Ketahuilah bahwa hasud itu pun
merupakan natijah atau buah daripada sifat dendam yang terkutuk dan tercela.
Hasud itu sendiri akan membuahkan berbagai sifat yang terkutuk dan tercela
pula, sehingga sukar untuk diperinci satu persatu karena amat banyak sekali.
Banyak sekali hadits-hadits yang
menguraikan perihal cela-cela dari kehasudan ini, seperti sabda rasulullah
s.a.w. yang diriwayatkan olh Abu Dawud dan Ibnu Majah :
اَلْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ
كَمَا تَأْكُلُ النَّارِ الْحَطَبَ
Hasud itu dapat makan
(menghabiskan) kebaikan sebagaimana api makan kayu.
Rasulullah s.a.w. yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersabda pula :
لاَتَحَاسَدُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوْا
وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَالله ِاِخْوَانًا كَمَا
اَمَرَكُمُ اللهِ
Janganlah kamu semua
dengki-mendengki, jangan putus-memutuskan hubungan persaudaraan, jangan
benci-membenci, jangan pula belakang-membelakangi (seteru-menyeteru) dan
jadikanlah kamu semua hamba Allah sebagai saudara, sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah kepadamu semua.
Diantara beberapa atsar ialah
ucapan sebagian ulama salaf, yaitu, “Sesungguhnya permulaan segala kekeliruan
itu ialah kedengkian. Iblis dengki kepada Adam a.s. karena kedudukan yang
diperolehnya, sehingga menyebabkan ia enggan menghormatinya. Jadi ia didorong
oleh kedengkiannya sampai berbuat suatu kemaksiatan yang besar”.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Saya
tidak pernah mendengki pada seseorang dalam urusan apapun. Apakah perlunya saya
dengki, sebab jikalau itu termasuk urusan keduniaan, sedang orang yang memiliki
itu dari golongan ahli surga (beramal shalih), maka bagaimana saya beriri hati
padanya dalam urusan keduniaan tadi, padahal benda di dunia ini semuanya adalah
hina bila dibandingkan dengan yang ada di dalam surga. Sebaliknya jikalau yang
memiliki itu adalah golongan ahli neraka (berbuat kedurhakaan), maka bagaimana
saya beriri hati padanya dalam urusan keduniaan tadi, padahal orang itu sendiri
nanti akan dijerumuskan dalam neraka”.
Sebagian orang salaf lagi
berkata, “Orang yang bersifat dengki itu tidak akan memperoleh sesuatu pun dari
masyarakat melainkan celaan dan hinaan, sedang dari malaikat yang didapatnya
hanyalah kelaknatan dan kebencian dan dari khalayak ramai akan mendapatkan
penyesalan dan kesusahan. Selanjutnya di akhirat nanti di hadapan Allah tidak akan
mendapatkan sesuatu kecuali malu dan siksa.
HAKIKAT
DAN HUKUM HASUD
Hasud itu ada dua macam, yaitu :
Pertama ; Benci pada seseorang yang
memperoleh sesuatu kenikmatan dan mengharap-harapkan agar kenikmatan tadi
segera lenyap daripadanya.
Kedua ; Tidak menginginkan bahwa
kenikmatan itu lenyap dari orang yang memperolehnya itu, tapi ia sendiri
menginginkan agar mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh orang tadi.
Ini namanya ghibthah.
Sifat yang pertama itu adalah
haram hukumnya dalam segala hal, kecuali sesuatu kenikmatan yang dimiliki oleh
seorang yang durhaka dan digunakan sebagai alat untuk melakukan kemaksiatan, seperti
membuat kerusakan atau menyakiti orang
lain. Dalam keadaan yang sedemikian tidak mengapalah mengharap-harapkan
lenyapnya kenikmatan itu dari orang tadi, sebab jelas digunakan untuk jalan
kemaksiatan. Nash-nash agama yang menerangkan haramnya hasud yang sedemikian
itu sudah diuraikan dimuka. Hasud yang berupa kebencian seperti di atas itu
sama halnya dengan memarahi ketentuan atau kepastian Allah ta’ala yang
memberikan kelebihan pada seseorang di atas hamba-Nya yang lain. Hal yang
sedemikian ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mendengki. Memang,
kemaksiatan manakah yang lebih buruk nilainya daripada kalau seseorang itu
membenci kepada seorang muslim lain, padahal tidak ada suatu kemudharatan pun
yang ditimbulkan oleh orang muslim itu terhadap dirinya sendiri.
Untuk menunjukkan orang-orang
yang hasud itu Quran dalam surah Ali ‘Imran 120 menerangkan :
اِنَّ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ
, وَاِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّـئَةٌ يَّفْرَحُوْا بِهَا .....
Jikalau kamu semua mendapatkan
kebaikan, maka hal itu tidak mengenakkan hati mereka sedang jikalau kamu semua
mendapatkan kejelekan (kemalangan), maka mereka pun bergembira dengan sebab
kemalangan itu.
Kegembiraan semacam diatas itu
dinamakan syamatah yakni gembira yang timbulnya sebab mendengar atau melihat
adanya suatu kesusahan, kecelakaan, kemalangan atau bencana yang menimpa pada
orang yang dianggap sebagai saingan atau lawan. Hasud dan syamatah itu selalu
beriring dan berhubungan erat.
Sementara itu Allah ta’ala
memberikan ancar-ancar pula dalam firmannya dalam surah Hasyr 9 :
....
وَلاَ يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّآ اُوْتُوْا ......
Mereka (golongan
sahabat-sahabat rasulullah s.a.w. dari kaum Anshar yakni penduduk Madinah)
tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (golongan kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah).
Jadi kaum Anshar itu tidak merasa
sempit atau mengkal hati dan tidak pula merasa susah kepada saudara-saudaranya
pendatang baru. Allah ta’ala memuji mereka itu sebab tidak adanya sifat dengki
atau hasud dama sekali dalam hati mereka.
Maka dari itu tidak adanya sifat
kedengkian sangatlah dianjurkan oleh agama.
Ada suatu bentuk lain yang
tampaknya seolah-olah sebagai hasud, tetapi sebenarnya tidak, yaitu yang
dinamakan berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan atau yang lazim disebut
munafasah. Hal ini tidaklah haram sama sekali, bahkan dianjurkan dan dituntut
oleh syari’at.
Dalam hal ini Allah ta’ala
berfirman dalam surah Muthaffifin 26 :
....
وَفِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ
Dan untuk memperoleh kebaikan
itu hendaklah berlomba siapa yang suka berlomba.
Lagi firman-Nya dalam surah ِِAl Hadid 21 :
سَابِقُوْآ اِلى مَغْفِرَةٍ مِّنْ
رَّبِّكُمْ ....
Berlomba-lombalah kamu semua
untuk menuju kepada pengampunan Tuhanmu.
Dalam pada itu rasulullah s.a.w.
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersabda :
لاَحَسَدَ اِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ
: رَجُلُ اتَاهُ الله ُمَا لاًفَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ , وَرَجُلٌ
اتَاهُ الله ُعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِهِ وَيُعَلِّمُهُ النَّاسَ
Tidaklah boleh dibenarkan
adanya kedengkian itu, melainkan dalam dua hal, yaitu seseorang yang dikaruniai
harta oleh Allah kemudian dipergunakan untuk yang haq (benar) sampai habisnya
harta itu dan juga seseorang yang dikaruniai ilmu pengetahuan oleh Allah, kemudian
ia mengamalkannya serta mengajarkannya kepada orang-orang lain.
Jadi dalam persoalan hasud yang
kedua yang disebut ghibthah itu oleh agama diperkenankan, asalkan yang
dimaksudkan itu ialah menginginkan agar dirinya juga memperoleh kenikmatan
sebagaimana yang diperoleh saudaranya, dan sama sekali tidak menginginkan agar
kenikmatan tadi lenyap dari saudaranya itu, juga tidak benci jikalau kenikmatan
tadi menetap di tangan saudaranya tadi, sekalipun ia sendiri juga belum
mendapatkannya.
Ada pula masalah lain yaitu
mengharapkan sesuatu hal atau benda yang merupakan kenikmatan bagi seseorang
dan menginginkan agar hal (seperti pangkat atau kedudukan) serta benda (seperti
rumah dan lain-lain) itu berpindah menjadi miliknya. Ia menginginkan demikian
karena memang menjadi idam-idaman atau cita-citanya, tetapi sekalipun demikian
ia tidak mengharapkan lenyapnya kenikmatan itu dari orang yang lain tadi, maka
perilaku semacam ini sangatlah tercela.
Allah ta’ala berfirman dalam
surah Nisa’ 32 :
وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ
الله ُبِه بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ .....
Janganlah kamu semua
mengharap-harapkan sesuatu yang telah dilebihkan oleh Allah kepada sebahagianmu
atas sebahagian yang lain.
Tetapi jikalau yang diinginkan
itu hanyalah sesuatu yang semacam apa yang dimiliki oleh orang lain itu, maka
tidak ada celanya sama sekali. Oleh sebab itu perlulah dimengerti perbedaan
ini.
Sebagai misal dapatlah
dikemukakan demikian :
Seseorang menginginkan kedudukan
sebagai menteri, sedang jabatan ini sudah diduduki oleh kawannya, adalah
tercela. Tetapi kalau ia ingin menjadi menteri dan tidak menetapkan untuk
kementerian apa, tidaklah tercela sama sekali.
Seseorang ingin memiliki rumah
yang sudah menjadi milik kawannya adalah tercela, tetapi kalau ingin memiliki
rumah yang sebagus dan seindah rumah kawannya, dimana pun juga tempatnya, maka
tidaklah tercela.
Jadi yang tercela ialah ingin
merebut satu macam hal atau benda dari tangan orang lain. Demikianlah
perbedaannya.
SEBAB-SEBAB
TIMBULNYA KEDENGKIAN
Hasud yang tercela dan dilarang
oleh agama itu mempunyai beberapa sebab serta pendorong yang amat banyak
sekali. Diantaranya yang merupakan garis besarnya ialah :
Pertama ; Adanya rasa permusuhan
dan kebencian. Inilah yang merupakan sebab timbulnya kedengkian yang terhebat
sekali. Jikalau ada orang yang menyakiti baik tubuh atau hatinya, atau ada
orang yang menyalahi tujan dan kehendaknya dengan suatu bentuk yang tidak
menyenangkan pribadinya, maka orang yang disakiti atau disalahi ini tentulah
membenci orang tadi, hatinya mengkal padanya serta amat marah sekali.
Selanjutnya dalam jiwanya akan tumbuhlah benih kedendaman. Kedendaman ini akan
menimbulkan penentangan serta pembalasan. Apabila orang yang mendendam ini
tidak dapat melampiaskan nafsunya untuk memberikan pembalasan itu dengan
dirinya sendiri, lalu ia mengharap-harapkan agar di suatu saat nanti sejarahlah
yang akan memberikan perhitungan padanya. Jadi sejarahlah yang diharapkan
sebagai pembalas dendamnya itu. Untuk ini kadang-kadang tidaklah segan-segan ia
melenyapkan kemuliaan dan kehormatan dirinya sendiri di sisi Allah ta’ala,
sebab apa yang diharapkan adalah suatu yang sama sekali tidak dapat dibenarkan
oleh Allah dan agamanya. Jikalau orang yang dipandangnya sebagai musuh itu
mendapatkan bencana dan kesusahan, ia lalu bergembira dan mengiranya bahwa itu
adalah pembalasan dari Allah ta’ala, sebab dikiranya Allah ta’ala amat
membencinya dan apa yang dialaminya itu adalah sebagai balasan kelakuannya yang
buruk padanya. Sebaliknya jikalau musuhnya itu memperoleh kenikmatan, maka hal
itu sangat tidak mengenakkan hatinya, sebab memang berlawanan sekali dengan
kehendak dan isi kalbunya. Kadang-kadang dalam hatinya terlintaslah suatu
pemikiran yang tersesat yaitu mengira bahwa agaknya tidak ada tempat untuk
dirinya itu di sisi Allah ta’ala sebab musuhnya itu masih juga belum dibalas,
padahal ia telah menganiaya serta menyakiti dirinya, tetapi malahan ia
memperoleh karunia dan kenikmatan.
Ringkasnya ialah bahwa kedengkian
itu menyebabkan tetap adanya kebencian dan permusuhan dan tidak akan terlepas
dari dua macam hal yang buruk ini.
Puncak daripada ketakwaan kepada
Allah ta’ala ialah hendaknya seseorang itu tidak berbuat kesalahan pada orang
lain dan tidak suka diperbuat sedemikian oleh orang lain pula. Tetapi jikalau
ada yang berbuat demikian, tidaklah itu didendamkan yang akhirnya akan
membuahkan kedengkian tadi.
Kedua ; Hasud dapat ditimbulkan
karena adanya perasaan tinggi diri yakni dirinya itu dianggap lebih mulia atau
lebih berharga dari orang-orang lain, sehingga jikalau ada orang yang hendak
mengalahkan dirinya baik dalam hal harta, kedudukan, pangkat, kepandaian dan
lain-lain, lalu timbullah dengkinya, sebab tidak ingin dilebihi itu.
Ketiga ; Gemar kepemimpinan dan
kekepalaan, serta suka sekali kedudukan yang teratas atau pangkat yang
tertinggi. Ia ingin sekali menonjol sendiri tanpa ada yang membandingi atau
menyamainya. Jangan ada orang yang mengimbangi kedudukannya. Karena itu ia amat
hasud sekali sekiranya melihat orang yang dianggapnya hendak menjadi saingan
baginya nanti dalam kedudukan, banyaknya jabatan yang dipegang, dan lain-lain.
Keempat ; Hasud dapat pula timbul
oleh sebab dasar jiwa manusia itu buruk dan kikir untuk berbuat kebaikan pada
sesama hamba Allah ta’ala. Orang yang semacam ini akan merasa berat sekali
apabila mendengar bahwa si Anu itu amat baik keadaannya, penuh kenikmatan dan
kebahagiaan. Sebaliknya ia merasa gembira jikalau mendengar bahwa si Anu itu
tidak dapat mencapai cita-citanya dan selalu goncang kehidupan rumah tangganya
serta senantiasa dalam kesempitan rizki. Oleh karenanya maka orang yang
sedemikian ini kurang suka memberikan bantuan kepada orang lain dan amat kikir
membelanjakan atau meratakan kenikmatan Allah ta’ala yang dilimpahkan kepadanya
itu kepada siapapun juga. Jikalau pada suatu ketika ia terpaksan mengeluarkan
bantuannya, maka seolah-olah orang yang diberi bantuan itu mengambil dari harta
miliknya secara tidak sah. Gejala-gejala yang seperti ini tidak ada lain
sebabnya kecuali hanyalah karena memang buruknya tabiat dan rendahnya watak
yang dimiliki.
Mengobati penyakit sebagaimana di
atas itu adalah amat sulit sekali, sebab yang harus dibersihkan adalah watak
jiwanya yang nyata-nyata kotor dan penuh daki. Jadi bukan sekedar disebabkan
datangnya penyakit dari luar, sebab jikalau demikian tentulah mudah sekali
melenyapkannya.
Perlu dimaklumi bahwa sebab-sebab
sebagaimana yang dijelaskan di atas itu adakalanya berkumpul sebagian atau
seluruhnya dalam diri seseorang. Jikalau hanya satu saja sebab yang dimiliki,
tentulah tingkat kedengkiannya itu tidak seberapa besarnya, sedang jikalau ada
dua sebab yang berkumpul tentulah kedengkiannya lebih besar lagi. Tetapi kalau
sudah ada tiga atau empat sebab berkumpul seluruhnya, tentulah kedengkian itu
amat besar sekali dan akan menjadi kokoh, sehingga sukar sekali untuk
ditutup-tutupi atau dipoles-poles dengan menunjukkan kebaikan di luar. Oleh
karena itu dalam keadaan yang amat hebat, kedengkian itu sendiri akan
menyingkap tabir kebaikan yang menutupinya, sehingga akhirnya tampak jelaslah
sikap permusuhan dan penentangan. Mudah-mudahan kita semua dilindungi oleh
Allah ta’ala dari sifat yang sedemikian ini, dengan pertolongan dan
kemuliaan-Nya serta kelemah lembutan-Nya.
USAHA
MENGHILANGKAN PENYAKIT DENGKI DARI DALAM HATI
Ketahuilah bahwa dengki atau
hasud itu adalah termasuk golongan penyakit hati yang amat berat, amat berbahaya
dan gawat sekali. Sebagaimana kita memaklumi bahwa semua penyakit hati itu
tidak mungkin dapat disembuhkan melainkan dengan menggunakan ilmu pengetahuan
dan amal perbuatan yang nyata.
Ilmu yang bermanfaat untuk
mengobati penyakit dengki itu ialah hendaknya engkau ketahui benar-benar bahwa
dengki adalah merupakan bahaya dan pembawa bencana yang besar sekali pada
dirimu baik di dunia atau di akhrat, baik yang mengenai urusan keagamaan atau
lain-lainnya. Insaflah pula bahwa sebenarnya orang-orang yang dihasudi itu
tidak akan memperoleh bahaya sema sekali baik yang langsung mengenai dunia dan
akhiratnya atau pun yang berhubungan dengan keagamaan atau lain-lainnya. Bahkan
sebaliknya yaitu bahwa yang dihasudi itu dapat mengambil kemanfaatannya.
Jikalau yang sedemikian ini telah diketahui, dirasakan sedalam-dalamnya dan
diteliti dengan penuh perhatian, pastilah sifat kedengkian itu akan kita usir
dari kalbu.
Marilah kita selidiki, mengapakah
sifat dengki itu membahayakan agama kita ?
Memang, dengki itu itu
membahayakan kita dalam soal keagamaan sebab dengan mengandung sifat kedengkian
ini berartilah bahwa kita nyata-nyata memusuhi atau membenci ketentuan dan
kepastian serta takdir Allah ta’ala berarti pulalah bahwa kita membenci akan
caranya Allah membagi-bagikan kenikmtan-Nya kepada seluruh hamba-hamba-Nya dan
tidak menyetujui keadilan yang telah dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan.
Semua itulah yang diingkari, tidak disetujui dan hendak diobrak-abrikkan.
Bukankah perilaku yang semacam ini merupakan suatu pelanggaran dan penentangan
terhadap inti ketauhidan ? Bukankah perilaku yang semacam ini merupakan kotoran
dalam sinar keimanan yang semestinya harus lebih dicemerlangkan ? Cukuplah
kiranya bahwa pelanggaran ketauhidan dan penodaan keimanan itu sebagai suatu
perongrongan yang langsung membahayakan agama. Malahan lebih dari itu pula
kesalahan yang dilakukan, sebab dengan adanya kedengkian dalam hati itu berarti
pula kita memisahkan diri dari kalangan kaum aulia’ (para waliullah) serta
anbia’ (para nabiullah) ‘alaihimush shalatu was salam. Memisahkan diri dari
beliau-beliau itu sebab beliau-beliau itu gemar berbuat kebaikan kepada sesama
hamba Allah ta’ala, sedang kita justru enggan melakukannya. Berarti pula bahwa
kita bersekutu dengan iblis dan golongan kaum kafir, sebab memang mereka inilah
yang amat senang jikalau melihat kaum mukmin mendapatkan bencana dan kesukaran
serta kehilangan kenikmatan yang telah dimilikinya. Jelaslah bahwa semuanya itu
merupakan kotoran-kotoran dan daki-daki dalam kalbu yang dapat melenyapkan
semua amal kebaikan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana mudahnya api
menghabiskan kayu bakar.
Selanjutnya perlu kita kaji pula,
mengapakah dengki itu merupakan bahaya di dunia ini ?
Sebabnya ialah karena dengan
mengendapkan perasaan dengki dalam hati itu, kita sendirilah yang merasakan
sakitnya, sakit di dunia ini yang tidak dapat dilihat dengan mata. Kita
sendirilah yang sebenarnya tersiksa dengan kedengkian kita sendiri itu. Kita
pasti akan selalu bersusah hati, mendongkol dan mengkal, sebab orang-orang yang
kita anggap sebagai musuh yang dihasudi tadi, tentulah tidak sunyi dari
kenikmatan-kenikmatan yang akan dilimpahkan oleh Allah ta’ala kepada mereka
itu. Sebagai manusia, kita tentu memperoleh kenikmatan dan mereka itu pun
demikian pula. Keadilan Allah ta’ala merata kepada segenap hamba-Nya. Jadi
dengan adanya kedengkian itu, selalu saja kita merasa sakit hati sebab melihat
adanya kenikmatan yang dilimpahkan kepada musuh, sakit hati pula jikalau musuh
itu tersingkir dari bencana atau bahaya yang sedianya akan menimpanya, tetapi
dengan kekuasaan Allah ta’ala tidak jadi mengenainya. Dengan hal yang
sedemikian ini, maka kita akan tetap bermuram durja hati terus-menerus dan
serasa dalam kesempitan hidup belaka.
Lebih hebat lagi penderitaan
batin kita itu apabila justru kita sendirilah yang terkena bahaya dan bencana
itu. Di saat itu tentu kita akan merasa bahwa musuh kita pun bergembira sebab
kemalangan yang kita derita itu. Mereka tentunya menginginkan sedemikian itu,
sebab kita pun ingin pula bahwa yang semacam ini akan menimpa pada diri musuh
kita tadi. Demikianlah yang kita rasakan. Bukankah lebih menyedihkan, kita
mengharapkan jatuhnya kecelakaan pada musuh, tiba-tiba sebaliknyalah yang
terjadi, yaitu bahwa diri kita sendiri yang mendapatkan kecelakaan itu.
Kesusahan sudah nyata, sedang kenikmatan musuh itu tetap meliputi tubuhnya dan
tidak lenyap dari sisinya. Memang, kenikmatan itu tidak dapat dilenyapkan hanya
dengan kedengkian orang lain.
Oleh sebab itu, sekalipun kita
andaikata saja tidak beriman pada pembangkitan pada hari kiamat, tidak beriman
kepada perhitungan amal nanti, tetapi jikalau uraian-uraian di atas itu
benar-benar kita fahami dan kita perdalamkan pengertiannya, jikalau kita
berotak cerdik serta berakal sehat, tentulah kita akan menghindarkan diri kita
dari sifat hasud tersebut. Sebabnya ialah karena kedengkian itu menyebabkan
kesakitan hati yang amat sangat dan amat mengganggu ketenangan otak dan
pikiran, sedangkan kemanfaatannya sama sekali tidak ada. Ini andaikata
diumpamakan kita tidak ada keimanan sama sekali kepada adanya pembalasan pada
hari kiamat.
Jikalau kita mempercayai hati ba’ats
dan hari hisab, tentulah lebih-lebih lagi ketakutan kita untuk berhati dengki
itu. Bukankah kita telah memaklumi betapa besar dan pedihnya siksaan Allah ta’ala
yang akan kita terima nanti di akhirat dengan sebab kedengkian kita. Oleh sebab
itu, alangkah ajaibnya seseorang yang menyediakan dirinya untuk memperoleh
kemurkaan Allah ta’ala, sedang tidak ada kemanfaatan pun yang dapat dicapainya.
Bahkan sebaliknyalah yang ada, yaitu bahaya dan bencana sajalah yang akan
ditanggung olehnya, kesakitan yang akan ditemuinya dan akhirnya rusak binasalah
agama dan keduniaannya tanpa faedah dan tidak berguna sama sekali.
Seterusnya perlu kita sadari
bahwa kedengkian seseorang itu tidak akan membawa bahaya dan bencana sama
sekali kepada orang yang dihasudi, baik yang berhubungan dengan agama dan
dunianya. Mengenai hal ini rasanya sudah jelas sekali, sebab bagaimanapun juga
kenikmatan itu tidak akan dapat dilenyapkan sekadar dengan adanya kedengkian
dalam hati kita.
Sebagai kebalikannya ialah bahwa
orang yang dihasudi itu malahan memperoleh kemanfaatan keagamaan. Sebabnya
ialah karena ia adalah seorang yang teraniaya. Jikalau kita yang dengki
padanya, maka kitalah yang berarti menganiayanya. Lebih-lebih lagi jikalau
sampai kita mengeluarkan buah kedengkian itu, sehingga merupakan perbuatan atau
ucapan yang nyata, misalnya kita mengumpatnya, menodai kehormatannya, melanggar
keperwiraannya atau menyebut cela dan keburukan-keburukannya. Ini lah hadiah
yang kita berikan padanya, sebab dengan perbuatan-perbuatan buruk yang kita
lakukan sebagaimana di atas itu berartilah bahwa kita memberikan hadiah padanya
berupa kebaikan kita, sehingga nanti pada hari kiamat, kita tidak akan menemui
kebaikan-kebaikan kita itu dan akhirnya kita termasuk orang yang merugi
bangkrut dan kehabisan kebaikan atau amal shalih, sebab telah kita berikan pada
orang yang didengki tadi. Sebagaimana juga kita tak pernah memperoleh kenikmatan
dari yang kita hasudi itu di dunia, maka di akhirat pun demikian pula
keadaannya. Kebaikan kita habis, amal shalih kandas sama sekali dan sebagai
gantinya dosa orang yang kita hasudi itulah yang dipikulkan kepada kita.
Orang yang dihasudi itu selain
memperoleh kemanfaatan untuk agama dan akhiratnya, juga memperoleh kemanfaatan
dunia. Sebabnya ialah bahwa tujuan utama dari setiap orang yang menaruh
kebencian kepada orang lain ialah hendak membuat sesuatu yang menyebabkan
kesusahan, keburukan dan kemalangan orang yang dianggap musuh itu. Padahal
tidak ada suatu siksa yang lebih berat dari siksa yang diberikan oleh diri
sendiri yakni dengan adanya hati yang dengki tadi. Orang yang dengki itu sendiri
telah berbuat sebagaimana kehendak musuhnya yakni supaya dirinya dalam
kesengsaraan dan kemalangan. Ini telah terlaksana dan anehnya bukan orang lain
yang menyebabkan terlaksananya itu, tetapi dirinya sendiri. Itulah keuntungan
orang yang didengki itu dalam segi keduniaan.
Jikalau engkau telah memahami
itu, tentulah engkau mengetahui bahwa dengan berhati dengki pada orang lain itu
berarti bahwa engkau adalah merupakan musuh dari dirimu sendiri dan merupakan
sahabat baik dari musuhmu, sebab engkau mencelakakan diri sendiri dan
menguntungkan musuh. Baik di dunia atau pun di akhirat engkau berbuat sesuatu
yang membahayakan dirimu sendiri dan memberikan kemanfaatan kepada musuh.
Selain itu engkau pasti akan selamanya tercela di sisi Allah Maha Pencipta
serta di samping sekalian makhluk, juga amat bernasib celaka baik untuk masa
sekarang atau pun nanti di hari kemudian. Padahal kenikmatan orang yang engkau
hasudi itu tetap kekal di sisinya, baik yang engkau inginkan atau yang engkau
tidak menginginkannya.
Oleh sebab itu barangsiapa suka
memikirkan dalam-dalam perihal tersebut di atas dengan menggunakan hatinya yang
suci dan bersih dari pengaruh nafsu dan syaithan serta menggunakan akal yang
sehat dan jujur, pasti akan lenyaplah semua api kedengkian dalam kalbunya.
Demikianlah cara melenyapkan kedengkian itu dengan mempelajari ilmu yang
berhubungan dengan soal-soal hasud tersebut.
Ada pun cara menghilangkannya itu
tentulah belum cukup hanya dengan ilmu pengetahuan tentang itu saja, tetapi
wajib pula disertai dengan amal kelakuan yang bermanfaat. Bagaimanakah cara
melaksanakan ini ?
Caranya ialah dengan memaksa diri
untuk melakukan hal-hal yang merupakan lawannya yang berarti menangkis hal-hal
yang menyebabkan timbulnya kedengkian tadi. Insyafilah bahwa obat itu selamanya
haruslah berupa tantangan dari penyakit yang akan diobati. Oleh sebab itu hasud
hendaklah diobati dengan jalan tawadhu’ kepada orang yang dihasudi , menyatakan
pujian dan kegembiraan serta menunjukkan kesuka-citaan kepadanya atas
kenikmatan yang diperolehnya. Dengan demikian hati yang asalnya menjauh akan
berganti menjadi erat dan rukun kembali, masing-masing pihak saling
cinta-mencintai. Dengan terlaksananya ini pasti akan terlepaslah hati seseorang
yang asalnya sakit dan susah.Kesakitan dari kedengkian itu akan berganti
menjadi kegembiraan sebab telah bertaubat kembali, sedang kesusahan dari
kebencian berganti pula menjadi kecintaan yang meluap-luap.
Demikianlah caranya mengobati
hati dari sifat kedengkian. Obat-obat itu pasti akan bermanfaat sekali apabila
dijalankan, hanya saja tentulah amat pahit rasanya, amat berat penanggungannya.
Namun demikian, kita harus senantiasa ingat bahwa kemanfaatan itu selamanya
terletak pada obat yang pahit. Barangsiapa yang tidak tahan kepahitan obat,
janganlah mengharapkan akan memperoleh kemanisan, kesehatan dan kesembuhan dari
penyakit yang diderita. Tetapi sekali pun pahit, namun kepahitan obat ini
dapatlah dirasakan ringan yakni dengan bertawadhu’ kepada orang-orang yang
asalnya dianggap sebagai musuh itu serta mendekatkan diri kepada mereka dengan
memberikan pujian-pujian yang ikhlas dan bersih dari sesuatu yang tidak layak.
Ini tentulah harus dengan menggunakan intisari ilmu pengetahuan mengenai bahaya
kedengkian sebagaimana yang telah diuraikan dimuka. Juga harus diikuti pula
dengan kuatnya keinginan untuk memperoleh pahala dan keridhaan Allah ta’ala
serta menerima dengan penuh kerelaan pada ketentuan-ketentuan yang telah
diberikan oleh-Nya.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar