السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Rabu, 23 November 2016

Tausiah ke-4 (Takabbur)

Takabbur artinya sombong, congkak atau merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, baik kedudukan, keturunan, kebagusan bentuk dan lain-lain sebagainya. Mengenai hal ini ada beberapa ayat Al Quran, hadits-hadits serta atsar-atsar yang menguraikan betapa buruk dan jahatnya.



Dari Al Quran disebutkan dalam surah :

1. A’raf 146 :
سَاَصْرِفُ عَنْ ايتِيْ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى اْلاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ....
Aku akan memalingkan dari keterangan-keterangan-Ku orang –orang yang menyombongkan dirinya dimuka bumi diluar kebenaran.

2. Gafir 35 :
....كَذلِكَ يَطْبَعُ الله ُعَلى كُلِّ قَلْبٍ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
Begitulah Allah mencap (menutup) setiap hari orang yang sombong dan berbuat sewenang-wenang.

3. Ibrahim 15 :
وَاسْتَفْتَحُوْا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ
Dan rasul-rasul itu meminta pertolongan dan binasalah setiap orng yang berbuat sewenang-wenang serta keras kepala (sebab kesombongannya).

4. Nahl 23 :
... اِنَّهُو لاَيُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِيْنَ
Sesungguhnya Allah itu tidak suka kepada orang-orang yang berbuat kesombongan.

5. Gafir 60 :
.... اِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari menyembah-Ku mereka itu akan masuk neraka Jahannam dengan menderita kehinaan.

Selanjutnya baiklah dikutipkan nash-nash dari hadits-hadits yaitu :

1. Hadits riwayat Muslim :
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ
Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari sifat kesombongan.

2. Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah :
يَقُوْلُوالله ُتَعَالَى : اَلْكِبْرِ يَاءُرِدَائِ وَالْعَظَمَةُ اِزَارِيْ , فَمَنْ نَازَ عَنِيْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اَلْقَيْـتُهُ فِى جَهَنَّمَ وَلاَ اُبَالىِ
Allah ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), “Kesombongan adalah selendangku-Ku dan kebesaran adalah sarung-Ku. Maka barangsiapa menyamai-Ku salah satu dari keduanya, maka pasti Kulemparkan ia ke dalam Jahannam dan tidak akan Kuperdulikan lagi.

3. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
لاَيَنْزُرُالله ُاِلَى رَجُلٍ يَجُرُّ اِزَارَهُ بَطَرًا
Allah tidak akan memandang kepada seseorang yang menarik (melemberehkan) selendangnya dengan maksud kesombongan.

Mengenai keutamaan tawadhu’ yakni merendahkan diri, ada beberapa hadits yang menjelaskan :

1. Hadits riwayat Muslim :
مَا زَادَالله ُعَبْدًا بِعَفْوٍ اِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ اَحَدٌ ِللهِ اِلاَّ رَفَعَهُ الله ُ
Tidaklah Allah menambahkan kepada seseorang yang memberikan pengampunan (pada orang lain) melainkan kemuliaan dan tidak seorang pun yang bertawadhu’ karena Allah melainkan pasti akan diangkat derajadnya oleh Allah.

2. Hadits riwayat Thabrani, Bazzar dan lain-lain :
طُوبَى لِمَنْ تَوَاضَعَ فِى غَيْرِ مَسْكَنَةٍ , وَاَنْفَقَ مَا لاًجَمَعَهُ فِى غَيْرِ مَعْصِيَةٍ , وَرَحِمَ اَهْلَ الذُّلِّ وَالْمَسْكَنَةِ , وَخَالَطَ اَهْلَ الْفِقْهِ وَالْحِكْمَةِ
Berbahagialah seseorang yang bertawadhu’ bukan karena kemiskinan, juga membelanjakan harta yang dikumpulkan bukan untuk kemaksiatan, demikian pula suka belas kasihan kepada orang-orang yang hina dan miskin dan mempereratkan hubungannya dengan ahli fikih dan ahli hikmat (pandai dalam ilmu keagamaan serta pandai pula dalam kebijaksanaan).

3. Hadits riwayat Bazzar, Thabrani, dan lain-lain :
مَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ الله ُ, وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ الله ُ, وَمَنْ اقْتَصَدَ اَغْنَاهُ الله ُ, وَمَنْ بَذَّرَ اَفْقَرَهُ الله ُ, وَمَنْ اَكْثَرَ ذِكْرَاللهِ اَحَبَّهُ الله ُ
Barangsiapa bertawadhu’ karena Allah maka akan diangkat derajadnya oleh Allah, barangsiapa yang sombong maka akan dijatuhkan derajadnya oleh Allah, barangsiapa bersikap sedang (tidak boros dan tidak pula kikir) maka akan dijadikan kaya oleh Allah, barangsiapa mengobral hartanya maka akan dijadikan miskin oleh Allah, dan barangsiapa memperbanyak ingatan kepada Allah maka dicintai oleh Allah.

Dari atsar baiklah kita kutipkan ucapan Fudlail rahimahullah sewaktu beliau ini ditanya, “Bagaimanakah artinya tawadhu’ atau merendahkan diri itu ?”. Beliau menjawab, “Yaitu supaya engkau tunduk pada apa-apa yang haq dan benar, engkau ikuti itu, sekalipun engkau hanya mendengarkan dari seorang anak kecil haruslah engkau terima, juga sekalipun engkau dengar dari sebodoh-bodoh manusia, haruslah engkau perhatikan baik-baik”.

HAKIKAT TAKABBUR DAN BAHAYANYA

Ketahuilah bahwa takabbur itu terbagi menjadi dua, yaitu yang dalam bathin dan yang tampak lahir.

Yang bathin ialah yang merupakan pekerti di dalam hati.

Yang lahir ialah yang merupakan kelakuan-kelakuan yang keluar dari anggota badan. Kelakuan-kelakuan ini amat banyak sekali bentuknya dan oleh karena itu sukar untuk dihitung dan diperinci satu persatu.

Afat atau bahayasifat takabbur itu amat besar sekali sedang kerusakan yang diakibatkannya pun sangat luar biasa hebatnya. Bagaimanakah tidak akan besar bahayanya, sedangkan rasulullah s.a.w. sendiri pernah bersabda (riwayat Muslim) :
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
Tidak dapat masuk surga seseorang yang dalam hatinya tedapat seberat debu dari sifat ketakabburan.

Bayangkanlah, mengapa sifat takabbur itu sampai dapat menjadi tabir atau penghalang antara seseorang yang memilikinya dengan surga. Sebabnya tidak lain adalah karena takabbur itu pula lah yang merupakan batas pemisah antara seseorang dengan akhlak dan budi pekerti kaum mukmin seluruhnya. Akhlak serta budi pekerti yang baik adalah merupakan pintu-pintu surga, sedangkan takabbur itu sendiri yang menyebabkan tertutupnya pintu-pintu tersebut. Takabbur adalah merasa diri tinggi melebihi orang-orang lain. Selain itu juga disebabkan karena seorang yang takabbur itu pasti tidak dapat mempunyai perasaan untuk mencintai sesama saudaranya yang mukmin sebagaimana cintanya pada dirinya sendiri. Juga orang itu tidak dapat bertawadhu’ atau merendahkan diri sebagaimana wajarnya yang diperintahkan oleh agama, sedangkan tawadhu’ adalah merupakan pokok dari segala akhlak orang-orang yang bertakwa kepada Allah ta’ala. Orang yang bersifat takabbur juga tidak dapat meninggalkan sifat dendam dan tidak dapat pula terus-menerus terpercaya, baik perbuatan atau ucapannya. Ia tidak juga dapat memberi nasehat yang baik, berbuat secara jujur. Bahkan tidak dapat pula diberi nasehat diperlakukan secara baik dan jujur pula. Ia sukar meninggalkan kemarahan, sukar menahan amarahnya, sukar pula melenyapkan kedengkian dari dalam hatinya, juga tidak dapat menghindarkan diri dari kegemaran mengejek orang lain atau kesukaan mengumpat.

Pokoknya ialah bahwa tidak ada suatu budi pekerti yang buruk yang tidak dimiliki oleh orang yang sombong itu. Ia terpaksa menggunakan semua yang buruk-buruk itu, demi untuk menjaga kemuliaannya. Jadi orang yang merasa dirinya amat mulia dan bersifat takabbur, pasti memiliki sifat-sifat yang jahat itu. Tetapi sebaliknya segala budi pekerti yang baik, pastilah ia tidak kuasa melaksanakannya, sebab takut kalau-kalau akan lenyap kemuliaannya. Oleh sebab yang sedemikian itulah, maka ia sama sekali sukar untuk masuk surga, sekalipun takabbur yang dikandungnya itu hanyalah seberat debu atau seberat biji sawi yang amat kecil sekali.

Bentuk ketakabburan yang terjahat ialah yang karena takabburnya itu sehingga tidak suka menggunakan kemanfaatan sesuatu ilmu yang diterimanya, tidak suka menerima apa-apa yang haq dan benar dan tidak suka mengikuti jalan yang benar itu. Ayat-ayat yang menyebutkan perihal celanya sifat takabbur serta celanya orang-orang yang bersifat itu amat banyak sekali.

Selanjutnya perlu kiranya kita memeriksa dengan teliti, dari apakah timbulnya takabbur atau kesombongan itu ?

Sumber pokoknya ialah karena adanya perasaan menganggap kecil orang lain, menganggap orang lain kurang atau tidak berharga sama sekali bila dibandingkan dengan dirinya sendiri serta angggapan hina pada orang itu. Sebaliknya dirinya sendiri dianggapnya amat mulia, terhormat dan melebihi orang lain dalam segala hal.

Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Muslim, Baihaqi, Ahmad dan Tirmidzi, menjelaskan dua macam sifat yang merupakan himpunan dari kesombongan yaitu :
Takabbur itu ialah menolak kebenaran dan menghinakan makhluk.                       اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَِّق وَغَمْصُ الْخَلْقِ

Dalam hadits di atas disebutkan dua macam afat yang menjadi dasar kesombongan, yaitu menolak atau enggan menerima serta mengikuti apa-apa yang benar, sedang yang kedua ialah menganggap hina, rendah dan kecil pada orang lain, padahal ia adalah sesama makhluk Allah, sesama hamba-Nya dan bahkan mungkin yang dihinakan itu sebenarnya lebih mulia dari dirinya sendiri.

Jelasnya ialah bahwa setiap orang yang menghinakan saudaranya sesama muslim, melihatnya dengan mata ejekan, menganggap bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, suka menolak kebenaran, sedangkan ia telah mengetahui bahwa itulah yang sesungguhnya yang benar, maka jelaslah bahwa orang tersebut dihinggapi penyakit kesombongan dan mengabaikan hak-hak Allah ta’ala, tidak mentaati apa yang diperintahkan oleh-Nya serta melawan benar-benar pada Zat Yang Maha Kuasa.

Selanjutnya perlu kiranya kita tinjau, sampai dimanakah kedurhakaan yang dilakukan oleh seseorang yang bersifat sombong itu, dengan menilik beratnya dua macam bahaya di atas itu.

Sudut bahaya yang pertama ialah bahwa kesombongan, kemegahan, kebanggaan dan merasa diri mulia dan tinggi itu sebenarnya tidak sesuai melainkan untuk Zat Yang Maha Esa saja yakni Allah Yang Maha Merajai serta Kuasa. Adapun hamba sebagai manusia itu hanyalah budak Allah yang amat lemah sekali, yang tidak kuasa melakukan sesuatu apa pun kecuali dengan pertolongan-Nya. Maka bagaimanakah ia dapat menyombongkan diri, patutkah ia merasa dirinya agung dan layakkah ia menghinakan sesama hamba Allah itu ?

Oleh sebab itu, barangsiapa yang dalam hatinya sudah menjelma sifat kesombongan, jelaslah bahwa ia menantang Allah ta’ala sendiri untuk merampas salah satu sifat yang baginya adalah tidak sesuai untuk mengenakannya. Sifat itu hanyalah cocok untuk keagungan Tuhan belaka.

Sebagai perumpamaan dapatlah disebutkan disini seperti seorang budak yang mencoba-coba mengambil mahkota rajanya, kemudian diletakkan di atas kepalanya, duduk di atas pembaringannya dan berlagak pula seolah-olah ia adalah raja yang patut dihormati. Alangkah besarnya kemurkaan yang harus diterapkan pada budak yang berkelakuan tidak senonoh ini, alangkah pula besarnya siksa dan kehinaan yang harus dilaksanakan terhadap manusia semacam ini. Ia patut memperoleh balasan yang setimpal atas kelakuannya yang buruk tadi. Sebenarnya manusia yang sedemikian itu benar-benar amat berani pada majikannya dan amat jahat perilakunya.

Baiklah disadari sebenar-benarnya bahwa semua makhluk adalah hamba-hamba Allah jua, Dia (Allah) sendirilah yang berhak memiliki sifat kemaha besaran, kemaha sombongan dan kemaha agungan. Ringkasnya seseorang yang bersikap congkak pada sesamanya, teranglah ia melawan Allah dan hendak merampas sifat yang dimiliki oleh-Nya.

Sudut dari bahaya yang kedua ialah bahwa seseorang yang mendengar adanya kebenaran (haq) yang datang dari siapa pun dari hambar Allah ta’ala, kemudian enggan menerimanya, menunjukkan kedurhakaan dan kebencian dan menolaknya dengan acuh tak acuh, maka orang yang berbuat sedemikian itu tidak lain sebabnya hanyalah karena merasa dirinya tinggi dan agung, sedang orang lain dianggapnya hina dan kecil, sehingga ia enggan mengikuti kebenaran yang dibawanya itu. Perilaku sebagaimana yang dilakukan orang itu jelaslah sebagai akhlak dan budi pekerti orang-orang kafir dan kaum munafik. Ini dijelaskan sendiri oleh Allahs.w.t. dalam surah Fussilt 26 :
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لاَتَسْمَعُوْا لِهذَا الْقُرْانِ وَالْغَوْا فِيْهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُوْنَ
Orang-orang kafir itu sama berkata, “Janganlah kamu semua mendengarkan pada Al Quran ini dan berbuat hiruk-pikuklah diwaktu mendengarnya, supaya kamu semua mendapat kemenangan.

Dengan berdasarkan ayat di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa seseorang yang baginya adalah jelas adanya kebenaran dari sesuatu yang diucapkan oleh seseorang, tetapi enggan menerimanya atau membantahnya untuk memperoleh kemenangan dari pembantahannya atau semata-mata dengan maksud hendak membungkamkan lawannya dalam perdebatan, bukan sekali-kali karena hendak menginginkan memperoleh kebenaran, sekali pun hujahnya dapat dikalahkan, maka orang-orang semacam di atas itu pun sama saja halnya dengan orang yang berbuat kesombongan. Sekurang-kurangnya ia telah berserikat dengan golongan mereka. Padahal dalam ayat di atas orang-orang yang berlagak sombong seperti itu adalah termasuk golongan kaum kafirin.


Termasuk golongan mereka itu pula, seseorang yang karena mengingat ketinggian kedudukan dan pangkatnya, sehingga enggan menerima peringatan dan nasehat dari orang yang dianggap sebawahnya. Ini dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firmannya dalam surah Baqarah 206 :
وَاِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ الله َ اَخَذَتْهُ الْعِزَّةَ بِاْلاِثْمِ فَحَسْـبُهُو جَهَنَّمُ .....
Apabila dikatakan kepadanya, “Takutlah kepada Allah”, lalu ia dipengaruhi oleh kesombongannya sehingga membawa ke perbuatan dosa. Maka cukuplah untuk balasan orang ini ialah neraka Jahannam.

HAL-HAL YANG DAPAT DIJADIKAN KESOMBONGAN

Sebagaimana dimuka telah kita maklumi bahwa tidak akan melakukan kesombongan itu melainkan orang yang merasa dirinya tinggi dan agung. Orang yang merasa dirinya agung, tentulah meyakinkan bahwa dirinya mempunyai sifat kesempurnaan. Kesempurnaan yang dirasakan ada dalam dirinya itu adakalanya berupa kesempurnaan dalam keagamaan dan adakalanya kesempurnaan dalam keduniaan.

Kesempurnaan dalam keagamaan itu seperti ilmu pengetahuan serta amal ketaatan dan peribadatan, sedang kesempurnaan dalam keduniaan itu seperti keturunan, kegantengan, kecantikan, kekuatan tubuh, kekayaan harta, banyaknya pengikut dan sebagainya. Semuanya dapat disimpulkan dalam tujuh sebab.

Pertama ; Ilmu pengetahuan :
Alangkah gegabahnya sifat sombong itu apabila menjelma dalam hati seseorang alim ulama. Baru saja ia merasa ada kesempurnaan ilmu keagamaan dalam dirinya, tiba-tiba saja dengan serta-merta ia telah merasa bahwa dirinya tinggi dan orang-orang lain dianggapnya sebagai dibawahnya semua. Mereka itu dianggap bodoh semua dan setiap orang yang akan mendekatinya, diharapkan supaya suka menjadi pelayannya. Orang ini mengira bahwa dirinya itu di sisi Allah dianggap lebih tinggi dan lebih utama dari orang lain. Dan ia mengkhawatirkan kalau-kalau orang lain berbuat dosa, lebih daripada mengkhawatirkan dirinya sendiri, sebaliknya ia seolah-olah telah meyakinkan bahwa dirinya lebih banyak mendapat harapan untuk masuk surga daripada orang-orang lain yang dianggap dibawahnya itu.

Seseorang yang menjadi sombong dengan sebab berilmu pengetahuan sebagaimana di atas itu, ada dua macam pendorongnya, yaitu :

A. Ia sibuk menuntut ilmu yang olehnya dianggap sebagai ilmu yang baik, tetapi sebenarnya bukanlah ilmu yang hakiki dan bermanfaat. Sebabnya ialah yang disebut ilmu hakiki itu adalah ilmu pengetahuan yang membawa seseorang itu dapat mengetahui kedudukan Tuhan dan kedudukan dirinya sendiri. Jadi ilmu yang hakiki itulah yang menyebabkan ia ingin sekali bertemu dengan Tuhannya dengan keadaan yang baik dan selamat, janganlah kiranya tertutup pandangannya dari kasih sayang Allah itu pada hari kiamat nanti. Perasaan semacam ini yakni yang ditimbulkan oleh ilmu yang hakiki itu, malahan membawa orang itu ke arah ketakwaan yang sebenar-benarnya ke arah ketawadhu’an yang sebaik-baiknya dan bukan menjadi sombong dan takabbur karenanya.

Firman Allah ta’ala dalam surah Fathir 28 :
.....اِنَّمَا يَخْشَا الله َمِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمؤُا ......
Hanya yang dapat merasakan takut kepada Allah dari golongan hamba-hamba-Nya itu ialah para alim ulama.

B. Ia memang ahli betul dalam ilmu pengetahuannya, terutama dalam hal keagamaan, tetapi sayang jahat perangai dan akhlaknya , buruk watak dan tabiatnya, rendah jiwa dan hina budi pekertinya. Ini mungkin disebabkan karena dahulunya tidak memperhatikan pendidikan jiwanya lebih dulu, tidak ingin membersihkan jiwa dan hatinya dengan berbagai kesungguhan dan latihan batiniah, sehingga akhirnya jauhar jiwanya itu menjadi amat kotor dan banyak nodanya.

Oleh sebab itu, jikalau ia memperdalam sesuatu ilmu pengetahuan, maka bertemulah ilmu itu dalam kalbunya pada suatu tempat yang kotor pula dan oleh sebab itu lalu tidak lezatlah buah yang dikeluarkan dari ilmu yang dimilikinya itu, bahkan tidak ada bekas kebaikannya sama sekali.

Imam Wahab telah memberikan suatu perumpamaan dalam hal ini, katanya, “Ilmu pengetahuan itu adalah seperti hujan yang turun dari langit. Keadaannya amat suci, manis dan bersih. Setelah jatuh ke bumi, lalu semua pohonnya dapat menjalarkan akar-akarnya untuk memperoleh kadar makanan yang diperlukan. Dengan begitu lalu yang semestinya pohon pahit dapat menambah kepahitannya, sedang yang semestinya manis dapat menambah kemanisannya. Begitulah perumpamaan ilmu pengetahuan yang sudah meresap dalam jiwa manusia. Ilmu ini dapat memberikan semangat dan dorongan pada manusia yang memilikinya itu sesuai dengan keadaannya sebelum dimasuki ilmu tadi. Jikalau baik kehendak dan keinginannya maka bertambah baik pula, dan jikalau penuh dengan hawa nafsu dan kejahatan maka bertambah sangat pula kesombongan pada orang yang asal mulanya memang berwatak sombong, tetapi sebaliknya akan menambah kerendahan hati bagi seseorang yang asal mulanya memang sudah berwatak rendah hati.

Apakah sebabnya ilmu itu justru yang menambah kejahatan atau sebaliknya ?

Tentulah demikian, sebab seseorang yang sejak mulanya sombong umpamanya, sedang saat itu ia masih bodoh. Maka nanti setelah ia memperoleh ilmu pengetahuan, tentu ada yang akan dijadikan sebagai bahan kesombongannya itu. Oleh karenanya maka bertambahlah kesombongannya. Sebaliknya jikalau sejak semula seseorang itu sudah ada dasar ketakutannya pada Allah, padahal di saat itu ilmunya belum seberapa, maka nanti setelah bertambah ilmu yang dimiliki, makin mengertilah ia apa kemanfaatannya takwa pada Allah itu. Dengan demikian makin kokohlah jiwanya, makin kuat hujahnya, dan makin bertambah pula ketakwaannya.

Kedua ; Amalan dan peribadatan :
Inilah bahan kesombongan yang kedua. Memang amalan atau peribadatan itu juga tidak akan sunyi atau terlepas sama sekali dari hinanya sifat kesombongn. Hati semua manusia condong kepada kesombongan itu, sebagaimana juga halnya orang-orang yang berbuat amal shalih serta beribadat. Tidak jarang bahwa kesombongan itu akan meresap dalam hati dalam hal amalan ibadat ini. Hal ini ada dua macam, yaitu yang berhubungan dengan keduniaan dan yang dengan keagamaan.

A. Yang ada hubungannya dengan keduniaan seperti amat senang sekali hatinya, jikalau orang-orang menyebutnya sebagai orang yang wara’ dan sangat takwa, senang sekali kalau orang-orang sama mendahulukan dirinya dalam segala hal dari orang-orang lain. Jadi orang-orang yang beribadat semacam ini mengira seolah-olah peribadatan yang dilakukan itu sebagai hadiah pada makhluk saja dan mengharap balasan mereka yang berupa pujian atau mendapat keistimewaan jika ada keperluan.

B. Yang ada hubungannya dengan keagamaan yaitu seperti mengira bahwa dirinya sendiri pasti selamat dari siksa Allah ta’ala, sedang orang-orang lain belum tentu lagi dan banyak sengsaranya nanti pada hari kiamat. Perasaan inilah justru yang merusakkan dan menyengsarakan diri sendiri, jikalau hal yang semacam ini dijadikan keyakinan dalam hatinya. Sebabnya ialah karena akhirnya ia dapat mempermudahkan atau meringankan semau-maunya akan ibadat yang semestinya dilakukan, sebab sudah merasa akan pasti selamat dari siksa Tuhan.

Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Muslim, bersabda :
اِذَا سَمِعْتُمُ الرَّجُلَ يَقُولُ : هَلَكَ النَّاسُ , فَهُوَ اَهْلُكُمْ
Jikalau kamu semua mendengar ada orang yang berkata, “Orang-orang sama rusak (sengsara)”, maka itulah orang yang merusakkan orang-orang tadi”.

Jadi selain merusk diri sendiri, juga merusak orang banyak, sebab mereka bukan makin memperoleh ajarannya yang baik, tetapi bahkan menakut-nakuti yang tidak semestinya. Ia mengatakan demikian, karena ucapan itulah yang menunjukkan bahwa dirinya sendiri sudah lebih orang lain, semua manusia dianggap kurang semppurna amalannya, ia merasa seolah-olah sudah pasti selamat dari apa yang tidak diinginkan, tidak takut lagi pada kemurkaan Tuhan. Orang ini terang-terang tertipu karena perasaannya sendiri terhadap Allah ta’ala yang semestinya tidak demikian itu. Bagaimanakah orang semacam ini tidak akan perlu mempertebal ketakutannya, sedangkan amalannya tidak berarti sama sekali bagi dirinya. Terhapus sebab kesombongannya tadi.

Selain itu orang yang beranggapan demikian, cukuplah sudah kelakuannya itu menunjukkan keburukan hatinya, sebagaimana rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Muslim) :
كَفَ بِالْمَرْءِ شَرًّا اَنْ يَحْقِرَ اَخَاهُ الْمُسْلِمَ
Cukuplah seseorang itu sebagai orang buruk, jikalau ia menghinakan saudaranya yang muslim.

Banyak sekali ahli ibadat yang amat tekun dalam ketaatannya itu apabila sedikit saja disinggung perasaannya oleh orang lain, atau disakiti hatinya, maka bukannya ia makin mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, tetapi makin menjauh dan seolah-olah tidak memerlukan pengampunan-Nya lagi. Orang sedemikian tentu saja akan memperoleh kemurkaan Allah ta’ala. Ia bersikap begitu, sebab agaknya sudah merasa bahwa dirinya itu amat agung nilainya di sisi Allah. Jadi bagaimana pun juga pasti ada di pihak yang benar. Bukankah ini suatu ketololan yang luar biasa, ia menghimpun antara sifat-sifat yang buruk sekaligus, yaitu sombong, bangga pada diri sendiri, tertipu perasaannya karena sangkaan yang salah terhadap Tuhannya.

Tidak hanya sampai disitu saja kegoblokan orang itu. Masih ada lagi yang lebih bodoh, lebih tumpul otak dan lebih mendekati sifat gila. Siapakah orang itu ?

Yaitu orang yang jikalau disinggung perasaannya atau disakiti hatinya atau diperbuat sesuatu yang tidak mengenakkan dirinya, lalu sampai berani berkata kepada kawan-kawannya, “Lihat saja orang itu, tidak lama lagi akan mendapat sesuatu bencana. Cobalah !”. Jikalau pada suatu saat benar-benar orang yang dimaksudkan mendapatkan bencana, segeralah ia berkata lagi untuk menetapkan ucapannya yang lalu, “Nah, kawan-kawan kini percaya atau tidak. Tidak tahu orang itu, siapa sebenarnya saya ini”. Banyak lagi kata-katanya, sehingga menganggap bahwa apa yang mengenai lawannya itu dianggapnya sebagai kekeramatan yang diberikan oleh Allah ta’ala padanya dan bahwa bencana yang diterimanya itu adalah sebagai balasan dari Allah ta’ala untuk menunjukkan kekeramatannya orang yang merasa dirinya ‘alim tadi. Padahal ia sendiri tentunya sudah mengerti bahwa banyak kaum kafir dahulu yang mencaci-maki Allah dan rasul-Nya, banyak pula kaum munafik yang menyakiti hati dan tubuh para nabiullah a.s., diantara beliau-beliau itu ada yang dibunuh, ada yang dipukuli dan disakiti dalam berbagai keadaan. Ia mengerti pula diantara para penganiaya yang kafir, musyrik dan munafik itu banyak juga yang dibiarkan selamat ketika di dunia, tidak disiksa seketika hidupnya sekarang, bahkan diantara mereka ada yang terus masuk Islam dan menjalankan agamanya baik-baik, sehingga tidak satu pun kesengsaraan yang dideritanya sewaktu hidupnya di dunia dan tidak pula di akhirat nanti, karena telah benar-benar ketaatannya kepada Tuhan.

Nah, bagaimanakah perasaan orang bodoh yang merasa dirinya ‘alim yang sudah tertipu oleh perasaannya yang salah itu, apakah ia mengira bahwa Allah ta’ala lebih memuliakan dirinya dari para nabi itu ? Apakah Allah ta’ala akan menurunkan balasan kepada orang yang dianggap musuhnya, padahal tidak menurunkan balasan untuk menunjukkan kemuliaan seorang nabi-Nya ? Benar-benar orang ‘alim yang semacam ini amat luar biasa sesatnya. Dapatlah dipastikan bahwa ia akan memperoleh kemurkaan Allah ta’ala sebab merasa bangga pada dirinya sendiri serta amat besar kesombongannya, lagi pula ia agaknya lalai akan keruntuhan serta kebinasaan badannya sendiri nanti. Demikianlah sebagian dari keyakinan yang dimiliki oleh orang-orang yang tertipu oleh perasaannya sendiri.

Adapun orang yang cerdik akalnya, panjang pemikirannya serta lapang dadanya, maka mereka itu akan mengatakan sebagaimana yang biasa dikatakan oleh kaum salaf dahulu setelah pulang kembali dari ‘arafat yakni, “Aku sangat mengharapkan kerahmatan untuk semua orang ini, sekalipun andaikata aku tidak berada di tengah-tengah mereka”.

Cobalah bandingkan baik-baik betapa besarnya perbedaan antara orang yang merasa ‘alim sebagaimana di atas dengan orang yang belakangan ini. Yang kedua inilah yang nyata-nyata bertakwa kepada Allah ta’ala, baik secara lahiriah atau bathiniahnya, ia menakutkan dirinya sendiri, merasakan hina amalannya sendiri, sebab belum tentu akan diterima oleh Zat Yang Maha Esa. Tetapi yang pertama itu adalah berbuat sebaliknya. Ia merasa sudah amat banyak amalan kebaikannya, lalu menyembunyikan keri’aan, kesombongan, penipuan dan pendendaman. Tentulah kelakuan-kelakuannya semacam itu hanya akan menjadi bahan tertawaan syaithan belaka. Orang itu mengundat-undatkan pada Allah dengan amalan yang telah dilaksanakan. Bukankah kedua orang itu sangat berbeda, bagaikan siang dengan malam.

Salah satu tanda yang merupakan bekas kesombongan bagi seorang yang ahli ibadat ialah bahwa wajahnya itu tampak senantiasa masam, tidak ada senyum simpulnya yang kelihatan, seolah-olah ia sudah amat suci dan tidak perlu lagi bergaul dengan manusia, sebab mereka itu dianggap kotor belaka. Patutlah orang semacam ini dikasihi, sebab apakah ia tidak tahu bahwa letak kewara’an itu bukannya di dahi atau di wajah, tidak pula di leher dan tidak juga dalam ekor sorban. Mengapa ia menyangka bahwa ketakwaan itu terletak di wajah lalu terus bermasam saja, mengapa menyangka bahwa letaknya di leher sehingga ia terus menunduk saja dan tidak pernah mengangkatnya sama sekali, mengapa itu disangkanya ada di ekor sorban dan lain-lain sehingga perlu ditampakkan kepada khalayak ramai. Sadarilah bahwa kewara’an dan ketakwaan itu letaknya ialah di dalam hati.

Sabda rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Muslim :
اَلتَّقْوَى ههُنَا , وَاَشَارَ اِلَى صَدْرِهِ
Ketakwaan itu di sini (yakni dalam hati, dan beliau menunjuk ke arah dadanya).

Rasulullah s.a.w. adalah semulia-mulia makhluk, setakwa-takwa manusia, amat terpuji dan luhur budi pekertinya, amat banyak memberikan kegembiraan, senantiasa bersenyum simpul dan lapang dada, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surah ِAsy Syua’ra 215 :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Dan bersikap sopan santunlah terhadap orang yang mengikutimu dari sekalian orang yang beriman.

Ketiga ; Keturunan atau silsilah :
Seseorang yang mempunyai silsilah bangsawan, ningrat atau keturunan dari golongan sayyid, kyai, sultan dan sebagai adakalanya suka menghina kepada orang yang dianggapnya tidak bersilsilah seperti dirinya atau tidak berasal dari keturunan darah orang besar dan tinggi. Hal ini kadang-kadang dilakukan tanpa memandang siapa orang yang disombongi itu, apakah ia orang bodoh atau pandai. Malahan sekalipun orang tersebut lebih ‘alim dan lebih banyak amalannya dari dirinya sendiri, tetap masih disombongi pula. Diantaranya orang-orang yang goblok semacam ini ada yang menyombongkan dirinya secara berlebih-lebihan, sehingga enggan bergaul dengan orang banyak, tidak suka duduk-duduk dengan orang yang dianggapnya sebagai orang kebanyakan dan merasa hina jikalau yang sedemikian itu dilakukan. Sementara itu dari pembicaraannya sendiri tidak jarang keluar kata-kata yang menyakitkan hati, seperti mengatakan kepada lainnya, “Kamu ini siapa, siapa ayahmu. Saya ini, belum tahu kamu. Saya ini Anu anak si Anu itu. Dengan orang seperti saya ini kamu mengajak bercaka-cakap. Cis kamu ini”.

Ada suatu peristiwa di zaman rasulullah s.a.w. yaitu yang dialami sendiri oleh sahabat Abu Dzar. Ia bercerita :
Pada suatu ketika saya ada di hadapan nabiullah Muhammad s.a.w. Kemudian datanglah seorang berkulit hitam dan saya berkata, “Hai anak orang hitam”. Demi beliau s.a.w. mendengar apa yang saya cakapkan itu, terus saja beliau s.a.w. marah sekali dan bersabda, “Hai Abu Dzar, tidak ada kelebihan keutamaan bagi seorang keturunan kulit putih atas orang yang dari keturunan kulit hitam”. Alangkah menyesalnya saya berkata seperti tadi itu. Lalu saya membaringkan tubuhku dan berkata kepada orang yang saya hinakan tadi, “Nah, saudara, berdirilah dan injaklah pipiku ini”. (Hadits riwayat Ibnu Mubarak dan Ahmad).

Suatu riwayat lain mengatakan bahwa sabda rasulullah s.a.w. itu ditambah, “melainkan dengan takwa”. Jadi antara seorang manusia dengan manusia lain itu tidak ada hal-hal yang menyebabkan kelebihan derajad dan pangkatnya di sisi Allah, melainkan hanya dengan takwa belaka yakni orang yang bertakwa itulah pasti lebih mulia daripada yang tidak.

Perhatikanlah kejadian di zaman rasulullah s.a.w. di atas. Beliau s.a.w. memperingatkan kepada sahabatnya yakni Abu Dzar bahwa apa yang dilakukannya itu adalah merupakan suatu kebodohan. Perhatikan pula bagaimana sikap Abu Dzar sendiri setelah mengerti bahwa dirinya salah. Ia segera bertaubat dan pohon kesombongan yang bercokol dalam jiwanya itu segeralah ditumbangkan, segera dilenyapkan dan dijebol sampai ke akar-akarnya. Ia mengerti pula bahwa merasa diri megah dan mulia itu tidak dapat ditundukkan melainkan dengan mengubah perasaannya tadi dengan rasa hina diri dan tunduk. Oleh sebab itu ia berbaring dan minta maaf kepada orang yang disakiti hatinya itu agar diinjak kepalanya. Adakah suatu hal yang lebih hebat dari kejadian ini untuk menunjukkan betapa cepatnya sahabat-sahabat rasulullah s.a.w. untuk kembali pada kebenaran dan menyadari kesalahan.

Keempat ; Kegantengan dan kecantikan :
Kegantengan ialah kesempurnaan bentuk tubuh bagi lelaki sedang kecantikan adalah bagi kaum wanita. Kesombongan dengan sebab di atas ini memang sebagian besar berlaku di kalangan kaum wanita, tetapi bukannya tidak ada di kalangan kaum lelaki, yaitu yang kurang pengertian agamanya. Hal-hal yang ditimbulkan oleh kesombongan dengan sebab ini ialah kesukaan mengumpat kekurangan orang lain, sebab dianggap jelek, buruk muka dan lain-lain sebagainya. Dapat pula menyebabkan orang yang sombong itu memandang kurang berharga pada orang lain, mengejek bentuk mereka atau menyebut-nyebut mereka atau menyebut-nyebut cela yang ada dalam tubuh mereka.

Kelima ; Harta kekayaan :
Kesombongan ini biasanya dilakukan oleh para penguasa, pemegang jabatan negeri serta kaum saudagar. Mereka bangga sekali dengan mengenakan pakaian-pakaian yang serba mewah, menunjukkan kendaraan yang mereka miliki serta hiasan-hiasan yang ada di rumah. Jikalau zaman dahulu membanggakan kudanya, maka kini yang dibanggakan adalah kendaraannya. Bahkan ada sementara orang-orang yang merasa bangga dan tinggi dengan mengenakan pakaian dinasnya, sebagai pegawai atau tentara.

Dengan perasaan kelebihan yang ada pada dirinya itulah, maka orang tersebut berlagak sombong, congkak dan berbuat semena-mena terhadap siapa saja yang dianggap ada dibawah tingkatannya. Yang kaya terhadap yang miskin, yang berkuasa terhadap yang diperintah dan yang berpangkat terhadap bawahannya. Semua ini jelas merupakan kebodohan, sebab belum mengerti tentang keutamaan fakir dan tidak menyadari tentang bahayanya kekayaan harta.

Keenam ; Kekuatan dan ketangkasan tubuh :
Orang yang memiliki tubuh kuat, tangkas dan tidak mudah dikalahkan lawannya jikalau sedang bergulat dan mengadu keterampilan senjata dan sebagainya, kadang-kadang menunjukkan kesombongannya kepada orang lemah atau yang dianggapnya tidak bisa berbuat seperti yang ia kuasa melakukannya.

Ketujuh ; Banyaknya pengikut, penolong, keluarga atau kerabat :
Semua ini juga dapat dijadikan sebagai bahan untuk menyombongkan diri. Banyak pengikut biasa disombongkan oleh orang ‘alim ulama yang sesat atau oleh seorang pemimpin yang tertipu dengan perasaannya sendiri. Banyak penolong dan pembantu bagi orang kaya, banyak sahabat atau pelayan, yang semuanya dianggap sebagai penolong dirinya untuk ikut bersenang-senang dan sebagainya. Banyak keluarga dan kerabat, sehingga merupakan suatu kesukaan kecil yang menonjol di desa dan kampungnya. Semua ini merusakkan jiwa dan akhlak. Itulah kumpulan dari hal-hal yang dapat digunakan sebagai bahan menunjukkan kesombongan diri, masing-masing orang yang sombong berbeda-beda apa-apa yang ditunjukkan antara seorang dengan lainnya.

Marilah kita memohon kepada Allah ta’ala agar mendapatkan pertolongan serta petunjuk-Nya yang benar dengan kasih sayang dan kerahmatan-Nya.

AKHLAK ORANG TAWADHU’

Ketahuilah bahwa takabbur itu dapat tampak terlihat dalam tindakan atau kelakuan-kelakuan dari seseorang yang melakukannya, misalnya ialah menolehkan muka ke samping tanda tidak menyetujui atau melihat orang yang dihadapinya itu dengan pandangan ejekan, atau menundukkan mukanya, atau pun duduk dengan menyilangkan kaki atau menyandarkan punggungnya. Juga tampak pula dalam ucapan-ucapan serta nyanyian-nyanyian kecilnya, juga irama dan tekanan suaranya disesuaikan selaras dengan apa yang dituju oleh kesombongannya tadi. Malahan dapat pula tampak dalam caranya berjalan, cara melangkahkan kakinya, berdiri, duduk , bergerak atau berdiamnya. Diantara orang-orang yang berlagak sombong itu ada pula yang mencakup segala macam yang tersebut di atas itu. Tetapi diantara mereka ada yang bersombong dengan sebagian, namun bertawadhu’ dengan sebagian lagi. Ada juga kesombongan dengan jalan merasa senang dan gembira jikalau orang-orang lain sama berdiri untuk menghormati kedatangannya atau di waktu mereka sedang ada di hadapannya. Dan ada pula orang yang berkeinginan apabila berjalan harus selalu ada yang mengawalnya, dan pengawalnya itu harus berjalan di belakangnya. Lagi pula ada yang tidak suka berziarah ke tempat orang lain, sekalipun dengan berziarah ini akan diperolehlah kebaikan untuk orang lain baik dalam keagamaan atau lainnya. Ini adalah sebaliknya tawadhu’. Malahan ada pula yang enggan kalau ada orang lain duduk di dekatnya, yang diharapkan ialah supaya orang lain itu duduk menghadapnya, sedang orang tersebut seolah-olah disuruh bertawadhu’ dan ia sendiri dengan seenaknya saja. Juga ada yang karena kesombongannya lalu tidak suka bekerja sesuatu pun untuk keperluan rumah tangganya. Ini tentu saja berlawanan dengan cara merendahkan diri.

Diceritakan bahwa pada suatu malam datanglah seorang tamu kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Waktu itu beliau sedang menulis. Lampunya hampir saja padam. Tamu  itu kemudian berkata, “Biarlah saya yang memperbaiki lampu itu, ya Amirul mukminin”. Beliau menjawab, “Ah jangan, tidak baik seseorang menganggap tamunya itu sebagai pelayannya. Itu bukan termasuk suatu sifat yang mulia”. Tamu itu berkata lagi, “Kalau begitu, biarlah saya bangunkan pelayan saja ?”. Beliau menjawab pula, “Ah jangan, ia baru saja tidur, agaknya sejak tadi belum merasakan kelezatan bantalnya”. Selanjutnya tamu itu menceritakan bahwa beliau sendiri mengisikan minyak ke dalam lampunya itu. Ia berkata, “Wahai, apakah Paduka Tuan sendiri yang membetulkan lampu itu, ya Amirul mukminin ?”. Beliau r.a. lalu menjawab, “Mengapa tidak, kalau saya pergi, saya pun tetap Umar, kalau saya pulang, saya pun tetap Umar juga. Tidak akan berkurang sesuatu pun dari diriku dengan apa yang saya lakukan tadi bukan ? Selamanya pun saya tetap Umar. Memang, sebaik-baiknya manusia ialah orang yang bertawadhu’ di sisi Allah”.

Diantara bekas-bekas kesombongan yang tampak di luaran lagi ialah bahwa seseorang itu enggan membawa barang yang dibelinya sendiri ke rumah. Perilaku semacam ini adalah bertentangan sekali dengan kelakuan orang-orang yang suka bertawadhu’. Padahal rasulullah s.a.w. sendiri juga suka membawa hasil-hasil belanjaannya ke rumah. Bahkan pernah akan dibawakan oleh Abu Hurairah, tetapi beliau s.a.w. engggan mengabulkan permintaan Abu Hurairah itu. Demikianlah yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la.

Sayyidia ‘Ali karramal lahu wajhah berkata, “Seseorang yang sempurna itu tidak akan berkurang kesempurnaannya dengan sebab membawa perbelanjaan yang diperuntukkan keluaarganya di rumah”.

Diantara kesombongan yang tampak lagi ialah dalam cara berpakaian. Disitu menonjollah ketakabburannya atau ketawadhu’annya. Tandanya kesombongan dalam berpakaian ialah kegemaran berhias untuk dipertontonkan kepada orang banyak dengan tujuan untuk memperoleh kemasyhuran dan ketinggian pandangan. Adapun jikalau ditujukan semata-mata untuk menampakkan kebaikan dan kebersihan diri dan tidak ada maksud yang selain itu, juga tidak disertai cara yang berlebih-lebihan dan lagak yang menunjukkan kecongkakan, maka bukannya itu termasuk dalam golongan takabbur. Hanya saja cara yang terbaik ialah cara yang sedang saja, yakni cara pertengahan dalam menggunakan pakaian itu, tidak akan menyebabkan kemasyhuran sebab terlampau indah dan tidak pula menyebabkan celaan orang sebab terlampau buruk.

Dalam hal ini rasulullah s.a.w. telah memberikan pedomannya sebagaimana sabdanya (riwayat Ibnu Majah di deretan pertama dan riwayat Tirmidzi di deretan kedua) :
كُلُوا وَاشْرَبُوْا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِى غَيْرِ سَرَفٍ وَلاَمَخِيْلَةٍ . اِنَّ الله َيُحِبُّ اَنْ يَرَى اَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
Makanlah, minumlah, berpakaianlah serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan atau disertai sifat kesombongan. Sesungguhnya Allah itu suka sekali jikalau melihat bekas kenikmatan-Nya atas seorang hamba-Nya itu”.

Itulah beberapa hal yang merupakan penjelmaan dari sifat-sifat kesombongan yang terpendam dalam hati dan keluar sampai ke anggota tubuh.


Selanjutnya perlu kita maklumi pula apakah tanda-tanda yang merupakan penjelmaan dari sifat kerendahan hati itu yang dapat tampak dan dilihat dari luar ? 


Penjelmaan diluar dari sifat tawadhu’ itu ialah apa-apa yang merupakan kebalikan dari buah –buah yang diperlihatkan oleh sifat kesombongan di atas. Hanya saja yang pokok dan merupakan intinya ialah jikalau seseorang itu sudah tahan menderita dan suka meraba dadanya sendiri serta menyesalkan diri sendiri jikalau dimaki-maki oleh orang lain, jikalau disakiti baik dengan perbuatan atau ucapan, jug jikalau diambil haknya. Ia tidak membalas, tidak menunjukkan sikap yang kurang sopan, sekalipun hendak membela diri. Ringkasnya ialah bahwa semua himpunan dari akhlak yang luhur dan budi pekerti yang mulia adalah hasil kerendahan hati yang tampak di luar. Keluhuran akhlak yang di dalamnya termasuk pula ketawadhu’an adalah merupakan sifat rasulullah s.a.w. dalam sejarah kehidupannya dan oleh sebab itu patut sekali dicontoh dan ditiru sedapat mungkin. Itu pulalah yang perlu sekali dipelajari dan selanjutnya diamalkan.

Ibnu Abi Salmah pernah berkata kepada Abu Sa’id Khudri, “Bagaimanakah pendapat saudara perihal apa yang diada-adakannya secara luar biasa ini oleh ummat manusia sekarang, baik yang berupa makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan lain-lain lagi itu ?”.

Abu Sa’id Khudri menjawab, “Hai anak saudaraku, yang penting untuk saudara ialah : Makanlah karena Allah, minumlah karena Allah, berpakaianlah karena Allah pula dan segala sesuatu yang saudara lakukan hendaklah ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Sebab segala sesuatu, baik yang berupa makanan, minuman, pakaian, perumahan, kelakuan dan lain-lain yang di dalamnya telah dimasuki oleh perasaan bangga, kesombongan, ria’, ingin pujian atau sanjungan, semuanya itu sudah merupakan kemaksiatan, merupakan berlebih-lebihan yang tidak dapat dibenarkan oleh agama dan dibenci oleh Allah”.

Karena itu saya nasehatkan kepada saudara hal-hal sebagai berikut :

Bekerjalah di rumah tanggamu, baik yang berupa pelayanan atau bantuan apa pun jua untuk keluarga, sebagaimana yang juga dilakukan oleh rasulullah s.a.w. dalam rumahnya.

Beliau s.a.w. mengerjakan hal-hal ini :
1. Memerah susu dengan tangannya yang mulia.
2. Menambal atau memperbaiki terompahnya serta pakaiannya yang rusak.
3. Suka makan bersama-sama dengan pelayannya (lelaki tentunya).
4. Membeli apa saja dari pasar dan tidak malu membawanya sendiri ke rumah.
5. Menjabat tangannya orang kaya dan miskin, tanpa dibeda-bedakan.
6. Memulai memberi salam kepada siapa saja yang ditemuinya, tanpa dipilih-pilih, besar atau kecil, tua atau muda, sudah dikenal atau belum pernah dikenal, kaya atau miskin.
7. Mengabulkan undangan siapa saja yang mengundangnya dan tidak pernah menghinakan undangan yang bagaimana pun juga sifatnya serta makanan apa pun yang dihidangkan kepadanya.
8. Beliau s.a.w. adalah lemah lembut perangainya, baik sekali dalam pergaulan, riang wajahnya, dapat bersikap keras tetapi bukan kejam, gemar merendahkan diri tetapi bukan karena merasa hina, amat dermawan tetapi tidak terlampau boros dan royal, berhati lunak dan mengalah.

Demikianlah berbagai kelakuan rasulullah s.a.w. yang menunjukkan betapa besar tawadhu’nya.

Sementara itu istri beliau s.a.w. yang bernama ‘Aisyah r.anha menambahkan demikian , “Rasulullah tidak pernah padat perutnya karena terlalu kenyang, juga tidak pernah mengadukan halnya kepada seseorang pun, karena bagi beliau s.a.w., keadaan diri dalam kekurangan dan kemiskinan adalah lebih baik daripada kelapangan rizki dan kekayaan”.

Oleh sebab itu, barangsiapa yang hendak bersikap tawadhu’, maka hendaklah meniru dan mengikuti jejak langkah rasulullah s.a.w. itu. Seseorang yang tidak suka melakukan sedemikian itu, maka sungguh-sungguh amat bodoh sekali. Bukankah rasulullah s.a.w. itu seagung-agungnya makhluk Allah ta’ala, setinggi-tinggi mereka perihal derajad dan kedudukannya, baik dalam urusan keduniaan, keakhiratan dan keagamaan. Maka mengapa kita enggan mencontohnya. Bukankah tidak ada suatu kemuliaan pun, tidak ada suatu ketinggian pun, melainkan dengan jalan mengikuti tindak langkah beliau s.a.w. itu ?

MENGOBATI SIKAP TAKABBUR DAN BERUSAHA UNTUK TAWADHU’

Lebih dulu perlulah kita ketahui bahwa kesombongan, kecongkakan, merasa diri tinggi dan megah atau ringkasnya takabbur itu adalah termasuk hal-hal yang amat merusakkan, baik kepada jiwa, akhlak, agama dan lain-lain. Menghilangkan sifat yang amat merusakkan ini hukumnya adalah fardhu ‘ain yakni setiap orang wajib berusaha melenyapkannya. Hilangnya itu tidak mungkin hanya dengan jalan mengharap-harap atau berangan-angan belaka, tetapi wajib dengan menggunakan pengobatan. Untuk mengobatinya itu ada dua macam tindakan yang perlu sekali diperhatikan baik-baik yaitu :

A. Dengan menjebol pohonnya dari tempat tertanamnya yakni dalam hati.
B. Menolak segala godaan yang baru datang dengan mengusir sebab-sebab yang dijadikan sebagai bahan kesombongan itu.

Tindakan pertama ; Menjebol akar-akarnya dari hati :
Dalam melaksanakan tindakan pertama ini ada dua yang penting dan secara bersamaan mengerjakannya yaitu dengan secara ilmiah yakni mengetahui ilmunya dan dengan amalan. Penyembuhan penyakit ini tidak dapat sempurna kecuali dengan kedua-duanya itu diperhatikan dengan berbarengan dan tidak satu-persatu saja.

Pengobatan ilmiahnya ialah pertama kali hendaklah menyadari kedudukan dirinya sendiri dan kedudukan Tuhannya yakni Allah ta’ala. Ini saja sebenarnya sudah cukup dijadikan penawar yang mujarab sekali.

Apakah sebabnya itu saja sudah cukup ? Sebabnya ialah, jikalau seseorang itu sudah menyadari siapa dirinya itu dan kesadarannya itu benar-benar dengan kema’rifatan yang hakiki, pasti ia akan merasa bahwa tidak sepatutnya kalau melakukan sikap yang sombong itu. Yang layak sebagaimana mestinya ialah harus bertawadhu’ atau merendahkan diri. Lebih-lebih jikalau ia sudah menyadari kedudukan Tuhannya, pastilah ia akan meyakinkan bahwa tidak layaklah keagungan dan kesombongan itu selain untuk Allah ta’ala semata-mata.

Mengenai kema’rifatan kepada Allah, kebesaran serta keagungan-Nya, tentulah akan memerlukan halaman panjang guna menguraikannya. Hanya saja secara ringkasnya dapatlah diketahui dalam kitab-kitab tauhid yang berhubungan dengan itu.

Adapun perihal kema’rifatan pada diri sendiri, maka itu pun panjang pula. Hanya saja disini akan kami cantumkan penguraian sekedarnya cara singkat yang kiranya akan membawa kemanfaatan guna melatih diri agr dapat bertawadhu’ serta lebih mengutamakannya dari sifat kesombongan. Untuk menjelaskan kema’rifatan pada diri sendiri itu kiranya cukuplah kalau kami bawakan sebuah ayat saja dari kitab suci Al Quran Al Karim, sebab dalam kitab suci ini sudah termuatlah segala ilmu pengetahuan mengenai hal-ihwal orang-orang dahulu dan yang belakangan bagi siapa saja yang terbuka mata hatinya.

Dalam surah ‘Abasa 17-22, Allah ta’ala berfirman :
قُتِلَ اْلاِنْسَانُ مَا اَكْفَرَهُو . مِنْ اَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُو. مِنْ نُّطْفَةٍ , خَلَقَهُو فَقَدَرَهُو . ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهُو . ثُمَّ اَمَاتَهُو  فَاَقْبَرَهُو  . ثُمَّ اِذَا شَآءَ اَنْشَرَهُو
Celakalah kiranya manusia itu. Alangkah ingkarnya kepada Tuhan. Dari benda apakah ia diciptakan ? Dari setetes air mani. Tuhan menciptakan-Nya dan menentukan kadar yang sesuai baginya. Kemudian Tuhan memudahkan padanya untuk menempuh jalannya. Selanjutnya Dia mematikannya lalu meletakkannya dalam kubur. Seterusnya, apabila Tuhan menghendaki lalu dibangkitkan lagi oleh-Nya.

Perhatikanlah baik-baik isi ayat tersebut. Allah ta’ala menunjukkan sejelas-jelasnya kepada kita tentang asal kejadian manusia, bagaimana keadaan waktu permulaannya, pertengahannya dan selanjutnya bagaimana pula akhir penghabisannya.

Adapun permulaan manusia itu sama sekali tidak ada, tidak ada sebutan sesuatu pun mengenai manusia itu. Bertahun-tahun manusia itu tetap tidak ada dan tidak disebut-sebut. Ini saja sudah cukup untuk disadari betapa rendahnya. Resapkanlah dalam hati, adakah sesuatu benda yang lebih hina dari sesuatu yang asalnya tidak ada itu.

Setelah itu Allah ta’ala berkenan untuk menciptakannya, yaitu dari suatu bahan yang amat kotor, menjijikkan bila dilihat. Pad pertama kali ketika menciptakan manusia yang terdahulu sekali yakni Adam a.s. diciptakan dari tanah, suatu bahan yang amat hina sebab senantiasa diinjak-injak oleh kaki dan hampir tidak ada harganya sama sekali. Selanjutnya dijadikanlah manusia dengan perantaraan ayah dan ibu dari air mani yang keluar dari tempat yang memalukan untuk menyebutnya. Lalu dari inilah Allah membuatnya menjadi segumpal darah, terus dijadikannya sekepal daging dan akhirnya dijadikan tulang yang dibungkus pula dengan daging. Itulah keadaan manusia pada permulaan wujudnya. Jadi barulah ada sebutan manusia itu sesudah menempuh berbagai ragam evolusi dengan sifat-sifatnya yang tersendiri, hal-ihwalnya yang tertentu yang semuanya itu menunjukkan kerendahan dan kehinaannya. Memang Allah ta’ala menjadikan manusia itu tidaklah terus menjadi sempurna sejak permulaan, tetapi sebagaimana kita maklumi pada pertama kalinya hanyalah berupa benda mati, tidak dapat mendengar, melihat, merasa, bergerak, berbicara, mengambil, berfikir, memeriksa dan lain-lain. Jadi sudah mati dulu sebelum hidupnya, lemah dulu sebelum kuatnya, bodoh dulu sebelum pandainya, buta dulu sebelum melihatnya, tuli dulu sebelum mendengarnyabisu dulu sebelum berbicaranya, tersesat dulu sebelum memperoleh petunjuk, miskin dulu sebelum kaya dan lemah dulu sebelum kuasanya.

Inilah yang dimaksud dengan firman Allah s.w.t. dalam surah ‘Abasa 18-19 :
مِنْ اَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُو. مِنْ نُّطْفَةٍ , خَلَقَهُو فَقَدَرَهُو
Dari benda apakah manusia itu diciptakan oleh Allah ? Dari setetes air mani lalu Allah menciptakannya kemudian ditentukanlah kadar yang sesuai baginya.

Setelah ia muncul di dunia lalu diberi kenikmatan oleh Allah, yaitu firman-Nya dalam surah ‘Abasa 20
Selanjutnya Allah memudahkan baginya untuk menempuh jalannya.                                 ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهُو

Dalam ayat ini mengandung isyarat yang jelas, bahwa setiap manusia itu akan dipermudahkan jalan yang manapun yang akan dilaluinya selama hidupnya di dunia ini.

Kembali kepada asal kejadian manusia itu sendiri. Bukankah pertama kalinya manusia itu diciptakan dari tanah. Inilah sebagai lambang kerendahan. Tanah yang setiap hari kita lihat diinja-injak oleh kaki. Perhatikanlah, apakah ada sesuatu yang lebih hina dari benda yang menjadi sasaran injak-injakan kaki itu ? Selanjutnya diciptakanlah manusia itu dari setetes air mani yang hina dan kotor, yang asalnya pun tidak ada pula. Ini semua dikemukakan oleh Allah ta’ala dalam kitab suci-Nya, agar setiap manusia itu mengerti dan insaf bahwa dirinya itu berasal dari benda yang amat hina sekali. Kemudian manusia itu oleh Allah diberi kesempurnaan sedikit demi sedikit, makin hari makin besar, makin tahun makin pandai, dapat menjadi kaya, berpangkat dan berkedudukan tinggi dan lain sebagainya.

Semua kenikmatan yang dilimpahkan itu ditujukan semata-mata agar manusia itu dapat mengetahui siapa Tuhan yang wajib dipuja dan disembah, juga agar menginsafi betapa betapa keagungan dan kebesaran Tuhan itu. Maka dari itu akan insaf pulalah manusia, bahwa kesombongan itu tidak layak sama sekali melainkan untuk Zatnya Allah ‘azza wa jalla sendiri.

Manusia itu perlu diajak mengerti, bagaimanakah ia patut menyombongkan dirinya, bagaimana ia layak merasa megah dan tinggi, padahal sejak permulaannya saja sudah demikian itu hal-ihwalnya, bagaimana ia pantas untuk bersifat takabbur, padahal sebenarnya ia adalah selemah-lemahnya segala yang lemah, sehina-hinanya segala yang hina dan serendah-rendahnya segala yang rendah.

Tetapi memang begitulah kebiasaan orang yang hina dan rendah itu. Jikalau ia sudah lepas dari kehinaan dan kerendahannya, jikalau ia sudah merasa di atas, tiba-tiba saja menggembungkan hidungnya dan membusungkan dadanya. Yang demikian itu adalah nyata-nyata menunjukkan kehinaan dan kerendahan sejak awal mula kejadiannya. Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah.

Begitu hal-ihwal manusia itu. Sekiranya ia oleh Allah sudah disempurnakan, diserahkan segala urusannya kepada dirinya sendiri, diteruskan hidupnya di dunia ini, disenangkan hati dan perasaannya, maka tanpa malu-malu ia berbuat kedurhakaan, kecurangan dan hal-hal yang menyebabkan kemurkaan serta kebencian Tuhan. Ia akhirnya lupa pada asal mula wujudnya itu dan lupa pula akan kemana ia nanti setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Namun demikian Tuhan tetap akan memberi penyakit-penyakit dan bencana-bencana selama hidupnya itu, sehingga akan meruntuhkan yang sebagian dari bagian yang lainnya. Hal ini pasti berlaku, baik manusia itu suka atau enggan, menerima dengan senang hati atau menggerutu dan baik ia mengucapkan syukur karena memperoleh sakit atau bencana itu atau tidak.

Sementara itu Allah memberikan pula peringatan-Nya untuk menunjukkan kelemahan manusia itu. Ia dibuatnya lapar dengan paksa, dibuatnya haus, dibuatnya sakit dan akhirnya mati. Ditampakkan kehinaannya pula yaitu bahwa manusia itu tidak dapat menguasai dirinya sendiri, tidak dapat memberikan kemanfaatan atau bahaya untuk dirinya serta tidak pula memberi kebaikan atau keburukan kepada tubuhnya, apalagi kepada orang lain. Manusia ingin selalu ingat pada sesuatu, tetapi Allah membuatnya lupa. Ia ingin melupakan sesuatu, melalaikan dari ingatannya, tetapi ingatannya kepada hal itu ditetapkan oleh Allah, tidak dilepaskannya sedikitpun lintasan hatinya, baik di waktu siang atau malam. Ia ingin mengetahui sesuatu tetapi Allah tetap menutupinya, ia ingin pandai tetapi Allah tetap membodohkannya. Itulah sebagian kelemahan-kelemahan manusia yang pasti ia sendiri menyadarinya.

Perhatikanlah pula hari-hari yang terakhir bagi kehidupan manusia itu. Setelah ia mengarungi lautan kehidupan sepanjang hari, melalui waktu siang dan malam, tanpa dirasainya sedikit demi sedikit dikurangilah kesempurnaan yang dahulu diberikan Allah ta’ala itu. Pendengarannya mulai berkurang, penglihatannya tidak sejauh dulu sewaktu mudanya, seluruh anggotanya terasa sakit-sakitan saja, tidak enak dan selalu gelisah. Sementara itu akal fikirannya pun berubah, ingatannya susut banyak dan sering-sering lupa saja. Akhirnya nyawanya pun dilepaskanlah dari tubuh yang dicintainya. Dengan direnggutkan sukma dari badannya itu, terampas pulalah segala yang disenangi dari kehidupannya di dunia ini dan ini berlaku dengan perasaan terpaksa. Ia suka atau tidak, pasti hal ini akan berjalan, menurut takdir Allah. Ia harus mengikuti dan mentaati dengan tunduk dan patuh. Alangkah hinanya manusia itu.

Renungkanlah keadaan manusia itu, jikalau ia dibiarkan oleh Zat Yang Maha Kuasa, ia akan tetap, tetapi jikalau sudah direnggutkan pasti akan rusaklah tubuhnya. Memang benarlah bahwa manusia itu sebagai seorang hamba sahaya yang tidak dapat berbuat sesuatu apa pun untuk dirinya sendiri, lebih-lebih untuk orang lain. Maka dari itu, cobalah kita perhatikan, adakah sesuatu yang lebih hina dan lebih rendah daripada manusia. Jikalau hal-hal ini sudah dimengerti, pasti akan menginsafi bahwa kesombongan itu sama sekali tidak sesuai. Manusia yang masih suka berlagak sombong itu tentulah yang masih amat bodoh dalam taraf yang serendah-rendahnya.

Demikianlah keadaan manusia itu dan kehidupannya. Inilah yang merupakan pertengahan hal-ihwal manusia.

Seterusnya,  bagaimanakah akhir manusia itu nanti ? Di atas sudah dikemukakan tentang kematian yang merupakan akhir kehidupan manusia di dunia yang diisyaratkan oleh firman Allah s.w.t. dalam surah ‘Abasa 21-22 :
ثُمَّ اَمَاتَهُو  فَاَقْبَرَهُو  . ثُمَّ اِذَا شَآءَ اَنْشَرَهُو
Selanjutnya Allah mematikan manusia itu lalu diletakkannya dalam kubur. Kemudian jikalau Allah menghendaki, maka pada suatu ketika nanti akan dibangkitkannya kembali.

Maksud dari ayat itu ialah bahwa disaat Allah telah merampas dan melenyapkan ruhnya, pendengarannya, penglihatannya, pengetahuannya, kekuasaan dan perasaannya, segala gerakan dan tindakannya, maka manusia itu akan kembali sebagai benda padat yang mati untuk kedua kalinya. Ia kembali sebagaimana asal mulanya dahulu. Yang tertinggal dikala itu hanyalah bentuk anggota tubuhnya, rupa wajahnya yang tidak merasakan apapun dan tidak bergerak sedikitpun. Selanjutnya ia akan diletakkan dalam tanah, sebagai asal mula kejadiannya pada pertama kalinya dahulu. Disitu ia hanyalah sebagai mayat, tidak berbeda dengan bangkai yang lain-lain, berbau tidak nyaman dan menjijikkan sekali. Seterusnya anggota-anggota tubuhnya pun satu demi satu mereteli dan terserak-serak, berpisah-pisah antara yang satu dengan lainnya, bahkan tulang-tulangnya pun hancur dan remuk-remuk, ulat-ulat pun mulai berebutan memakan dagingnya dan anggota-anggotanya yang lain-lain. Penghabisannya ialah bahwa manusia itu menjadi tahi dalam perut ulat-ulat tadi. Ia benar-benar menjadi bangkai yang dijauhi oleh binatang, dianggap jijik oleh manusia lainnya, semua makhluk enggan mendekati sebab baunya yang tidak enak dan bacin.

Sebenarnya alangkah bahagianya manusia itu, sekiranya tetap sampai disitu saja perjalanan hidupnya yakni sehabis jadi mayat lalu selesailah segala urusannya. Tetapi kiranya tidak demikian. Manusia itu akan dihidupkan kembali. Jadi setelah mengalami berbagai kesengsaraan dan penderitaan di dunia, sekali lagi ia akan dipaksa untuk menanggulangi hal-ihwal yang lebih hebat lagi penanggungannya, lebih besar lagi bencana dan marabahayanya. Begitulah setelah ia dikeluarkan dari kuburnya nanti pada hari ba’ats (pembangkitan), yaitu setelah segala anggota bagian-bagiannya terkumpul menjadi satu sebagaimana dahulunya di dunia, ia akan digiring untuk menghadapi hari hisab (perhitungan amal). Sekali lagi ia harus menghadapi kesukaran dan kesengsaraan dan kini lebih hebat dan lebih dahsyat lagi. Ia melihat tibanya saat hari kiamat, melihat langit yang pecah-pecah dan retak-retak, bumi yang berganti dari yang biasanya disaksikan, gunung-gunung sama beterbangan, bintang-bintang yang tak keruan lagi jalan peredarannya, matahari yang mengalami gerhana, keadaan penuh suasana kegelapan, berhadapan dengan malaikat-malaikat yang keras-keras dan bersikap kasar tanpa belas kasihan. Di hadapannya terlihatlah api neraka Jahannam yang sedang gemuruh suaranya. Sementara itu di seberang sana tampaklah surga yang molek dan indah tersedia untuk semua orang yang taat dan berbakti kepada Tuhan. Orang-orang yang berdosa melihat itu dengan pandangan penuh penyesalan. Disaat itu ia akan memeriksa sendiri kitab catatan amalan-amalannya, terbuka lebar dimukanya. Kepadanya dikatakanlah, “Bacalah kitab catatanmu ini”. Ia bertanya, “Catatan apakah itu ?”. Malaikat memberitahukan kepadanya, “Ini catatan tertulis sejak lama sekali. Catatan mengenai apa-apa saja yang merupakan amalanmu sejak hidupmu di dunia itu. Hidupmu yang penuh kenikmatan, tetapi yang engkau gunakan sebagai bahan kesombongan dan dengan sebab dilimpahi kenikmatan itu engkau berbuat sewenang-wenang. Tahukah engkau bahwa sewaktu hidupmu itu ada dua malaikat yang senantiasa berada disampingmu yang senantiasa mencatat amalanmu, yaitu apa-apa yang engkau ucapkan atau apa yang engkau perbuat, baik yang sedikit atau yang banyak, yang kecil atau pun yang besar, yang tampak atau pun yang rahasia. Engkau agaknya telah lupa dengan kelakuan-kelakuanmu sendiri, tetapi Allah ta’ala tetap memberikan perhitungan sampai yang secermat-cermatnya. Karena itu marilah kini engkau kami hadapkan untuk menerima hisab dan perhitungan amal. Bersedialah untuk memberikan pertanggungan jawabnya. Atau mungkin sekali engkau akan digiring ke rumah penyiksaan ?”.

Manusia yang sedemikian itu rupanya sudah putus asa hatinya, lenyap harapannya untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat. Ia takut dan amat terkejut mendengar kewibawaan ucapan yang ditujukan padanya sebagaimana di atas. Ia telah lemas seluruh tubuhnya sebelum catatan amalannya dibeberkan. Tampak jelaslah betapa sedih kalbunya, merasa amat hina dan rendah, terbayang kesengsaraan yang akan dihadapi tidak lama lagi.

Demi ia sudah membuka sendiri catatannya, lalu ia pun berkatalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala dalam surah ِAl Kahf 49 :
...يوَيْلَتَنَا مَالِ هذَا الْكِتبِ لاَيُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلاَ كَبِيْرَةً اِلآَّ اَحْصهَا ...
Aduhai, alangkah besarnya kemalangan kami. Catatan apakah ini, tidak ada yang ditinggalkan segala macam perkara, yang kecil atau yang besar, melainkan dihitung jugalah seluruhnya itu.

Demikian keadaan yang terakhir dari manusia itu nanti dan itulah yang dimaksudkan oleh firman Allah ta’ala dalam surah ‘Abasa 22 :
ثُمَّ اِذَا شَآءَ اَنْشَرَهُو
Selanjutnya jikalau Tuhan menghendaki, maka (pada sutu saat) Tuhan membangkitkannya (dari kuburnya).

Cobalah resapkan benar-benar dalam hati. Jikalau demikian ini hal-ihwal manusia, maka untuk apakah ia mesti menunjukkan kecongkakan dan kesobongan, mengapa pula ia merasa dirinya besar dan luhur. Mengapa pula ia dapat bergembira, apalagi merasa dirinya megah. Bukankah telah jelas sekali keadaannya itu sejak permulaan hingga pertengahan dan penghabisannya. Rasanya andaikata saja dapat dikabulkan permohonannya, barangkali manusia itu akan memilih menjadi binatang saja, sebab akhir penghabisan makhluk ini hanyalah cukup dijadikan tanah. Barangkali manusia itu tidak ingin lagi menjadi seorang yang mendengar perkataan dan karenanya tidak ingin pula memperoleh siksaan. Na’udzu billaah dari yang sedemikian ini.

Manusia yang demikian keadaan akibatnya, yang belum tentu akan mendapatkan pengampunan Tuhan, yang jelas ia sendiri masih mergu-ragukan apakah dosanya akan dilebur atau akan ditetapkan dan dihisab nanti, bagaimanakah ia dapat bersuka ria, bagaimanakah ia dapat menonjol-nonjolkan diri, bagaimanakah pula ia dapat bertakabbur dan melakukan kedurhakaan ?

Sebenarnya bahwa manusia itu sepatutnya akan merasa sedih, takut dan belas kasihan pada dirinya sendiri. Cukuplah ia dengan mengenangkan uraian-uraian di atas itu merasakan dirinya sangat rendah dan hina.

Begitulah cara pengobatan secara mengetahui ilmunya guna menjebol sama sekali pokok dari akar kesombongan itu.

Adapaun mengenai pengobatan amaliah yakni dengan perbuatan, yaitu hendaklah seseorang itu senantiasa merendahkan dirinya kepada orang lain karena semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala. Ini harus dilakukan dan dilatih terus-menerus. Ia wajib pula berbuat demikian dengan siapa pun juga, tanpa memilih-milih orang yang ada dihadapannya. Ia perlu mencontoh perilaku para ahli tawadhu’, sebagaimana yang telah kami uraikan mengenai sifat-sifat dan tabiat rasulullah s.a.w. sendiri, juga para shalihin.

Memang tawadhu’ itu tidak akan sempurna, sekalipun sudah mengetahui ilmunya, melainkan harus pula disertai dengan amalannya sekali. Oleh sebab itu agama Islam menyuruh ummat Arab, sebagai ummat yang pertama menerima ajakan kepada agama Islam itu, supaya orang-orang yang asal mulanya suka bersombong kepada Allah dan rasul-Nya itu segera mengubah keyakinannya yang sesat dengan keimanan yang hakiki, kemudian disertai pula dengan amalan shalat yang baik, sebab shalat adalah tiang agama.

Dalam shalat itu banyak rahasia-rahasia yang terkandung, mengapa ia dianggap tiang utama, sebagai sendi yang sebesar-besarnya. Diantara rahasia-rahasianya yang pelik-pelik itu ialah untuk menunjukkan sikap tawadhu’, yakni dengan mengikuti perintah Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh rasulullah s.a.w. Patuh berdiri, taat dalam ruku’, dan sujud. Bukankah sujud itu meletakkan anggota tubuh yang semulia-mulianya yaitu dahi ke atas tanah, suatu benda yang sehina-hinanya, tempat yang selalu diinjak-injak oleh kaki.

Bangsa Arab sebagai bangsa yang terkenal kasar pada permulaannya, enggan sekali untuk membungkukkan badan. Sekalipun pecutnya jatuh dari tangannya, tetapi untuk mengambilnya itu ia segan membungkuk dan diambil dengan badan tetap tegak saja. Bahkan sekalipun tali terompahnya putus tidaklah suka kepalanya itu tunduk untuk membetulkannya. Maka bagi mereka amalan sujud adalah puncak dari perasaan hina dan rendah. Mereka diperintahkan demikian untuk mematahkan kesombongan mereka, melenyapkan ketakabburan hati mereka, sehingga akhirnya meresaplah rasa merendah diri itu dalam jiwa dan kalbu, kemudian mengajak seluruh ummat manusia untuk melakukan sebagaimana ajaran rasulullah s.a.w.

Tindakan kedua ; Mengusir sebab-sebab timbulnya takabbur :
Untuk mengobati hati dan sift, takabbur itu, selain dengan menjebol akar-akarnya ketakabburan itu dari dalam hati, baik dengan jalan ilmu pengetahuan serta amalan yang tegas, juga perlu sekali dilakukan tindakan yang kedua ini. Tindakan yang kedua ialah mengusir sebab-sebab yang menimbulkan sifat kesombongan itu yakni adanya tujuh macam perkara, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam menguraikan perihal cela menginginkan kepangkatan, kedudukan dan kemasyhuran.

Dalam bab itu telah kami sebutkan sejelas-jelasnya bahwa kesempurnaan yang hakiki ialah adanya ilmu dan amal. Selain dua hal ini hanyalah merupakan kesempurnaan bayangan, sebab pasti akan lenyap setelah yang memilikinya itu meninggal dunia.

Kini baiklah dimulai menguraikan jalan pengobatan dari sebab-sebab tujuh macam perkara itu dengan ilmu dan amal pula.

Pertama ; Keturunan dan silsilah.
Barangsiapa yang dihinggapi penyakit sombong dengan sebab merasa berasal dari keturunan mulia, bangsawan dan lain-lain, hendaklah hal itu diobati dengan mengetahui sebenar-benarnya bahwa perasaan yang sedemikian itu adalah kebodohan diri semata-mata. Kebodohannya itu ialah, mengapa ia merasa mulia dan bangga dengan adanya kesempurnaan yang ada dalam diri orang lain, sekalipun orang itu yang menurunkan dirinya. Jikalau seseorang itu memang nyata seorang yang hina, apakah kehinaannya itu dapat ditambal dengan mengemukakan kesempurnaan orang itu. Untuk apa ditonjol-tonjolkan nasab atau keturunan serta silsilahnya yang tidak berarti sama sekali itu. Mengapa hanya ayahnya dan neneknya saja yang disebut-sebutkan. Bukankah lebih baik mengingat siapa sebenarnya ayahnya yang terdekat sekali pada dirinya itu yakni setetes air mani yang kotor, sedang neneknya yang terjauh adalah berupa debu atau tanah liat belaka. Bukankah Allah ta’ala menjelaskan dari apakah ia diturunkan sebagai nasabnya itu.

Firman-Nya dalam surah As Sajdah 7-8 :
... وَبَدَاَ خَلْقَ اْلاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ . ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُو  مِنْ سُللَةٍ مِّنْ مَآءٍ مَّهِيْنٍ
Allah memulai penciptaan manusia itu dari tanah liat, kemudian membuat keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).

Jikalau seseorang itu sudah menginsafi bahwa asal mulanya itu berupa tanah liat, sedang kelanjutannya sebagai bahan kejadiannya itu hanyalah berupa air mani yang hina, maka bagaimanakah ia dapat merasa bangga dan tinggi. Bukankah kedua benda yang hina itu yang sebenarnya merupakan asal keturunan yang hakiki bagi setiap manusia itu. Oleh karenanya, maka barangsiapa benar-benar menyadari ini, pastilah tidak akan suka menyombongkan keturunannya, bahkan malu sekali akan berbuat sedemikian tadi.

Kedua ; Kegantengan dan kecantikan.
Cara pengobatannya ialah hendaknya dengan meneliti batinnya dengan menggunakan kacamata orang yang berakal dan jangan hanya memandang lahiriahnya saja sebagai pandangan segala macam binatang. Jikalau seseorang itu suka melihat batiniahnya, yakni bagian-bagian dalam tubuhnya , pastilah akan diketahui berbagai macam keburukan-keburukan serta kotoran-kotoran yang dikandungnya. Sebenarnya jikalau suka mengingat-ingat ini, pasti dirinya sendiri akan merasa jijik dan tidak patut merasa mulia dengan kegantengan dan kecantikan yang hanya tampak di luaran itu. Bukankah tubuhnya itu sebenarnya penuh kotoran, bahkan dari seluruh tubuhnya itu pun hanya kotoran-kotoran belaka yang juga mengalir ke seluruh anggotanya. Selain itu setelah matinya nanti pun akan berubah menjadi mayat yang sebenarnya termasuk pula dalam golongan kotoran juga. Bukankah ini yang terkotor diantara segala kotoran yang ada. Seterusnya kemanakah pergina kegantengan dan kecantikan yang ada, yang pernah dibangga-banggakannya dulu, yang disombong-sombongkan kemana-mana itu ? Tidak ingatkah manusia itu bahwa setiap saat tidak mustahil ia akan dihinggapi suatu penyakit atau karena suatu sebab, lalu akan lenyap sama sekali kegagahan tubuhnya, kegantengan wajahnya atau kecantikan roman mukanya ? Bukankah sudah banyak terjadi bahwa wajah-wajah yang rupawan, tiba-tiba saja menjadi buruk dan menjijikkan dengan terkena sebab atau penyakit yang tidak disangka-sangkanya itu.

Nah, dengan menyadari hal-hal sebagai di atas itulah yang dapat menghilangkan penyakit kesombongan dari dalam hatinya bagi seseorang yang bangga dengan kegantengan atau kecantikan wajah dan lain-lainnya. Baiklah itu direnungkan dalam-dalam agar hatinya dapat diobati sendiri.

Ketiga ; Kekuatan dan ketangkasan.
Perasaan sombong dengan sebab di atas ini, rasanya mudah sekali dilenyapkan apabila seseorang itu suka memperhatikan dirinya, bagaimana hal-ihwal tubuhnya ketika didatangi suatu penyakit. Apakah yang akan dialami sekiranya sudah tidak kuasa selain berbaring di atas tempat tidur. Kemanakah kekuatan dan ketangkasannya dahulu itu ?Janganlah sakit yang parah, sedangkan andaikata ada sebuah urat saja yang tidak normal dalam tubuhnya, pastilah itu akan menjadi amat lemah sekali, lebih lemah dari setiap makhluk yang selemah-lemahnya. Bagaimanakah sekiranya kalau kakinya tertusuk sebuah duri, bukankah sudah tidak dapat berjalan lagi dengan wajar dan sempurna. Konon lagi kalau sudah dihinggapi oleh penyakit panas sehari saja, sudah pasti kekuatan dan ketangkasannya itu tidak dapat dipulihkan dalam waktu yang singkat.

Dengan menyadari hal-hal sebagai di atas, patutkah kiranya seseorang yang tidak tahan terkena duri dan tidak tahan pula digigit oleh kutu busuk itu membanggakan kekuatan dan ketangkasan tubuhnya. Benar-benar orang tolol saja yang akan menjawab, “Itu patut sekali”.

Baik pula diinsafi bahwa sekalipun manusia itu bagaimanapun juga kuat dan tangkasnya, sudah pasti ia tidak akan lebih kuat atau lebih tangkas daripada kuda atau lembu, gajah atau unta. Jikalau demikian, kebanggaan apakah yang dapat diperolehnya yang berupa suatu sifat yang tidak akan melebihi apa yang dimiliki oleh binatang yang tidak berakal. Baiklah semua itu disadari, agar segera lenyaplah kesombongan itu.

Keempat  dan Kelima ; Kekayaan harta dan Banyaknya pengikut.
Semua ini adalah merupakan kesombongan dengan menggunakan sesuatu yang diluar keaslian manusia itu sendiri yakni yang tidak lekat erat dengan tubuhnya. Hal-hal yang seperti inilah yang merupakan seburuk-buruknya macam kesombongan dan kecongkakan.

Cobalah perhatikan, bagaimanakah halnya orang yang menyombongkan harta dan kekayaannya itu, sekiranya diwaktu malamnya nanti tiba-tiba rumahnya terbakar, harta bendanya lenyap menjadi hangus dan arang. Bagaimanakah pula jikalau pada suatu saat ia kecurian segala miliknya, tidakkah ia akan kembali sebagai orang yang hina dina dan peminta-minta kesana kemari ?

Bukan sedikit kaum Yahudi yang melebihi dirinya dalam hal kekayaan dan kemewahan hidup serta kenikmatan yang serba melimpah ruah. Ah, apakah gunanya suatu kemuliaan yang tidak dapat melebihi kaum Yahudi itu ?

Banyaknya pengikut dan pembantu pun demikian pula. Apakah artinya kalau banyaknya orang-orang yang mengawalnya itu hanya sebab harta atau kedudukannya. Bukankah tidak mustahil bahw sewaktu-waktu pangkatnya itu akan turun atau terlepas dari dirinya, kekuasaannya akan lenyap dan hilang karena dikalahkan oleh golongan lain. Jikalau itu sudah terjadi, apakah pengikutnya akan tetap membonceng di belakangnya. Hendaklah hal-hal yang semacam ini dijadikan buah fikiran yang sedalam-dalamnya untuk melenyapkan kesombongannya itu.

Keenam ; Ilmu pengetahuan.
Berlagak sombong dengan menggunakan ilmu pengetahuan itu adalah bentuk kesombongan yang amat besar bahayanya, bila dibandingkan dengan yang lain. Cara pengobatannya haruslah dengan dua jalan, yaitu :

A. Hendaklah orang yang pandai atau ‘alim itu mengetahui bahwa hujah Allah, pemeriksaan-Nya dan pertanggunganjawab yang dipikulkan padanya itu adalah lebih berat, lebih dikokohkan dan lebih diteliti. Sesuatu yang dipertanggungkan kepada yang bodoh belum dapat menyamai sepersepuluhnya dari apa yang dipertanggungkan kepada orang yang pintar.

Apakah sebab demikian itu ? Sebabnya ialah karena barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah ta’ala, padahal ia mengetahui hukumnya dan bahwa kelakuannya itu sebagai pelanggaran terhadap larangan Allah, maka kesalahan yang dilaksanakan tadi tentulah dianggap lebih buruk dan lebih jahat, sedang bahayanya pun lebih besar pula.

B. Hendaklah disadari benar-benar, sebagaimana yang berkali-kali diutarakan disini, yaitu supaya setiap orang itu menginsafi dengan sesungguh-sungguhnya bahwa yang layak dan yang patut memiliki sifat kesombongan itu hanyalah Allah ‘azza wa jalla semata-mata. Hanya Dia Yang Maha Esa dan Maha Tunggal yang berhak berbuat demikian, lainnya tidak patut sama sekali. Juga apabila ada yang selain Allah ta’ala yang melakukannya, maka pasti akan memperoleh kemurkaan dari Allah ta’ala dan tentu sangat dibenci. Inilah yang kiranya dapat melenyapkan kesombongan itu dan sebaliknya akan menyebabkan seseorang itu akan bersifat tawadhu;.

Jikalau pada suatu ketika hatinya ingin berlagak sombong terhadap seseorang yang berbuat kefasikan atau gemar kebid’ahan, maka hendaklah diingat-ingat uraian-uraian yang lalu yaitu mengenai betapa besarnya dosa dan kesalahan yang dilakukan. Hendaklah jangan menganggap kecil orang-orang yang semacam itu di pandangan matanya. Yang perlu diperiksa baik-baik ialah bagaimana akibatnya nanti yakni di akhir masa kehidupannya orang-orang itu. Siapa tahu, barangkali dirinya sendiri yang akan memperoleh su ul khotimah (penghabisan yang buruk), sedang orang yang dianggap fasik atau tukang bid’ah itu justru yang akan mendapatkan husnul khotimah (penghabisan yang baik).  Dengan menyadari hal-hal semacam di atas itu, rasanya akan takutlah hatinya berbuat kesombongan. Barangkali ada yang hendak mengatakan, “Jikalau tidak disombongi, bukankah itu berarti menyetujui kelakuannya yang salah itu ? Sebaliknya jikalau disombongi, bukankah itu berarti membencinya ? Bukankah membenci kelakuan sedemikian itu mutlak diperlukan ?”. Kepada penanya ini, dapatlah dijawab demikian, “Bukannya meninggalkan kesombongan itu berarti menyetujui dan belum tentu menyombongi itu berarti membenci. Apakah halangannya jikalau kita tetap membenci orang-orang tersebut karena Allah tanpa menunjukkan kesombongan sama sekali. Kesombongn dan kebencian perlu dipisah-pisahkan. Memang kita wajib membencinya, wajib tidak menyetujui kelakuannya, wajib mengingkari kefasikannya dan wajib pula tidak mencocoki cara-cara kebid’ahannya. Tetapi semua itu haruslah didasarkan semata-mata untuk mengharapkan keridhaan Allah s.w.t., sebab yang diperintahkan oleh-Nya ialah boleh kita membencinya, tetapi sama sekali tidak boleh berlagak sombong dan takabbur padanya.

Ketujuh ; Kewara’an, amalan shalih dan peribadatan.
Menyombongkan diri dengan menggunakan hal-hal di atas itu benar-benar sebagai fitnahan yang besar bagi seseorang hamba Allah. Satu-satunya jalan untuk menyembuhkannya ialah dengan bersikap tawadhu’ pada sesama makhluk Allah ta’ala.

Wahab bin Munabbih berkata, “Belum dapat dikatakan sempurnalah akal seseorang itu, sehingga di dalamnya terdapat beberapa perkara. Ada satu macam perkara diantara kesemuanya itu yang lebih penting dan lebih utama diperhatikan. Dengan perkara yang satu ini saja, akan tinggilah kekuasaannya, agunglah sebutannya dan amat mulia di pandangan orang banyak. Satu macam perkara itu ialah supaya menganggap semua orang itu lebih baik dari dirinya sendiri. Sebenarnya bila diperhatikan, keadaan manusia itu dapat dibagi dalam dua golongan yaitu segolongan yang keadaannya pasti lebih utama dan segolongan lainnya keadaannya pasti lebih rendah dan lebih buruk dari dirinya. Jikalau terhadap kedua golongan ini hatinya sudah dapat bersikap tawadhu’ tanpa pilih-pilih, maka itulah sebagai tanda kebaikan jiwa dan hati nuraninya.

Jikalau ia melihat orang yang nyata-nyata lebih baik dari dirinya, ia menjadi gembira dan berharap semoga dirinya dapat menyusul perilakunya sehingga dapat menjadi baik seperti orang tadi. Sebaliknya jikalau melihat orang dikiranya lebih buruk dari dirinya, hatinya selalu mengatakan, “Ah belum tentu. Siapa tahu kalau-kalau orang ini pada penghabisan umurnya nanti akan memperbaiki kelakuannya secara sekaligus dan akhirnya termasuk dalam golongan yang selamat disisi Allah ta’ala, sedang saya sendiri mungkin akan rusak binasa, jikalau saya menyombongkan diri padanya”.

Dengan memiliki perasaan sebagaimana di atas itu, hatinya senantiasa kecut dan takut sekali pada akibat yang akan dialaminya. Patut pula ia berkata, “Barangkali cara berbaktinya orang ini dirahasiakan sekali. Kalau begitu tentulah lebih baik untuknya. Aku pun tidak dapat memaklumi, barangkali dalam dirinya ada suatu budi pekerti yang mulia, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Tuhan. Tidak mustahil bahwa oleh Allah ta’ala ia akan diberi kerahmatan yang melimpah ruah serta diterima taubatnya, kemudian diberi husnul khotimah bagi sekalian amalannya. Jikalau yang boleh dinilai itu hanya luarannya saja, mungkin sekali itu salah. Itu adalah perasaan yang buruk dan bagiku sendiri lebih buruk lagi”. Dengan mengucapkan kalimat-kalimat ini dalam hati, pasti akan dirasakan bahwa amalan yang ditampakkan olehnya yang berupa ketaatan serta peribadatan yang beraneka macamnya itu, belum dapat dipastikan akan dapat diterima. Sebabnya ialah mungkin sekali di dalamnya kemasukan bahaya-bahaya kesombongan dan ria’ dan kedua ini saja sudah cukup untuk menghapuskan seluruh pahala yang semestinya dapat diterima olehnya”.

Wahab akhirnya berkata, “Nah, dengan melaksanakan ini, pasti sempurnalah akal fikirannya dan pasti dapat menguasai situasi dirinya”.

Adapun nash-nash yang menunjukkan tentang keutamaan memiliki rasa kasih sayang sebagaimana di atas itu, ialah firman Allah ta’ala dalam surah Al Mu’minun 60 yang berbunyi :
وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلى رَبِّهِمْ رجِعُوْنَ
Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya dengan hati yang takut kepada Allah, karena mereka tahu bahwa mereka akan kembali pada Tuhannya.

Maksudnya ialah bahwa mereka itu melakukan ketaatan atau peribadatan, sedang hati mereka itu senantiasa takut yang sangat karena merasa, apakah amalannya itu akan diterima oleh Allah ta’ala.

Allah s.w.t. berfirman lagi dalam surah Al Mu’minun 57 :
اِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang menjaga dirinya (berhati-hati) karena takut kepada Tuhannya (itulah yang mendapat kebaikan).

Sekali lagi firman-Nya dalam surah ِAt Thur 26 :
Sesungguhnya kita pada masa dahulu merasa takut terhadap keluarga kita.             اِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِيْ اَهْلِنَا مُشْفِقِيْنَ

Selain itu Allah ta’ala dalam memberikan sifat-sifat malaikat ‘alaihimussalam, bahwa mereka itu suci dari segala macam dosa dan senantiasa merasa takut dan belas kasihan pad diri sendiri, sebagaimana firman-Nya dalam surah Anbia’ 20 :
يُسَبِّحُوْنَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَ يَفْتُرُوْنَ
Mereka itu memaha sucikan Allah diwaktu malam dan siang, dan tidak ada henti-hentinya.

Selanjutnya disambung lagi dalam surah Anbia’ 28 :
Dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadanya                       .... وَهُمْ مِّنْ خَشْيَتِهِى مُشْفِقُوْنَ

Menilik ayat di atas, dua hal itu harus tetap ada ada yakni cinta dan takut. Jadi bukannya perasaan yang didasarkan ingin menguasai dan bukan pula takut karena kekejaman orang yang dihadapi. Maka dari itu apabila dua hal ini lenyap, tentulah kesejahteraan dari tipudaya pada Allah akan dapat dikalahkan dan yang sedemikian ini akan menyebabkan timbulnya sifat kesombongan dan seterusnya kesombongan inilah yang menyebabkan kerusakan. Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa kesombongan itu sebagai tanda menyingkir dari kecintaan dan ketakutan dan ini adalah hal yang dapat merusakkan pula. Sebaliknya tawadhu’ adalah sebagai tanda ketakutan dan kecintaan dan inilah yang dapat menyelamatkan.

Jikalau kita telah memahami yang sedemikian ini, maka tahulah kita bahwa hal-hal yang merusakkan seorang ahli ibadat dengan menyimpan rasa kesombongan serta menghinakan sesama makhluk itu lebih banyak daripada kebaikan yang dilakukannya dengan amalan lahiriah.

Dengan jalan menyadari semua ini pasti akan lenyaplah penyakit kesombongan dari hati. Hanya saja ada juga sebagian hati yang setelah menginsafi hal-hal semacam di atas ini lalu seolah-olah sudah berubah menjadi seorang yang bertawadhu’, hatinya merasa sudah terlepas sama sekali dari kesombongan yang pernah dilakukannya, tetapi sebenarnya masih belum demikian yakni bahwa tawadhu’ yang dilakukannya itu hanyalah bayangan sementara dan merupakan kedustaan belaka. Oleh karenanya, maka jikalau sewaktu-waktu terjadi suatu hal yang mendesak, kembali pulalah orang itu kepada tabiatnya semula dan tampak lagi kesombongannya sebagaimana yang dahulu-dahulu dilakukan.

Mengingat hal yang sedemikian ini, maka pengobatan hati dari kesombongan itu rasanya belum cukup dengan hanya mengetahui ilmu pengobatannya saja, tetapi sebaiknyalah kalau disertai pula dengan menggunakan amalan yang nyata, melatih diri mengikuti tindak langkah orang-orang ahli tawadhu’, terutama disaat-saat akan munculnya sifat kesombongan itu dari jiwanya. Inilah seyogyanya diperhatikan dengan secermat-cermatnya.


AMALAN SEBAGAI IMTIHAN/LATIHAN


Sebagaimana diuraikan dimuka, bahwa dengan ilmunya saja tentang cara pengobatan untuk menyembuhkan sifat takabbur itu belum lagi cukup, tetapi perlu dengan amalan yang nyata.

Mengenai amalan ini yang terutama sekali ialah hendaknya merupakan latihan atau imtihan yakni melatih hati dengan berbagai cara ujian yang menunjukkan untuk mengeluarkan apa yang ada di dalam batin. Adapun cara berimtihan ini banyak sekali, diantaranya yakni ;

Pertama ; Hendaklah mengadakan pertukar fikiran, permusyawaratan atau beradu pandangan dengan kawan-kawannya mengenai suatu masalah atau persoalan. Hendaklah dalam hatinya sendiri merasakan, sekiranya dari salah seorang kawannya itu terdapat suatu uraian yang sesungguhnya dianggap benar oleh jiwanya, tetapi oleh karena sesuatu, tiba-tiba hatinya berat untuk menerima yang haq itu, berat untuk menyetujui atau mengikutinya dan tidak pula mengucapkan terimakasih pada peringatannya, maka itulah suatu tanda bahwa dalam jiwanya masih tetap ada perasaan sombong dan takabbur yang terpendam. Disaat demikian ini hendaklah ia segera memohonkan pengampunan (istighfar) kepada Allah dan mempertebal ketakutannya pada Tuhan serta berusaha menyembuhkan penyakitnya tadi.

Dari sudut ilmiahnya hendaklah seseorang itu selalu mengingat kerendahan dirinya sendiri serta bahaya yang diakibatkan oleh perbuatan sombongnya dan bahwa kesombongan itu sama sekali tidak layak melainkan bagi Allah s.w.t.

Adapun dari segi amaliahnya ialah supaya seseorang itu memaksa jiwanya sendiri untuk mengakui kebenaran yang dirasakan berat dinyatakan oleh lidanya, bahkan sebaliknya hendaklah ia mengucapkan syukur dan pujian kepada orang yang dianggapnya benar itu dan mengakui bahwa dirinya sendiri lemah untuk mengemukakan yang benar, sebagaimana yang diketengahkan oleh kawannya. Ia sepatutnya mengucapkan syukur karena kawannya telah memberikan suatu macam ilmu pengetahuan yang benar dan tidak ada salahnya kalau mengucapkan, “Alangkah tepatnya pendapat saudara itu, saya sendiri agaknya lupa dalam hal ini dan mungkin sayalah yang salah. Semoga Allah memberi balasan baik pada saudara sebab saudara telah mengingatkan saya itu”.

Nah, demikian itulah yang seharusnya dilakukan. Ingatlah bahwa hikmat dan ilmu pengetahuan itu adalah sebagai benda yang hilang bagi setiap orang mukmin, maka dari itu dimana saja diperolehnya hendaklah diambil dan hendaklah berterimakasih kepada siapa saja yang menunjukkan tempatnya itu. Jikalau kelakuan-kelakuan yang semacam ini sudah dibiasakan, biasa dilatih secara terus-menerus, pastilah itu akan menjadi watak dan tabiat, tidak lagi berat dirasakan hati untuk mengakui yang benar sekalipun dari siapapun datangnya. Juga hatinya akan merasa ringan dan senang menerimanya.

Ringkasnya ialah, jikalau dalam hati itu masih ada perasaan berat untuk memberikan pujian kepada kawannya yang nyata-nyata dianggapnya benar, maka jelaslah bahwa di dalam hati orang yang demikian ini masih ada rasa kesombongan, sekalipun sekecil debu.

Kedua ; Latihan yang perlu pula dilakukan ialah supaya suka berkumpul dengan kawan-kawannya, sahabat-sahabatnya atau siapapun juga dalam pertemuan-pertemuan, rapat-rapat, resepsi dan lain-lain. Mereka itu hendaklah dipersilahkan berada dimukanya, suka berjalan di belakang mereka, suka duduk di tempat yang tingkatnya lebih rendah dari sahabat-sahabatnya itu. Jikalau ini masih dirasakan berat, maka teranglah bahwa dalam hatinya ada rasa kesombongan itu. Maka dari itu, sebaiknya hal-hal yang semacam itu, dipaksa-paksakan untuk melakukannya, sehingga lenyaplah keberatan-keberatan tadi. Dengan demikian akan lenyaplah ketakabburannya sedikit demi sedikit.

Sudah tentulah dalam keadaan semacam ini syaithan tidak akan berlengah-lengah. Ia selalu mencari kesempatan untuk memasukkan jarum penipuan serta rayuan busuknya. Mungkin sekali syaithan ini akan duduk-duduk di barisan alas kaki yang ada di bawah sekali atau duduk-duduk diantara orang yang sedang berlatih ini dengan kawan-kawannya, sehingga orang itu menyangka bahwa perbuatannya tadi suatu tanda ketawadhu’an, padahal itulah yang sebenarnya merupakan kesombongan pula. Mengapakah demikian ini juga termasuk kesombongan ?

Sebabnya ialah demikian : Seseorang yang sedang melatih itu, mudah dihinggapi kesombongan dengan adanya perbuatan yang bagaimanapun juga bentuknya. Ia mungkin menyangka bahwa dengan meninggalkan tempat yang semestinya ia berhak mendudukinya atau yang ia seharusnya memperoleh kehormatan untuk menempatinya itu, adalah untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah benar-benar bertawadhu’. Jadi orang ini bahkan melakukan kesombongan dengan jalan mempertontonkan ketawadhu’annya. Disinilah letak keburukannya. Tampak bertawadhu’ tetapi niat hatinya bertakabbur.

Ketiga ; Latihan selanjutnya dapat dilakukan dengan jalan mengabulkan undangan orang miskin, juga suka berjalan di pasar untuk mengantarkan kawan yang memerlukan sesuatu, juga barangkali ada salah seorang keluarga yang mengajaknya. Jikalau hal-hal ini belum sanggup dilaksanakan, maka itulah suatu tanda masih adanya rasa kesombongan dalam hatinya. Bukankah semua itu merupakan akhlak-akhlak yang utama, juga budi pekerti yang luhur, sedang pahalanya pun amat banyak sekali. Jadi apabila hati masih enggan melakukan itu, pastilah terjadinya itu ditimbulkan oleh sebab keburukan batinnya. Maka dari itu baiklah berusaha benar-benar untuk menghilangkannya dengan cara yang langsung, disertai pula mengingt-ingat apa-apa yang telah kami uraikan dimuka yang dapat menghilangkan rasa kesombongannya.

Keempat ; Inilah cara latihan yang terakhir yaitu supaya tidak malu-malu membawa keperluannya sendiri, keperluan keluarga atau kawan-kawannya dari tempat mana pun juga, pasar, toko dan lain-lain ke rumah. Jikalau ia masih enggan melakukan, teranglah bahwa dalam dirinya masih terpendam sifat takabbur dan ria’ yang wajib dilenyapkan.

Semua yang diuraikan dimuka adalah merupakan penyakit-penyakit hati dan itulah baksil-baksilnya yang menyebabkan keruntuhan jiwa dan akhlak seseorang, sekiranya tidak segera dicapai penyembuhannya. Sebagian banyak manusia itu kurang memperhatikan atau melalaikan sama sekali pengobatan hatinya, tetapi amat giat sekali mengobati tubuh kasarnya, sekalipun penyakit yang seringan-ringannya. Padahal tentunya setiap manusia itu sadar bahwa tubuh kasar ini pasti akan mengalami kematian, sedang jiwa dan hati tidak akan memperoleh kebahagiaan, kecuali dengan keselamatannya. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam surah Asy Syu’ara 89 :
اِلاَّ مِنْ اَتَى الله َبِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
Melainkan orng yang datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat.

PERANAN LATIHAN DALAM TAWADHU

Ketahuilah bahwa setiap akhlak dan budi pekerti itu, mempunyai dua ujung dan pertengahan antara keduanya tadi. Demikian pulalah halnya dengan sifat tawadhu’.

Ujung yang lebih condong pada kelebihan itu dinamakan takabbur atau kesombongan, ujung lainnya yang condong pada kekurangan dinamakan merasa hina diri dan rendah jiwa. Jadi ada meerderwaardig (merasa diri lebih tinggi dari orang lain) dan minderwaardig (merasa diri lebih rendah dari orang lain). Pertengahan antara kedua sifat inilah yang dinamakan tawadhu’ atau merendahkan diri. Tawadhu’ itu baru dianggap sebagai sifat yang mulia apabila dilakukan bukan karena merasa hina dan bukan karena kekurangan yang ada pada dirinya.

Memang yang pertengahan itulah yang terbaik, sebab yang merupakan kedua ujungnya adalah tercela sama sekali. Hal-hal yang paling dicintai Allah adalah yang merupakan tengah-tengahnya. Seseorang melangkah lebih maju dari kawan-kawannya dalam hal ini, ia adalah seorang yang sombong, sedang yang mundur ke belakang dari kawan-kawannya adalah merasa hina diri. Adapun yang ada di tengah-tengahnya itulah tawadhu’. Tawadhu’ adalah pecahan dari kata wadha’a yakni meletakkan. Maksudnya ialah meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya berhak untuk diletakkan di tempatnya itu.

Perhatikanlah perumpamaan di bawah ini :
Ada seorang ‘alim yang pada suatu ketika didatangi oleh seorang yang hina, fasik dan durhaka. Kemudian ia menyingkir dari tempatnya dan mempersilahkan orang itu duduk di tempatnya. Kemudian ia maju ke muka dan meratakan letak sepatunya. Selanjutnya ia menuju ke arah pintu dan terus berjalan mengiringkannya dari belakang. Apakah ini termasuk tawadhu’ bagi seorang ‘alim itu ? Itu bukan sekali-kali tawadhu’ namanya. Itu namanya merendahkan diri yang bukan pada tempatnya. Namanya perbuatan yang semacam ini adalah merasa rendah diri, merasa hina dan kurang. Jadi kelakuan sebagaimana orang ‘alim inipun bukannya terpuji, tetapi tercela sekali. Yang terpuji disisi Allah ialah segala perbuatan yang adil, sedang dan wajar yakni memberikan hak kepada siapa yang berhak menerimanya.

Bertawadhu’ sebagaimana di atas itu bolehlah dilakukan kepada sesama kawannya atau seseorang yang tingkatnya menyamai atau hampir menyamai keadaan dirinya.


Adapun tawadhu’ kepada orang kebanyakan atau orang biasa cukuplah dengan berdiri diwaktu orang itu datang, kemudian bercakap-cakap dengan manis dan riang, lemah lembut dalam mengemukakan pertanyaan, juga dengan mengabulkan undangannya atau mengusahakan apa-apa yang menjadi keperluannya dan lain-lain sebagainya. Juga jangan sekali-kali merasa bahwa dirinya itu lebih baik dari orang itu dan oleh sebab itu janganlah sekali-kali menghinanya, menganggapnya kecil atau merendahkan kedudukannya, sebab ia sendiri tentu tidak mengerti bagaimana keadaan penghabisan dirinya sendiri nanti, apakah akan memperoleh husnul khotimah ataukan suul khotimah. Semoga saja kita mendapatkan yang baik-baik sejak sekarang hingga selama-lamanya.

Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar