahui apa
yang merupakan lawan kebodohan itu.
Seorang yang bersifat ‘ujub itu
adakalanya meng’ujubkan kegantengannya, kecantikannya, kekuatannya,
ketangkasannya, keturunannya, kekayaannya dan lain-lain yang semuanya itu tentu
hanya secara kebetulan saja dimiliki oleh dirinya. Ringkasnya ia meng’ujubkan
sesuatu yang bukan haknya sendiri, sebab semuanya tentulah dari keutamaan Allah
s.w.t semata-mata. Yang harus diingat ialah bahwa semuanya itulah yang
merupakan limpahan kedemawanan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya yang
seharusnya diperbuat bukanlah ber’ujub, tetapi bahkan berterimakasih serta
bersyukur kepada Zat yang melimpahkan kenikmatan yang besar itu. Ia seharusnya
bersyukur bahwa karena ia sebenarnya tidak berhak mendapatkannya, namun begitu
ia lebih diutamakan oleh Allah daripada orang lain. Padahal tidak ada timbal
baliknya antara ia dengan Zat Yang Maha Pemberi itu, tidak juga ada perantara
yang memintakannya dan ia sendiri pun tidak pernah memintanya.
Nah, jadi pokok pangkal yang
menimbulkan sifat ‘ujub itu adalah kebodohan. Untuk melenyapkan ini tentulah
harus menggunakan ilmu pengetahuan yang mentahkikkan, yang menjelaskan dengan
seterang-terangnya bahwa seseorang hamba Tuhan, amalan-amalannya serta
keadaan-keadaan dirinya itu semuanya adalah dari Allah ta’ala. Semua itu adalah
kenikmatan yang dilimpahkan padanya sejak dahulu kala, padahal ia tidak berhak
untuk memperolehnya secara mutlak. Maksudnya bahwa hal-hal itu boleh saja Allah
memberikan pada orang lain dan bukan pada dirinya. Perasaan demikian inilah
yang pasti dapat melenyapkan rasa ‘ujub atau megah atau heran pada diri
sendiri. Sebaliknya akan menimbulkan sifat tunduk, patuh, syukur dan takut
kalau-kalau kenikmatan yang telah dimiliki itu akan ditarik kembali oleh Allah,
dirampas dari dirinya sehingga ia akan menjadi hina dina dan miskin dari
apa-apa yang telah ada.
Allah ta’ala berfirman dalam
surah An Nur 21 :
...وَلَوْلاَ
فَضْلُ اللهِ وَرَحْمَتُهُو مَازَكَى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ
اَبَدًا ...
Andaikata tiada keutamaan
Allah padamu semua serta kerahmatan-Nya, pasti tidak ada seorang pun diantara
kamu yang bersih (suci) selama-lamanya.
Rasulullah s.a.w. bersabda kepada
sahabat-sahabatnya yang jelas-jelas bahwa beliau-beliau ini adalah sebaik-baik
manusia (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
مَا مِنْكُمْ مِنْ اَحَدٍ يُنَجِّيْهِ
عَمَلُهُ قَالُوْا : وَلاَ اَنْتَ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : وَلاَاَنَا . اِلاَّ
اَنْ يَتَغَمَّهَ نِيَ الله ُبِرَحْمَتِهِ
Tidak seorangpun dari kamu
semua yang dapat diselamatkan oleh amalannya sendiri. Para sahabat bertanya,
“Tuan juga apakan tidak, ya Rasulullah ?”. Beliau s.a.w. menjawab, “Saya pun
tidak dapat, kecuali apabila Allah meliputi diriku dengan kerahmatan-Nya”.
Begitulah yang sebenarnya. Maka apabila seseorang itu
hatinya sudah merasa takut kepada Allah, ia takut pula kalau-kalau kenikmatan
yang telah diterimanya itu akan lenyap dengan sebab ia meng’ujubkannya. Jadi
bagaimana seseorang yang mengerti dengan sebenar-benarnya itu akan meng’ujubkan
amalannya dan tidak mengkhawatirkan pada dirinya sendiri ?
Demikianlah pengobatan yang
sungguh-sungguh dapat mematahkan rasa ‘ujub itu dari dalam hati.
HAL YANG
DAPAT MENIMBULKAN ‘UJUB DAN USAHA PENGOBATANNYA
Ketahuilah bahwa himpunan bahan
ke’ujuban itu ada delapan macam yaitu ;
Pertama ; ‘Ujub dengan badannya
baik yang berhubungan dengan kegantengan, kecantikan, keadaan besar dan
tingginya, keindahan suara dan segala sesuatu yang ada disitu.
Agaknya manusia yang meng’ujubkan
ini lupa bahwa semua yang dimiliki tadi adalah berasal dari Allah ta’ala yakni
bahwa itulah sesungguhnya kenikmatan yang dilimpahkan padanya. Padahal manusia
itu pun sadar bahwa tubuhnya itu pasti akan sirna dan lenyap pada suatu ketika.
Maka untuk mengobatinya ini hendaklah suka memikirkan kekotoran-kekotoran
batinnya, sejak pada permulaan kejadiannya sehingga pada akhir penghabisannya
nanti. Perlu disadarinya pula bahwa sekalipun muka yang ganteng dan wajah yang
cantik atau pun badan yang halus bagaikan sutera, akhirnya pasti akan
terkoyak-koyak dalam tanah dan akan menjadi bacin baunya dalam kubur, sehingga
semua orang pun akan jijik melihatnya.
Kedua ; ‘Ujub dengan kekuatan dan
ketangkasan, sebagaimana yang diriwayatkan perihal keadaan kaum ‘Ad. Mereka ini
dahulu pernah berkata, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala dalam surah
Hamim Sajdah 15 :
Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kita ini ? مَنْ اَشَدُّ مِنَّا
قُوَّةً
Untuk mengobati ini ialah supaya
diingat baik-baik bahwa dirinya itu berat sekali untuk menahan suatu penyakit,
sehingga sakit panas sehari saja sudah cukup dapat melumpuhkan seluruh kekuatan
tubuhnya. Juga sekiranya ia terus-menerus akan meng’ujubkan kekuatan dan
ketangkasannya, maka tidak mustahil bahwa Allah ta’ala akan memurkainya dan
merampas seluruh daya yang ada dalam dirinya dengan jalan memberikan suatu
bencana yang segera akan diturunkan, mungkin sekali seperti kejatuhan pohon
besar hingga tulang kakinya patah atau ketubruk kendaraan hingga tangannya
putus dan sebagainya.
Ketiga ; ‘Ujub dengan akal
fikiran, kecerdasan otak, kecerdikan atau kepandaian, terutama dalam hal-hal
yang pelik dan sulit, baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan atau
keduniaan.
Buah daripada ini ialah kegemaran
untuk mengutamakan pendapat diri sendiri dan tidak menghargai buah fikiran
orang lain, bersikap sebagai seorang diktator dalam segala hal, mengabaikan
permusyawatan, menganggap bodoh pada orang-orang yang menyalahi kehendak dan
pendapatnya, serta kurang memperhatikan nasehat dan fatwa para ahli ilmu agama
dan lain-lain, sebab merasa tidak memerlukannya lagi dan merasa akal fikiran serta
kepandaiannya sudah cukup sekali.
Adapun mengobatinya ini ialah
hendaknya mengembalikan semua itu kepada kekuasaan Allah ta’ala, bersyukur
sebab telah dikaruniai akal yang cerdas, fikiran yang cerdik, kepandaian yang
banyak dan pandangan yang luas. Selain itu, baiklah ia berfikir
sedalam-dalamnya, bagaimana sekiranya ia ditakdirkan otaknya terkena suatu
penyakit, bagaimanakah sekiranya ia menjadi seorang yang linglung, sinting atau
gila ? Apakah ia sendiri tidak akan ketawa menyaksikan dirinya nanti ? Padahal
kekuasaan Allah ta’ala tiada batasnya sama sekali. Jikalau Allah ta’ala hendak
membuat dirinya sebagaimana di atas itupun tidak pula akan ada halangannya.
Bahkan sekiranya ia tetap meng’ujubkan, mungkin sekali Allah ta’ala akan
memberinya balasan yang setimpal selagi ia masih di dunia ini yakni dengan
menjadikannya berubah akal dan lain-lain, sebab kenikmatan yang dilimpahkan itu
bukan lebih disyukuri, bahkan lebih digunakan tidak sebagaimana mestinya. Ia
berbuat teledor dan sembrono dengan ilmu dan akalnya.
Sementara itu hendaklah diinsafi
betul-betul bahwa ilmu-ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu sebenarnya
hanyalah sedikit sekali, sekalipun menurut pandangan umumnya manusia sudah
dikatakan luar biasa. Ingatlah bahwa apa yang belum diketahui dengan apa yang
sudah diketahui, pasti masih lebih banyak yang belum. Ini barulah dalam hal
pengetahuan yang sudah menjadi milik manusia. Konon pula ilmu pengetahuan yang
merupakan rahasia dalam kekuasaan Allah s.w.t. Juga hendaklah menyadari bahwa
akalnya itu belum tentu sesempurna yang dikirakan sendiri. Lihatlah kepada
orang-orang yang kurang akalnya, mereka ini pun ber’ujub dengan akal dan
otaknya, sekalipun orang lain semua menertawakan hal-ihwal dan perbuatannya.
Berhati-hatilah jangan sampai menjadi seperti orang-orang itu, sedang ia
sendiri tidak mengerti. Orang yang masih kurang akalnya itu lazimnya tidak
mengerti bahwa ia kurang akal dan orang gila itu pasti tidak sadar bahwa ia
gila. Oleh sebab itu, seyogyanya ia memahami benar sampai dimana taraf ketinggian
dan kerendahan akalnya itu, bandingkanlah itu dengan orang lain, jangan
dirasa-rasakan sendiri dan boleh pula dibandingkan dengan lawannya dan jangan
dengan kawannya saja. Sebabnya ialah orang yang erat pergaulan dengan dirinya
itu pasti akan memujinya selalu, sehingga menyebabkan akan bertambah lebih
‘ujub lagi. Dirinya dikiranya baik selalu dan tidak ingat sama sekali pada
kebodohannya. Akhirnya bukan makin bertambah baik jadinya, tetapi makin lebih
‘ujub dan celaka.
Keempat ; ‘Ujub dengan nasab atau
keturunan serta silsilah merasa bahwa dirinya itu amat mulia dan harus
dihormati. Bahkan ada yang mengira bahwa keturunan yang mulia itu dapat
menyelamatkan dirinya, juga nenek moyangnya, malahan ada yang menyangka bahwa
dengan memiliki keturunan itu, segala kesalahan dan dosanya akan diampuni atau
diakhir kehidupannya pasti akan memperoleh husnul khotimah (penghabisan yang
baik). Orang semacam ini benar-benar tertipu oleh perasaannya sendiri.
Untuk mengobatinya ialah supaya
diketahui bahwa apabila ia menyalahi nenek moyangnya, baik yang berhubungan
dengan kelakuan dan akhlaknya, sekiranya dengan demikian tetap mengira bahwa
dirinya masih dapat digolongkan dengan mereka itu, maka orang semacam ini
benar-benr orng yang bodoh dan tolol. Selanjutnya jikalau ia mengikuti sepak
terjang nenek moyangnya, maka hendaklah disadari bahwa mereka itu sama sekali
tidak pernah berhati ‘ujub tetapi sebaliknya bahkan amat takut kepada Allah
ta’ala serta menganggap kecil amalannya sendiri. Nenek moyangnya itu sebabnya menjadi
mulia adalah sebab usahanya sendiri, yakni sangat taat, luas ilmu
pengetahuannya, melaksanakan segala akhlak yang luhur dan bukannya kesemerbakan
mereka itu dengan sebab memiliki keturunan atau silsilah yang di’ujubkan
sebagaimana dirinya sendiri itu. Jadi sekiranya ingin menjadi mulia, hendaklah
mengikuti nenek moyangnya itu pula yakni bukan menonjolkan nasab atau
keturunan, tetapi bahkan memperbanyak ketaatan, amalan dan berbudi pekerti yang
tinggi.
Tentang adanya nasab itu sama
sekali tidak perlu di’ujubkan. Bukankan Allah ta’ala berfirman dalam surah Al
Hujurat 13 :
يَآَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنكُمْ
مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثَى ...
Hai sekalian manusia,
sesungguhnya Kami (Allah), menciptakan kamu semua itu dari jenis laki-laki dan
perempuan.
Dalam ayat di atas jelaslah bahwa
tidak ada pebedaan sama sekali mengenai nasab atau keturunan seseorang, sebab
semua itu pasti dari satu pokok dan satu macam keadaan.
Selanjutnya Allah menyebutkan
perihal gunanya ada nasab itu, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al Hujurat 13
:
...وَجَعَلْنكُمْ
شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا....
Dan Kami menjadikan kamu semua
berbangsa-bangsa serta berlainan daerah-daerahnya, agar supaya kamu semua
kenal-mengenal.
Jadi adanya keturunan itu
bukanlah untuk dijadikan bahan bermegah-megahan, ber’ujub-‘ujuban atau merasa
lebih mulia dari golongan yang lain. Sebabnya ialah karena Allah ta’ala sendiri
menjelaskan bahwa yang dianggap termulia ialah yang paling takwa dan sama
sekali bukan karena silsilah keturunan. Ini tercantum dalam firman-Nya dalam
surah Al Hujurat 13 :
....اِنَّ
اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقكُمْ....
Sesungguhnya orang yang
termulia diantara kamu semua ialah orang yang paling takwa.
Dalam hal ini rasulullah
s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan Tirmizi bersabda :
اِنَّ الله َاَذْهَبَ عَنْكُمْ
حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ
Sesungguhnya Allah sudah
melenyapkan dari kamu semua akan pembelaan secara Jahiliah dahulu.
Maksudnya hamiyyah atau pembelaan
secara Jahiliah ialah memberikan pertolongan karena merasa bahwa sukunya lebih
mulia tingkatannya dari yang lain. Jadi dengan meng’ujubkan kebesaran
kabilahnya itu, lalu hendak terus bertahan untuk membela golongannya, sekalipun
jelas bahwa golongannya sendiri itu yang salah.
Hadits di atas dilanjutkan dengan
sabda s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi :
Kamu semua itu adalah putera
Adam, dan Adam itu dibuat dari tanah
كُلُّكُمْ بَنُوْ اَادَمَ
وَاَادَمَ مِنْ تُرَابٍ
Memang tidak ada keturunan yang
menyebabkan keselamatn seseorang di akhirat nanti. Karena itu hanya amalannya dan
ketakwaannya saja yang akan dinilai dan dihargai. Diwaktu turunnya ayat yang
berbunyi (Asy Syu’ara 214) :
Dan berilah peringatan kepada
keluargamua yang terdekat. وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلاَقْرَبِيْنَ
Beliau s.a.w. lalu mengajak
mereka seorang demi seorang dengan berhadap-hadapan muka, tidak dengan
bergerombol-gerombol dan beliau s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim) :
يَافَاطِمَهُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ
, يَاصَفِيَّةُ بِنْتُ عَبْدِالْمُطَّلِبِ , عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ , اِعْمَلاَ ِلاَنْفُسِكُمَا
, فَاِنِّى لاَ اُغْنِى عَنْكُمَا مِنَ اللهِ شَيْئاً
Hai Fatimah puteri Muhammad,
hai Shafiah puteri Abdul Muthalib bibi rasulullah, saya harap kalian suka
beramal untuk dirimu sendiri, sebab saya tidak akan dapat memberikan
kemanfaatan sedikitpun, untukmu berdua dari siksa Allah.
Hadits di atas menjukkan bahwa
sekiranya keduanya lebih condong pada keduniaan, maka tentulah tidak akan
memberi kemanfaatan sama sekali keturunannya, sekalipun dari nasab Quraisy, suatu
silsilah yang dianggap termulia di kalangan bangsa Arab dahulu.
Nah, barangsiapa yang dapat
memahami dengan sebenar-benarnya hal-hal sebagaimana diatas itu, mengetahui
pula bahwa letak kemuliaannya itu hanya menurut kadar ketakwaannya, mengerti
pula bahwa yang menjadi adat-istiadat nenek moyang itu dahulu adalah tawadhu’,
tentulah akan mengikuti jejak mereka, baik dalam ketakwaannya, ketawadhu’annya
dan segala amalannya yang baik-baik. Jikalau tidak demikian perilaku dan
perbuatannya, samalah halnya dengan menodai dan mencemarkan nasabnya sendiri,
baik secara langsung atau tidak. Sebabnya ialah jikalau seseorang itu
mengaku-akukan bahwa dirinya dari golongan si Anu, tetapi yang dilakukan
malahan yang buruk-buruk, tentulah orang-orang lain akan menganggap bahwa
golongan yang dimaksud tadi adalah kurang sopan, biadab dan tidak mengerti tata
tertib sebagai manusia. Ini pun demikian pula, seseorang yang mengatakan
dirinya dari suku atau keturunan atau bangsa ini atau itu, tetapi tidak berlaku
tawadhu’ dan takwa, takut yang sebenar-benarnya serta kasih sayang pada diri
sendiri dengan meninggalkan kemaksiatan dan lain-lain, tentu sama halnya dengan
membusukkan sukunya sendiri, keturunannya sendiri, dan juga bangsanya sendiri.
Kelima ; ‘Ujub dengan nasab pembesar
negara atau pejabat-pejabat sebawahnya, bukan dengan nasab ahli ilmu agama.
Misalnya seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah anak si Jenderal Anu, cucu
menteri Anu dan sebagainya. Ini pun menunjukkan kebodohan yang sangat pula.
Untuk mengobatinya baiklah orang itu merenungkan betapa banyaknya kemungkaran
dan kemaksiatan yang lazim dilakukan oleh golongan itu serta larangan-larangan
yang biasa diterjang sebagai penganiayaan terhadap sesama ummat manusia. Jadi
dengan meneliti sedemikian tadi, akan bersyukurlah kepada Allah ta’ala sebab
dirinya dilindungi dari keburukan-keburukan sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang besar itu.
Keenam ; ‘Ujub dengan banyaknya
anak, pelayan, pengikut, keluarga dan kerabat. Ini sama saja dengan ucapan
orang kafir yang disebutkan oleh Allah ta’ala dalam firmannya di surah Saba’ 35
:
Kita ini lebih banyak harta
dan anak-anaknya. ...
نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالاً وَّاَوْلاَدًا ....
Juga seperti yang dikatakan oleh
kaum mukmin pada waktu perang Hunain, karena meng’ujubkan jumlah bala
tentaranya yang amat banyak itu, sehingga mereka berkata, “Nah, hari ini kita tidak
akan terkalahkan lagi oleh kaum musyrikin”. Tetapi karena ‘ujub, Allah ta’ala
tidak memberikan kemenangan kepada mereka itu dan bahkan sebaliknya.
Untuk mengobati penyakit ‘ujub
semacam ini samalah halnya dengan yang kami uraikan dalam hal mengobati
kesombongan dengan sebab ini pula, yaitu hendaklah seseorang itu memikirkan
dalam-dalam bahwa dirinya itu lemah, begitupun semua pengikut-pengikutnya,
anak-anaknya, keluarga serta kerabatnya yang di’ujub-‘ujubkan itu. Mereka
semuanya itu tidak dapat memberikan kemanfaatan atau kemudharatan kepada diri
mereka sendiri, apalagi kepada orang lain. Bagaimanakah ia meng’ujubkan mereka
itu, untuk apa melakukan semacam itu, padahal tentunya ia sendiri sudah
memaklumi bahwa mereka pun pada suatu ketika akan berpisah dengannya, jikalau
disuatu saat ia telah pergi ke alam baka. Bukankah dalam kuburnya itu nanti ia
hanya seorang diri, merasa sangat hina dan dihinakan, tubuhnya diserahkan oleh
orang-orang yang dijadikan tempat ‘ujubnya itu kepada alam penuh bencana, di
dalam tanah yang banyak dijadikan tempat bagi ular dan kala. Apakah mereka di
waktu itu dapat memberikan pertolongan pada dirinya lebih daripada
menguburkannya ke dalam tanah. Semuanya juga akan mencari keselamatannya sendiri-sendiri
pada hari kiamat, lari tunggang-langgang tak karuan kemana yang dituju.
Badannya sendiri tidak dapat mencarikan tempat perlindungan yang aman, konon
pula kepada orang lain.
Cobalah resapkan benar-benar
firman Allah ta’ala dalam surah ‘Abasa 34-36 ini :
يَوْمَ يَفِرُّالْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِ
. وَاُمِّهِى وَاَبِيْهِ . وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيْهِ
Pada hari kiamat itu larilah
seseorang dari saudaranya, ibu dan ayahnya, isteri (atau suami) serta sekalian
anak-anaknya.
Bagaimanakah kita akan meng’ujubkan
seseorang yang disaat kita menemui kesukaran dan kesengsaraan, tiba-tiba saja
ia lari dari sisi kita, bukan menjadi penolong kita, tetapi hendak mencari
keselamatan dan keenakannya sendiri. Bagaimanakah kita akan bersandar kepada
seseorang yang tidak akan memberikan kemanfaatan sedikitpun pada kita ?
Bagaimana pula kita akan melupakan kenikmatan Zat yang benar-benar dapat memberikan
kemanfaatan serta kemudharatan pada kita ?
Pemikiran-pemikiran semacam
itulah yang dapat digunakan sebagai obat penyakit ini. Apabila dapat diresapi
dengan seteliti-telitinya, maka insya-Allah Tuhan akan menyembuhkannya.
Ketujuh ; ‘Ujub dengan harta. Ini
adalah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang kafir yang mengatakan,
seperti disebutkan dalam Quran surah Al Kahf 34 :
...
اَنَاْ اَكْثَرُ مِنْكَ مَالاً وَّاَعَزُّ نَفَرًا
Akulah yang lebih banyak
daripadamu perihal harta dan lebih mulia pula golongannya.
Untuk mengobati ini, hendaklah
seseorang itu mengenang-ngenangkan betapa besarnya afat atau bahaya yang
ditimbulkan oleh harta itu dan betapa pula banyaknya hak-hak yang harus
dipenuhi dengan sebab memiliki harta yang bertumpuk-tumpuk. Perlu diingat pula
bahwa orang Yahudi lah yang paling banyak hartanya, sedang mereka itu
kebanyakan amat durhaka kepada Allah ta’ala.
Selain itu perlu dikenangkan
betapa keutamaan yang dicapai oleh kaum fakir-miskin yang sabar, betapa ringan
pula hisabnya dan yang terbanyak menjadi penghuni surga di akhirat nanti.
Oleh karena itu, bagaimanakah
seorang mukmin akan meng’ujubkan hartanya, padahal ia tidak akan sunyi dari
melalaikan hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang wajib dilaksanakan dengan
sebab memiliki harta yang berlimpah-ruah itu. Cobalah ingat benar-benar, apakah
harta yang dimiliki sudah diletakkan sebagaimana mestinya yaitu diambil dari
tempat yang halal dan diletakkan pada tempat yang sudah menjadi haknya.
Ingatlah pula bahwa seseorang yang berharta dan sembrono dalam cara
mengumpulkannya serta keengganannya membelanjakan hartanya untuk kebaikan itu
akan menyeret dirinya sendiri ke arah kehinaan dan kemusnahan yang kekal.
Kedelapan ; ‘Ujub dengan
pendapatnya yang salah. Dalam hal ini Allah ta’ala dalam surah Fathir 8 :
اَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُو سُوْءُ عَمَلِهِى فَرَاَاهُ حَسَنَا
....
Adakah orang yang memandang
baik perbuatannya yang buruk, lalu perbuatan yang buruk itu dianggapnya baik
(akan sama dengan orang yang mengerjakan perbuatan yang betul-betul baik) ?”.
Rasulullah s.a.w. sendiri sudah
memberitahukan bahwa dengan meng’ujubkan pendapat yang salah itulah yang
menyebabkan kerusakan serta kebinasaan ummat zaman dahulu, sebab akhirnya mereka
itupun berpecah-pecah menjadi bermacam-macam golongan dan kelompok, tidak lagi
utuh persatuan mereka. Begitulah halnya setiap orang yang heran pada
pendapatnya sendiri, dan memanglah bahwa setiap golongan itu merasa gembira
dengan apa yang dalam kelompoknya. Oleh sebab itu dibelanya mati-matian
sekalipun dimaklumi bahwa golongannya sendiri itulah yang nyata-nyata salah.
Untuk mengobati ini hendaklah
seseorang menyangka buruk selalu pada pendapatnya sendiri, tetapi jangan
dihinggapi penyakit merasa diri rendah. Jadi janganlah tertipu oleh pendapatnya
sendiri, kecuali jikalau ia sudah menyaksikan dengan nyata-nyata bahwa untuk
memperkuat pendapatnya tadi ada alasan-alasan yang berupa nash-nash yang pasti
dari Quran atau Sunnah rasulullah s.a.w. yang berupa hadits-hadits shahih, atau
benar-benar dapat diuji kebenarannya oleh dalil aqli yang shahih pula serta
mencukupi syarat-syarat untuk digunakan sebagai dalil yang dapat
dipertanggungjawabkan. Seseorang itu tentunya tidak mungkin akan mendapatkan
dalil-dalil syari’at ataupun yang berdasarkan akan fikiran serta
syarat-syaratnya, begitu pula dimana letak rahasia kesalahan yang mungkin
terjadi, melainkan dengan suatu pandangan yang luas, akal yang cerdik, giat
serta bersungguh-sungguh dalam mengadakan penyelidikan dan pencarian ilmunya,
bahkan harus pula memahami benar-benar akan isi Al Quran dan hadits-hadits dan
pula segala ilmu yang berhubungan dengan kedua kitab yang merupakan pokok agama
ini. Malahan harus ditambah pula dengan mempergauli ahli ilmu agama sepanjang
usianya serta mempelajari ilmu-ilmu dari para guru yang ahli dalam bidangnya
masing-masing. Sekalipun semua itu sudah dilaksanakan, tetapi masih juga belum
dapat diberikan jaminan bahwa pendapatnya itu pasti benar dalam berbagai
persoalan. Jadi dalam setengah persoalan masih besar kemungkinan terjadinya
kesalahan yang tidak disengaja itu.
Oleh sebab itu, yang
sebaik-baiknya bagi seseorang yang belum mampu dan belum cukup cakap untuk
memahami hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan dan tidak
pula berkecimpung dalam bidang ilmu agama ini sepanjang umurnya, hendaknya
jangan terlampau memperdalam soal-soal kemazhaban. Sebaliknya baik sekali
baginya untuk menghabiskan waktunya dalam ketakwaan, menjauhi segala macam
kemaksiatan, menunaikan ketaatan-ketaatan serta kasih sayang terhadap sesama
kaum muslimin. Caranya tentulah dengan memberi pelajaran dan didikan pada
mereka dengan memberikan ilmu-ilmu yang amat mereka butuhkan untuk kebahagiaan
mereka sejak di dunia hingga di akhirat nanti.
Sebagai penghabisan bab ini,
marilah kita bersama-sama memohon kepada Allah ta’ala, hendaknya kita semua
dilindungi dari kesesatan dan marilah kita mohon perlindungan pada-Nya agar
jangan sekali-kali kita terkena tipuan dari khayalan-khayalan kaum yang bodoh
dan tidak mengerti.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar