السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Aku sama sekali bukanlah seorang penulis. Bukan pula ahlul ‘ilmi. Aku hanya seorang pembelajar biasa yang masih harus banyak belajar lagi dan terus belajar. Isi blogku ini hampir semuanya bukanlah karya ilmiah hasil tulisanku sendiri. Namun aku mengkompilasinya saja dari berbagai sumber yang kuhimpun menjadi satu di blogku ini, yang mana aku mengharapkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala atas usahaku ini, agar kumpulan artikel ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca blogku ini, dan juga demi percepatan ilmu itu sendiri. Semoga bermanfaat.  “Renungan (Muhasabah/Contemplation) Diri”  oleh :RACHMATSYAH

Selasa, 22 November 2016

Tausiah ke-3 (Hasud/Iri Hati/Dengki)

Ketahuilah bahwa hasud itu pun merupakan natijah atau buah daripada sifat dendam yang terkutuk dan tercela. Hasud itu sendiri akan membuahkan berbagai sifat yang terkutuk dan tercela pula, sehingga sukar untuk diperinci satu persatu karena amat banyak sekali.



Banyak sekali hadits-hadits yang menguraikan perihal cela-cela dari kehasudan ini, seperti sabda rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan olh Abu Dawud dan Ibnu Majah :
اَلْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارِ الْحَطَبَ
Hasud itu dapat makan (menghabiskan) kebaikan sebagaimana api makan kayu.

Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersabda pula :
لاَتَحَاسَدُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَالله ِاِخْوَانًا كَمَا اَمَرَكُمُ اللهِ
Janganlah kamu semua dengki-mendengki, jangan putus-memutuskan hubungan persaudaraan, jangan benci-membenci, jangan pula belakang-membelakangi (seteru-menyeteru) dan jadikanlah kamu semua hamba Allah sebagai saudara, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadamu semua.

Diantara beberapa atsar ialah ucapan sebagian ulama salaf, yaitu, “Sesungguhnya permulaan segala kekeliruan itu ialah kedengkian. Iblis dengki kepada Adam a.s. karena kedudukan yang diperolehnya, sehingga menyebabkan ia enggan menghormatinya. Jadi ia didorong oleh kedengkiannya sampai berbuat suatu kemaksiatan yang besar”.

Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Saya tidak pernah mendengki pada seseorang dalam urusan apapun. Apakah perlunya saya dengki, sebab jikalau itu termasuk urusan keduniaan, sedang orang yang memiliki itu dari golongan ahli surga (beramal shalih), maka bagaimana saya beriri hati padanya dalam urusan keduniaan tadi, padahal benda di dunia ini semuanya adalah hina bila dibandingkan dengan yang ada di dalam surga. Sebaliknya jikalau yang memiliki itu adalah golongan ahli neraka (berbuat kedurhakaan), maka bagaimana saya beriri hati padanya dalam urusan keduniaan tadi, padahal orang itu sendiri nanti akan dijerumuskan dalam neraka”.

Sebagian orang salaf lagi berkata, “Orang yang bersifat dengki itu tidak akan memperoleh sesuatu pun dari masyarakat melainkan celaan dan hinaan, sedang dari malaikat yang didapatnya hanyalah kelaknatan dan kebencian dan dari khalayak ramai akan mendapatkan penyesalan dan kesusahan. Selanjutnya di akhirat nanti di hadapan Allah tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali malu dan siksa.

HAKIKAT DAN HUKUM HASUD

Hasud itu ada dua macam, yaitu :

Pertama ; Benci pada seseorang yang memperoleh sesuatu kenikmatan dan mengharap-harapkan agar kenikmatan tadi segera lenyap daripadanya.

Kedua ; Tidak menginginkan bahwa kenikmatan itu lenyap dari orang yang memperolehnya itu, tapi ia sendiri menginginkan agar mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh orang tadi. Ini namanya ghibthah.

Sifat yang pertama itu adalah haram hukumnya dalam segala hal, kecuali sesuatu kenikmatan yang dimiliki oleh seorang yang durhaka dan digunakan sebagai alat untuk melakukan kemaksiatan, seperti membuat  kerusakan atau menyakiti orang lain. Dalam keadaan yang sedemikian tidak mengapalah mengharap-harapkan lenyapnya kenikmatan itu dari orang tadi, sebab jelas digunakan untuk jalan kemaksiatan. Nash-nash agama yang menerangkan haramnya hasud yang sedemikian itu sudah diuraikan dimuka. Hasud yang berupa kebencian seperti di atas itu sama halnya dengan memarahi ketentuan atau kepastian Allah ta’ala yang memberikan kelebihan pada seseorang di atas hamba-Nya yang lain. Hal yang sedemikian ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mendengki. Memang, kemaksiatan manakah yang lebih buruk nilainya daripada kalau seseorang itu membenci kepada seorang muslim lain, padahal tidak ada suatu kemudharatan pun yang ditimbulkan oleh orang muslim itu terhadap dirinya sendiri.

Untuk menunjukkan orang-orang yang hasud itu Quran dalam surah Ali ‘Imran 120 menerangkan :
اِنَّ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ , وَاِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّـئَةٌ يَّفْرَحُوْا بِهَا .....
Jikalau kamu semua mendapatkan kebaikan, maka hal itu tidak mengenakkan hati mereka sedang jikalau kamu semua mendapatkan kejelekan (kemalangan), maka mereka pun bergembira dengan sebab kemalangan itu.

Kegembiraan semacam diatas itu dinamakan syamatah yakni gembira yang timbulnya sebab mendengar atau melihat adanya suatu kesusahan, kecelakaan, kemalangan atau bencana yang menimpa pada orang yang dianggap sebagai saingan atau lawan. Hasud dan syamatah itu selalu beriring dan berhubungan erat.

Sementara itu Allah ta’ala memberikan ancar-ancar pula dalam firmannya dalam surah Hasyr 9 :
.... وَلاَ يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّآ اُوْتُوْا ......
Mereka (golongan sahabat-sahabat rasulullah s.a.w. dari kaum Anshar yakni penduduk Madinah) tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (golongan kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah).

Jadi kaum Anshar itu tidak merasa sempit atau mengkal hati dan tidak pula merasa susah kepada saudara-saudaranya pendatang baru. Allah ta’ala memuji mereka itu sebab tidak adanya sifat dengki atau hasud dama sekali dalam hati mereka.

Maka dari itu tidak adanya sifat kedengkian sangatlah dianjurkan oleh agama.

Ada suatu bentuk lain yang tampaknya seolah-olah sebagai hasud, tetapi sebenarnya tidak, yaitu yang dinamakan berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan atau yang lazim disebut munafasah. Hal ini tidaklah haram sama sekali, bahkan dianjurkan dan dituntut oleh syari’at.

Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman dalam surah Muthaffifin 26 :
.... وَفِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ
Dan untuk memperoleh kebaikan itu hendaklah berlomba siapa yang suka berlomba.

Lagi firman-Nya dalam surah ِِAl Hadid 21 :
سَابِقُوْآ اِلى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ ....
Berlomba-lombalah kamu semua untuk menuju kepada pengampunan Tuhanmu.

Dalam pada itu rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersabda :
لاَحَسَدَ اِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ : رَجُلُ اتَاهُ الله ُمَا لاًفَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ , وَرَجُلٌ اتَاهُ الله ُعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِهِ وَيُعَلِّمُهُ النَّاسَ
Tidaklah boleh dibenarkan adanya kedengkian itu, melainkan dalam dua hal, yaitu seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian dipergunakan untuk yang haq (benar) sampai habisnya harta itu dan juga seseorang yang dikaruniai ilmu pengetahuan oleh Allah, kemudian ia mengamalkannya serta mengajarkannya kepada orang-orang lain.

Jadi dalam persoalan hasud yang kedua yang disebut ghibthah itu oleh agama diperkenankan, asalkan yang dimaksudkan itu ialah menginginkan agar dirinya juga memperoleh kenikmatan sebagaimana yang diperoleh saudaranya, dan sama sekali tidak menginginkan agar kenikmatan tadi lenyap dari saudaranya itu, juga tidak benci jikalau kenikmatan tadi menetap di tangan saudaranya tadi, sekalipun ia sendiri juga belum mendapatkannya.

Ada pula masalah lain yaitu mengharapkan sesuatu hal atau benda yang merupakan kenikmatan bagi seseorang dan menginginkan agar hal (seperti pangkat atau kedudukan) serta benda (seperti rumah dan lain-lain) itu berpindah menjadi miliknya. Ia menginginkan demikian karena memang menjadi idam-idaman atau cita-citanya, tetapi sekalipun demikian ia tidak mengharapkan lenyapnya kenikmatan itu dari orang yang lain tadi, maka perilaku semacam ini sangatlah tercela.

Allah ta’ala berfirman dalam surah Nisa’ 32 :
وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ الله ُبِه بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ .....
Janganlah kamu semua mengharap-harapkan sesuatu yang telah dilebihkan oleh Allah kepada sebahagianmu atas sebahagian yang lain.

Tetapi jikalau yang diinginkan itu hanyalah sesuatu yang semacam apa yang dimiliki oleh orang lain itu, maka tidak ada celanya sama sekali. Oleh sebab itu perlulah dimengerti perbedaan ini.

Sebagai misal dapatlah dikemukakan demikian :
Seseorang menginginkan kedudukan sebagai menteri, sedang jabatan ini sudah diduduki oleh kawannya, adalah tercela. Tetapi kalau ia ingin menjadi menteri dan tidak menetapkan untuk kementerian apa, tidaklah tercela sama sekali.

Seseorang ingin memiliki rumah yang sudah menjadi milik kawannya adalah tercela, tetapi kalau ingin memiliki rumah yang sebagus dan seindah rumah kawannya, dimana pun juga tempatnya, maka tidaklah tercela.

Jadi yang tercela ialah ingin merebut satu macam hal atau benda dari tangan orang lain. Demikianlah perbedaannya.



SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KEDENGKIAN             

Hasud yang tercela dan dilarang oleh agama itu mempunyai beberapa sebab serta pendorong yang amat banyak sekali. Diantaranya yang merupakan garis besarnya ialah :

Pertama ; Adanya rasa permusuhan dan kebencian. Inilah yang merupakan sebab timbulnya kedengkian yang terhebat sekali. Jikalau ada orang yang menyakiti baik tubuh atau hatinya, atau ada orang yang menyalahi tujan dan kehendaknya dengan suatu bentuk yang tidak menyenangkan pribadinya, maka orang yang disakiti atau disalahi ini tentulah membenci orang tadi, hatinya mengkal padanya serta amat marah sekali. Selanjutnya dalam jiwanya akan tumbuhlah benih kedendaman. Kedendaman ini akan menimbulkan penentangan serta pembalasan. Apabila orang yang mendendam ini tidak dapat melampiaskan nafsunya untuk memberikan pembalasan itu dengan dirinya sendiri, lalu ia mengharap-harapkan agar di suatu saat nanti sejarahlah yang akan memberikan perhitungan padanya. Jadi sejarahlah yang diharapkan sebagai pembalas dendamnya itu. Untuk ini kadang-kadang tidaklah segan-segan ia melenyapkan kemuliaan dan kehormatan dirinya sendiri di sisi Allah ta’ala, sebab apa yang diharapkan adalah suatu yang sama sekali tidak dapat dibenarkan oleh Allah dan agamanya. Jikalau orang yang dipandangnya sebagai musuh itu mendapatkan bencana dan kesusahan, ia lalu bergembira dan mengiranya bahwa itu adalah pembalasan dari Allah ta’ala, sebab dikiranya Allah ta’ala amat membencinya dan apa yang dialaminya itu adalah sebagai balasan kelakuannya yang buruk padanya. Sebaliknya jikalau musuhnya itu memperoleh kenikmatan, maka hal itu sangat tidak mengenakkan hatinya, sebab memang berlawanan sekali dengan kehendak dan isi kalbunya. Kadang-kadang dalam hatinya terlintaslah suatu pemikiran yang tersesat yaitu mengira bahwa agaknya tidak ada tempat untuk dirinya itu di sisi Allah ta’ala sebab musuhnya itu masih juga belum dibalas, padahal ia telah menganiaya serta menyakiti dirinya, tetapi malahan ia memperoleh karunia dan kenikmatan.

Ringkasnya ialah bahwa kedengkian itu menyebabkan tetap adanya kebencian dan permusuhan dan tidak akan terlepas dari dua macam hal yang buruk ini.

Puncak daripada ketakwaan kepada Allah ta’ala ialah hendaknya seseorang itu tidak berbuat kesalahan pada orang lain dan tidak suka diperbuat sedemikian oleh orang lain pula. Tetapi jikalau ada yang berbuat demikian, tidaklah itu didendamkan yang akhirnya akan membuahkan kedengkian tadi.

Kedua ; Hasud dapat ditimbulkan karena adanya perasaan tinggi diri yakni dirinya itu dianggap lebih mulia atau lebih berharga dari orang-orang lain, sehingga jikalau ada orang yang hendak mengalahkan dirinya baik dalam hal harta, kedudukan, pangkat, kepandaian dan lain-lain, lalu timbullah dengkinya, sebab tidak ingin dilebihi itu.

Ketiga ; Gemar kepemimpinan dan kekepalaan, serta suka sekali kedudukan yang teratas atau pangkat yang tertinggi. Ia ingin sekali menonjol sendiri tanpa ada yang membandingi atau menyamainya. Jangan ada orang yang mengimbangi kedudukannya. Karena itu ia amat hasud sekali sekiranya melihat orang yang dianggapnya hendak menjadi saingan baginya nanti dalam kedudukan, banyaknya jabatan yang dipegang, dan lain-lain.

Keempat ; Hasud dapat pula timbul oleh sebab dasar jiwa manusia itu buruk dan kikir untuk berbuat kebaikan pada sesama hamba Allah ta’ala. Orang yang semacam ini akan merasa berat sekali apabila mendengar bahwa si Anu itu amat baik keadaannya, penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Sebaliknya ia merasa gembira jikalau mendengar bahwa si Anu itu tidak dapat mencapai cita-citanya dan selalu goncang kehidupan rumah tangganya serta senantiasa dalam kesempitan rizki. Oleh karenanya maka orang yang sedemikian ini kurang suka memberikan bantuan kepada orang lain dan amat kikir membelanjakan atau meratakan kenikmatan Allah ta’ala yang dilimpahkan kepadanya itu kepada siapapun juga. Jikalau pada suatu ketika ia terpaksan mengeluarkan bantuannya, maka seolah-olah orang yang diberi bantuan itu mengambil dari harta miliknya secara tidak sah. Gejala-gejala yang seperti ini tidak ada lain sebabnya kecuali hanyalah karena memang buruknya tabiat dan rendahnya watak yang dimiliki.

Mengobati penyakit sebagaimana di atas itu adalah amat sulit sekali, sebab yang harus dibersihkan adalah watak jiwanya yang nyata-nyata kotor dan penuh daki. Jadi bukan sekedar disebabkan datangnya penyakit dari luar, sebab jikalau demikian tentulah mudah sekali melenyapkannya.

Perlu dimaklumi bahwa sebab-sebab sebagaimana yang dijelaskan di atas itu adakalanya berkumpul sebagian atau seluruhnya dalam diri seseorang. Jikalau hanya satu saja sebab yang dimiliki, tentulah tingkat kedengkiannya itu tidak seberapa besarnya, sedang jikalau ada dua sebab yang berkumpul tentulah kedengkiannya lebih besar lagi. Tetapi kalau sudah ada tiga atau empat sebab berkumpul seluruhnya, tentulah kedengkian itu amat besar sekali dan akan menjadi kokoh, sehingga sukar sekali untuk ditutup-tutupi atau dipoles-poles dengan menunjukkan kebaikan di luar. Oleh karena itu dalam keadaan yang amat hebat, kedengkian itu sendiri akan menyingkap tabir kebaikan yang menutupinya, sehingga akhirnya tampak jelaslah sikap permusuhan dan penentangan. Mudah-mudahan kita semua dilindungi oleh Allah ta’ala dari sifat yang sedemikian ini, dengan pertolongan dan kemuliaan-Nya serta kelemah lembutan-Nya.

USAHA MENGHILANGKAN PENYAKIT DENGKI DARI DALAM HATI

Ketahuilah bahwa dengki atau hasud itu adalah termasuk golongan penyakit hati yang amat berat, amat berbahaya dan gawat sekali. Sebagaimana kita memaklumi bahwa semua penyakit hati itu tidak mungkin dapat disembuhkan melainkan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan amal perbuatan yang nyata.

Ilmu yang bermanfaat untuk mengobati penyakit dengki itu ialah hendaknya engkau ketahui benar-benar bahwa dengki adalah merupakan bahaya dan pembawa bencana yang besar sekali pada dirimu baik di dunia atau di akhrat, baik yang mengenai urusan keagamaan atau lain-lainnya. Insaflah pula bahwa sebenarnya orang-orang yang dihasudi itu tidak akan memperoleh bahaya sema sekali baik yang langsung mengenai dunia dan akhiratnya atau pun yang berhubungan dengan keagamaan atau lain-lainnya. Bahkan sebaliknya yaitu bahwa yang dihasudi itu dapat mengambil kemanfaatannya. Jikalau yang sedemikian ini telah diketahui, dirasakan sedalam-dalamnya dan diteliti dengan penuh perhatian, pastilah sifat kedengkian itu akan kita usir dari kalbu.

Marilah kita selidiki, mengapakah sifat dengki itu membahayakan agama kita ?

Memang, dengki itu itu membahayakan kita dalam soal keagamaan sebab dengan mengandung sifat kedengkian ini berartilah bahwa kita nyata-nyata memusuhi atau membenci ketentuan dan kepastian serta takdir Allah ta’ala berarti pulalah bahwa kita membenci akan caranya Allah membagi-bagikan kenikmtan-Nya kepada seluruh hamba-hamba-Nya dan tidak menyetujui keadilan yang telah dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan. Semua itulah yang diingkari, tidak disetujui dan hendak diobrak-abrikkan. Bukankah perilaku yang semacam ini merupakan suatu pelanggaran dan penentangan terhadap inti ketauhidan ? Bukankah perilaku yang semacam ini merupakan kotoran dalam sinar keimanan yang semestinya harus lebih dicemerlangkan ? Cukuplah kiranya bahwa pelanggaran ketauhidan dan penodaan keimanan itu sebagai suatu perongrongan yang langsung membahayakan agama. Malahan lebih dari itu pula kesalahan yang dilakukan, sebab dengan adanya kedengkian dalam hati itu berarti pula kita memisahkan diri dari kalangan kaum aulia’ (para waliullah) serta anbia’ (para nabiullah) ‘alaihimush shalatu was salam. Memisahkan diri dari beliau-beliau itu sebab beliau-beliau itu gemar berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah ta’ala, sedang kita justru enggan melakukannya. Berarti pula bahwa kita bersekutu dengan iblis dan golongan kaum kafir, sebab memang mereka inilah yang amat senang jikalau melihat kaum mukmin mendapatkan bencana dan kesukaran serta kehilangan kenikmatan yang telah dimilikinya. Jelaslah bahwa semuanya itu merupakan kotoran-kotoran dan daki-daki dalam kalbu yang dapat melenyapkan semua amal kebaikan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana mudahnya api menghabiskan kayu bakar.

Selanjutnya perlu kita kaji pula, mengapakah dengki itu merupakan bahaya di dunia ini ?

Sebabnya ialah karena dengan mengendapkan perasaan dengki dalam hati itu, kita sendirilah yang merasakan sakitnya, sakit di dunia ini yang tidak dapat dilihat dengan mata. Kita sendirilah yang sebenarnya tersiksa dengan kedengkian kita sendiri itu. Kita pasti akan selalu bersusah hati, mendongkol dan mengkal, sebab orang-orang yang kita anggap sebagai musuh yang dihasudi tadi, tentulah tidak sunyi dari kenikmatan-kenikmatan yang akan dilimpahkan oleh Allah ta’ala kepada mereka itu. Sebagai manusia, kita tentu memperoleh kenikmatan dan mereka itu pun demikian pula. Keadilan Allah ta’ala merata kepada segenap hamba-Nya. Jadi dengan adanya kedengkian itu, selalu saja kita merasa sakit hati sebab melihat adanya kenikmatan yang dilimpahkan kepada musuh, sakit hati pula jikalau musuh itu tersingkir dari bencana atau bahaya yang sedianya akan menimpanya, tetapi dengan kekuasaan Allah ta’ala tidak jadi mengenainya. Dengan hal yang sedemikian ini, maka kita akan tetap bermuram durja hati terus-menerus dan serasa dalam kesempitan hidup belaka.

Lebih hebat lagi penderitaan batin kita itu apabila justru kita sendirilah yang terkena bahaya dan bencana itu. Di saat itu tentu kita akan merasa bahwa musuh kita pun bergembira sebab kemalangan yang kita derita itu. Mereka tentunya menginginkan sedemikian itu, sebab kita pun ingin pula bahwa yang semacam ini akan menimpa pada diri musuh kita tadi. Demikianlah yang kita rasakan. Bukankah lebih menyedihkan, kita mengharapkan jatuhnya kecelakaan pada musuh, tiba-tiba sebaliknyalah yang terjadi, yaitu bahwa diri kita sendiri yang mendapatkan kecelakaan itu. Kesusahan sudah nyata, sedang kenikmatan musuh itu tetap meliputi tubuhnya dan tidak lenyap dari sisinya. Memang, kenikmatan itu tidak dapat dilenyapkan hanya dengan kedengkian orang lain.

Oleh sebab itu, sekalipun kita andaikata saja tidak beriman pada pembangkitan pada hari kiamat, tidak beriman kepada perhitungan amal nanti, tetapi jikalau uraian-uraian di atas itu benar-benar kita fahami dan kita perdalamkan pengertiannya, jikalau kita berotak cerdik serta berakal sehat, tentulah kita akan menghindarkan diri kita dari sifat hasud tersebut. Sebabnya ialah karena kedengkian itu menyebabkan kesakitan hati yang amat sangat dan amat mengganggu ketenangan otak dan pikiran, sedangkan kemanfaatannya sama sekali tidak ada. Ini andaikata diumpamakan kita tidak ada keimanan sama sekali kepada adanya pembalasan pada hari kiamat.

Jikalau kita mempercayai hati ba’ats dan hari hisab, tentulah lebih-lebih lagi ketakutan kita untuk berhati dengki itu. Bukankah kita telah memaklumi betapa besar dan pedihnya siksaan Allah ta’ala yang akan kita terima nanti di akhirat dengan sebab kedengkian kita. Oleh sebab itu, alangkah ajaibnya seseorang yang menyediakan dirinya untuk memperoleh kemurkaan Allah ta’ala, sedang tidak ada kemanfaatan pun yang dapat dicapainya. Bahkan sebaliknyalah yang ada, yaitu bahaya dan bencana sajalah yang akan ditanggung olehnya, kesakitan yang akan ditemuinya dan akhirnya rusak binasalah agama dan keduniaannya tanpa faedah dan tidak berguna sama sekali.

Seterusnya perlu kita sadari bahwa kedengkian seseorang itu tidak akan membawa bahaya dan bencana sama sekali kepada orang yang dihasudi, baik yang berhubungan dengan agama dan dunianya. Mengenai hal ini rasanya sudah jelas sekali, sebab bagaimanapun juga kenikmatan itu tidak akan dapat dilenyapkan sekadar dengan adanya kedengkian dalam hati kita.

Sebagai kebalikannya ialah bahwa orang yang dihasudi itu malahan memperoleh kemanfaatan keagamaan. Sebabnya ialah karena ia adalah seorang yang teraniaya. Jikalau kita yang dengki padanya, maka kitalah yang berarti menganiayanya. Lebih-lebih lagi jikalau sampai kita mengeluarkan buah kedengkian itu, sehingga merupakan perbuatan atau ucapan yang nyata, misalnya kita mengumpatnya, menodai kehormatannya, melanggar keperwiraannya atau menyebut cela dan keburukan-keburukannya. Ini lah hadiah yang kita berikan padanya, sebab dengan perbuatan-perbuatan buruk yang kita lakukan sebagaimana di atas itu berartilah bahwa kita memberikan hadiah padanya berupa kebaikan kita, sehingga nanti pada hari kiamat, kita tidak akan menemui kebaikan-kebaikan kita itu dan akhirnya kita termasuk orang yang merugi bangkrut dan kehabisan kebaikan atau amal shalih, sebab telah kita berikan pada orang yang didengki tadi. Sebagaimana juga kita tak pernah memperoleh kenikmatan dari yang kita hasudi itu di dunia, maka di akhirat pun demikian pula keadaannya. Kebaikan kita habis, amal shalih kandas sama sekali dan sebagai gantinya dosa orang yang kita hasudi itulah yang dipikulkan kepada kita.

Orang yang dihasudi itu selain memperoleh kemanfaatan untuk agama dan akhiratnya, juga memperoleh kemanfaatan dunia. Sebabnya ialah bahwa tujuan utama dari setiap orang yang menaruh kebencian kepada orang lain ialah hendak membuat sesuatu yang menyebabkan kesusahan, keburukan dan kemalangan orang yang dianggap musuh itu. Padahal tidak ada suatu siksa yang lebih berat dari siksa yang diberikan oleh diri sendiri yakni dengan adanya hati yang dengki tadi. Orang yang dengki itu sendiri telah berbuat sebagaimana kehendak musuhnya yakni supaya dirinya dalam kesengsaraan dan kemalangan. Ini telah terlaksana dan anehnya bukan orang lain yang menyebabkan terlaksananya itu, tetapi dirinya sendiri. Itulah keuntungan orang yang didengki itu dalam segi keduniaan.

Jikalau engkau telah memahami itu, tentulah engkau mengetahui bahwa dengan berhati dengki pada orang lain itu berarti bahwa engkau adalah merupakan musuh dari dirimu sendiri dan merupakan sahabat baik dari musuhmu, sebab engkau mencelakakan diri sendiri dan menguntungkan musuh. Baik di dunia atau pun di akhirat engkau berbuat sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri dan memberikan kemanfaatan kepada musuh. Selain itu engkau pasti akan selamanya tercela di sisi Allah Maha Pencipta serta di samping sekalian makhluk, juga amat bernasib celaka baik untuk masa sekarang atau pun nanti di hari kemudian. Padahal kenikmatan orang yang engkau hasudi itu tetap kekal di sisinya, baik yang engkau inginkan atau yang engkau tidak menginginkannya.

Oleh sebab itu barangsiapa suka memikirkan dalam-dalam perihal tersebut di atas dengan menggunakan hatinya yang suci dan bersih dari pengaruh nafsu dan syaithan serta menggunakan akal yang sehat dan jujur, pasti akan lenyaplah semua api kedengkian dalam kalbunya. Demikianlah cara melenyapkan kedengkian itu dengan mempelajari ilmu yang berhubungan dengan soal-soal hasud tersebut.

Ada pun cara menghilangkannya itu tentulah belum cukup hanya dengan ilmu pengetahuan tentang itu saja, tetapi wajib pula disertai dengan amal kelakuan yang bermanfaat. Bagaimanakah cara melaksanakan ini ?

Caranya ialah dengan memaksa diri untuk melakukan hal-hal yang merupakan lawannya yang berarti menangkis hal-hal yang menyebabkan timbulnya kedengkian tadi. Insyafilah bahwa obat itu selamanya haruslah berupa tantangan dari penyakit yang akan diobati. Oleh sebab itu hasud hendaklah diobati dengan jalan tawadhu’ kepada orang yang dihasudi , menyatakan pujian dan kegembiraan serta menunjukkan kesuka-citaan kepadanya atas kenikmatan yang diperolehnya. Dengan demikian hati yang asalnya menjauh akan berganti menjadi erat dan rukun kembali, masing-masing pihak saling cinta-mencintai. Dengan terlaksananya ini pasti akan terlepaslah hati seseorang yang asalnya sakit dan susah.Kesakitan dari kedengkian itu akan berganti menjadi kegembiraan sebab telah bertaubat kembali, sedang kesusahan dari kebencian berganti pula menjadi kecintaan yang meluap-luap.


Demikianlah caranya mengobati hati dari sifat kedengkian. Obat-obat itu pasti akan bermanfaat sekali apabila dijalankan, hanya saja tentulah amat pahit rasanya, amat berat penanggungannya. Namun demikian, kita harus senantiasa ingat bahwa kemanfaatan itu selamanya terletak pada obat yang pahit. Barangsiapa yang tidak tahan kepahitan obat, janganlah mengharapkan akan memperoleh kemanisan, kesehatan dan kesembuhan dari penyakit yang diderita. Tetapi sekali pun pahit, namun kepahitan obat ini dapatlah dirasakan ringan yakni dengan bertawadhu’ kepada orang-orang yang asalnya dianggap sebagai musuh itu serta mendekatkan diri kepada mereka dengan memberikan pujian-pujian yang ikhlas dan bersih dari sesuatu yang tidak layak. Ini tentulah harus dengan menggunakan intisari ilmu pengetahuan mengenai bahaya kedengkian sebagaimana yang telah diuraikan dimuka. Juga harus diikuti pula dengan kuatnya keinginan untuk memperoleh pahala dan keridhaan Allah ta’ala serta menerima dengan penuh kerelaan pada ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh-Nya.

Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar