Marah itu sebenarnya ialah nyala
api yang bersumber dari api Allah yang menyala berkobar-kobar serta menjulang
tinggi sampai naik ke ulu hati. Ia adalah semacam bara api yang berada dalam
lubuk jantung bagaikan bersekam-sekamnya suatu bara api di bawah abu. Marah itu
ditimbulkan oleh sifat kecongkakan yang terpendam dalam kalbu setiap orang yang
curang dan durhaka, sebagaimana memancarnya api dari batu yang dipukulkan pada
besi.
Menurut penyelidikan ahli-ahli yang mengetahui dengan cahaya kebenaran dan keyakinan dikatakan bahwa manusia itu adakalanya dapat tertarik urat sarafnya oleh tipu daya syaithan yang terlaknat. Oleh sebab itu barang siapa yang dipengaruhi oleh api kemarahan, maka berarti amat eratlah hubungannya dengan syaithan, sebagaimana yang disebutkan dalam Quran surah A’raf 12 :
Allah berfirman:
"Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau
ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
Perhatikanlah baik-baik, bukankah sifat dan watak tanah itu berdiam diri dan tenang, sedang sifat dan watak api itu ialah menyala-nyala, menyerang bergerak dan bergejolak.
Buah atau natijah yang ditimbulkan oleh kemarahan ialah kedendaman dan kedengkian. Dengan memperturutkan kedua macam sifat keburukan ini, maka akan binasalah siapa yang ingin binasa dan bejatlah akhlaknya siapa yang ingin bejat. Yang meluap-luapkan kedendaman dan kedengkian itu adalah sebuah darah beku yang ada di dalam tubuh setiap manusia. Jikalau sekepal darah ini baik, maka baik pulalah seluruh tubuh dan jikalau rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh itu. Sekepal darah itu ialah hati sanubari kita sendiri.
Apabila dendam dan dengki itu nyata-nyata merupakan suatu pendorong dan pembimbing manusia itu ke arah hal-hal yang menyebabkan kesengsaraan dan kecelakaan, maka alangkah pentingnya jikalau setiap manusia itu bahaya-bahaya dan cela-celanya, dan dengan demikian ia akan dapat berhati-hati dan menghindarkan diri dari kelakuan-kelakuan itu. Ia harus dikikis habis dan dikeluarkan jauh-jauh dari kalbu, jikalau sewaktu-waktu datang menjelma.
CELANYA
MARAH
Allah ta’ala berfirman dalam
surah Fath 26 :
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka
kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan
kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada
mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan
patut memilikinya. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam ayat di atas Allah ta’ala mencela sekali pada perbuatan orang-orang kafir yang tiada beriman itu, karena menampakkan kesombongan yang tidak lain kecuali ditimbulkan oleh hati yang penuh kemarahan untuk membela kebathilan. Sementara itu Allah ta’ala memuji kepada kaum yang beriman dengan sebab karunia sifat ketenangan yang dilimpahkan kepada mereka itu. Alangkah jauh perbedaannya kedua sifat di atas. Yang satu menjurus ke arah kebathilan dan yang lainnya ke arah kebenaran.
Ada suatu riwayat bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada rasulullah s.a.w. kemudian berkata, “Ya Rasulullah, berilah saya perintah untuk mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit saja”. Lalu rasulullah s.a.w. bersabda :
Jangan engkau marah !لا َ تَغْضَبْ !
Orang ini meminta supaya diulangi, barangkali ada kelanjutannya. Tetapi rasulullah s.a.w. tetap hanya menyuruh satu macam itu saja yaitu “jangan marah”.
Rasulullah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim pernah pula bersabda :
مَاتَعُدُّونَ الصُّرْعَةَ فِيْكُمْ ؟ قُلْنَا : الَّذِى لاَ تَصْرَعُهُ
الرِّجَالُ . قَالَ : لَيْسَ ذَالِكَ وَلكِنَّ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَالْغَضَبِ
Apakah yang kamu anggap
sebagai orang yang kuat bergulat ? Kita (para sahabat) menjawab, “Yaitu yang
tidak dikalahkan oleh yang lain dalam pergulatannya”. Beliau s.a.w. kemudian
bersabda lagi, “Bukan itu, yang disebut orang yang kuat bergulat ialah orang
yang dapat menahan hatinya diwaktu marah”. (Jadi bergulat dengan kemarahan
hatinya sendiri hingga menang).
Ja’far berkata, “Marah adalah kunci dari segala keburukan”.
Sebagian sahabat Anshar ada yang berkata, “Pokok pangkal ketololan ialah bersikap kasar dan pembimbingnya sifat ini adalah kemarahan”.
Barangsiapa suka tetap bodoh, ia tidak perlu lagi mempunyai sifat kesabaran. Kesabaran adalah bagaikan hiasan diri dan amat banyak kemanfaatannya, sedang bodoh adalah suatu cela dan banyak kemudharatannya.
Berdiam dari menjawab ucapan yang kurang akal itulah sebagai jawabannya.
Hasan berkata, “Sebagian dari tanda-tandanya seorang muslim ialah kuat dalam memegang agama, keras hati tetapi dengan disertai lemah-lembut, beriman dengan menggunakan keyakinan, berpengetahuan disertai penuh kesabaran, berfikiran panjang disertai kasih sayang, memberikan mana-mana yang menjadi haknya orang dan mengikuti jalan yang benar, berlaku sedang sekalipun kaya, menunjukkan kebagusan (kecukupan) sekalipun dalam kekurangan (miskin), berbuat baik selagi masih kuasa melakukan, menanggung segala penderitaan dengan berusaha menghilangkannya, selalu sabar dalam keadaan yang menyukarkan, tidak dikalahkan oleh kemarahan, tidak dipengaruhi sehingga membabi buta oleh kesombongan atau membela diri yang tidak benar, tidak dapat ditundukkan oleh kesyahwatan, tidak tampak sifatnya yang hanya ingin menggendutkan perut, tidak diteledorkan oleh sifat ketamakan, tidak dangkal cita-citanya. Ia suka menolong orang yang teraniaya, belas kasihan kepada orang yang lemah, tidak kikir tetapi tidak juga boros, tidak berlebih-lebihan tetapi tidak keterlaluan mengggenggam hartanya. Ia suka mengampuni jikalau dizalimi, suka pula memaafkan orang yang bodoh yang menyakiti dirinya. Dirinya tabah menderita asalkan orang banyak dapat bahagia dan berkecukupan dengan kelakuannya yang demikian itu.
TINGKATAN MANUSIA DALAM HAL MARAH
Ketahuilah bahwa kekuatan atau tenaga dari kemarahan itu letaknya ada di dalam lubuk hati. Jelasnya ialah mendidihnya darah dalam hati itu lalu merayap melalui urat-urat tubuh, kemudian naik ke atas dan keluar sehingga tampak bekas pada tubuh itu. Ini dapatlah dimisalkan sebagai naiknya api dan air yang sedang mendidih dalam kuali. Oleh sebab itu kemarahan seseorang dapatlah dilihat pada wajahnya, yaitu berubah menjadi merah, sedang kedua matanya berapi-api. Memang kulit itu karena bersihnya dapat menirukan warna sesuatu yang tersembunyi dibaliknya yakni kemerahan darah yang sedang keras alirannya itu, sebagaimana kaca dapat menirukan warna sesuatu yang dicerminkan disitu.
Yang terbaik ialah yang terakhir ini yakni pertengahan antara yang pertama dan yang kedua. Jadi marah itu dilakukan sebagaimana mestinya dan senantiasa mengikuti bimbingan agama.
Adapun tafrith itu dapatlah dikatakan kehilangan kekuatan kemarahan atau sifat kemarahannya amat lemah sekali. Ini adalah tercela sekali. Orang yang memiliki sifat sedemikian boleh disebut orang yang tidak ada sikap pembelaan (hamiyyah) sama sekali. Ia tidak ingin mempertahankan kehormatan dirinya, istrinya, keluarganya serta apa saja yang merupakan haknya, lebih-lebih yang berhubungan dengan kepentingan agama.
Padalah Allah ta’ala sendiri telah memberikan sifat utama kepada para sahabat rasulullah s.a.w. yang berupa kekerasan dan hamiyyah itu, sebagaimana firman-Nya dalam surah Fath 29 :
Bahkan Allah s.w.t. memerintahkan kepada nabi Muhammad s.a.w. dalam surah Tahrim 9 :
Sikap keras dan tegas ini pun dari bekas-bekas yang ditimbulkan oleh kekuatan hamiyyah yakni ingin mempertahankan dan membela diri serta kebenaran, sedang hamiyyah itu sendiri berasal dari ghadhlab (kemarahan).
Jadi dalam keadaan sebagaimana di atas itu marah adalah penting dan amat perlu sekali. Oleh sebab itu seseorang yang tidak ada kemarahannya sama sekali, lenyaplah sifat hamiyyahnya dan dengan lenyapnya ini, ia menjadi seorang yang beku dan tidak ada geraknya sama sekali. Sikap demikian sangat tercela.
Kebalikannya, ialah terlampau suka marah, berlebih-lebihan tanpa mengenal batas dan ketentuan. Inilah yang disebut ifrath. Jadi ifrath ialah senantiasa memenangkan marahnya, sehingga keluar dari kecerdikan dan siasat akal, keluar dari tuntunan agama, menjauhi ketaatannya. Seseorang yang dihinggapi sifat sedemikian ini akibatnya ialah tidak berfikir jernih dan suci, pandangannya amat picik dan terbatas bagaikan katak dalam tempurung dan bahkan tidak pernah menyisih dan memilih antara yang baik dan buruk. Dalam segala hal ia seolah-olah sebagai orang yang dalam keadaan terdesak dan terhimpit, sehingga terpaksa mengeluarkan marahnya dengan semau-maunya saja.
Bekas-bekas dari marah yang salah ini dapat dilihat diluar, yaitu perubahan warna muka dan mata, sangat gugup tingkah laku orang yang dihinggapinya itu, seluruh tubuhnya berdebar-debar, lebih-lebih kedua tangan dan kakinya, kemudian apa-apa yang diperbuatnya itu hampir semua keluar dari ketertiban dan ketentuan yang wajar, gerakan badannya tidak menentu dan tampak gelisah selalu. Kadang-kadang sampai gemeretaklah suara giginya, merah padam keningnya, lubang hidungnya pun bergerak-gerak membesar dan mengecil dan akhirnya bentuk tubuhnya menjadi amat buruk sekali. Andaikata seseorang yang sedang marah itu melihat betapa buruk wajahnya dan betapa berubahnya bentuk tubuhnya, pastilah akan reda kemarahannya itu sebab malu sendiri melihatnya itu. Padahal keburukan bathinnya sebenarnya adalah lebih buruk lagi dari apa yang tampak diluar. Sebabnya ialah karena yang tampak diluar itulah yang merupakan tanda dari apa-apa yang tersimpan di dalam hati. Hanya saja buruknya rupa yang di dalam itu lebih dulu timbul kemudian keburukan tadi meluap keluar. Jadi perubahan yang diluar adalah sebagai buah perubahan yang ada di dalam hati. Bandingkanlah biji dengan buahnya, demikian itu pula bekas-bekasnya yang tampak pada tubuh.
Adapun bekas-bekas yang dapat dilihat pada mulut ialah bahwa seseorang yang sedang marah itu dengan seenaknya saja melepaskan kata-kata yang kotor, memaki-maki dan mencerca kesana-kemari sejadi-jadinya yang sekiranya didengar oleh orang yang berakal dan sopan pastilah malu sendiri. Nanti setelah ia reda marahnya akan menyesali dengan hal-hal yang dilakukannya diwaktu meluap kemarahannya tadi, sebab apa-apa yang diucapkannya itu tidak teratur lagi dan tidak keruan susunannya.
Mengenai bekas-bekas kemarahan yang tampak pada anggotanya ialah menimbulkan pukulan, serangan, menyobek-nyobek segala yang dipegang, bahkan dapat sampai membunuh dan melukai jikalau kuasa berbuat. Tidak hanya itu saja, malahan kadang-kadang pakaiannya sendiri dicabik-cabiknya, mukanya sendiri ditampar-tamparnya. Kadang-kadang tangannya dipukul-pukulkan ke tanah dan tidak jarang pula yang berbuat sebagaimana seseorang yang sudah tidak sadarkan diri lagi, hilang akal atau gila. Adakalanya memukul-mukul benda mati, binatang atau memecah piring dan lain-lain. Binatang-binatang yang tidak ikut bersalah pun dimaki-maki atau jikalau ia disepak oleh kudanya lalu membalas menyepaknya dan melawannya bagaikan orang sinting.
Tetapi bekas yang lebih jahat lagi ialah orang yang terpendam di dalam hati yaitu rasa dendam dan dengki, benci dan ingin membalas sekiranya dapat. Orang yang sudah dihinggapi demikian akan lebih celaka lagi akibatnya. Ia senang jika orang yang dianggap lawannya itu mendapat bencana dan kecelakaan tetapi susah jikalau ia memperoleh karunia dan kenikmatan. Ia tidak segan-segan lagi menyingkap rahasia lawannya itu, mana-mana yang diketahuinya, baik sewaktu ia masih berbaik dulu atau pun setelah berselisihan. Ia terus-menerus mencari dan menyelidiki keburukan-keburukan lawannya dengan maksud hendak dinodai kehormatannya dan diejek-ejeknya. Pendek kata akan timbullah macam-macam perbuatan yang kotor dan hina dari orang yang sudah terperosok dalam pelukan syaithan yang terlaknat itu. Inilah buah atau natijah dari kemarahan yang tidak terkendalikan dan melampaui batas.
Sebaliknya dari yang diatas itu, ialah orang yang lemah kemarahannya, tidak ada sikap hamiyyahnya sama sekali. Kekurangan perhatian dalam hal ini akan menyebabkan akibat yang buruk pula. Orang yang sedemikian akan merasa ringan saja jikalau dilanggar kehormatan dirinya atau kehormatan istrinya. Ia merasa enak saja menanggung kerendahan yang dihadapkan oleh orang lain padanya. Ia selalu merasa rendah diri dan kecil. Maka dari itu sifat yang semacam ini pun tercela pula, sebab buahnya yang paling buruk ialah ketiadaan rasa cemburu pada kehormatan rumah tangga, terutama istri yang wajib dijaga dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersabda :
Ghirah atau cemburu itu sangat perlu dipelihara demi untuk melindungi keturunan. Andaikata semua manusia itu melalaikan atau seenaknya saja membiarkan hal yang sedemikian berlaku, pastilah keturunan akan menjadi campur-baur dan tidak karuan lagi siapa ayah dari seseorang anak. Oleh sebab itu ada yang mengatakan, “Setiap bangsa yang masih ada perasaan cemburu di kalangan kaum lelakinya, maka pasti terpeliharalah kaum wanitanya dengan baik”.
Termasuk akibat buruk dari lenyapnya sifat kemarahan itu ialah mudah untuk berbuat kecurangan atau diam diwaktu menyaksikan kemungkaran, sedangkan di saat itu ia kuasa mengingatkan atau mengubahnya dengan tangan dan kekuasaan. Resapkanlah firman Allah ta’ala dalam surah ِAnNur 2 :
Ringkasnya ialah bahwa kehilangan sifat kemarahan itu tercela sekali, sedang berlebih-lebihan tanpa mengenal batas pun berbahaya pula. Jadi yang baik ialah tetap ada sifat kemarahan itu, tetapi senantiasa disalurkan dengan mengikuti dan memikirkan hal-hal yang telah ditentukan oleh akal fikiran dan isyarat-isyarat dalam agama. Inilah yang terpuji. Dengan sikap yang sedang semacam ini, maka tetap tumbuhlah rasa hamiyyah (pembelaan pada yang benar). Marah itu diterapkan sewaktu diperlukan; tetapi harus ditindas, diredakan dan bahkan dipadamkan sama sekali diwaktu kesabaran dianggap sebagai suatu amalan yang suci. Maka haruslah dijaga supaya selalu dalam taraf yang adil, sedang, tidak lenyap atau kurang dan tidak pula melampaui batas. Cara lurus sedemikian inilah yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya. Cara pertengahan inilah yang dimaksudkan oleh baginda nabi besar Muhammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh Baihaqi :
Ketahuilah bahwa kekuatan atau tenaga dari kemarahan itu letaknya ada di dalam lubuk hati. Jelasnya ialah mendidihnya darah dalam hati itu lalu merayap melalui urat-urat tubuh, kemudian naik ke atas dan keluar sehingga tampak bekas pada tubuh itu. Ini dapatlah dimisalkan sebagai naiknya api dan air yang sedang mendidih dalam kuali. Oleh sebab itu kemarahan seseorang dapatlah dilihat pada wajahnya, yaitu berubah menjadi merah, sedang kedua matanya berapi-api. Memang kulit itu karena bersihnya dapat menirukan warna sesuatu yang tersembunyi dibaliknya yakni kemerahan darah yang sedang keras alirannya itu, sebagaimana kaca dapat menirukan warna sesuatu yang dicerminkan disitu.
Perlu pula kita sadari bahwa
seluruh manusia tidaklah sama dalam menanggapi sifat kemarahan ini. Mereka
bertingkat-tingkat dalam menghadapi kekuatan kemarahan itu. Mereka dapat dibagi
menjadi tiga golongan yaitu :
A. Tafrith (acuh tak acuh atau
hilang kemarahannya)
B. Ifrath (berlebih-lebihan
kemarahannya)
C. I’tidal (mampu mengendalikan
kemarahannya)
Yang terbaik ialah yang terakhir ini yakni pertengahan antara yang pertama dan yang kedua. Jadi marah itu dilakukan sebagaimana mestinya dan senantiasa mengikuti bimbingan agama.
Adapun tafrith itu dapatlah dikatakan kehilangan kekuatan kemarahan atau sifat kemarahannya amat lemah sekali. Ini adalah tercela sekali. Orang yang memiliki sifat sedemikian boleh disebut orang yang tidak ada sikap pembelaan (hamiyyah) sama sekali. Ia tidak ingin mempertahankan kehormatan dirinya, istrinya, keluarganya serta apa saja yang merupakan haknya, lebih-lebih yang berhubungan dengan kepentingan agama.
Padalah Allah ta’ala sendiri telah memberikan sifat utama kepada para sahabat rasulullah s.a.w. yang berupa kekerasan dan hamiyyah itu, sebagaimana firman-Nya dalam surah Fath 29 :
Mereka itu bersikap keras
sekali terhadap kaum kafir........ اَشِدَّاءُعَلَى
الْكُفَّارِ ......
Bahkan Allah s.w.t. memerintahkan kepada nabi Muhammad s.a.w. dalam surah Tahrim 9 :
.....جَاهِدِالْكُفَّارَ
وَالْـمُـنفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ....
Perangilah orang-orang kafir
dan munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka.
Sikap keras dan tegas ini pun dari bekas-bekas yang ditimbulkan oleh kekuatan hamiyyah yakni ingin mempertahankan dan membela diri serta kebenaran, sedang hamiyyah itu sendiri berasal dari ghadhlab (kemarahan).
Jadi dalam keadaan sebagaimana di atas itu marah adalah penting dan amat perlu sekali. Oleh sebab itu seseorang yang tidak ada kemarahannya sama sekali, lenyaplah sifat hamiyyahnya dan dengan lenyapnya ini, ia menjadi seorang yang beku dan tidak ada geraknya sama sekali. Sikap demikian sangat tercela.
Kebalikannya, ialah terlampau suka marah, berlebih-lebihan tanpa mengenal batas dan ketentuan. Inilah yang disebut ifrath. Jadi ifrath ialah senantiasa memenangkan marahnya, sehingga keluar dari kecerdikan dan siasat akal, keluar dari tuntunan agama, menjauhi ketaatannya. Seseorang yang dihinggapi sifat sedemikian ini akibatnya ialah tidak berfikir jernih dan suci, pandangannya amat picik dan terbatas bagaikan katak dalam tempurung dan bahkan tidak pernah menyisih dan memilih antara yang baik dan buruk. Dalam segala hal ia seolah-olah sebagai orang yang dalam keadaan terdesak dan terhimpit, sehingga terpaksa mengeluarkan marahnya dengan semau-maunya saja.
Bekas-bekas dari marah yang salah ini dapat dilihat diluar, yaitu perubahan warna muka dan mata, sangat gugup tingkah laku orang yang dihinggapinya itu, seluruh tubuhnya berdebar-debar, lebih-lebih kedua tangan dan kakinya, kemudian apa-apa yang diperbuatnya itu hampir semua keluar dari ketertiban dan ketentuan yang wajar, gerakan badannya tidak menentu dan tampak gelisah selalu. Kadang-kadang sampai gemeretaklah suara giginya, merah padam keningnya, lubang hidungnya pun bergerak-gerak membesar dan mengecil dan akhirnya bentuk tubuhnya menjadi amat buruk sekali. Andaikata seseorang yang sedang marah itu melihat betapa buruk wajahnya dan betapa berubahnya bentuk tubuhnya, pastilah akan reda kemarahannya itu sebab malu sendiri melihatnya itu. Padahal keburukan bathinnya sebenarnya adalah lebih buruk lagi dari apa yang tampak diluar. Sebabnya ialah karena yang tampak diluar itulah yang merupakan tanda dari apa-apa yang tersimpan di dalam hati. Hanya saja buruknya rupa yang di dalam itu lebih dulu timbul kemudian keburukan tadi meluap keluar. Jadi perubahan yang diluar adalah sebagai buah perubahan yang ada di dalam hati. Bandingkanlah biji dengan buahnya, demikian itu pula bekas-bekasnya yang tampak pada tubuh.
Adapun bekas-bekas yang dapat dilihat pada mulut ialah bahwa seseorang yang sedang marah itu dengan seenaknya saja melepaskan kata-kata yang kotor, memaki-maki dan mencerca kesana-kemari sejadi-jadinya yang sekiranya didengar oleh orang yang berakal dan sopan pastilah malu sendiri. Nanti setelah ia reda marahnya akan menyesali dengan hal-hal yang dilakukannya diwaktu meluap kemarahannya tadi, sebab apa-apa yang diucapkannya itu tidak teratur lagi dan tidak keruan susunannya.
Mengenai bekas-bekas kemarahan yang tampak pada anggotanya ialah menimbulkan pukulan, serangan, menyobek-nyobek segala yang dipegang, bahkan dapat sampai membunuh dan melukai jikalau kuasa berbuat. Tidak hanya itu saja, malahan kadang-kadang pakaiannya sendiri dicabik-cabiknya, mukanya sendiri ditampar-tamparnya. Kadang-kadang tangannya dipukul-pukulkan ke tanah dan tidak jarang pula yang berbuat sebagaimana seseorang yang sudah tidak sadarkan diri lagi, hilang akal atau gila. Adakalanya memukul-mukul benda mati, binatang atau memecah piring dan lain-lain. Binatang-binatang yang tidak ikut bersalah pun dimaki-maki atau jikalau ia disepak oleh kudanya lalu membalas menyepaknya dan melawannya bagaikan orang sinting.
Tetapi bekas yang lebih jahat lagi ialah orang yang terpendam di dalam hati yaitu rasa dendam dan dengki, benci dan ingin membalas sekiranya dapat. Orang yang sudah dihinggapi demikian akan lebih celaka lagi akibatnya. Ia senang jika orang yang dianggap lawannya itu mendapat bencana dan kecelakaan tetapi susah jikalau ia memperoleh karunia dan kenikmatan. Ia tidak segan-segan lagi menyingkap rahasia lawannya itu, mana-mana yang diketahuinya, baik sewaktu ia masih berbaik dulu atau pun setelah berselisihan. Ia terus-menerus mencari dan menyelidiki keburukan-keburukan lawannya dengan maksud hendak dinodai kehormatannya dan diejek-ejeknya. Pendek kata akan timbullah macam-macam perbuatan yang kotor dan hina dari orang yang sudah terperosok dalam pelukan syaithan yang terlaknat itu. Inilah buah atau natijah dari kemarahan yang tidak terkendalikan dan melampaui batas.
Sebaliknya dari yang diatas itu, ialah orang yang lemah kemarahannya, tidak ada sikap hamiyyahnya sama sekali. Kekurangan perhatian dalam hal ini akan menyebabkan akibat yang buruk pula. Orang yang sedemikian akan merasa ringan saja jikalau dilanggar kehormatan dirinya atau kehormatan istrinya. Ia merasa enak saja menanggung kerendahan yang dihadapkan oleh orang lain padanya. Ia selalu merasa rendah diri dan kecil. Maka dari itu sifat yang semacam ini pun tercela pula, sebab buahnya yang paling buruk ialah ketiadaan rasa cemburu pada kehormatan rumah tangga, terutama istri yang wajib dijaga dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersabda :
اِنَّ سَعْدًا لَغَيُوْرٌ وَاَنَااَغَيَرُ
مِنْ سَعْدٍ وَالله ُاَغْيَرُ مِنِّيْ
Sesungguhnya Sa’ad adalah
orang yang banyak cemburunya dan saya (nabi Muhammad s.a.w.) adalah lebih
sangat lagi cemburunya daripada Sa’ad, sedang Allah adalah lebih cemburu lagi
daripada saya (yakni jikalau melihat hamba-Nya hendak berbuat maksiat).
Ghirah atau cemburu itu sangat perlu dipelihara demi untuk melindungi keturunan. Andaikata semua manusia itu melalaikan atau seenaknya saja membiarkan hal yang sedemikian berlaku, pastilah keturunan akan menjadi campur-baur dan tidak karuan lagi siapa ayah dari seseorang anak. Oleh sebab itu ada yang mengatakan, “Setiap bangsa yang masih ada perasaan cemburu di kalangan kaum lelakinya, maka pasti terpeliharalah kaum wanitanya dengan baik”.
Termasuk akibat buruk dari lenyapnya sifat kemarahan itu ialah mudah untuk berbuat kecurangan atau diam diwaktu menyaksikan kemungkaran, sedangkan di saat itu ia kuasa mengingatkan atau mengubahnya dengan tangan dan kekuasaan. Resapkanlah firman Allah ta’ala dalam surah ِAnNur 2 :
.....
وَّلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ الله ِ......
Janganlah kamu semua merasa
belas kasihan kepada kedua orang yang berzina (yang sedang menjalani hukuman
itu) demi untuk melaksanakan peraturan agama Allah.
Ringkasnya ialah bahwa kehilangan sifat kemarahan itu tercela sekali, sedang berlebih-lebihan tanpa mengenal batas pun berbahaya pula. Jadi yang baik ialah tetap ada sifat kemarahan itu, tetapi senantiasa disalurkan dengan mengikuti dan memikirkan hal-hal yang telah ditentukan oleh akal fikiran dan isyarat-isyarat dalam agama. Inilah yang terpuji. Dengan sikap yang sedang semacam ini, maka tetap tumbuhlah rasa hamiyyah (pembelaan pada yang benar). Marah itu diterapkan sewaktu diperlukan; tetapi harus ditindas, diredakan dan bahkan dipadamkan sama sekali diwaktu kesabaran dianggap sebagai suatu amalan yang suci. Maka haruslah dijaga supaya selalu dalam taraf yang adil, sedang, tidak lenyap atau kurang dan tidak pula melampaui batas. Cara lurus sedemikian inilah yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya. Cara pertengahan inilah yang dimaksudkan oleh baginda nabi besar Muhammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh Baihaqi :
Sebaik-baik perkara itu ialah
yang pertengahan خَيْرُاْلاُمُورِاَوْسَطُهَا
PERANAN
LATIHAN DALAM MENGHILANGKAN MARAH
Perlu kita insafi lebih dulu bahwa selama manusia itu
masih mempunyai rasa senang atau ingin pada sesuatu, lagi pula masih ada rasa benci
dan enggan kepada sesuatu, pastilah ia tidak akan sunyi dari sifat marah dan
bernafsu. Sebabnya ialah karena hal ini sudah harus menjadi watak dan tabiatnya
sejak ia dilahirkan ke dunia. Hanya saja kadang-kadang ada pula manfaatnya
apabila kita suka melatih diri untuk melenyapkan kekuatan kemarahan itu, yakni
agar yang tidak perlu dimarahi, dapatlah kemarahan itu disingkirkan. Caranya
ialah dengan bersungguh-sungguh dan memaksa diri supaya selalu bersikap sabar
pada tempatnya, suka menahan diri untuk beberapa saat lamanya, sehingga akan
benar-benar menjadi seorang yang penyantun, penyabar dan bijaksana. Penahanan
diri seperti ini hendaklah dilatih sampai seolah-olah merupakan watak yang asli
atau pembawaan sejak kecil.
Latihan yang dimaksudkan itu bukan sekali-kali untuk sama
sekali melenyapkan kemarahan, sebab ini tidak mungkin terjadi dn tidak pula
akan baik kejadiannya, tetapi yang dikehendaki ialah supaya kemarahan itu hanya
dapat digunakan sampai pada batas yang dianjurkan oleh syari’at dan dianggap
baik oleh akar fikiran yang sehat.
Salah satu cara untuk membuat latihan itu ialah dengan
mematahkan dan melemahkan gejolaknya sehingga tidak sangat menyala di dalam
hati dan jiwa. Yang terakhir sekali ialah supaya tidak tampaklah bekas-bekas
kemarahan itu keluar, yang dapat dilihat di wajah dan seluruh anggota. Jadi
sekalipun marah, tetapi kepala tetap dingin dan wajah tetap berseri-seri dan
ramah-tamah, perbuatan anggota pun tetap teratur dan kata-kata tetap
terpelihara.
Jikalau hal ini sudah dapat dilaksanakan, itulah
tanda-tandanya bahwa sifat kemarahan itu dapat ditundukkan dengan latihan
sehingga menjadi lemah.
Dapat pula latihan itu dijalankan dengan jalan meresapkan
pandangan ketauhidan atau dengan kesadaran bahwa Allah ta’ala senang sekali
melihat dirinya tidak marah-marah. Dengan demikian marahnya akan hilang, sebab
kesungguhan cintanya kepada Allah ta’ala itu sudah dapat mengatasi
kemarahannya.
Lain jalan lagi ialah dengan menyibukkan hati sendiri
dengan memikirkan sesuatu yang penting yang dianggap lebih utama dan lebih
bermanfaat daripada memikirkan sebab-sebab yang menjadikan kemarahannya. Jadi
di dalam hati itu sudah tidak ada peluangnya lagi, dalam otaknya sudah tidak
ada kesempatan lagi sebagai tempat untuk meletakkan kemarahannya itu, karena
telah dikalahkan oleh hal lain yangg lebih penting tadi. Ingatlah bahwa jikalau
hati itu sudah terpesona dengan sesuatu yang mengasyikkan, dan diyakinkannya bahwa
itu amat penting, maka tentulah persoalan-persoalan yang lain akan dapat disisihkan
atau dapat pula dilenyapkan sama sekali.
SEBAB-SEBAB
YANG MENIMBULKAN KEMARAHAN
Kita tentunya sudah memahami bahwa mengobati sesuatu
penyakit itu yang terutama sekali ialah dengan membasmi kumannya yang
menyebabkan timbulnya penyakit tadi, atau dengan menghilangkan sebab-sebabnya.
Oleh karena itu maka perlu diketahui sebab-sebab kemarahan itu, jikalau ingin
menghilangkan kemarahan itu sendiri.
Sebab-sebab yang menimbulkan kemarahan itu amat banyak
sekali, tetapi diantaranya yang terpenting ialah karena adanya rasa tinggi
diri, rasa kebanggaan diri, rasa taajub pada pribadinya sendiri, suka
bersenda-gurau yang melampaui batas, suka omong kosong, banyak bicara yang
tidak berguna, suka melontarkan ejekan, berbantah-bantahan, berlawan-lawanan,
bercidera, berkhianat, sangat tamak pada harta atau pangkat dan tidak dapat
mengendalikan syahwat kepada wanita yang tidak semestinya. Sifat-sifat
sebagaimana yang tertera di atas adalah merupakan budi pekerti yang rendah dan
tercela menurut syariat. Selama sifat-sifat yang jelek-jelek di atas masih
bersemayam dengan kokohnya dalam hati, maka sukarlah untuk melenyapkan
kemarahan yang tidak wajar. Oleh sebab itu yang lebih penting untuk
dilaksanakan dulu ialah melenyapkan semuanya itu dengan jalan memenangkan
lawannya sifat-sifat tersebut. Maka matikanlah rasa tinggi dan kebanggan diri
itu dengan bertawadhu’, matikanlah rasa kagum terhadap pribadi sendiri itu
dengan melihat siapa sebenarnya dirimu sendiri itu, apakah asal kejadiannya dan
apakah tidak ada orang lain yang lebih hebat dari dirimu. Kemegahan dapat
dilenyapkan dengan berbuat kebaikan dan kebaktian. Sadarilah bahwa kebanggan
serta mengagumi diri sendiri adalah termasuk sehina-hinanya budi yang hina.
Adapun bersenda-gurau itu dapatlah dihilangkan dengan menyibukkan diri untuk
memikirkan hal-hal yang penting, terutama perihal keagamaan, yang dengan
berfikir itu usia pun tidak terbuang percuma dan bahkan mungkin akan
menyebabkan keluhuran diri. Omong kosong dapat ditukar dengan menggiatkan diri
untuk mencari keutamaan, melaksanakan akhlak-akhlak yang mulia serta
mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang bermanfaat, keagamaan atau lain-lain
yang dapat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Kegemaran mengejek dapat
disirnakan dengan berbuat kemuliaan, sehingga tidak ada keinginan lagi untuk
menyakiti hati orang lain dan menjaga diri jangan dibiarkan untuk dibuat ejekan
orang lain. Selain itu hendaklah berhati-hati dari berkata-kata yang kotor dan
menjaga diri dari memberikan jawaban-jawaban yang dirasa pahit oleh
pendengarnya. Suka berbantah-bantahan, berlawan-lawanan serta bercidera dan
berkhianat dapat dilenyapkan dengan mengurangi percakapan-percakapan yang tidak
perlu dan menginsafi kesalahan diri sendiri. Adapun ketamakan itu dapat
ditundukkan dengan perasaan sabar pada kepahitan hidup, suka menerima sekedar
yang diperlukan dengan tujuan untuk memperoleh kemuliaan diri dengan jalan
tidak meminta-minta atau menghindari keserakahan terhadap milik orang lain dan
melepaskan diri dari hinanya kebutuhan pada pertolongan siapapun. Ini dapat
dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga lenyaplah ketamakan pada harta,
pangkat dan lain-lain sebagainya. Kesyahwatan dapat dilenyapkan dengan
mengingat-ingat akibat yang pasti akan timbul dari padanya, seperti betapa
besarnya dosa jikalau sampai berbuat yang diharamkan oleh agama dan betapa
rendahnya pandangan masyarakat terhadap dirinya jikalau nafsunya terus
dibiarkan semau-maunya.
Semua budi pekerti dan sifat-sifat yang baik sebagaimana
di atas itu perlu dipupuk, sedang yang buruk perlu diobati dengan melalui
latihan yang sesempurna-sempurnanya dan sabar untuk menanggung kesukaran dan
kesusahannya. Pokok dari latihan itu ialah hendaknya kita kembali
mengenang-ngenangkan serta mengetahui kemanfaatan-kemanfaatan yang dapat
dicapai dengan yang baik-baik itu serta bahaya-bahaya yang akan diakibatkan
oleh yang buruk-buruk tadi. Dengan cara ini pastilah hati kita akan merasa ringan
dan gembira melakukan yang baik-baik dan merasa tidak berat lagi meninggalkan
yang buruk-buruk. Selanjutnya baiklah dikekalkan mengamalkan yang baik-baik
tadi dengan menjauhi lawan-lawannya dalam waktu yang cukup lama, sehingga
akhirnya dapat merupakan sebagai adat dan kebiasaan yang mudah diterapkan serta
nyaman diresapkan dalam kalbu. Memang, jikalau akhlak-akhlak dan sifat-sifat
yang buruk itu sudah dapat dikikis sama sekali, hati pun akan menjadi suci dan
bersih dari keinginan-keinginan watak rendah dan hina dan terutama sekali akan
dapat terlepas dari sifat kemarahan yang ditimbulkan dari keburukan-keburukan
itu. Akibatnya ialah bahwa seseorang itu tidak akan menerapkan kemarahannya
melainkan di tempat yang wajar dan patut.
Sementara itu ada pula sebab-sebab yang merupakan
pembangkit utama dari kemarahan itu yang lazim didapatkan dari golongan kaum
yang bodoh dan tidak mengerti, yaitu apa yang mereka sebut dengan kata
keberanian dan kemuliaan serta harga diri atau untuk menjaga prestise diri.
Umumnya mereka itu condong sekali dengan sebutan ini dan dianggapnya baik dan
suci. Benar, memang adakalanya hal itu menjadi baik, tetapi tidak dalam semua
keadaan, sedang orang-orang bodoh itu menganggapnya sama rata saja. Pemikiran
dan pendapat semacam itu adalah terang sebagai suatu ketololan dn bahkan
merupakan penyakit hati dan kekurangan akal yang sehat. Untuk menyembuhkan
penyakit ini, baiklah banyak-banyak membaca hikayat-hikayat ahli ilmu
pengetahuan agama, ahli memaafkan dan orang-orang shalih yang lain-lain. Juga
sifat-sifat yang baik seperti menahan nafsu dan kemarahan dapat dilihat dari
perilaku para nabi a.s. serta para alim ulama yang besar-besar jasanya kepada
umat dan agama.
USAHA
MENURUNKAN KEMARAHAN YANG MELUAP-LUAP
Apa yang sudah diuraikan
dimuka ialah merupakan kuman-kuman atau
penyait-penyakit yang menyebabkan timbulnya kemarahan, serta usaha
pencegahannya. Jikalau sudah sampai gejala-gejala akan marah, maka dapatlah
digunakan cara-cara pengobatan sebagaimana di atas itu, sehingga orang yang
dihinggapinya itu tidak sampai melakukan sesuatu perbuatan yang tercela. Jadi
uraian dimuka itu hanyalah sebagai petunjuk jangan sampai kemarahan itu timbul.
Selanjutnya yang kini hendak kita
perbincangkan ialah bagaimana cara pengobatannya untuk meredakan atau
menenangkan kembali hati yang sudah terlanjur marah.
Untuk mengobatinya itu haruslah
dengan menggunakan adukan antara ilmu pengetahuan dan amalan yang tegas.
Tentang amalannya ini tentunya tidak diperlukan kupasan yang panjang lebar,
sebabnya pokoknya ialah kemarahan itu supaya ditahan dan ditekan sampai reda
dan habis.
Adapun yang berhubungan dengan
ilmunya, maka ada beberapa hal, yaitu :
Pertama ; Hendaklah berfikir
dalam-dalam perihal nash-nash atau keterangan-keterangan agama yang menguraikan
tentang keutamaan menahan marah, keutamaan memberi pengampunan dan maaf, keutamaan
bersikap sabar dan keutamaan menahan diri diwaktu memperoleh sesuatu yang tidak
menyenangkan. Dengan memikirkan itu pastilah hati akan tergerak dan ingin
sekali mendapatkan pahalanya. Hendaklah mempunyai semangat yang besar untuk
menerima pahalanya, tidak membalas dendam atau kejelekan dibalas dengan
kejelekan. InsyaAllah dengan cara ini, kemarahan pun akan lenyap dan padam,
sekali pun sudah memuncak tinggi.
Kedua ; Hendaklah mengingat-ingatkan
dirinya sendiri dari siksa Allah apabila kemarahan itu diterus-teruskan.
Baiklah direnungkan, apakah dirinya itu nanti dapat aman senantiasa dari
kemurkaan Allah s.w.t. pada hari kiamat, padahal sudah pasti bahwa ia sendiri
lebih membutuhkan pengampunan, rahmat serta belas kasihan-Nya. Jadi mengapa ia
keberatan mengampuni sesama manusia yang mungkin tanpa sengaja berbuat
kesalahan padanya.
Ketiga ; Hendaklah
mengingat-ingatkan dirinya sendiri mengenai akibat permusuhan dan balas dendam
serta tipu daya orang yang dilawannya itu. Bagaimanakah jadinya sekiranya orang
yang dilawannya itu hendak menghadapinya dengan cara-cara yang busuk pula,
sekali pun tidak terang-terangan di mukanya ? Bagaimanakah jadinya sekiranya
lawannya itu bermaksud hendak menjatuhkan kehormatan dan keperwiraannya ?
Bagaimanakah sekiranya lawannya itu bergembira, jikalau ia memperoleh bencana,
sedang dirinya sendiri tidak mustahil akan menemuinya sewaktu-waktu ? Jadi
seyogyanya hatinya sendiri itu diingat-ingatkan kepada akibat kemarahan yang akan
dihadapinya semasih ia di dunia, sekiranya ia tidak takut dengan akibat yang
pasti akan ditemuinya di akhirat nanti.
Keempat ; Hendaklah ia
mengenang-ngenangkan betapa buruk rupa wajahnya, betapa jelek bentuk badannya
diwaktu ia sedang marah itu. Ini tentulah dapat dibayangkan diwaktu ia melihat
orang lain yang sedang marah. Bayangkanlah pula betapa buruknya sifat kemarahan
itu sendiri. Serupakanlah dirinya yang sedang marah itu dengan seekor anjing
yang galak hendak menerkam atau seekor singa buas yang hendak menyerang
musuhnya. Serupakan pulalah halnya orang yang penyantun dan sabar, yang tenang
dan tidak suka marah yang tidak pada tempatnya itu sebagai perilaku para nabi,
para rasul, para wali, para alim ulama dan para cerdik serta bijaksana. Suruhlah
dirinya itu memilih, apakah lebih senang menyerupai anjing atau binatang buas
atau manusia-manusia yang rendah budi dan hina akhlaknya, ataukah lebih senang
memilih kelompok para nabi dan alim ulama, dengan menyontoh kebiasaan dan
adat-istiadat beliau-beliau itu. Dengan memperdalam perasaan semacam ini
cukuplah rasanya untuk membuat dirinya itu lebih menyukai mengikuti jejak-jejak
orang yang shalih, sekiranya akal yang ada dalam kepalanya masih sehat dan
dapat membedakan baik dan buruk.
Kelima ; Hendaklah pula
memikirkan sebab-sebab yang mengajak hatinya ingin membalas dendam atau yang
mempengaruhinya ingin terus-menerus marah. Hendaklah diingat bahwa semuanya itu
adalah bujukan syaithan terlaknat belaka. Sadarilah bahwa dengan mengikuti
rayuan syaithan itu akan mengakibatkan diri sendiri menjadi lemah untuk bersikap
tegas membela kebenaran, bahkan menyebabkan kehinaan dan dipandang sangat
rendah oleh masyarakat. Bisikkanlah dalam jiwa sendiri, “Aneh sekali engkau
ini, mengapa engkau tidak tahan menderita pada saat sekarang ? Adakah engkau
tahan untuk menderita kepedihannya pada hari kiamat nanti ? Mengapa engkau
tidak takut akan dianggap hina di hadapan Allah ta’ala, malaikat dan para nabi
nanti pada hari pembalasan itu ?”.
Demikianlah beberapa cara untuk
melenyapkan kemarahan setelah ia terlanjur menjadi-jadi. Sekiranya kemarahan
itu sudah dapat dipadamkan, maka seyogyanya dalam hatinya ia berniat bahwa ia
memadamkannya itu hanyalah semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah ta’ala.
Sebagai tambahan untuk memadamkan
kemarahan itu dengan amalan ialah supaya sewaktu ia akan keburukannya, baiklah
mengucapkan lafazh ta’awwudz yaitu a’uudzu
billaahi minasy syaithaanir rojiim, artinya saya mohon perlindungan kepada
Allah dari godaan syaithan yang terkutuk. Selanjutnya apabila ia sedang
berdiri, hendaklah duduk dan jikalau sedang duduk, hendaklah tidur berbaring.
Disunnatkan pula bagi seorang yang sedang marah itu supaya ia secepat mungkin
mengambil air wudhu dengan menggunakan air dingin. Ini adalah mengikuti apa
yang diajarkan oleh rasulullah s.a.w. Sebabnya demikian ialah karena kemarahan
itu adalah berasal dari api, sedang api itu hanya dapat dipadamkan dengan air
dingin.
KEUTAMAAN
MENAHAN KEMARAHAN
Allah s.w.t. dalam surah Ali
Imron 133-134 berfirman :
وَسَارِعُوْآ اِلى مَغْفِرَةٍ مِّنْ
رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّموتِ وَاْلاَرْضُ , اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
. الَّذِيْنَ بُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ,وَللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Bersegeralah menuju
pengampunan dari Tuhanmu serta surga yang luasnya adalah seluruh langit dan
bumi. Itu disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang
suka membelanjakan hartanya di waktu dalam keadaan cukup atau kurang rizki
serta orang-orang yang suka menahan kemarahannya dan pula yang gemar memaafkan
kesalahan para manusia dan Allah itu mencintai orang-orang yang berbuat
kebaikan.
Jelaslah disebutkan dalam ayat di
atas itu bahwa orang-orang yang menahan kemarahannya itu termasuk dalam
golongan kaum muttaqin yakni orang-orang yang benar-benar takut kepada Allah ta’ala
dan bahwa pengampunan dari Allah ta’ala akan mereka peroleh sebab kelakuannya
yang baik itu. Selain itu juga akan mendapatkan pahala yang berupa surga yang
terang-terang disediakan untuk mereka itu. Alangkah mulianya dan alangkah
agungnya pembalasan ini.
Rasulullah s.a.w. yang
diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi bersabda :
مَنْ كَفَّ غَضَبَهُ كَفَّ الله
ُعَنْهُ عَذَابَهُ وَمَنِ اعْتَذَرَ اِلَى رَبِّهِ قَبِلَ الله ُعُذْرَهُ وَمَنْ خَزَنَ
لِسَانَهُ سَتَرَ الله ُعَوْرَتَهُ
Barangsiapa menahan
kemarahannya, maka Allah akan menahan siksa-Nya kepada orang itu dan
barangsiapa mengemukakan keuzuran kepada Tuhannya, maka Allah akan menerima uzurnya
dan barangsiapa yang menyimpan lisannya (tidak suka menyingkapkan
rahasia orang lain), maka Allah akan menutupi celanya.
Beliau s.a.w. yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abiddunya, Baihaqi dll bersabda :
اَشَدُّكُمْ مَنْ غَلَبَ نَفْسَهُ
عِنْدَا لْغَضَبِ وَاَحْلَمُكُمْ مَنْ عَفَا عِنْدَ الْقُدْرَةِ
Orang yang paling gagah
perkasa diantara kamu semua itu ialah orang yang dapat mengalahkan nafsunya
diwaktu marah dan orang yang tersabar diantara kamu semua itu ialah orang yang
suka memaafkan kesalahan orang lain padahal ia kuasa untuk membalasnya.
Pernah terjadi suatu peristiwa
yaitu ada seorang yang termasuk golongan orang-orang Arab yang kasar, pada
suatu ketika ia berkata kepada Umar r.a., “Demi Allah, Tuan ini tidak berbuat
keadilan dan Tuan tidak memberi yang cukup banyak”. Umar r.a. tampak marah
sehingga dapat dilihat dari wajahnya. Kemudian ada seorang lain lagi yang
mendekatinya dan berkata, “Hai amirul mukminin, apakah Tuan belum pernah
mendengar firman Allah ta’ala : (surah A’raf 199)
خُذِالْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh.
Orang yang ada disamping Tuan
nyata-nyata termasuk golongan orang-orang yang bodoh”.
Demi beliau r.a. mendengar itu
lalu redalah marahnya dan memaafkan orang yang berkata lancang tadi.
KEUTAMAAN
BERSIKAP SABAR/HILM
Adapun rahasianya mengapa kita
dianjurkan memiliki kasih sayang dn amat dipuji sekali oleh agama, sebabnya
ialah karena watak dan tabiat manusia itu pada ghaibnya lebih condong dan lebih
suka bersikap keras dan kasar, sekalipun sikap yang demikian ini kadang-kadang
ada pula kemanfaatannya dengan menilik sebab-sebab atau alasan-alasannya yang
sesuai, tetapi tentulah hal ini terjadinya amat jarang sekali. Oleh sebab itu,
yang dapat disebut orang yang sempurna akhlak dan budinya ialah seseorang yang
dapat membedakan mana-mana tempat dan keadaan yang perlu dihadapi dengan sikap
kasih sayang dan mana-mana yang wajib dihadapi dengan kekerasan dan kekasaran.
Jadi setiap sesuatu itu ditanggulangi sesuai dengan keadaan yang diperlukan.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Ketahuilah bahwa bersikap sabar
adalah lebih utama daripada menahan kemarahan, sebab menahan kemarahan itu boleh dikatakan sebagai suatu perbuatan
berpura-pura sabar, artinya ialah memaksa diri untuk menjadi sabar, padahal
sebenarnya tidak sabar. Orang-orang yang menyabar-nyabarkan hatinya ini
tentunya masih memerlukan lagi menahan kemarahan, sebab tidak akan memerlukan
yang sedemikian ini kecuali orang yang sudah terlanjur meluap-luap kemarahan
dalam hatinya itu. Oleh sebab itu ia tentunya memerlukan pula
kesungguh-sungguhan dalam menahan itu dan ini pasti dirasakan berat sekali.
Tetapi apabila hal yang sedemikian ini sudah dijadikan kebiasaan dalam waktu
yang cukup lama, maka akan menjadi hal yang lumrah saja baginya, sehingga tidak
pernah lagi kemarahannya itu berkobar. Juga sekalipun sudah terlanjur marah,
maka untuk memadamkannya pun tidak pula akan dirasakan sukar dan payah.
Seseorang yang sudah memiliki
kebiasaan sebagaimana di atas itulah yang sudah dapat dikatakan bertabiat sabar
dan inilah yang merupakan tanda kesempurnaan akalnya. Ia berakal sempurna sebab
nyata-nyata sudah dapat menundukkan serta mematahkan kekuatan sifat marahnya
lalu dituntun dengan otaknya yang sehat. Memang pada permulaannya haruslah
dengan berbuat menyabar-nyabarkan hati dan menekan kemarahan itu dengan paksaan
yang tentunya akan dirasakan pahit sekali.
Hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani dan Daraquthni :
اِنَّمَا الْعِلْمُ
بِالتَّعَلِّمُ وَالْحِلْمُ بِالتَّحَلُّم
Hanya ilmu pengetahuan itu
dapat diperoleh dengan belajar dan hilm dapat diperoleh dengan belajar sabar.
Hadits di atas menjelaskan bahwa
belajar berbuat kesabaran adalah merupakan jalan untuk memperoleh sifat
kesabaran. Ini adalah dalam permulaannya dan diusahakan dengan bersungguh-sungguh
dan memaksakan diri. Ini tidak berbeda dengan halnya orang yang ingin
mendapatkan ilmu haruslah dengan jalan belajar.
Sabda rasulullah s.a.w. yang
diriwayatkan oleh Thabrani :
اِنَّ الرَّجُلَ الْمُسْلِمَ
لَيُدْرِكَ بِالْحِلْمِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ القَائِمِ
Sesungguhnya seorang muslim
itu pasti dapat memperoleh derajad seorang yang berpuasa (siang harinya), serta
mendirikan ibadah (pada malam harinya) dengan sifat hilmnya.
Hasan r.a. dalam mengupas firman
Allah ta’ala surah Furqon 63 :
.....
وَّاِذَاخَاطَبَهُمُ الْجهِلُوْنَ قَالُوْا سَلمًا
Dan apabila orang-orang yang
bodoh menghadapkan perkataan kepada mereka, maka mereka pun menjawab,
“Selamat”.
Ia berkata, “Orang-orang itu
adalah para ahli hilm atau para penyantun. Jikalau mereka dianggap bodoh oleh
orang-orang yang bodoh dan dikata-katai dengan ucapan-ucapan yang tidak
senonoh, tidaklah mereka membalas untuk mengucapkan seperti itu”.
Dalam mengulas firman Allah
ta’ala dalam surah Furqon 72 :
......
وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
Dan apabila mereka melalui
(orang-orang) yang beromong kosong, maka berlalulah mereka dengan hormatnya.
Mujahid mengatakan, “Inilah
sifat-sifat orang-orang yang penyantun dan penyabar yakni jikalau disakiti,
mereka memaafkan”.
Jadi omong kosong itu ditafsiri
dengan suatu ucapan yang tidak bermanfaat dan kadang-kadang menusuk perasaan.
Ali karromallahu wajhah berkata,
“Bukanlah suatu kebaikan jikalau yang banyak itu hanyalah anak-anak dan hartamu
saja, tetapi yang sebenarnya kebaikan ialah apabila banyak ilmu pengetahuanmu,
besar kesabaranmu dan engkau sangat penyantun. Hendaknya pula engkau jangan
merasa bangga dengan banyaknya beribadat kepada Allah. Jikalau engkau berbuat
kebaikan, memujilah serta bersyukurlah kepada-Nya”.
Aktsam berkata, “Inti dari
kejernihan akal fikiran ialah adanya sifat penyantunan, sedang landasan dari
semua perkara ialah kesabaran”.
Mu’awiah berkata, “Seseorang
belum dapat mencapai puncak dari kebaikannya berpendapat, sehingga hilmnya itu
dapat mengalahkan sikap bodohnya dan sabarnya itu dapat menaklukkan syahwat
keinginan hawa nafsunya. Semua ini tidak dapat diperoleh melainkan dengan
kekuatan ilmu pengetahuan”.
Pernah pula ia berkata kepada
‘Amr bin Ahtam, “Orang manakah yang dapat dianggap sebagai manusia yang
terberani ?”. Ia menjawab, “Yaitu orang yang sikap bodohnya dapat ditolak oleh
sikap penyantunnya”. Ditanya pula, “Siapakah yang paling dermawan ?”. Ia
menjawab, “Yaitu orang yang membelanjakan hartanya untuk kemaslahatan
agamanya”.
Sekali waktu Mu’awiah berkata
kepada ‘Arabah, “Dengan jalan apakah engkau dapat menguasai bangsamu ?”. Ia
menjawab, “Saya selalu bersikap penyantun kepada mereka yang bodoh, saya
senantiasa memberi kepada orang yang meminta dan saya selalu bekerja untuk
menolong apa-apa yang menjadi keperluan mereka. Maka dari itu barangsiapa yang
mengerjakan sebagaimana yang kukerjakan, ia adalah sederajad denganku,
barangsiapa yang dapat mengerjakan lebih dari itu, ia pun tentulah lebih utama
dan lebih mulia daripadaku, sedang barangsiapa yang kurang perhatiannya tentang
itu daripadaku, maka jelaslah aku lebih mulia daripadanya”.
Dalam mengupas firman Allah
ta’ala dalam surah Fussilat 34-35 :
.... اِدْفَعْ بِلَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ
بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ و عَدَاوَةٌ كَاَنَّهُ و وَلِيٌّ حَمِيْمٌ .
وَمَا يُلَقّهَا وما اِلاَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوْ , وَمَا يُلَقّهَآ اِلاَّ ذُوْ حَظٍّ
عَظِيْمٍ
Tolaklah kejahatan itu dengan
cara yang sebaik-baiknya, sehingga yang bermusuhan antara engkau dengan dia
akan menjadi sebagai kawan yang setia. Dan kelakuan seperti itu tidak diberikan
kepada siapa pun, selain untuk orang-orang yang berhati teguh dan tiada pula
diberikan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.
Anas bin Malik berkata, “Orang
yang sedemikian ini ialah orang yang dimaki-maki oleh saudaranya, tetapi dengan
sabar ia berkata, “Jikalau saudara yang salah dan dusta dalam ucapan-ucapanmu,
maka semogalah Allah mengampunimu, tetapi jikalau kata-katamu itu benar, maka
semogalah Allah mengampuni aku”.
Ali bin Husain r.a. pada suatu
ketika dimaki-maki oleh seseorang, lalu orang yang memaki-maki itu dilempari
sehelai baju yang sedang dikenakan sebagai hadiahnya dan disedekahi pula dengan
harta sebanyak seribu dirham. Kemudian sementara orang yang melihat peristiwa
itu lalu berkata, “Orang yang budiman (Ali bin Husain) itu telah mengumpulkan
lima perkara dalam sekali berbuat yang semuanya itu menunjukkan akhlak yang
baik sekali yaitu a. menunjukkan sifat hilmnya, b. melenyapkan sakit hati orang
lain, c. melepaskan orang itu dari sesuatu yang menjauhkan dirinya dari Allah
azza wa jalla, d. menyebabkan orang tersebut menjadi menyesal dan suka
bertaubat dari perbuatannya dan e. ia akan beralih memujinya setelah
habis-habisan mencelanya.Semua itu dibeli dengan harga yang murah sekali dari
harta dunia ini”.
MEMBALAS
UCAPAN UMPATAN
Ketahuilah bahwa setiap
penganiayaan yang ditimbulkan seseorang itu tidak boleh ditandingi dengan hal
yang semacamnya, maka tidak bolehlah menandingi pengumpatan dengan umpatan,
tidak boleh menandingi tajassus dengan tajassus, memaki-maki dengan memaki-maki
dan demikian pula kemaksiatan-kemaksiatan yang lain-lain. Rasulullah s.a.w.
sudah menegaskan larangannya untuk menandingi pengejekan dengan pengejekan
yakni sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad :
اِنَّ امْرُؤٌعَيَّرَكَ بِمَا فِيْكَ
فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا فِيْهِ
Jikalau ada seseorang
mencelamu, dengan sesuatu noda yang ada di dalam dirimu, maka janganlah
mencelanya dengan menunjukkan suatu noda yang ada di dalam diri orang tersebut.
Tetapi ada sebagian alim ulama
yang mengatakan bahwa menandingi itu boleh saja, asalkan di dalamnya tidak
mengandung suatu ucapan dusta. Golongan ini mengatakan bahwa larangan yang
disabdakan oleh nabi s.a.w. itu adalah larangan yang bukan merupakan keharaman,
hanya saja sebaiknya memang tidak mengadakan tandingan. Tetapi andaikata ia
menandingi, tidak pula di dianggap bermaksiat.
Diantara tandingan-tandingan yang
mereka anggap diperbolehkan ialah seperti kalau kita mengucapkan kepada orang
yang memaki-maki kita, “Siapakah saudara ini sebenarnya ?”, atau kita
mengucapkan padanya, “Hai kurang akal” atau “Hai tolol”, sebab orang yang
berbuat demikian itu tidak lain kecuali orang yang bodoh lagi kurang akal. Jadi
ucapan balasan itu bukanlah suatu kedustaan, sekalipun isinya tentulah juga
menusuk perasaan orang yang dituju.
Yang diperbolehkan lagi misalnya
kita mengucapkan kepada seseorang yang memperolok-olok kita tanpa sebab, “Hai
orang yang berbudi rendah” atau “Hai orang yang suka merusak kehormatan orang”.
Ini memang boleh, asalkan memang kenyataannya adalah demikian.
Boleh pula misalnya kita
mengatakan, “Jikalau saudara ini mempunyai sifat malu, tentunya saudara tidak
akan mengatakan sedemikian itu. Alangkah hinanya pribadi saudara ini dalam
pandanganku, sebab perbuatan saudara sendiri itu”.
Para alim ulama yang membolehkan
mengadakan ucapan tandingan itu adalah dengan mengemukakan alasan sabda
rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Muslim :
اَلمْـُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ :
فَعَلَى الْبَادِئِ مِنْهُمَا حَتَّى يُعْتَدَى الْمَظْلُوْمُ
Dua orang yang bermaki-maki
itu adalah sesuai dengan yang diucapkan masing-masing. Dosanya adalah diatas
orang yang memulai, sehingga ia dilampaui batas oleh orang yang dizalimi.
Jadi memang ada hukum yang
menetapkan bahwa yang dianiaya boleh membuat pembalasan dan penentangan, tetapi
dilarang melampaui batas.
Sampai kadar yang sedemikian
itulah yang diperbolehkan oleh sebagaian para alim ulama untuk membuat
penentangan itu yakni merupakan kelonggaran menyakiti perasaan orang sebagai
balasan dari perbuatan yang pertama yang menyakiti perasaannya sendiri.
Al Ghazali berkata, “Benar,
memang tidak jauhlah kelonggaran itu sampai kadar yang demikian, hanya saja
yang lebih utama ialah meniadakan balasan menentang, sebab hal itu pasti akan
membawa sesuatu akibat yang lebih meruncing sesudah peristiwa pertama yang
terjadi. Bahkan tidak mungkin akan dapat dibatasi dan disingkat sampai pada
kadar yang sebenarnya ini saja. Berdiam diri dari permulaan jawaban itulah yang
mungkin lebih ringan memberi jawaban untuk selanjutnya atau untuk berhenti pada
batas yang ditentukan oleh syari’at. Tetapi sementara manusia memang ada yang
tidak dapat mengekang nafsunya diwaktu meluapkan kemarahan, namun demikian
mungkin juga ia akan kembali reda dan lenyap kemarahannya.
Dalam hal ini rasulullah s.a.w.
yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bersabda :
خَيْرُ بَنِى ادَمَ الْبَطِئُ
الْغَضَبِ السَّرِيْعُ الْفَيْءِ وَشَرُّهُمُ السَّرِيْعُ الْغَضَبِ الْبَطِئُ الْفَيءِ
Yang terbaik dari anak Adam ialah yang lambat (tidak segera)
marah dan yang segera reda marahnya, sedang yang terjelek ialah yang segera
marah dan lambat reda marahnya.
DENDAM
DAN NATIJAHNYA
Ketahuilah bahwa kemarahan itu
apabila tetap meluap-luap karena memang tidak dapat melenyapkannya seketika,
maka ia akan masuk ke dalam batin dan terus-menerus bergejolak dalam hati.
Akhirnya timbullah pendendaman.
Makna dari pada dendam ialah
bahwa hati itu merasa berat merasakan serta benci menghadapinya dan lagi
menjauh saja dari orang yang didendami tadi. Perasaan ini terus-menerus ada dan
tetap. Sifat sedemikian tidak boleh dimiliki oleh seorang mukmin.
Sabda rasulullah s.a.w. :
Orang mukmin itu bukanlah
pendendam. اَلْمُؤْمِنُ لَيْسَ
بِحَقُودٍ
Dendam itu adalah natijah atau
buah daripada kemarahan, sedang dendam itu sendiri membuahkan atau menyebabkan
timbulnya berbagai-bagai hal yang dapat dianggap sebagai kemungkaran, misalnya
:
Pertama ; Hasud atau dengki yaitu
sifat-sifat yang menyebabkan hatimu mengharap-harapkan agar kenikmatan yang
dimiliki oleh orang yang sedang engkau anggap sebagai lawanmu itu lenyap dari
sisinya. Jadi engkau merasa sedih jikalau orang tersebut memperoleh kenikmatan
dan sebaliknya engkau bergembira jikalau ia mendapatkan musibah, bahaya dan
bencana. Sifat semacam ini tidak lain hanyalah watak dari kaum munafik belaka.
Kedua ; Menambah tertanamnya
kehasudan yang sudah bersarang dalam jiwa. Dengan demikian lalu senantiasa
bergembira dengan bencana yang mengenai lawannya itu dan bahkan membuat-buat
sesuatu untuk membencanakannya.
Ketiga ; Meninggalkan bergaul
dengan lawannya itu serta memusuhi, memutuskan hubungan dengannya, sekalipun
orang yang dilawannya itu ingin mendekati dan menghadap padanya.
Keempat ; Mungkin membuahkan yang
agak kurang dari perbuatan-perbuatan yang tertera di atas, misalnya hanya
enggan menemuinya, membalikkan diri di waktu berpapasan dengannya, karena
menganggap rendah kepada orang yang didendami tadi.
Kelima ; Kadang-kadang suka
bercakap-cakap juga dengan orang tersebut, tetapi dengan percakapan yang tidak
sepatutnya antara sesama sahabat yang baik-baik, seperti berdusta, mengumpat,
menelanjangi rahasia dan melanggar kehormatan atau cela yang semestinya wajib
ditutup-tutupi.
Keenam ; Adakalanya
meniru-nirukan sesuatu yang ada dari orang yang didendami tadi, baik ucapan,
kelakuan atau lain-lain dengan tujuan penghinaan dan pengejekan.
Ketujuh ; Menyakitinya dengan pukulan
atau dengan apa saja yang menyakiti tubuhnya.
Kedelapan ; Menghalang-halangi
hak yang seharusnya menjadi haknya seperti mengembalikan hutangnya, mempererat
hubungan dengannya, mengembalikan sesuatu yang diperoleh dengan jalan
penganiayaan daripadanya dan semua itu tentulah haram hukumnya.
Serendah-rendahnya tingkat
pendendaman, apabila delapan macam sifat-sifat di atas dapat dijaga ialah
meninggalkan sifat-sifat ramah tamah, kasih sayang, menolong serta ikut
berusaha untuk memperoleh hajat-hajatnya atau membantu sesuatu yang merupakan
kemanfaatan orang yang didendami. Semua kelakuan itu dapat mengurangi derajad
keagamaan, sebab dengan berbuat demikian, maka lenyaplah pahala yang semestinya
dapat dicapai dengan mudah sekali.
Diwaktu Abu Bakar ash shiddiiq
r.a. bersumpah tidak akan memberi nafakah kepada seorang yang bernama Misthah
yang masih ada hubungan kekeluargaan dengannya sebab ada sesuatu hal yang
dianggapnya penting, lalu turunlah ayat yakni firman Allah ta’ala surah Nur 22
:
وَلاَ يَأْتَلِ اُولُوا الْفَضْلِ
مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْآ اُولِى الْقُرْبَا وَالْمَسكِيْنَ وَالْمُهَاجِرِيْنَ
فِيْ سَبِيْلِ الله ِ, وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا , اَلاَ تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَالله
ُلَكُمْ .....
Orang-orang yang mempunyai kekayaan
dan kelapangan rizki diantara kamu semua, janganlah bersumpah tidak akan
memberi bantuan kepada keluarga, orang-orang miskin, dan kaum muhajirin karena
memenuhi perintah dalam sabilillah dan mereka itu hendaklah suka memaafkan
serta berlapang dada. Tidakkah kamu semua suka jikalau Allah memberikan
pengampunan kepadamu semua ?
Demi ayat itu turun, lalu Abu
Bakar r.a. berkata, “Ya memang kita suka demikian itu (memperoleh pengampunan
Allah ta’ala)”, kemudian kembalilah beliau r.a. menafakahi pada orang tadi.
Jadi yang amat utama sekali
ialah, sekalipun terjadi sesuatu yang tidak enak dalam hati terhadap seseorang,
terutama yang masih ada hubungan kekeluargaan, ialah tetap berbuat apa yang
biasa dilakukan tanpa mengurangi sedikitpun. Bahkan jikalau mungkin hendaklah
ditambah dari yang sudah-sudah, baik yang berupa bantuan untuk kehidupannya
atau yang berupa tenaga dalam keadaan sewaktu-waktu diperlukan. Hal yang
sedemikian itu perlu sekali dilaksanakan untuk mengalahkan atau menindas
kemauan hawa nafsu dan untuk menghancurkan pengaruh syaithan terlaknat. Jikalau
sudah dapat dilaksanakan, maka benar-benar dapat menduduki tempat kaum
shiddiiqin dan perbuatan-perbuatan yang semacam itu adalah amalan-amalan dari
kaum muqarrabin (orang-orang yang dekat sekali pada Allah ta’ala).
KEUTAMAAN
MEMAAFKAN DAN BERBUAT KEBAIKAN
Apakah makna dari pemberian maaf
atau mengampunkan itu ?
Maksudnya ialah bahwa seseorang
itu semestinya mempunyai hak untuk membalas, mengqisas, menuntut atau menagih
dari seseorang yang tertentu, tetapi hak yang dimiliki itu dilenyapkan sendiri
dan digugurkan, sekalipun sebenarnya ia kuasa untuk memperoleh haknya tadi.
Perbuatan ini dilakukan bukan dengan sebab adanya paksaan dari orang lain, atau
ada pertimbangan keuntungan yang akan datang sesudah itu atau lain-lain tujuan
yang tidak berdasarkan keikhlasan, tetapi dilakukannya tadi hanyalah
semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala, karena keikhlasan hatinya.
Dalam hal keutamaan memberi maaf
ini, Allah ta’ala berfirman dalam surah A’raf 199 :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Berilah pengampunan,
perintahkanlah kebajikan dan janganlah menghiraukan ucapan atau tindakan
orang-orang yang bodoh (tidak mengerti).
Allah s.w.t. berfirman pula dalam
surah Baqarah 237 :
......
وَاَنْ تَعْفُوْآ اَقْرَبُ لِلتَّقْوى ......
Hendaklah kamu suka memaafkan
dan itu adalah yang terdekat pada ketakwaan kepada Allah.
Dalam hubungan ini rasulullah
s.a.w. yang diriwayatkan oleh Dailami dan Ashfihani bersabda :
اَلتَّوَاضُعُ لاَيَزِيْدُ الْعَبْدَ
اِلاَّ رِفْعَةً فَتَوَا ضَعُوْا يَرْفَعْكُمُ الله ُ, وَالْعَفْوُ لاَ يَزِيْدُ
الْعَبْدَ اِلاَّ عِزَّا فَاعْفُوْا يُعِزَّكُمُ الله ُ, وَالصَّدَقَةُ لاَ تَذِيْدُ
الْمَالَ اِلاَّكَثْرَةً فَتَصَدَّقُوا يَرْحَمْكُمُ الله ُ
Merendah diri (tawadhu’) itu
tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Oleh sebab itu bertawadhu’lah ,
pasti Allah akan meninggikan derajadmu semua. Memberi pengampunan itu tidak
menambah seseorang melainkan kemuliaan. Oleh sebab itu berilah pengampunan,
pasti Allah akan memuliakan kamu semua. Bersedekah itu tidak menambah harta
seseorang melainkan akan makin banyak jumlahnya. Oleh sebab itu bersedekahlah,
pasti Allah akan memberikan kasih sayangnya padamu semua.
Beliau s.a.w. yang diriwayatkan
oleh Thabrani, Baihaqi dan Ibnu Abiddunya bersabda :
اَفْضَلُ اَخْلاَقِ اَهْلِ الدُّنْيَا
وَاْلاخِرَةِ تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَتَعْفُوْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ
Seutama-utama akhlak ahli
dunia dan akhirat ialah supaya engkau mempereratkan hubungan dengan orang yang
memutuskan hubungan denganmu, memberikan sesuatu kepada orang yang
menghalang-halangi pemberian padamu serta memberi pengampunan kepada orang yang
menganiaya dirimu.
Diriwayatkan dari Hasan
rahimahullah bahwa ia pada suatu hari masuk di ruangan seorang amir (kepala
daerah) karena dipanggil olehnya. Oleh sebab dianggap ada sesuatu kesalahan,
maka ia akan ditindak sebagaimana mestinya, tetapi amir itu sebelum berbuat
sesuatu lebih dulu menanyakan padanya, bagaimana kalau ia memaafkan. Hasan
rahimahullah lalu menceritakan kisah nabi Yusuf a.s. dan apa yang diperbuat
oleh saudara-saudaranya, seperti beliau a.s. dijualnya, dimasukkan dalam sumur
gelap dan lain-lain lagi. Amir itu berkata, “Ya, tentu saja perbuatan
sedemikian itu tidak baik, menjual saudaranya sendiri dan membuat kesusahan kepada
ayahnya”. Hasan rahimahullah lalu menyebutkan segala sesuatu yang dihadapi
sewaktu dewasanya, misalnya diperdaya oleh golongan kaum wanita sehingga
dimasukkan dalam penjara bertahun-tahun lamanya. Selanjutnya Hasan rahimahullah
berkata, “Nah, itulah yang terjadi wahai amir, tetapi apa yang diperbuat oleh
Allah ta’ala sesudah itu ? Jelas sekali bahwa Allah ta’ala membuat perputaran
roda nasib keuntungan untuk beliam a.s. dan nasib kemalangan untuk
saudara-saudaranya. Sebutannya menjadi tinggi dan semerbak harum, kalimat-Nya
ditinggikan, dalam tangan beliau a.s. dikaruniai segala perbendaharaan bumi.
Selanjutnya apakah yang dilaksanakan oleh Allah ta’ala setelah disempurnakan
segala urusannya dan dikumpulkan seluruh keluarganya ? Nabi Yusuf a.s. berkata
saudara-saudaranya itu sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Yusuf 92 :
Pada hari ini tidak ada
penyesalan (celaan) daripadaku kepada perbuatanmu semua yang lalu-lalu itu.
Allah semoga mengampuni kesalahan-kesalahanmu semua dan Dia adalah teramat
kasih sayangnya dari semua golongan orang yang berkasih sayang”.
...
لاَتَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ , يَغْفِرُالله ُلَكُمْ , وَهُوَ اَرْحَمَ
الرّحِمِيْنَ
Amir lalu memaafkan Hasan
rahimahullah setelah mendengar cerita di atas.
Ada suatu peristiwa yang ganjil
lagi, yaitu yang diriwayatkan perihal diri Abdullah bin Mas’ud r.a. Pada suatu
ketika ia kecurian beberapa uang dirham. Orang-orang semua ribut dan mengancam
betul-betul kepada siapa saja yang ternyata pencurinya. Tetapi orang yang baik
hati ini lalu berkata kepada orang-orang banyak tadi, “Biarkanlah sudah. Saya
hanya berdoa, ya Allah, jikalau orang yang mengambilnya itu hendak
menggunakannya untuk menutupi keperluannya, maka berilah keberkahan dengan
rizki yang diperolehnya itu dan jikalau diambilnya itu dengan sebab keberanian
dan dasar pencurian serta pelanggaran dosa, maka jadikanlah yang ini sebagai
dosa yang terakhir untuknya”.
Mu’awiyah berkata, “Hendaklah
kamu semua suka bersikap sabar dan menahan diri dari kenafsuan. Sekiranya ada
kesempatan untuk berbuat sedemikian itu, maka perbuatlah dan gunakanlah kesempatan
yang baik itu. Hendaklah kamu disaat itu memaafkan dan melakukan keutamaan’.
KEUTAMAAN
BERSIKAP LEMAH LEMBUT
Sikap lemah lembut adalah terpuji
dan sebagai lawannya ialah sikap kasar, keras kepala dan berhati batu. Sikap
keras itu adalah sebagai natijah atau buah dari kemarahan dan kemengkalan hati,
sedang lemah lembut adalah hasil dari tertanamnya budi pekerti yang luhur dan
kewarasan jiwa.
Dengan menilik uraian diatas,
maka dapat dimaklumi bahwa budi dan akhlak itu tidak mungkin dapat baik dan
suci, kecuali dengan jalan menekan kekuatan kemarahan lalu dituntunnya untuk
mengikuti jalan dan batas yang selurus-lurusnya, sesuai dengan kehendak akal yang
sehat dan ajaran-ajaran dalam agama.
Oleh sebab itu rasulullah s.a.w.
banyak sekali memberikan pujiannya kepada sikap lemah lembut itu dan amat
ditekankan untuk melaksanakannya, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh
Ahmad :
مَنْ اُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ
فَقَدْ اُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَاْلاخِرَةِ وَمَنْ حُرِمَ حَظَّهُ
مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَاْلاخِرَةِ
Barangsiapa yang memperoleh
bagiannya dari sifat kasih sayang, maka benar-benar ia telah diberi bagiannya
dari kebaikan dunia dan akhirat, sedang barangsiapa yang terhadang bagiannya
dari sifat kasih sayang, maka benar-benar telah tertutup bagiannya dari
kebaikan dunia dan akhirat.
Beliau s.a.w. yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Baihaqi bersabda pula :
اِذَا اَحَبَّ الله ُ اَهْلَ بَيْتٍ
اَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ
Apabila Allah mencintai suatu
keluarga rumah tangga, maka Allah memberikan sifat kasih sayang kepada seluruh
anggota keluarga itu.
Selain itu beliau s.a.w yang
diriwayatkan oleh Muslim, bersabda kepada ‘Aisyah r.a. :
عَلَيْكَ بِالرِّفْقِ فَاِنَّهُو لاَيَدْخُلُ فِيْ شَيْءٍ
اِلاَّ زَانَهُو وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ اِلاَّ
شَانَهُو
Hendaklah engkau menetapi
sifat kasih sayang, sebab sifat ini tidaklah masuk dalam sesuatu, melainkan
akan menambah keindahannya dan tidak terlepas dari sesuatu, melainkan akan
menambah celakanya.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar