Ketahuilah bahwa bahaya lisan (lidah) itu amat besar
sekali dan sama sekali tidak ada suatu hal yang dapat menyelamatkannya,
melainkan berkata-kata dengan yang baik.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya dan Kharaithi bahwa
nabi Muhammad s.a.w. bersabda :
لاَيَسْتَقِيْمُ اِيْمَانُ الْعَبْدِ حَتىَّ ا يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُو , وَلاَيَسْتَقِيْمُ قَلْبُهُو حَتىَّ ا يَسْتَقِيْمَ لِسَانُهُو , وَلاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ رَجُلٌ لاَيَأْمَنُ جَارُهُو بَوَائِقَهُو
Belum dinamakan
lurus keimanan seseorang itu sehingga lurus pula hatinya dan belum juga
dinamakan lurus hatinya itu sehingga luruslah lisannya dan tidak akan dapat
masuk surga seseorang yang tetangganya itu belum dapat merasa aman dari
kejahatan-kejahatannya.
Sahabat Mu’adz bin Jabal r.a. pernah bertanya kepada
rasulullah s.a.w. , “Apakah kita ini juga akan diambil tindakan karena apa yang
kita ucapkan itu, ya Rasulullah ?”.
Beliau s.a.w. yang diriwayatkan oleh Hakim dan
lain-lain menjawab :
يَاابْنَ جَبَلٍ , وَهَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فِى النَّارِ
عَلَى مَنَاخِرِهِمْ اِلاَّ حَصَائِدُ الْسِنَـتِهِمْ
Hai Ibnu Jabal, tidakkah manusia-manusia itu akan
ditelungkupkan dengan hidungnya terlebih dahulu di neraka, melainkan karena apa
yang dituai (dilakukan) oleh lidah-lidahnya.
Ibnu Mas’ud berkata, “Hai lidah, katakanlah yang baik,
engkau pasti memperoleh kemanfaatan, diamlah dari berkata yang buruk, engkau
pasti selamat sebelum engkau menyesal”.
Rasulullah s.a.w. yang diriwayaatkan oleh Ibnu
Abiddunya, bersabda pula :
مَنْ كَفَّ لِسَانَهُ سَتَرَالله ُعَوْرَتَهُ , وَمَنْ مَلَكَ
غَضَبَهُ وَقَاهُ الله ُعَذَابَهُ , وَمَنِ اعْتَذَرَ اِلَى اللهِ قَبِلَ عُذْرَهُ
Barangsiapa menahan lisannya (dari kata-kata yang
tidak baik), maka Allah menutup celanya dan barangsiapa mengekang kemarahannya,
maka Allah melindunginya dari siksa-Nya dan barangsiapa menyatakan keuzurannya
kepada Allah, maka Allah menerima pernyataan uzurnya itu.
Ada lagi sabda beliau s.a.w. yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَاخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَسْكُتَ
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah berkata yang baik atau berdiam diri saja (kalau tidak dapat berkata
yang baik).
Sekali lagi sabda s.a.w. yang diriwayatkan oleh
Thabrani dan Ibnu Hibban :
اُخْرُجْ لِسَانَكَ , اِلاَّ مِنْ خَيْرٍ , فَاِنَّكَ
بِذَالِكَ تَغْلِبُ الشَّيْطَانَ
Simpanlah lisanmu, kecuali untuk berkata yang baik,
sebab dengan demikian itu engkau dapat mengalahkan godaan syaithan.
1. BERKATA YANG TIDAK BERGUNA ;
Ketahuiah bahwa pokok harta (harta
terpenting) seseorang itu ialah waktunya. Maka jikalau seseorang menggunakan
waktunya untuk hal-hal yang tidak akan membawa kemanfaatan untuknya dan pula
waktu-waktu itu tidak disimpannya untuk digunakan mengamalkan hal-hal yang
menyebabkan memperoleh pahala di akhirat, maka orang yang sedemikian ini
benar-benar telah menyia-nyiakan pokok hartanya.
Oleh sebab itu rasulullah s.a.w. yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah bersabda :
ِمِنْ حُسْنِ اِسْلاَمِ الْمَرْء تَرْكُهُ
مَالاَيَعْنِيْهِ
Setengah dari pada tanda kebaikan
Islamnya seseorang ialah jika ia meninggalkan apa-apa yang tidak diperlukan
olehnya.
Adapun
sebab-sebab yang menimbulkan demikian itu ialah karena keinginannya untuk
mengetahui hal-hal yang ia sendiri sebenarnya tidak memerlukannya atau
menghabiskan waktunya yang berharga itu hanya untuk mengobrol, bercerita yang
bukan-bukan atau mempercakapkan hal-hal yang tidak berfaedah sama sekali.
Untuk
mengobati penyakit yang sedemikian ini ialah hendaknya ia menyadari bahwa
setiap nafas yang dihembuskannya itu adalah pokok hartanya dan bahwa lisannya
itu adalah sebagai perangkap untuk memburu segala macam kebaikan yang dapat
dilakukannya. Dimana-mana kebaikan itu pasti ada, maka di semua tempat itu pula
ia dapat berburu. Menyia-nyiakan serta melalaikan kesempatan ini adalah
merupakan kerugian yang sebesar-besarnya dalam hidupnya.
2.
BERLEBIH-LEBIHAN DALAM BERKATA ;
Berlebih-lebihan dalam
berkata-kata-kata itu pun juga tercela dan itu pun merupakan afatnya lisan. Hal
ini adakalanya dengan cara memperdalam kata-kata yang tidak ada kemanfaatannya,
tetapi dapat juga tejadi dengan cara berlebih-lebihan dalam memperkatakan
hal-hal yang ada juga kemanfaatan untuk dirinya. Misalnya seseorang yang
memperbincangkan sesuatu dan semestinya dapat diuraikan dengan percakapan yang
ringkas, tetapi kemudian ditambah-tambahnya sehingga melebihi apa yang
dibutuhkan. Kadang-kadang sesuatu yang sebenarnya dapat diperagakan dengan
suatu bentuk, tetapi lalu diulang-ulanginya berkali-kali. Jikalau seharusnya
cukup dapat dimengerti apa yang dimaksudkan itu dengan satu kalimat, maka
sekiranya disebutkan sampai dua kali, maka kali yang kedua ini pun merupakan
kelebihan yang tidak berguna dan oleh karena itu juga tercela, sebab melebihi
yang dihajatkan, sekali pun dengan berkata lebih itu tidaklah berdosa dan tidak
pula ada bahayanya.
Ketahuilah bahwa kata-kata
kelebihan itu sukar untuk dibatasi, tetapi sebagai ancar-ancar batasan itu
dapatlah direnungkan apa yang telah difirmankan oleh Allah ta’ala dalam kitab
suci-Nya dalam surah An Nisa 114 :
لاَخَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَجْوَاهُمْ اِلاَّ مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ
اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ ...
Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan
perdamaian diantara manusia.
Dalam pada itu rasulullah
s.a.w. juga bersabda (diriwayatkan oleh Baihaqi dan lain-lain) :
طُوبَى لِمَنْ اَمْسَكَ الْفَضْلَ مِنْ لِسَانِهِ , وَاَنْفَقَ الْفضْلَ مِنْ
مَالِهِ
Berbahagialah seseorang
yang menahan kelebihan dari lisannya dan membelanjakan apa-apa yang kelebihan
dari hartanya.
Cobalah perhatikan
bagaimana keadaan manusia-manusia pada zaman kita sekarang ini. Mereka itu
membolak-balikkan apa yang dianjurkan oleh agama, sebab yang mereka tahan
adalah harta yang kelebihan, tetapi kelebihan lisan terus diobralkan, sehingga
tiada terkendalikan lagi.
‘Atha’ berkata,
“Orang-orang salaf sebelummu itu benci sekali berkata-kata secara
berlebih-lebihan itu. Yang mereka anggap kelebihan dalam berkata-kata itu ialah
segala pembicaraan yang selain mengenai kitabullah (Al Quran), selain sunnah
rasulullah s.a.w., juga perkataan yang tidak bertujuan untuk beramar ma’ruf
atau nahi munkar, juga selain percakapan yang diperlukan untuk mencari penghidupan
di dunia yang mau tidak mau harus dilakukan. Adakah kamu semua mengingkari
adanya malaikat penjaga, yang mulia-mulia sebagai para pencatat amalan seluruh
manusia, yang senantiasa mengikuti setiap gerak dan langkah mereka itu dari
kiri dan kanan. Tidak seorang pun yang mengeluarkan kata-kata yang bagaimana
pun juga coraknya, melainkan di sisinya pasti ada malaikat yang meneliti,
memeriksa yakni Raqib (pencatat kebaikan) dan ‘Atid (pencatat keburukan).
Tidakkah malu kamu semua nanti di saat catatan-catatan itu sudah dibeberkan.
Bagaimana jikalau catatan-catatan itu semata-mata dipenuhi dengan
tulisan-tulisan yang sebagian besar bukan termasuk dalam golongan urusan
keagamaan atau keduniaan yang diperlukan”.
Ibnu Umar berkata, “Yang
lebih penting untuk dibersihkan oleh seseorang itu ialah lisannya”.
Dalam sebuah atsar
dicatat, “Tidak seorang pun yang diberi sesuatu yang lebih jelek daripada
kelebihan dalam lisannya (percakapannya)”.
3. BERCAKAP-CAKAP DALAM KEBATHILAN ;
Ini pun termasuk afat lisan pula, yaitu
mempercakapkan berbagai kemaksiatan seperti hal-ihwal wanita,
kecabulan-kecabulan, duduk-duduk di tempat peminuman arak (khamr),
tempat-tempat kefasikan, kecongkakan orang-orang durhaka dan curang serta
pertemuan-pertemuan mereka yang tercela dan tingkah laku mereka yang sangat
dibenci oleh agama dan masyarakat. Semuanya itu sama sekali tidak boleh
dilakukan, sebab percakapan di dalamnya hanyalah merupakan omong kosong belaka.
Memang sebagian banyak manusia itu
gemar sekali duduk-duduk sambil berpandir-pandir, tetapi kuranglah bahayanya asalkan
tidak dicampuri dengan obrolan mengenai kehormatan orang lain atau pun
beromong-omong kosong dalam hal yang bathil.
Adapun macam-macamnya percakapan yang
bathil itu tidaklah dapat dibatasi hitungannya, sebab memang amat banyak dan
beraneka ragam pula bentuknya. Oleh sebab itu tidak ada seorang pun yang dapat
menghindarkan, kecuali dengan jalan mengambil secukupnya mengenai apa yang
diperlukan saja, baik yang berhubungan dengan urusan agama atau dunia.
Dalam haditis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abiddunya dan Thabrani disebutkan :
اَعْظَمُ النَّاسِ خَطَايَايَوْمَ
الْقِيَامَةِ اَكْثَرُهُمْ خَوْضًافِ الْبَاطِلِ
Sebesar-besar kesalahan seseorang
pada hari kiamat adalah yang terbanyak omong kosongnya dalam hal kebathilan.
Itu pulalah yang diisyaratkan oleh
firman Allah ta’ala dalam surah Al Muddassir 45 :
وَكُنَّانَخُوْضُ مَعَ الْخَآئِضِيْنَ
Kita semua ini suka bercakap kosong
bersama dengan orang-orang yang bercakap kosong pula (maka sampai masuk neraka
saqar).
Juga sehubungan dengan firman Allah ta’ala dalam surah
An Nisa’ 140 :
...
فَلاَ تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتىَّ ا
يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِى
اِنَّكُمْ اِذًا مِّثْلُهُمْ ...
Maka janganlah kamu semua duduk
bersama-sama mereka itu, kecuali jikalau mereka itu masuk untuk pembicaraan
yang lain. Apabila kamu semua berbuat demikian, maka kamu pun serupa pula
dengan mereka itu.
Sementara itu rasulullah s.a.w.
memberikan anjuran yang baik agar kita selalu berkata-kata yang bagus-bagus dan
menghindarkan diri dari kata-kata yang jelek, sebagaimana sabdanya yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi :
اِنَّ الَّرجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ
مِنْ رِضْوَانِ اللهِ مَا يَظُنُّ اَنْ تَبْلُغَ بِهِي مَا بَلَغَتْ
فَيَكْتُبُ الله ُبِهَا رِضْوَانَهُو اِلَىى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , وَاِنَّ الرَّجُلَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ مَا يَظُنُّ اَنْ تَبْلُغَ بِهِى مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ الله ُغَلَيْهِ
بِهَا سُخْطَهُو اِلَىى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya seseorang itu niscaya
bercakap-cakap dengan kalimat yang baik yang termasuk dalam hal-hal yang
diridhoi Allah, sedang ia tidak mengira bahwa apa yang dikatakannya sampai ke
suatu tingkat (sesuai dengan pahalanya), kemudian dengan ucapannya tadi ia
dicatat untuk memperoleh keridhoan Allah sampai hari kiamat. Dan sesungguhnya
seseorang itu niscaya bercakap-cakap dengan kalimat yang buruk yang termasuk
dalam hal-hal yang dimurkai Allah, sedang ia tidak menyangka bahwa apa yang
dikatakannya tadi sampai ke suatu tingkat (sesuai dengan siksanya), kemudian
dengan ucapannya itu ia dicatat untuk memperoleh kemurkaan Allah sampai hari
kiamat.
4. BERBANTAH DAN BERTENGKAR LIDAH ;
Ini pun termasuk larangan pula,
sebgaimana yang disabdakan oleh rasulullah (hadits riwayat Tirmidzi) :
لاَتُمَارِ اَخَاكَ وَلاَتُمَازِحْهُ وَلاَتَغِدْهُ
مَوْعِدًا فَتُخْلِفُهُ
Janganlah engkau mengucapkan bantahan
kepada saudaramu, jangan pula mengajaknya bersenda-gurau dan jangan pula engkau
berjanji memenuhi suatu prjanjian, kemudian engkau menyalahinya.
Beliau s.a.w. bersabda pula
(diriwayatkan oleh Tirmidzi) :
مَاضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ اَنْ هَدَاهُمُ الله ُاِلاَّ
اُوتُواالْجَدَلَ
Tidaklah sesuatu kaum itu menjadi
sesat setelah diberi petunjuk oleh Allah, melainkan sebab mereka itu suka berbantah-bantahan.
Sekali lagi sabdanya s.a.w. yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya :
لاَ يَسْنَكْمِلُ عَبْدٌ حَقِيْـقَةَ اْلاِيْمَانِ
حَتَّى يَدَعَ الْمِرَاءَ وَاِنْ كَانَ مُحِقًّا
Tidaklah seseorang hamba itu
mendapatkan kesempurnaan hakikat keimanan, sehingga suka meninggalkan berbantah-bantahan,
sekalipun ia merasa dalam pihak yang benar.
Bilal bin Sa'ad berkata, "Jikalau
pada suatu ketika engkau melihat seseorang yang banyak cakap, suka berbantah
dan lagi merasa bangga dengan pendapatnya sendiri, maka sudah sempurnalah
kerugiannya".
Ibnu Abi Laila berkata, "Saya ini tidak suka membantah sahabatku, adakalanya saya seharusnya mendustakannya dan adakala saya perlu memarahinya".
Uraian-uraian dan
keterangan-keterangan mengenai cela suka berbantah-bantahan ini amat banyak
sekali dan rasanya tidak perlu dicantumkan satu persatu.
Apakah yang sebenarnya dimaksudkan
dengan berbantah-bantahan yang terlarang itu ? Yaitu semua sanggahan kepada
pembicaraan orang lain dengan tujuan hendak memperlihatkan kesalahan,
kekurangan atau ketidak tahuan orang itu , menganggapnya seolah-olah bodoh dan
ia lebih tahu atau pintar. Ini adakalanya berhubungan dengan ucapannya,
adakalanya mengenai isi yang dibicarakannya dan adakalanya lagi mengenai tujuan
dari pembicaraan itu. Menghindari diri dari berbantah-bantahan ialah dengan
jalan tidak menyanggah atau melawannya. Oleh sebab itu semua perkataan yang
engkau dengar, sekiranya memang benar menurut perasaanmu, baiklah dipercaya,
dan sekiranya kau angggap salah, bathil atau pun ia berdusta, baiklah engkau
berdiam diri saja, asalkan tidak ada hubungannya dengan kehormatan agama. Inilah
cara yang sebaik-baiknya.
Bagaimanakah kewajiban kita sekarang
?
Jikalau ada suatu perbantahan terjadi dan yang dipercakapkan itu persoalan ilmiah, baiklah dikala itu berdiam diri saja sambil merenungkan hujah atau alasan masing-masing pihak. Jadi sama sekali kita tidak perlu mencampurinya, tetapi sementara itu kita dapat menyaring dan meneliti mana yang benar dan mana pula yang salah. Jikalau kita memerlukan bertanya dalam suatu hal yang tidak kita mengerti, baiklah itu dilakukan, tetapi sifatnya janganlah dengan nada membantah, menyanggah atau menyalahkan pendapat orang yang kita tanyai itu. Lebih baik lagi jikalau hal ini dilakukan dengan lemah lembut dan sopan agar kita mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Jadi bukan hendak bermaksud menjatuhkan dengan mengemukakan pertanyaan tadi.
Adapun pertanyaan atau ucapan yang dimaksudkan untuk melumpuhkan hujah orang lain, untuk membuatnya lemah sehingga tidak dapat menjawab ataupun dengan cara mengurangkan nilai ucapannya sehingga dapat diambil kesimpulan seolah-olah menganggapnya keliru, gegabah atau bodoh, maka itulah bentuk perbantahan yang paling dilarang sekali dalam agama dan sangat tercela di pandangan masyarakat. Maka dari itu untuk menghindari semuanya ini hendaklah berdiam diri saja supaya kita selamat dari dosa dan akibatnya. Kelakuan sebagaimana di atas itu hanyalah ditimbulkan karena perasaan yang salah yaitu semata-mata hendak menonjolkan kelebihan diri sendiri, lebih pandai, lebih utama dan lebih benar pendapatnya. Selain itu hendak menyerang orang yang dianggap lawannya dengan menunjukkan kekurangan ilmu serta ketololannya. Dua sifat di atas itu benar-benar merusakkan jiwa.
Berbantah-bantahan itu tidak akan lepas dari sikap menyakiti hati orang lain, menyalakan api kemarahan dan membawa si penentang untuk mengulangi lagi perbuatannya kepada siapa pun juga. Oleh sebab itu baiklah hal yang amat buruk ini dijauhi sedapat mungkin, baik yang benar atau yang salah. Orang yang suka berbantah itu akhirnya tidak memperdulikan lagi ucapan-ucapannya, apakah benar atau salah. Pokoknya ia ingin memperoleh kemenangan dan dianggap pandai dan cerdik. Ia akan tertipu oleh ucapannya sendiri dengan mengemukakan gambaran yang bukan semestinya, hanya semata-mata menginginkan keunggulan berdebat. Jikalau ini terjadi, maka pastilah akan timbul persengketaan dan pertarungan lidah yang amat sengit antara orang yang berbantah-bantahan tadi.
Sebagai penawar atau obatnya ialah
supaya seseorang itu suka melenyapkan sifat yang menimbulkan suka berbantah
tadi yaitu watak congkak dan takabbur yang hanya ingin memperlihatkan bahwa
dirinya lebih utama dan lebih dipentingkan. Juga hal ini ditimbulkan oleh sifat
kebinatangan yang senantiasa menganggap rendah dan kurang pada diri orang lain.
5. PERMUSUHAN ;
Permusuhan itu pun sifat yang tercela sekali dan
inilah akibat langsung dibalik adanya perbantahan dan beradu pendapat yang
tidak baik. Hakikatnya ialah merupakan percakapan yang bertele-tele dan
melampaui batas yang diperlukan sama sekali. Tujuan utamanya hanyalah untuk
memperoleh harta dunia atau suatu tujuan tertentu.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
disebutkan :
اِنَّ اَبْغَضَ الرِّجَالِ اِلَى اللهِ اْلاَلَدُّ
الْخَصْمِ
Orang yang paling dibenci oleh Allah ialah yang
terkeras dan amat sangat bermusuhan.
Sifat-sifat permusuhan yang tercela itu ialah :
a. Yang dilakukan dengan kebathilan atau tujuan
bathil.
b. Yang dilakukan tanpa memiliki pengertian atau ilmu
pengetahuan, misalnya seorang yang mempertahankan pihaknya sebelum mengerti
benar-benar mana yang haq dan dipihak mana letaknya kebenaran itu.
c. Yang dilakukan dengan mencampur-adukkan kata-kata
yang menyakiti hati yang sama sekali tidak diperlukan untuk membela hujahnya
atau untuk menunjukkan mana yang haq.
d. Yang dilakukan semata-mata untuk menonjolkan sikap
permusuhan itu sendiri atau untuk mengadakan perlawanan belaka dengan maksud
untuk menundukkan musuh dan mematahkannya. Padahal kadang-kadang yang
dipersoalkan hanyalah sejumlah harta yang ia sendiri tidak memandangnya amat
berharga. Lihatlah bahwa hal ini banyak benar terjadi, sebab diantara
orang-orang yang melakukan permusuhan ada juga berkata, “Maksudku hanyalah
melawan musuhku dan mematahkan kehendaknya. Saya sendiri andaikata menerima
harta itu, pastilah kubuang saja dalam sumur dan sama sekali tidak
kuperdulikan, sebab saya memang tidak membutuhkan harta itu”.
Jadi maksudnya mengadakan permusuhan tadi hanyalah
untuk bermusuhan saja dan tidak lain, seperti membela hak atau yang semisal
itu.
Bermusuhan, terutama yang disertai dengan percakapan
yang bertele-tele itu sangat tercela.
Bagaimanakah sikapnya seorang yang merasa dianiaya ?
Seseorang yang dianiaya yang hendak membela hujahnya dengan menempuh jalan
syari’at, asalkan dalam percakapannya itu tidak disertai dengan kata-kata yang
keras dan nada permusuhan, tidak pula melampaui batas apa-apa yang
dibentangkan, tidak pula berlebih-lebihan dalam pembicaraannya selain yang
diperlukan, tidak pula dengan maksud memusuhi atau menyakiti hati orang lain,
maka apa yang dilakukan itu adalah tidak dilarang atau diharamkan. Namun
demikian yang lebih utama lagi ialah menghindarkan diri dari kelakuan semacam itu,
selama masih dapat melihat adanya jalan selain itu untuk mendapatkan kembali
apa yang dianiayakan tadi. Kalau jalan lain sudah tidak ada, maka hendaklah
menekan sedapat mungkin lisannya dalam mengadakan perdebatan itu, bersikaplah
yang sesedang-sedangnya dan alasan untuk yang sedemikian ini dapat diterima.
Perlu kita insafi baik-baik bahwa permusuhan itu dapat
menjengkelkan perasaan dan menyala-nyalakan api kemarahan dalam hati. Jikalau
nafsu kemarahan sudah meluap-luap, lalu orang-orang yang saling bertentangan
itu dapat menjadi lupa segala hal, tidak tahu lagi apa yang sedang
dipertengkarkan dan akhirnya pembicaraan menjadi tidak karuan ujung pangkalnya.
Akibatnya yang tertinggal ialah nafsu dan dendam kesumat, kemengkalan dan yang
terakhir ialah kebencian antara masing-masing pihak yang berlawanan tadi.
Bahkan ini dapat menimbulkan perasaan bahwa yang seorang merasa gembira jikalau
dapat melampiaskan kejahatannya kepada musuhnya dan sebaliknya ia dibenci
apabila musuh itu mendapatkan kenikmatan. Ini menyebabkan pula bahwa
masing-masing pihak menggembor-gemborkan serta menyiar-nyiarkan keburukan
lawannya dan tidak segan-segan menodai kehormatannya.
Oleh sebab itu barangsiapa yang memulai membuat
permusuhan, maka berartilah bahwa ia telah menjerumuskan dirinya dalam hal-hal
yang sangat ditakuti akibatnya ini. Sedikit-dikitnya ia akan senantiasa tergoda
hatinya, terpengaruh perasaannya, bahkan sekalipun ia diwaktu bersembahyang. Ia
selalu mengangan-angankan bagaimana dapat menjatuhkan lawannya dan bagaimana
usahanya agar dirinya dipandang unggul dan menang. Akhirnya persoalan yang
sebenarnya dapat diselesaikan dengan jalan wajar dan damai, tidak lagi menetapi
garis yang lurus dan tidak pula melalui batas keharusan.
Ringkasnya ialah bahwa permusuhan yang dimulai dengan
kata-kata itu adalah dasar dari segala keburukan dan kejahatan, demikian pula
berbantah-bantahan dan beradu lidah yang tidak wajar. Maka dari itu seyogyanya
janganlah kita membuka pintu perselisihan ini, melainkan apabila sangat
dirasakan manfaatnya dan amat mendesak sekali keperluannya. Sekalipun demikian,
apabila jalan ini tidak dapat lagi dihindari, hendaklah senantiasa menjaga
lisan dan hati, agar jangan sampai terjerumus dalam makna permusuhan dan
pertikaian, sebab hal yang sedemikian ini sangat besar bahayanya dan amat kecil
faedahnya.
Memang, setidak-tidaknya dalam permusuhan itu akan
lenyaplah kata-kata yang manis, juga dalam perbantahan, perdebatan dan sebangsa
dengan itu. Kata kasar dilawan dengan kata kasar, cacian ditentang dengan cacian
dan maki-makian dihantam dengan maki-makian pula.
Padahal bukankah Allah ta’ala telah berfirman dalam
surah Al Baqarah 83 :
Berkatalah kepada seluruh manusia itu dengan
baik-baik. ... وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا ....
Ibnu Abbas berkata, “Barangsiapa yang memberi salam
padamu dari golongan makhluk Allah yang manapun maka balaslah pemberian
salamnya itu, sekalipun ia seorang Majusi’.
Ia mendasarkan ucapannya kepada firman Allah ta’ala
dalam surah An Nisa’ 86 :
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ
مِنْهَآ اَوْ رُدُّهَا ...
Apabila kamu semua diberi penghormatan (salam), maka
balaslah penghormatan (salam) itu dengan yang lebih baik atau dengan yang
serupa itu saja.
Ibnu Abbas berkata pula, “Andaikata Fir’aun sekalipun
berkata baik-baik kepadaku, pasti aku akan membalasnya baik-baik pula”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
disebutkan :
Perkataan yang baik itu adalah sebagai sedekah. اَلْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
صَدَقَةً
Umar r.a. berkata, “Kebajikan itu adalah suatu hal
yang ringan yakni menunjukkan muka berseri-seri dan mengucapkan kata-kata yang
lemah-lembut”.
Seorang ahli hikmat berkata, “Ucapan yang bagus itu
melenyapkan kemengkalan yang terpendam dalam anggota”.
Lain orang lagi berkata, “Setiap ucapan yang tidak
membuat kemurkaan Tuhanmu, bahkan yang dapat merelakan kawanmu, maka lakukanlah
itu dan jangan engkau kikir memberikannya, sebab barangkali yang sedemikian itu
dapat menggantimu sebagai pahala orang-orang yang berkelakuan baik”.
6. MEMBUAT-BUAT KEINDAHAN KATA-KATA ;
Maksudnya ialah memaksa-maksa diri, ketika dalam bercakap-cakap itu dengan
mempergunakan kalimat-kalimat sajak, membuat-buat kefasihan serta kebalaghahan yang
tidak semestinya. Perbuatan semacam ini adalah termasuk golongan
memaksa-maksakan otak berjalan tanpa guna dan tercela sekali. Sebabnya ialah
seseorang yang bercakap-cakap itu cukuplah kiranya mengambil keringkasan saja,
asalkan apa yang dimaksudkan sudah dapat dimengerti oleh yang diajaknya
bercakap-cakap. Jadi tujuan ucapan ialah untuk dimengerti, lain tidak. Jikalau
melakukan lebih dari itu, maka itulah yang dinamakan berpura-pura yang tidak
dapat dipuji sama sekali. Tetapi tidaklah termasuk tercela apabila menggunakan
kata-kata yang baik, yang halus dan sopan dalam menyebutkan sesuatu atau ketika
sedang berkhutbah atau berpidato, asalkan tidak melampaui batas, tidak
berlebih-lebihan, tidak menggunakan kata-kata yang sulit dan sukar diterima
atau amat asing bagi pendengarnya. Ingatlah bahwa kata-kata yang bagus itu
mempunyai pengaruh pula dalam jiwa dan dapat meresap dalam kalbu.
7. BERKATA KOTOR, MEMAKI-MAKI
DAN UCAPAN YANG RENDAH ;
Itulah afat atau bahaya lisan yang
ketujuh. Perbuatan sebagaimana diatas itu adalah tercela dan dilarang keras.
Sumber daripada kata-kata yang buruk itu ialah karena memang watak yang rendah
dan jiwa yang hina.
Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan
oleh Nasa-i Hakim dan Ibnu Hibban, bersabda :
اِيَّاكُمْ وَالْفُحْشَ , فَاِنَّ الله
َتَعَالَى لاَيُحِبُّ الْفُحْشَ وَلاَالتَّفَحُشَ
Jauhilah kamu semua akan kata kotor,
sebab Allah ta’ala tidak suka kepada kata kotor atau yang menyebabkan timbulnya
kata kotor dari orang lain.
Dalam pada itu rasulullah s.a.w. juga
bersabda (diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya dan Nasa-i) :
لاَ تَسُبُّوْاهؤُلاَءِ , فَاِنَّهُ
لاَيَخْلُصُ اِلَيْهِمْ شَيْئ ٌمِمَّاتَقُوْلُ وَتُؤْذُونَ اْلاَحْيَاءَ .
اَلاَاِنَّ الْبِذَاءَلُؤْمٌ
Janganlah kamu semua memaki-maki
mereka itu (yakni orang-orang musyrikin yg terbunuh dalam peperangan Badar),
sebab tidak ada sesuatu apa pun yang membekasi orang-orang yg mati itu dengan
apa-apa yg kamu semua ucapkan, malahan hanya menyakiti orang-orang yang masih
hidup saja (seperti keluarga mereka dll). Ingatlah bahwa kata-kata yg rendah
itu adalah suatu kehinaan (bagi yg mengucapkannya).
Beliau s.a.w. bersabda lagi
(diriwayatkan oleh Tirmidzi) :
لُيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ
وَلاَاللَّعَّانِ وَلاَالْفَاحِشِ وَلاَالْبَذِىءِ
Seorang mukmin bukanlah tukang
pemberi celaan, tukang melaknati orang, tukang berkata kotor atau berkata
rendah.
Ada pula sabda rasulullah s.a.w yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abiddunya dan Thabrani :
اِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْفَاخِشِ
الْمُتَفَحِّشَ الصَّيَّاحَ فِى اْلاَسْوَاقِ
Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak
suka kepada orang yg kotor katanya, yg menyebabkan timbulnya kata-kata kotor
dari orang lain, juga yg suka bersuara keras (berteriak-teriak) di pasar-pasar.
Batas dari ucapan kotor itu ialah
mengeluarkan ucapan dengan ibarat-ibarat atau uraian-uraian yang jelas dalam
hal perkara-perkara yang dianggap buruk. Sebagian banyak kata-kata yang
sedemikian itu yang ada hubungannya dengan sex, persetubuhan dan lain-lain yang
ada sangkut-pautnya dengan itu. Orang-orang yang rusak mulutnya selalu
menggunakan kata-kata yang kotor dan keji untuk didengar dalam menyatakan
hal-hal yang sebagaimana di atas tadi. Sebaliknya orang-orang yang berwatak
tinggi dan berotak baik, tidaklah demikian. Disaat mereka memerlukan untuk
mengemukakan hal itu, tidaklah mereka mengucapkannya dengan terang-terangan,
tetapi cukuplah dengan kata-kata yang sopan atau diganti dengan kata lain yang
semakna dengan itu, tetapi sebagai kiasan atau sindirannya.
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya
Allah ta’ala itu Maha Hidup, Maha Mulia dan Maha Pemaaf. Dibuatnya sindiran
perihal jimak atau bersetubuh dengan kata lams atau persentuhan.
Jadi sebagai ganti dari kata-kata
bersetubuh (jima' atau wiqa') digantilah dengan ucapan yg sopan seperti
berdampingan, persentuhan atau masuk (dukhul). Kata-kata semacam ini tentulah
tidak kotor kedengarannya.
Ucapan-ucapan yg tidak sopan dan
kotor itu bukanlah hanya itu saja, tetapi masih banyak yg lain yg amat buruk
jika disebutkan. Sebagian banyak kata-kata yg sedemikian itu digunakan untuk
mencaci-maki orang atau menguraikan sesuatu secara sembarangan saja. Oleh sebab
itu, segala kata yg kiranya dianggap malu jika dikeluarkan, seyogyanya
janganlah disebutkan dengan kata-katanya yg jelas atau terang-terangan, sebab
itu pun termasuk berkata-kata dengan tidak ada kesopanannya.
Adapun maksud dari berkata kotor serta menyebabkan timbulnya itu ialah adakalanya dengan tujuan hendak menyakiti hati orang, tetapi adakalanya pula karena memang sudah terbiasa berbuat sedemikian, diakibatkan adanya pergaulan dengan golongan orang-orang ahli kefasikan, ahli kelakuan rendah dan hina serta orang-orang yg kebiasaannya memaki-maki.
Diriwayatkan bahwa seorang Arab
datang kepada rasulullah s.a.w. lalu berkata, “Berilah saya wasiat, ya
Rasulullah”. Beliau s.a.w. lalu bersabda (diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani)
:
عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ . وَاِنِ
امْرُؤٌعَيَّرَكَ بِشَيْءٍيَعْلَمُهُ فِيْكَ فَلاَتُعَيِّرُهُ بِشَيْءٍتَعْلَمُهُ
فِيْهِ , يَكُنْ وَبَالُهُ عَلَيْهِ وَاَجْرُهُ لَكَ وَلاَتَسُبَّنَّ شَيْأً
Hendaklah engkau tetap bertakwa
kepada Allah. Jikalau ada seorang mencelamu dengan sesuatu hal yg ia ketahui
ada di dalam dirimu, maka janganlah engkau membalas mencelanya dengan sesuatu
hal yg engkau mengetahuinya ada di dalam dirinya. Dengan demikian, maka dosanya
adalah di atas orang itu sedang pahalanya adalah untukmu. Jangan pula
sekali-kali engkau memaki-maki seseorang.
Selanjutnya Arab itu berkata, “Sejak
saat itu saya tidak pernah lagi memaki-maki seseorangpun”.
Rasulullah s.a.w. bersabda pula
(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
سبَابُ الْمُؤْمِنِ فُسُوقٌ
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Memaki-maki seorang mukmin itu adalah
perbuatan kefasikan, sedang membunuhnya adalah kekafiran.
Dalam hadits lain (diriwayatkan oleh
Ahmad), disebutkan sabda nabi Muhammad s.a.w demikian :
ِDilaknatilah orang-orang yg
memaki-maki kedua orangtuanya. مَلْعُونٌ
مَنْ سَبَّ وَالِدَيْهِ
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad , Abu Ya’la dan
Thabrani menyebutkan sabda rasulullah s.a.w :
مِنْ اَكْبَرِالْكَبَائِرِاَنْ يَسُبَّ
الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ . قَالُو : يَارَسُولَ اللهِ كَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ ؟ قَألَ : يَسُبُّ اَبَاالرَّجُلِ فَيَسُبُّ اْلاخَرُاَبَاهُ
Termasuk dosa-dosa besar ialah
apabila seseorang itu memaki-maki kedua orangtuanya. Para sahabat
bertanya,"Bagaimanakah seseorang itu memaki-maki kedua orangtuanya
?". Beliau s.a.w. lalu
bersabda,"Ia memaki-maki ayah orang lain, lalu orang itu memaki-maki
ayahnya sendiri.
8. MELAKNAT ;
Melaknati itu adakalanya kepada
binatang, benda atau pun manusia dan semuanya itu tercela sekali.
Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi, bersabda :
Orang mukmin itu bukanlah seorang yg
tukang melaknat. اَلْمُؤْمِنُ لَيْسَ
بِلَعَّانٍ
Melaknati itu maksudnya ialah
mengatakan bahwa seseorang yangg dituju itu benar-benar diusir, dienyahkan dan
dijauhkan dari rahmat Allah Ta'ala. Menetapkan pelaknatan kepada seseorang itu
sama sekali tidak diperbolehkan, kecuali kepada seseorang yangg benar-benar
memiliki sifat atau melakukan sesuatu perbuatan yang nyata-nyata dapat
menjauhkan dirinya dari Allah 'Azza wa Jalla yaitu melakukan kekafiran dan
kezaliman. Melaknati seorang fasik yang tertentu adalah berbahaya juga, maka
sebaiknya dijauhi saja, sekali pun setelah ia meninggal dunia, bahkan bahaya
itu akan dapat lebih hebat lagi, sekiranya dengan demikian akan menyakiti
perasaan orang-orang yang masih hidup seperti keluarga, keturunannya dll.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi disebutkan :
لاَتَسُبُّوااْلاَمْوَاتَ
فَتُؤْذُوْابِهِ اْلاَحْيَاءَ
Janganlah memaki-maki orang yg telah
mati, karena akan menyakiti orang-orang yg masih hidup.
Hampir serupa dengan pengertian
melaknati itu ialah mendo'akan seseorang dengan do'a yg buruk sekali pun yg
dido'akan itu nyata-nyata seorang zalim. Cara berdo'a yg sedemikian ini adalah
tercela sekali.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi disebutkan :
اِنَّ الْمَظْلُوْمَ لَيَدْعُوعَلَى
الظَّالِمِ حَتَّى يُكَافِئَهُ
Sesungguhnya orang yg dianiaya itu
niscaya mendoakan kepada seorang penganiaya, sehingga ia akan dipenuhi doanya.
9. BERNYANYI DAN BERSAJAK (BERSYAIR) ;
Bernyanyi atau bersajak yang tercela ialah yang memuat
pengertian sesuatu yang diharamkan atau yang mengajak ke suatu perbuatan haram,
misalnya ialah menguraikan sifat-sifat kecantikan wanita atau gadis remaja,
baik yang berupa pujian atau celaan, juga yang merupakan perserupaan bentuk
bagi kaum wanita, atau pun yang menimbulkan rasa-rasa kekejian dan kemesuman,
demikian pula yang menyamai perbuatan para pengumbar hawa nafsu serta
golongan-golongan yang gemar bergurau melampaui batas. Menghabiskan waktu untuk
segala yang tersebut di atas itupun tercela pula. Adapun yang selainnya itu
semua, maka dibolehkan atau mubah saja hukumnya.
10. BERSENDA GURAU ;
Bersenda gurau yang tercela dan yang terlarang menurut
agama ialah yang dilakukan secara terus-menerus serta melampaui batas. Sebabnya
terus-menerus itu dilarang, karena akan sibuk selalu dengan membuat-buat
permainan yang mentertawakan atau yang dianggap orang lucu, sedang melampaui
batas itu dilarang karena akan menyebabkan senantiasa ketawa dan mungkin akan menyebabkan perasaan yang
tidak enak dalam hati orang yang tersinggung atau terkena sindirannya. Ini
dapat saja terjadi dalam sesuatu keadaan. Senda gurau yang tidak dibatasi itu
pun dapat menurunkan kewibawaan dan harga diri seseorang.
Adapun yang sunyi dari keadaan-keadaan sebagaimana
yang tersebut di atas, maka tidaklah tercela sama sekali. Ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Khatib :
اِنِّيْ َلاَمْزَحُ وَلاَاَقُولُ اِلاَّ حَقًا
Saya pun juga bersenda gurau, tetapi saya tidak akan
mengucapkan melainkan yang haq.
Siapa pun tentu dapat mengerjakan senda gurau yang
baik asalkan diusahakan benar-benar dan tidak pula mengatakan selain yang benar.
Tetapi kebanyakan manusia itu apabila memulai mengajak bersenda gurau, maka
tujuan utamanya hanyalah agar supaya orang-orang lain tertawa dan jikalau
mereka telah dapat dibuat tertawa, maka gembiralah hati pembuat lelucon tadi.
Umar r.a. berkata, “Barangsiapa suka bersenda gurau ,
pasti akan dianggap ringan oleh orang lain”.
Sa’id bin ‘Ash berkata kepada anaknya, “Hai anakku,
jangan engkau mengajak bersenda gurau orang yang mulia, sebab ia akan mengkal
melihat perbuatanmu itu dan jangan pula dengan orang yang hina wataknya, sebab
ia berani melawanmu”.
Ada pula yang mengatakan, “Segala sesuatu itu tentu
ada benihnya, sedang benih permusuhan itu ialah bersenda gurau”.
Yang lain berkata pula, “Bersenda gurau itu
menyebabkan diterjangnya suatu larangan dan pula dapat memutuskan
persahabatan”.
Ada suatu kekeliruan yang besar sekali yaitu seseorang
yang menganggap senda gurau itu sebagai suatu karya. Ia terus-menerus berbuat
sedemikian dan sampai melampaui batas yang diizinkan, kemudian anehnya ia lalu mengemukakan
alasan bahwa perbuatan yang dilakukan tadi adalah karena mengikuti apa yang
dilakukan oleh rasulullah s.a.w. Orang yang semacam ini, seperti yang sehari
penuh bergaul dengan Zunuj (Negro), melihat permainan mereka, tarian-tarian
mereka dan banyak kelucuan-kelucuan yang dilakukan. Anehnya yang dibuat
pegangan menurut hujahnya ialah karena rasulullah s.a.w. juga mengizinkan
‘Aisyah untuk melihat tarian-tarian kaum Zunuj itu pada waktu hari raya.
Pendapat dan alasan yang sedemikian ini benar-benar salah.
Ringkasnya ialah, apabila kita bersenda gurau dan
dapat melakukan yang baik-baik serta tidak ada yang kita ucapkan melainkan yang
benar, maka itulah yang tidak berdosa sama sekali.
Perhatikanlah cara bersenda guraunya rasulullah s.a.w.
yang diantaranya kami sebutkan dibawah ini:
1. Suatu ketika ada seorang tua perempuan datang
menghadap beliau s.a.w. lalu orang ini berkata, “Ya Rasulullah, tolonglah saya
ini Tuan doakan agar masuk surga”. Lalu beliau s.a.w. bersabda (diriwayatkan
oleh Tirmidzi) :
Tidak
dapat masuk surga seorang tua bangka. لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَجُوزٌ
Wanita
tua ini kemudian menangis, sebab
merasa jikalau tidak dapat masuk surga, tentulah neraka. Sejurus kemudian
beliau s.a.w. bersabda lagi (diriwayatkan oleh Tirmidzi) :
اِنَّكِ لَسْتِ بِعَجُوزٍ يَوْمَئِذٍ . قَالَ الله ُتَعَالَى : اِنَّا اَنْشَأْنَاهُنَّ
اِنْشَاءً فَجَعَلْنَاهُنَّ اَبْكَارًا
Ibu nanti pada hari masuk surga itu
tidak tua lagi. Allah ta’ala berfirman : Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan
kaum wanita tumbuh baru dan Kami ciptakan sebagai gadis remaja semuanya.
Wanita tua pun ketawa lah
terkikih-kikih, sebab merasa keliru menafsiri sabda rasulullah s.a.w. yang
pertama tadi dan merasa gembira sebab masih ada harapan masuk surga.
2. Ada
seorang wanita pula yang datang kepada beliau s.a.w. lalu berkata supaya diberi
seekor unta untuk kendaraannya dalam bepergian. Kemudian beliau s.a.w. bersabda
(diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi) :
بَلْ نَحْمِلُكَ عَلَى ابْنِ الْبَعِيْرِ
. فَقَالَتْ : مَااَصْنَعُ بِهِ , اِنَّهُ لاَيَحْمِلُنِ . فَقَالَ : مَامِنْ بَعِيْرٍ
اِلاَّوَهُوَ ابْنُ بَعِيْرٍ
Bahkan saudari akan saya naikkan di
atas anak unta. Wanita itu berkata, “Apa yang dapat kuperbuat dengan anak unta
itu, ia tentu tidak kuat membawaku”. Rasulullah s.a.w. lalu bersabda, “Tidak
seekor unta pun (sekalipun sudah dewasa dan besar), melainkan asalnya juga anak
seekor unta pula.
3. Suatu
waktu lagi datanglah seorang wanita dan berkata, “Ya Rasulullah, suamiku
mengundang Tuan ke rumah”. Beliau s.a.w. bertanya (diriwayatkan oleh Ibnu
Abiddunya) :
وَمَنْ هُوَ , اَهُوَالَّذِى بِعَيْنِهِ
بَيَاضٌ ؟ قَالَتْ : وَاللهِ مَابِعَيْنِهِ بَيَاضٌ . فَقَالَ : بَلَى , اِنَّ بِعَيْنِهِ
بَيَاضٌ . فَقَالَتْ : لاَوَاللهِ . فَقَالَ : مَامِنْ اَحَدٍ اِلاَّ وَبِعَيْنِهِ
بَيَاضٌ
Siapakah suamimu itu. Oh, apakah yang
dimatanya ada putih-putihnya itu ?”. Wanita itu berkata, “Demi Allah, dimatanya
tidak ada putih-putihnya sama sekali”. Beliau s.a.w. bersabda, “Benar, sungguh
ada putih-putih di matanya”. Wanita itu menyanggah pula, “Tidak ada, demi
Allah”. Beliau s.a.w. menjelaskan, “Tidak seorang manusia pun yang ada ini,
melainkan di matanya pasti ada putih-putihnya”.
Wanita itu mengingat-ingat sabda
rasulullah s.a.w. dan ketawa, sebab mengerti bahwa yang dimaksudkan putih-putih
itu ialah mata yang meliputi mata yang berwarna hitam itu.
4. Anas r.a. bercerita,“Abu Talhah mempunyai anak dan
diberi nama Abu ‘Umairah. Pada suatu hari rasulullah mendatangi keluarga mereka
itu dan bersabda(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
Abu
‘Umar, apa yang dilakukan anak burung itu ? اَبَاعُمَيْر , مَافَعَلَ النُّغَيْرُ
Pada waktu itu anak tadi sedang
bermain-main dengan anak burung emprit.
5. ‘Aisyah r.anha bercerita, “Pada suatu ketika saya
keluar bersama rasulullah untuk pergi perang yakni perang Badar. Beliau
bersabda :
Marilah
ke sini, kita berlomba sekarang.
تَعَالِى حَتىَّ الْمَسَابِقَكِ
Saya
lalu mengikat erat-erat baju besiku dan kita pun mulai melangkah. Perlombaan
terjadi. Beliau s.a.w. saya dahului dan akhirnya saya didahului. Tiba-tiba di
suatu tempat beliau s.a.w. berhenti dan bersabda :
Inilah
tempat yang disebut Dzul Majaz. هذِهِ مَكَانُ ذِى الْمَجَازِ
Dzul
Majaz adalah suatu tempat yang saat itu saya masih gadis remaja. Saya disuruh
ayahku (Abu Bakar r.a.) sesuatu dan saya pergi ke Dzul Majaz itu. Disitu beliau
s.a.w. sedang berada, lalu bersabda :
Berikan
saya saja itu. اَعْطِيْنِيْهِ
Tetapi
saya enggan memberikannya. Kemudian saya lari dan beliau s.a.w. mengikuti saya
dari belakang, tetapi saya tidak dapat dicapainya.
6. ‘Aisyah r.anha bercerita lagi, “Rasulullah s.a.w.
sedang berada di rumah dengan Saudah bin Zam’ah (salah satu isteri rasulullah
s.a.w.). Lalu saya membuat kue khazir (adukan cair). Setelah selesai, saya lalu
berkata kepada Saudah, “Makanlah ini saudara”. Ia menjawab, “Tidak, saya kurang
menyukainya”. Saya berkeras dan berkata, “Demi Allah, saudara harus makan ini,
jikalau tidak, akan saya lumuri wajah saudara nanti dengan kue ini”. Saudah
tetap berkata, “Tidak, saya tidak hendak merasakannya sedikit pun”. Terus saja
saya mengambil kue cair itu dari wadahnya dengan tanganku, kemudian saya kotori
wajahnya dengan itu”. Rasulullah s.a.w. sedang duduk diantara saya dengan
Saudah itu. Beliau s.a.w. lalu merendahkan lututnya untuk menghindari perbuatanku.
Saya sendiri lalu mengambil sedikit lagi kue itu dan saya basuhkan di mukaku.
Rasulullah s.a.w. kemudian ketawa.
7.Abu Salmah bercerita, “Rasulullah s.a.w.
mengeluarkan lidahnya dimuka cucunya yaitu Hasan bin Ali r.a. Demi Hasan
melihat itu, ia pun gembira dan tertawa.
8. ‘Uyainah Alfazari berkata, “Demi Allah, saya
mempunyai seorang anak yang kini telah kawin dan telah keluar rambut mukanya,
tetapi sejak kecil sampai sekarang belum pernah saya menciumnya. Diwaktu
rasulullah s.a.w. mendengar itu, lalu bersabda :
Orang
yang tidak berhati belas kasihan, tentu tidak akan dibelas kasihi. اِنَّ مَنْ لاَيَرْحَمُ لاَيُرْحَمُ
Demikianlah diantara beberapa senda gurau yang pernah
dilakukan oleh rasulullah s.a.w. dengan kaum wanita dan anak-anak. Maksud
beliau s.a.w. hanyalah untuk dijadikan obat penawar bagi kelemahan hati mereka
tanpa tujuan untuk membuat kelucuan yang tidak berguna.
Adapun yang ada hubungannya dengan kaum lelaki, maka
diantaranya ialah :
1. Suatu ketika rasulullah s.a.w. melihat bahwa
sahabatnya yang bernama Shahib sedang sakit matanya sebelah dan disaat itu ia
makan kurma, lalu beliau s.a.w. bersabda, “Mengapa saudara makan kurma, padahal
saudara sedang sakit mata ?”. Ia menjawab, “Yang saya makan hanya belahan yang
satunya, hai Rasulullah”. Mendengar jawaban yang menggelikan itu beliau s.a.w.
tersenyum. Sebagian perawinya mengatakan, “Beliau s.a.w. sewaktu tersenyum itu
sampai dapat kulihat gigi serinya”.
2. Nu’aiman Anshari adalah seorang yang gemar bersenda
gurau. Setiap ia masuk kota Madinah pasti membeli sesuatu. Pada suatu hari ia
membawa sesuatu kepada rasulullah s.a.w. lalu berkata, “Ya Rasulullah, benda
ini saya beli untuk Tuan dan saya hadiahkan kepada Tuan”. Tiba-tiba tidak
selang berapa lama pemilik benda itu datang dan menagih uang harganya. Penagih
ini oleh Nu’aiman diantarkan ke tempat rasulullah s.a.w. lalu ia berkata, “Ya
Rasulullah, harap Tuan beri uang harganya”. Beliau s.a.w. bersabda, “Bukankah
ini sudah saudara hadiahkan padaku ?”. Ia menjawab, “Benar ya Rasulullah,
sebenarnya saya tidak mempunyai uang untuk membelinya, tetapi saya ingin sekali
supaya benda yang berupa makanan itu Tuan makan”.
Rasulullah
s.a.w. lalu ketawa dan menyuruh seseorang sahabatnya supaya diberi harganya
dahulu.
Begitulah berbagai senda gurau yang baik yang boleh
dilakukan, tetapi haruslah jarang-jarang saja, tidak terus-menerus sehingga
merupakan kebiasaan.
11. PENGHINAAN
DAN EJEKAN ;
Perbuatan ini diharamkan dan dilarang
keras oleh agama. Allah ta’ala berfirman dalam surah Al Hujurat 11 :
ياَيُّهَاالَّذِيْنَ
امَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسىَ ااَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
وَلاَنِسَآءٌمِنْ نِسَآءٍعَسَى ااَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Hai orang-orang yg beriman, janganlah
sesuatu kaum menghina kepada kaum yg lain, karena barangkali yg dihinakan itu
bahkan lebih baik dari yg menghinakan. Jangan pula golongan wanita menghina
kepada golongan wanita yg lain, karena barangkali yg dihinakan itu bahkan lebih
baik dari yg menghinakan.
Yang dimaksud dengan penghinaan itu
ialah menganggap rendah derajad orang lain, meremehkannya atau mengingatkan
cela-cela dan kekurangan-kekurangannya dengan cara yg dapat menyebabkan ketawa.
Cara ini dapat terjadi adakalanya dengan jalan meniru-nirukan percakapan atau
perbuatan orang itu dan adakalanya dengan jalan berisyarat dengan apa-apa yg
menunjukkan ke arah tersebut. Pokok pangkalnya ialah ditujukan untuk
merendahkan kedudukan orang lain dan menertawakannya, serta menghinakan dan
menganggapnya kecil saja.
Peringatan Allah yang bermakna, “Barangkali
yang dihinakan itu bahkan lebih baik dari yang menghinakan”, artinya janganlah
kamu menghina orang lain itu karena hendak menganggapnya ia kecil dan rendah,
sebab soal kecil atau rendah itu belum dapat ditentukan, mungkin sekali justru
orang itu sebenarnya yang lebih baik, lebih mulia, lebih tinggi derajadnya
daripadamu sendiri.
Yang dilarang semacam ini tentulah terhadap seseorang yg merasa tidak enak atau tersinggung jikalau dihinakan. Adapun terhadap seseorang yg sengaja meletakkan dirinya untuk direndahkan, karena telah menjadi watak dan kebiasaan baginya dan bahkan kalau diperbuat semacam itu, ia makin gembira, maka kepadanya tidaklah termasuk sebagai penghinaan. Ini dapat dimasukkan ke dalam golongan senda gurau yg dibolehkan asalkan tidak melampaui batas dan tidak pula melanggar kehormatannya.
Jadi yg diharamkan itu ialah cara menganggap kecil seseorang yg menyebabkan orang itu merasa dihinakan, diremehkan atau dianggap sepi dan tidak ada harganya. Misalnya saja dengan menertawakan kata-katanya diwaktu ia salah mengucapkan atau tidak teratur uraiannya atau menertawakan perbuatannya diwaktu ia keliru, juga seperti menertawakan hafalannya, bikinannya, gambar tubuhnya atau pun yg ditertawakan itu ialah bentuk tubuhnya karena disitu ada celanya yg kelihatan. Ketawa dalam segala hal sebagaimana yg tersebut di atas adalah termsuk golongan yg benar-benar dilarang.
12. MENYIAR-NYIARKAN
RAHASIA
Ini pun tercela dan dilarang pula,
sebab akan menyakiti hati orang lain dan sebagai anggapan hina kepadanya.
Bahkan hal ini juga melanggar hak persahabatan dan perkenalan.
Dalam hal ini rasulullah s.a.w.
bersabda (diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi) :
اِذَاحَدَّثَ الرَّجُلُ
الْحَدِيْثُ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ اَمَانَهُ
Apabila seseorang mengadakan suatu
percakapan, kemudian ia pergi, maka apa yang dikatakannya itu adalah amanat
(yang wajib disimpan baik-baik).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abiddunya :
Percakapan itu adalah amanat antara
kamu semua. اَلْحَدِيْثُ
بَيْنَكُمْ اَمَانَهُ
Jadi menyiar-nyiarkan rahasia itu adalah haram, jikalau
akan menimbulkan suatu bahaya, tetapi suatu cela besar jikalau tidak sampai menimbulkan
bahaya apa-apa.
13. JANJI DUSTA ;
Suatu janji itu pasti lebih dulu diucapkan oleh lisan.
Jadi mulutlah yang membuatnya. Tetapi hati itu kadang-kadang tidak ingin hendak
menepatinya dan jikalau demikian halnya, maka janji itu akan diingkari dan ini
termasuk tanda-tanda kemunafikan orang yang melakukannya.
Tentang janji ini Allah ta’ala berfirman dalam surah Al
Maidah 1 :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu. يَآَيُّهَالَّذِيْنَ اَامَنُوْآ اَوْفُوْا
بِالْعُقُوْدِ
Rasulullah s.a.w. menjelaskan dalam sabdanya yang
diriwayatkan oleh Thabrani, Abu Na’im dll :
Janji adalah sebagai pemberian. اَلْعِدَةُ عَطِيَّةٌ
ِAllah s.w.t. memberikan pujian kepada nabi Ismail a.s.
dalam kitab suci Al Quran. Firmannya dalam surah Maryam 54 :
Sesungguhnya ia (Ismail) adalah tepat janjinya. اِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
Diwaktu Umar bin Abdul ‘Aziz sudah mendekati ajalnya, ia
berkata, “Puteriku itu sudah dipinang oleh seorang lelaki dari suku Quraisy.
Antara aku dengan dia sudah ada percakapan yang serupa perjanjian. Maka demi
Allah, saya tidak akan bertemu dengan Allah dengan membawa sepertiga sifat
kemunafikan. Maka dari itu saya mempersaksikan kepadamu semua bahwa saya telah
mengawinkan puteriku itu dengan orang Quraisy tadi”.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abul Khansa’, katanya,
“Saya pernah berjanjji dengan nabi Muhammad s.a.w. sebelum diangkat sebagai rasul
Tuhan dan masih ada beberapa waktu lagi dari saat kerasulannya itu. Janji saya
itu ialah untuk datang kepadanya di suatu tempat yang sudah ditentukan.
Tiba-tiba saya terlupa dengan janji tadi pada hari itu, juga pada hari esoknya.
Pada hari ketiganya barulah saya ingat, lalu saya mendatanginya. Setelah beliau
s.a.w. melihat kedatanganku lalu bersabda (diriwayatkan oleh Abu Dawud) :
يَا فَتَى , لَقَدْ شَقَقْتَ
عَلَيَّ , اَنَا ههُنَا مُنْذُ ثَلاَثٍ اَنْتَظِرُكَ
Hai pemuda, saudara telah membuat kesengsaraan padaku di
tempat ini, sebab saya telah menantimu sejak tiga hari yang lalu.
Ibnu Abbas r.a. setiap membuat perjanjian selalu disertai
dengan kata-kata insya-Allah. Cara inilah yang terbaik dan terpuji sekali.
Oleh sebab itu barangsiapa yang telah mengerti
benar-benar apa artinya janji maka seharusnya ia menepati janjinya, kecuali
jikalau nyata-nyata ada uzur yang tidak dapat dihindarkan. Jikalau diwaktu
berjanji itu dalam hatinya sudah menetapkan tidak akan menepati, maka inilah
yang termasuk dalam golongan sifat kemunafikan.
Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim) :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ
مُنَافِقٌ وَاِنْ صَامَ وَصَلَّىا وَزَعَمَ اَنَّهُو مُسْلِمٌ : اِذَاحَدَّثَ
كَذَبَ , وَاِذَاوَعَدَ اَخْلَفَ , وَاِذَااؤْ تُمِنَ خَانَ
Ada tiga perkara, barangsiapa memiliki semua itu dalam
dirinya maka ia adalah seorang munafik sekalipun
ia bersembahyang, berpuasa dan mengira bahwa ia seorang muslim :yaitu
jikalau berkata dusta, jikalau berjanji menyalahi dan jikalau dipercaya
berkhianat.
Selain itu beliau s.a.w. bersabda pula (diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim) :
اَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ
مُنَافِقًا,وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ,حَتَّى
يَدَعَهَا: اِذَاحَدَّثَ كَذَبَ,وَاِذَاوَعَدَاَخْلََف,وَاِذَاعَاهَدَغَدَرَ,وَاِذَاخَاصَمَ
فَجَرَ
Ada empat perkara, barangsiapa yang memiliki semuanya itu
dalam dirinya maka ia adalah seorang
munafik, sedang barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat-sifat itu di
dalam dirinya maka ia memiliki salah satu
sifat kemunafikan, sehingga ia meninggalkan sifat tadi. Empat perkara itu ialah
jikalau berbicara dusta, jikalau berjanji menyalahi, jikalau menjanjikan
sesuatu bercidera dan jikalau bermusuhan berlaku curang.
Hadits di atas itu diterapkan untuk seorang yang sewaktu
mengucapkan janjinya sudah berniat hendak menyalahi, tidak akan menepati dan
tidak akan memenuhi sama sekali, juga untuk seseorang yang tidak menepati
janjinya itu tanpa adanya uzur yang dapat diterima. Jadi bagi seorang yang
sewaktu berjanji itu dalam hatinya sudah ada kehendak akan menepatinya,
kemudian dengan sekonyong-konyong ada sesuatu yang menghalangi-halangi,
sehingga ia tidak kuasa lagi melaksanakan janji tadi, maka tentulah tidak dapat
digolongkan dalam pengertian kemunafikan, sekalipun pada lahirnya ada tampak
sifat-sifat kemunafikan itu dalam dirinya. Sekalipun demikian, seyogyanya
hendaklah dijaga dari bentuk kemunafikan secara lahiriah ini, sebagaimana harus
pula dijaga jangan sampai terjerumus dalam kemunafikan yang
sesungguh-sungguhnya. Selain itu janganlah berusaha untuk melihatkan dirinya
dalam keuzuran yang dibuat-buat, karena ada keinginan supaya tidak dinamakan
seorang munafik bila menyalahi janji itu.
Pernah terjadi suatu ketika bahwa rasulullah s.a.w. telah
berjanji kepada Abul Haitsam hendak memberinya pelayan. Kemudian pada suatu
hari datanglah tiga orang tawanan, yang dua diberikan kepada yang lain dan satu
disediakan bagi Abul Haitsam. Waktu itu Fathimah, puterinya sendiri r.anha
datang untuk meminta seorang pelayan dan sambil menunjukkan tangannya ia
berkata, “Cobalah, ini tanganku berbekas karena menggiling sendiri”. Beliau
s.a.w. mengatakan padanya bahwa ia sudah berjanji kepada Abul Haitsam, karena
itu beliau s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Hakim dan Ibnu Hibban) :
Bagaimanakah janjiku dengan Abul Haitsam ? كَيْفَ بِمَوْعِدِى ِلاَبِى الْهَيْثَمِ
؟
Pelayan itu tidak jadi diberikan kepada puterinya. Beliau
s.a.w. lebih mengutamakan orang yang telah diberi janji, sekalipun orang lain,
padahal beliau s.a.w. pun mengetahui benar betapa merahnya tangan puterinya sebab
menggiling sendiri itu. Tangan wanita yang lemah pun tidak lebih diutamakan
karena adanya perjanjian.
Suatu peristiwa lagi terjadi yakni diwaktu rasulullah
s.a.w. sedang duduk membagi harta rampasan Hawazin dari perang Hunain.
Tiba-tiba diantara orang yang banyak itu ada yang berkata, “Saya pernah
mendapat janji dari Tuan, ya Rasulullah”. Beliau s.a.w. bersabda, “Baiklah,
tuntutlah kini apa yang engkau inginkan”. Ia berkata, “Saya menuntut delapan
puluh ekor unta beserta penggembalanya sekali”. Beliau s.a.w. lalu berkata,
“Baik, tuntutanmu dapat kupenuhi. Yang kau tuntut hanyalah soal yang ringan
saja” (diriwayatkan oleh Hakim dan Ibnu Hibban).
14. BERDUSTA DALAM KATA DAN SUMPAH ;
Berkata dusta dan bersumpah palsu adalah merupakan dosa
yang amat buruk dan cela yang sangat mencolok. Rasulullah s.a.w. bersabdda
(diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Nasa-i) :
اِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ
فَاِنَّهُ مَعَ الْفُجُورِ وَهُمَا فِى النَّارِ
Takutlah kamu semua akan berkata dusta, sebab dusta itu
sama dengan kecurangan dan keduanya ada didalam neraka.
Beliau s.a.w. bersabda pula (diriwayatkan oleh Ibnu
‘Adiy) :
اِنَّ الْكَذِبَ بَابٌ مِنْ
اَبْوَابِ النِّفَاقِ
Sesungguhnya berdusta itu adalah salah satu pintu dari
beberapa pintu kemunafikan.
Beliau s.a.w. bersabda lagi (diriwayatkan oleh Bukhari) :
كَبُرَتْ خِيَانَةٌ اَنْ
تُحَدِّثَ اَخَاكَ حَدِيْثًا هُوَلَكَ بِهِ مُصَدِّقٌ , وَاَنْتَ لَهُ بِهِ
كَاذِبٌ
Amat besarlah pengkhianatannya jikalau engkau mengatakan
suatu percakapan kepada saudaramu yang ia dapat mempercayai kata-katamu itu,
sedang engkau sendiri berdusta padanya dalam kata-katamu tadi.
Pada suatu ketika rasulullah s.a.w. berjalan melalui dua
orang yang sedang berjual-beli seekor kibas. Keduanya bersumpah-sumpahan, yang
seorang berkata, “Demi Allah, saya tidak akan mengurangi dari harga sekian
sekian”. Yang lain lagi berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menambahnya dari
harga sekian sekian”. Setelah itu beliau s.a.w. pergi dan setelah datang
kembali di tempat itu, ternyata bahwa kibas itu telah dibeli oleh salah seorang
dari kedua orang tadi, maka beliau s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Abulfath
Azdi) :
اَوْجَبَ اَحَدُ هُمَا
بِاْلاِثْمِ وَالْكَفَّارَةِ
Salah seorang dari keduanya itu wajib menerima dosa dan
wajib pula membayar kaffarah (denda karena sumpahnya).
Sebuah hadits lain menjelaskan sabda rasulullah s.a.w.
yakni (diriwayatkan oleh Muslim) :
ثَلاَثَةٌ لاَيُكَلِّمُهُمُ
الله ُيَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَيَنْظُرُ اِلَيْهِمْ , الْمَنَّانَ بِعَطِيَّتِهِ
, وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلَفِ الْفَاجِرِ وَالْمُسْبِلُ اِزَارَهُ
Tiga golongan orang yang tidak diajak bicara oleh Allah
pada hari kiamat dan tidak pula dilihat oleh-Nya, yaitu orang yang
mengundat-undat apa yang telah diberikan, orang yang membelanjakan barangnya
dengan disertai sumpah dusta dan orang yang melemberehkan sarungnya.
Ada pula sabdanya s.a.w. (diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim) :
مَنْ حَلَفَ عَلَىا يَمِيْنٍ بِاِثْمٍ
لِيَقْتَطِعَ بِهَامَالَّ امْرَئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِحَقٍّ , لَقِيَ الله َعَزَّوَجَلَّ
وَهُوَعَلَيْهِ غَضْبَانُ
Barangsiapa bersumpah atas suatu sumpah dosa (dusta)
untuk merampas harta seseorang muslim tanpa kebenaran, maka ia akan menemui
Allah ‘Azza wa Jalla dan Allah marah sekali padanya.
Sebuah lagi sabda beliau s.a.w. yaitu pesannya kepada
Mu’adz bin Jabal (diriwayatkan oleh Abu Na’im) :
اُوصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ , وَصِدْقِ
الْحَدِيْثِ , وَاَدَاءِاْلاَمَانَةِ , وَالْوَفَاءِبِالْعَهْدِ , وَبَذْلِ
الطَّعَامِ , وَخَفْضِ الْجَنَاحِ
Saya berwasiat padamu agar tetap bertakwa kepada Allah,
benar dalam berkata-kata, menunaikan amanat, menetapi janji, menyedekahkan
makanan dan merendahkan diri.
Dusta yang dibolehkan ;
Ketahuilah bahwa berdusta itu sebabnya diharamkan karena
menyebabkan adanya kemudharatan pada orang yang diberitahu atau kepada orang
lain. Tetapi ada juga dusta yang didalamnya mengandung kemaslahatan. Oleh sebab
itu, jikalau demikian halnya, maka tentulah diizinkan. Bahkan dusta itu
kadang-kadang menjadi wajib hukumnya, sekiranya dengan berkata benar, maka akan
menyebabkan tertumpahnya darah seseorang, misalnya seorang yang sedang
bersembunyi dari pengejaran seorang zalim yang hendak berbuat aniaya kepadanya.
Disaat yang demikian ini, maka dusta adalah wajib menurut pandangan agama.
Demikian pula halnya di dalam keadaan peperangan, tentulah tidak akan sempurna
untuk memperoleh kemenangan kecuali dengan berbuat tipu daya dan kedustaan. Dalam
hal ini dipersamakan pula hukumnya berdusta yang dimaksudkan untuk mendamaikan
dua orang atau dua golongan yang sedang selisih atau untuk mencondongkan hati
seseorang yang hendak berbuat kebaikan atau dalam merukunkan hubungan antara
dua orang suami isteri. Dalam semua keadaan ini, apabila dusta harus dilakukan
maka hukumnya adalah boleh atau mubah. Tetapi semua itu wajiblah dibatasi
sampai mana yang dianggap perlu dan mendesak saja, agar supaya tidak melebihi
dari apa yang dihajatkan. Dalam pengertian dusta yang mubah ini banyak sekali
keterangan-keterangan dari hadits. Tsauban berkata, “Dusta itu semuanya
berdosa, kecuali dusta yang dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan kepada
seorang muslim atau yang ditujukan untuk menolak suatu bahaya yang akan
datang”.
Menghindari dusta dengan jalan membelokkan ;
Dari golongan kaum salaf shalihin diterangkan bahwa
membelokkan kata itu dibolehkan untuk menghindari berkata dusta. Tentu saja
yang dimaksudkan ini ialah apabila seseorang terpaksa sekali harus berdusta,
tetapi karena takut berdusta lalu dihindarinya dengan ucapan yang membelokkan.
Jadi sekiranya tidak sangat terpaksa dan tidak ada kepentingan apa-apa, maka
tidak bolehlah cara membelokkan ini ditempuh dan tidak boleh pula
terang-terangan. Cara membelokkan ini dalam beberapa hal lebih baik dan lebih
ringan ditanggung oleh perasaan.
Contoh daripada pembelokan ini ialah sebagaimana yang
diriwayatkan dalam suatu kejadian bahwa Muthrif pada suatu hari masuk ke istana
Ziad karena menerima panggilannya. Ziad menganggap sangat lambat sekali
kedatangannya tadi, kemudian Muthrif beralasan sakit dan berkata, “Memang saya
tidak lagi mengangkat lambungku sejak saya berpisah dengan Tuan Amir, kecuali
apa yang diangkatkan oleh Allah padaku”.
Mu’adz bin Jabal adalah seorang gubernur yang diangkat
oleh Umar r.a. di suatu daerah. Pada suatu hari ia kembali ke rumahnya, lalu
isterinya berkata, “Apakah yang Kanda bawa, bukankah pegawai-pegawai lain itu
sama membawa oleh-oleh untuk keluarganya ?”. Mu’adz saat itu memang tidak
membawa sesuatu apa pun untuk isterinya. Karena sindiran itu, lalu Mu’adz
menjawab secara membelokkan dan berkata, “Saya didampingi oleh seorang
penyelidik”. Isterinya berkata lagi, “Bukankah Kanda sudah amat dipercaya dan
diangkat oleh rasulullah s.a.w. dan juga oleh Abu Bakar r.a. Untuk apa pula
Umar mengirimkan penyelidik itu ?”. Sejurus kemudian isterinya itu pergi ke
tempat Umar r.a. dan mengadukan hal itu kepadanya. Demi mendengar yang
sedemikian, lalu Umar r.a. menyuruh Mu’adz supaya datang ke tempatnya. Umar
r.a. bertanya, “Apakah saya mengirim penyelidik untuk Saudara ?”. Mu’adz
menjawab, “Sebenarnya saya berbuat sedemikian itu karena tidak ada alasan lain
lagi yang dapat saya kemukakan pada isteriku itu, kecuali dengan mengemukakan
sebagaimana yang telah saya kemukakan tadi”. Umar r.a. lalu ketawa dan Mu’adz
diberi sesuatu untuk diberikan kepada isterinya, lalu berkata, “Nah inilah
supaya Saudara ambil, mudah-mudahan isteri Saudara rela dengan ini nanti”.
Yang dimaksudkan sebagai penyelidik oleh Mu’adz itu ialah
Allah s.w.t. Jadi yang dimaksud penyelidik itu bukannya manusia yang diutus
oleh Khalifah Umar r.a., sebagaimana yang dikira oleh isteri Mu’adz itu.
Imam Annakha’i apabila dicari oleh seorang yang ia tidak
menemuinya, padahal saat itu ia sedang ada di rumah, lalu ia berkata kepada
pelayannya supaya berkata kepada orang tadi, “Cobalah Tuan cari di masjid”.
Jadi pelayan itu dilarang mengatakan, “Ia tidak disini”. Perlunya supaya tidak
berbuat kedustaan.
Termasuk lagi dalam pembelokan kata yang dibolehkan ialah
yang dimaksudkan untuk menyenang-nyenangkan hati orang lain dengan senda gurau,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh rasulullah s.a.w. diwaktu seorang
perempuan tua memohon kepada beliau s.a.w. agar didoakan masuk surga, lalu
beliau s.a.w. bersabda, “Tidak dapat masuk surga orang yang sudah tua”.
Yang dimaksudkan bukannya orang tua itu tidak dapat masuk
surga, tetapi bahwa semua orang yang masuk surga itu tidak lagi sebagai
orang-orang yang sudah tua. Semuanya akan dikembalikan menjadi muda remaja.
Juga sebagaimana sabda beliau s.a.w. kepada seorang
wanita yang disuruh suaminya mengundang beliau s.a.w. lalu beliau menanyakan, “Siapakah
suamimu, apakah yang dimatanya ada putih-putihnya itu ?”.
Wanita itu menyanggah terus karena tidak menyadari
benar-benar bahwa yang dimaksudkan oleh rasulullahs.a.w., bahwa putih-putih
mata itulah yang mengitari warna hitam mata. Jadi semua mata tentu ada
putih-putihnya.
Demikian pula sewaktu ada seorang datang meminta kepada
rasulullah s.a.w. seekor unta untuk dipakainya sebagai kendaraan dalam
bepergian. Beliau s.a.w. lalu menyabdakan, “Kamu akan saya naikkan di atas
anak unta”.
Orang itu pun merasa tidak senang hatinya pada pertama
kali, sebab anak unta dapat digunakan apa, tentunya tidak kuat sama sekali
berjalan jauh. Ia tidak sadar bahwa yang dimaksudkan oleh rasulullah s.a.w.
ialah unta biasa yang sudah besar. Beliau s.a.w. menjelaskan bahwa sekali pun
sudah besar dan tua, tentunya asalnya juga anak unta pula.
Begitulah cara pembelokan yang ditujukan sebagai senda
gurau yang baik dan menggembirakan.
Ada pula bentuk lain dalam kata-kata yang dibolehkan
yaitu yang biasa berlaku dalam adat-istiadat, apabila seseorang itu hendak
menyangatkan suatu ucapan yang dikeluarkan, misalnya seseorang yang berkata,
“Saya berkata padamu perihal ini seratus kali bukan ?”. Bukannya yang
dikehendaki dengan pernyataan seratus kali itu hitungannya, tetapi hanyalah
untuk menyangatkan apa yang diucapkan saja, sebab andaikata yang dimaksudkan
tidak demikian, padahal ia hanya mengucapkan sekali saja, tentunya ia termasuk
berkata dusta.
Adapun yang dibiasakan oleh orang banyak perihal
mempermudahkan kata dusta, seperti orang yang ditawari suatu makanan lalu
berkata, “Tidak, terima kasih, saya tidak suka itu”. Perbuatan semacam ini
adalah terlarang dan diharamkan dalam agama, jikalau maksud yang sebenarnya
tidak demikian. Jikalau memang sebenarnya tidak menyukai makan itu, tentulah
tidak mengapa. Semacam itu pula hukumnya ialah seseorang yang berkata, “Allah
Maha Mengetahui apa yang tidak dimaklumi olehnya”.
Perlu dimaklumi bahwa berdusta menceritakan suatu impian
yang sebenarnya tidak diimpikannya, maka dosanya adalah amat besar sekali.
Dalam sebuah hadits disebutkan
(diriwayatkan oleh Bukhari) :
اِنَّ مِنْ اَعْظَمِ الْفِرَاى
اَنْ يَدَّعِيَ الرَّجُلُ اِلَى غَيْرِ اَبِيْهِ اَوْ يُرِيَ عَيْـنَيْهِ فِى الْمَنَامِ
مَالَمْ يَرَ اَوْيَقُولَ عَلَيَّ مَالَمْ اَقُلْ
Sesungguhnya termasuk sebesar-besar kedustaan ialah
apabila seseorang itu mendakwakan (mengaku-akukan) seseorang lelaki sebagai
ayahnya tetapi sebenarnya bukan ayahnya, juga seseorang yang mengatakan suatu
impian yang sebenarnya tidak pernah ia bermimpi dan lagi seseorang yang
mengatakan sesuatu sebagai sabdaku (nabi Muhammad s.a.w.), padahal aku sendiri
tidak mengucapkannya.
15. GHIBAH (MENGUMPAT) ;
Allah s.w.t. telah menetapkan nash yang berupa celaan
keras tentang mengumpat itu dalam kitab-Nya yang mulia dan orang yang melakukan
sedemikian itu diserupakan dengan seseorang yang makan daging saudaranya yang
telah meninggal dunia.
Firman-Nya dalam surah Al Hujurat 12 :
...
وَلاَ يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا . اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ
اَخِيْهِ مَيْـتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ ...
Janganlah setengah dari kamu semua itu mengumpat
setengahnya. Apakah seseorang diantara kamu semua itu suka makan daging
saudaranya sendiri dalam keadaan telah mati, tentulah kamu semua tidak menyukai
yang sedemikian itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Muslim) :
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap orang Islam atas orang Islam lainnya itu haramlah
darahnya (tidak boleh membunuhnya), haram pula hartanya (tidak boleh
merampasnya) dan haram pula kehormatannya (tidak boleh mengumpatnya).
Mengumpat atau ghibah adalah bersangkutan dengan
kehormatan serta keperwiraan diri seseorang.
Beliau s.a.w. bersabda pula (diriwayatkan oleh Abu Dawud)
:
يَامَعْشَرَمَنْ اَامَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ
يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ,لاَتَغْتَابُواالْمُسْلِمِيْنَ وَلاَتَتَبَّعبُواعَوْرَاتِهِمْ.فَاِنَّهُ
مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ اَخِيْهِ,تَتَبَّعَ الله ُعَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَتَهُ
يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ بَيْتِهِ
Hai golongan orang yang beriman hanya dengan lisannya
tetapi belum lagi beriman dengan hatinya, janganlah kamu semua mengumpat
orang-orang Islam dan jangan pula meneliti cela-cela mereka. Sebab barangsiapa
yang meneliti cela saudaranya, maka Allah akan meneliti pula celanya dan
barangsiapa yang diteliti celanya oleh Allah, maka Allah akan menampakkannya
sekalipun ia berada di dalam rumahnya.
Diriwayatkan dari Mujahid bahwa dalam mengulas firman
Allah ta’ala dalam surah Al Humazah 1 yang berbunyi “Celakalah untuk setiap
pengumpat”, Humazah berarti mengumpat ialah orang
yang menusuk perasaan orang lain, melukai hati mereka dan memburuk-burukkan
diri mereka, sedang lumazah yakni penista ialah yang suka makan daging sesama
manusia sebab gemar mengumpat.
Lain orang lagi berkata, “Kami pernah mengetahui kaum
salaf, mereka itu belum menganggap ibadat jikalau hanya dengan berpuasa dan
shalat saja, tetapi harus pula dengan menahan diri tidak sampai menjatuhkan
kehormatan orang lain”.
Ibnu Abbas berkata, “Jikalau engkau hendak
menyebut-nyebut cela orang lain, maka cobalah dahulu engkau ingat-ingat dan
sebut-sebutkan cela-cela yang ada dalam dirimu sendiri”.
Arti mengumpat dan batas-batasnya ;
Ketahuilah bahwa batas yang diartikan dengan kata ghibah
atau mengumpat yaitu jikalau engkau menyebutkan perihal keadaan saudaramu yang
sekiranya ia akan menjadi marah atau benci apabila mendengarnya sendiri atau
apabila yang engkau katakan itu disampaikan oleh orang lain kepadanya.
Yang diumpatkan itu adakalanya berhubungan dengan
kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya sendiri, dalam keturunannya, dalam
bentuk tubuhnya, dalam perbuatannya, dalam ucapannya, dalam perilaku agama atau
dunianya, bahkan juga dalam hal pakaian, rumah atau pun kendaraannya.
Mengenai tubuhnya, misalnya engkau katakan bahwa dia
adalah seorang yang lemah penglihatannya, juling matanya, rontok rambutnya,
terlalu pendek atau panjang badannya, berkulit hitam atau kuning dan juga
gambaran apa saja yang jikalau ia dikatakan dengan sifat-sifat itu, tentulah ia
tidak menyukainya, sekalipun bagaimana juga keadaan yang sebenarnya.
Mengenai keturunan misalnya engkau katakan bahwa ayahnya
itu seorang fasik, seorang hina atau seorang yang kurang luas pemikirannya dan
apa-apa yang semacam itu.
Mengenai budi pekertinya misalnya engkau katakan bahwa ia
seorang yang berbudi rendah dan buruk, ia kikir, ia congkak, ia suka
menonjol-nonjolkan milik atau jasanya, ia suka marah, ia pengecut, ie lemah
pendiriannya dan sifat-sifat lain yang seperti itu.
Mengenai kelakuannya misalnya engkau katakan bahwa ia
suka mencuri, pembohong, peminum arak, pengkhianat, zalim, mempermudahkan atau
suka meninggalkan shalat dan puasa serta zakatnya, kurang berhati-hati meneliti
kenajisan, tidak suka berbakti kepada kedua orangtuanya dan sebangsa itu.
Mengenai tindak langkahnya misalnya engkau katakan bahwa
ia seorang yang kurang kesopanannya, sedikit adabnya, menganggap ringan apabila
berurusan dengan orang lain, banyak cakap, banyak makan, tukang tidur atau
jikalau duduk tidak lagi pada tempatnya dan lain-lain sebagainya.
Mengenai pakaiannya misalnya engkau katakan bahwa ia
berbaju terlalu besar lengannya, terlalu rendah punggungnya, kotor baju dan
sarungnya dan lain-lain lagi.
Sebuah ucapan yang dapat dianggap meliputi hal mengumpat
ialah apa yang disabdakan oleh rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Muslim
:
اَلْغِيْبَةُ ذِكْرُكَ اَخَاكَ
بِمَايَكْرَهُهُ
Ghibah ialah apabila engkau menyebutkan perihal saudaramu
dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya.
Dalam hadits di atas dinyatakan bahwa yang diharamkan
adalah menyebutkan cela saudara itu dengan lidah atau ucapan, sebab dengan
ucapan itu dapat dimengerti apa yang menjadi kekurangan saudaranya itu apabila
didengar oleh orang lain dan jikalau yang dikatakan itu diberitahu, tentulah ia
merasa tidak senang mendengarnya. Oleh sebab cara memberikan pengertian itu
tidak hanya dengan ucapan saja, maka sekalipun dengan menggunakan kata
pembelokan juga diharamkan, jikalau memang itu dimaksudkan sebagai pengumpatan.
Jadi samalah halnya dengan menggunakan kata terang-terangan. Melakukan
pengumpatan dengan perbuatan seperti menirukan saudaranya yang berjalan
timpang, samalah hukumnya dengan mengucapkannya. Bahkan segala sesuatu yang
bertujuan sebagai ghibah itu pun dilarang oleh agama, misalnya yang dilakukan
dengan isyarat, pemberian tanda, mengedip-ngedipkan mata, celaan, tulisan,
gerakan dan lain-lain. Pendeknya apa saya yang dapat diambil pengertian sebagai
ghibah dengan jalan apa pun, hukumnya adalah sebagaimana ghibah dengan
terang-terangan yang diharamkan. Jadi barangsiapa yang mengisyaratkan dengan
tangannya perihal pendek atau tinggi badannya seseorang atau menirukan jalannya
dengan kakinya sendiri, maka itupun ghibah pula. Menulis mengenai diri
seseorang dan menunjukkan celanya juga termasuk ghibah, sebab pena adalah salah
satu dari dua macam lidah yang dapat memberi pengertian perihal segala sesuatu.
Diantara berbagai macam ghibah yang kurang disadari,
misaalnya :
1. Kita
mengucapkan, “Siapakah yang baru datang dari bepergian itu ?” atau “Siapa yang
jalan disini tadi ?”, maksudnya sebagai ejekan kepada yang baru datang atau
yang berjalan. Maka jikalau yang diajak bercakap-cakap mengerti tujuannya, itu
pun ghibah namanya.
2. Ada orang
yang sudah mengerti cela orang lain, lalu orang itu mengucapkan sebagai suatu
doa umpama ia mengatakan, “Alhamdulillah, kita tidak diberi bala’ (cobaan)
begini, begini”. Padahal cobaan yang dimaksudkan itu ada pada diri orang lain
yang dituju itu.
3. Ada pula
yang memulai ghibahnya dengan mengemukakan suatu pujian kepada orang yang
hendak diumpatnya. Ia berkata, “Alangkah baiknya hal-ihwal orang itu, tetapi ia
memperoleh bala, sebagaimana kita juga pernah menerima bala semacam itu”.
Selanjutnya ia menyebutkan perihal dirinya sendiri, sedang tujuannya ialah
hendak mencela orang lain itu dengan cela yang sejenis dengan yang pernah
dialaminya.
4. Lagipula
seperti seseorng yang menyebutkan cela orang lain, tetapi masih belum dapat
ditangkap tujuannya oleh orang-orang yang mendengarkan, kemudian ia berkata,
“Subhanallah, mengherankan betul itu’. Akhirnya dengan ucapannya ini orang lain
pun lalu dapat mengerti dan memahami apa siapa yang dituju. Jadi orang tersebut
telah mencatut kalimat suci dengan menyebut Allah ta’ala, nama yang mulia ini
digunakan untuk menyatakan isi hatinya yanug buruk itu.
5. Juga
seperti orang yang berkata, “Ah, kita juga merasa tidak enak dan ikut berduka
cita pula sebab ada suatu hal yang menimpa saudara kita itu”. Padahal maksudnya
hanyalah untuk meremehkan kawannya itu saja. Jadi ia berdusta dalam
mengemukakan penyesalan dan dukacitanya tadi, sebab andaikata ia benar-benar
ikut berduka cita, tentunya ia menyusahkan apa yang tidak diingininya.
6. Demikian
pula orang yang berkata, “Orang miskin itu benar-benar diberi cobaan yang
berat. Semoga Allah menerima taubat kita dan taubatnya juga”. Padahal tujuannya
mengatakan ini bukannya benar-benar mendoakan kebaikan. Hanya tampaknya saja
yang demikian. Allah adalah Maha Mengetahui bahwa hatinyalah yang buruk dan
maksud yang disembunyikan itu pun dimaklumi pula oleh-Nya. Namun demikian,
karena kebodohannya, sehingga ia tidak mengerti bahwa apa yang telah dilakukan
itu menyebabkan ia akan memperoleh kutukan yang amat besar sekali.
Apakah orang yang mendengarkan juga termasuk melakukan
ghibah ? Seseorang yang mendengarkan ghibah, lalu ia menunjukkan ketaajubannya
(keheranannya), maka berartilah bahwa menunjukkan yang demikian itu sebagai
suatu pendorong agar orang yang mengumpat itu lebih giat dan lebih bersemangat
untuk mengumpatnya terus. Jadi malahan bukan menghentikannya.
Orang yang sedemikian itu hendak memancing-mancing
keluarnya umpatan, umpamanya ia mengatakan, “Aneh sekali, saya tidak mengira
kita dijauhkan Allah dari cobaan yang demikian”. Ucapan seperti ini adalah
sebagai membenarkan apa-apa yang dikatakan terhadap diri orang yang diumpat,
padahal membenarkan pengumpatan adalah sama berdosanya dengan mengumpat itu
sendiri.
Bahkan seseorang yang terus berdiam diri saja diwaktu
mendengar ada orang yang mengumpat orang lain itu pun bersekutu pula dalam
berdosa. Maka untuk tidak ikut-ikut mendapatkan dosanya, baiklah diwaktu kita
mendengar orang-orang mengumpat, langsung saja kita mengingkarinya dengan lisan
yakni menyuruh ia menghentikan umpatannya dan dialihkan kepada pembicaraan yang
lain-lain. Sekiranya pengingkaran dengan lisan tidak dapat dilaksanakan, maka
hendaklah dengan hatinya saja, misalnya karena takut menentang orang itu.
Dalam hadits s.a.w. yang diriwayatkan oleh Thabrani :
مَنْ اُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ
فَلَمْ يَنْصُرْهُ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى نَصْرِهِ اَذَلَّهُ الله ُيَوْمَ الْقِيَامَةِ
عَلَى رُؤُوسِ الْخَلاَئِقِ
Barangsiapa yang dimukanya ada seorang mukmin,
direndahkan oleh orang lain, kemudian ia tidak menolongnya, sedang ia kuasa
untuk menolongnya itu, maka ia akan direndahkan oleh Allah pada hari kiamat di
hadapan khalayak ramai.
Dalam riwayat lain (oleh Ibnu Abiddunya) disebutkan bahwa
rasulullah s.a.w. bersabda :
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ اَخِيْهِ
بِالْغَيْبِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ اَنْ يَرُدَّ عَنْ عِرْضِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya
diwaktu tidak ada dimukanya, maka haklah atas Allah untuk mempertahankan
kehormatannya pada hari kiamat.
ٍSebab-sebab
yang menimbulkan umpatan
;
Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan timbulnya
pengumpatan itu, diantaranya ialah :
1. Ingin
melenyapkan kemarahan ;
Diwaktu seseorang menghadapi
sesuatu yang menyebabkan ia menjadi marah kepada orang lain, maka apabila
kemarahannya telah meluap-luap biasanya ia hendak menghilangkannya dengan jalan
menyebut-nyebutkan kekurangan-kekurangan serta keburukan-keburukan orang yang
didendami itu. Jadi tanpa disadarinya mulutnya lalu mengumpat serta mengatakan
yang bukan-bukan, sekiranya ia tidak memiliki jiwa agama yang dapat menahan
amarahnya itu. Memang, adakalanya juga keinginan melenyapkan kemarahan itu
tidak ditampakkannya, tetapi lalu dipendamkan saja dalam hati, sehingga
akhirnya menjadi suatu dendam kesumat yang lebih berbahaya. Ini pun dapat pula
menyebabkan timbulnya pengumpatan yakni menyebut-nyebut kejelekan orang lain.
Oleh sebab itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pendorong utama dari mengumpat
itu ialah adanya kemarahan serta pendendaman dalam hati.
2. Kemegahan
diri ;
Maksudnya ialah bahwa
seseorang itu mempunyai keinginan agar dianggap lebih tinggi, lebih megah dan
mulia dari yang diumpatnya itu, lalu orang tersebut dijelek-jelekkan dimuka
orang lain.
3. Kedengkian
;
Kedengkian itu tentulah
dihadapkan kepada seseorang yang oleh orang banyak dipuji, dicintai dan
dimuliakan. Kemudian orang yang dengki itu ingin sekali lenyapnya kenikmatan
yang dimiliki oleh orang di atas itu, tetapi tidak memperoleh jalan guna
menjatuhkannya kecuali dengan memburuk-burukkan orang tersebut. Maksudnya ialah
supaya orang-orang banyak itu tidak lagi memuji-mujinya , tidak lagi
mencintainya serta memuliakannya, sebab hal yang sedemikian itu dianggapnya
sangat berat bagi dirinya sendiri. Mungkin ia menginginkan agar dirinya sajalah
yang dipuji, dicintai dan dimuliakan.
4.
Bercengkrama ;
Maksudnya ialah bermain-main,
bersenda gurau serta menghabiskan waktu untuk ketawa-ketawa yang tidak ada
manfaatnya sama sekali. Kemudian untuk memeriahkan cengkramanya itu disertailah
dengan menyebut cela-cela orang lain yang tujuannya agar orang banyak menjadi
gembira mendengarkannya serta tertawa karenanya. Ini dapatlah dilakukan dengan
meniru-nirukan perbuatan, kata-kata atau menganggap suatu hal yang sebenarnya
tidak perlu diherankan.
5. Penghinaan
;
Yaitu menggap hina, rendah
atau lemah kepada orang lain. Pokok pangkalnya perbuatan ini ialah karena
perasaan congkak, sifat tinggi diri yang tiada berbatas serta ingin menganggap bodoh
kepada yang dicemoohkan itu.
Masih ada lagi sebab-sebab lain yang sukar untuk diteliti
yang semuanya itu akibat dari tipu daya syaithan belaka. Maksudnya ialah
menyebutkan nama seseorang diwaktu kagum, belas kasihan atau marah karena Allah
ta’ala. Umpamanya ada orang berkata, “Saya heran sekali kepada si Anu itu,
mengapa dia duduk di hadapan si Anu itu, tetapi ia tidak mengerti”. Jadi
keheranannya ialah dari suatu kemungkaran karena seolah-olah membenarkannya.
Atau ada orang berkata, “Si Anu yang miskin itu benar-benar membuat hatiku
pedih sebab ia menanggung cobaan yang sedemikian itu”. Padahal ia juga
betul-betul bersusah hati.
Ada lagi yang karena marah melihat suatu kemungkaran yang
dilakukan oleh seseorang, kemudian menampakkan amarahnya dan disertai pula
dengan menyebut nama orang itu. Padahal yang semestinya ialah supaya ditutupi
saja namanya dan jangan diperlihatkan kepada orang lain, karena memang tidak
ada gunanya menyebutkan nama tersebut di muka siapa pun juga.
Obat yang mencegah umpatan ;
Ketahuilah bahwa keburukan-keburukan akhlak itu semuanya
dapat disembuhkan dan diobati dengan pengolahan ilmu pengetahuan serta perbuatan.
Secara pokoknya, maka obat guna menahan lisan dari kegemaran mengumpat ialah
supaya orang itu menginsafi benar akan akibatnya yakni kemurkaan Allah s.w.t. ,
sebab apabila seseorang itu mengumpat orang lain, pastilah akan dibenci
oleh-Nya dengan sebab orang itu menumpuk-numpukkan apa-apa yang dilarang
oleh-Nya. Jadi andaikata seseorang itu beriman kepada berita-berita,
keterangan-keterangan dan uraian-uraian dari agama yang menyebutkan perihal
siksanya orang yang mengumpat, pastilah ia tidak akan sembrono lagi membiarkan
lisannya untuk mengucapkan hal-hal yang sama sekali tidak berfaedah itu, sebab
takut ancaman-ancaman yang dihadapkan padanya.
Ada manfaatnya pula jikalau seseorang itu
memikir-mikirkan hal-ihwal dirinya sendiri, jikalau ia dapat menemukan cela
didalam pribadinya, maka hendaklah sibuk dengan berusaha mengobatinya. Jadi
tidaklah sebaliknya yaitu sibuk hendak mengobati cela orang lain, lalu
dikiranya bahwa pengobatan itu cukup sempurna dengan mengumpat orang tersebut.
Dalam hal ini rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan
oleh Bazzar) :
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْـبُهُ
عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ
Bahagialah seseorang yang disibukkan oleh celanya sendiri
daripada melihat-lihat cela orang lain.
Andaikata nyata-nyata bahwa di dalam diri sendiri itu ada
celanya, maka hendaklah ia merasa malu mengapa ia membiarkannya yakni mengapa
tidak dicelanya sendiri dan mengapa pula malahan mencari-cari cela orang lain
dan mengumpatnya. Maka dari itu sebaiknyalah kalau hatinya dapat merasakan
serta meyakinkan bahwa kelemahan orang lain yang tidak dapat melenyapkan
celanya itu adalah sebagaimana dirinya tidak dapat melenyapkan celanya sendiri.
Ini adalah apabila cela yang diketahuinya itu yang berhubungan dengan kelakuan
serta cara usahanya. Jikalau yang dianggapnya cela yang lalu diumpatnya itu
merupakan bentuk asli kejadian manusia seperti hidung pesek dan sebagainya maka
mencela itu adalah sama halnya dengan mencela Zat Yang Menciptakannya yakni
Allah s.w.t. Ingatlah bahwa seseorang yang mencela bikinan seseorang, samalah
halnya dengan mencela pembikinnya itu sendiri.
Jadi seyogyanya seseorang itu sibuk untuk meneliti
celanya sendiri dan inilah yang lebih baik dan lebih menyelamatkan hidupnya di
dunia dan akhirat. Sekiranya setelah diteliti, lalu tidak menemukan cela
sesuatu apa pun dalam dirinya, maka sewajibnyalah ia bersyukur dan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Allah ta’ala. Jangan sekali-kali lalu ingin mengotori
dirinya sendiri dengan dosa yang amat besar, sebab mencela orang lain serta
mengumpatnya adalah sama dengan makan
daging orang yang diumpatnya itu dalam keadaan matinya. Dosa semacam ini
sungguh-sungguh tidak terkatakan lagi noda dan hinanya.
Ada pula jalan lain untuk mengobati agar tidak suka
mengumpat yaitu hendaklah disadari baik-baik bahwa tidak enaknya orang lain dan
lukanya perasaan diwaktu diumpat itu adalah sama dengan tidak enaknya dirinya
serta lukanya perasaan sendiri diwaktu diumpat oleh orang lain. Jadi sekiranya
tidak senang diperbuat sedemikian oleh orang lain, maka janganlah berbuat
sedemikian itu kepada orang lain pula. Janganlah mengumpat kalau tidak suka
diumpat. Apa yang tidak enak bila diterapkan pada dirinya sendiri, janganlah
diterapkan kepada orang lain.
Tetapi suatu obat yang paling manjur sekali untuk ini
ialah kekuatan keimanan dalam jiwa, sebab barangsiapa yang sudah kokoh kuat
keimanan dan keyakinannya, pastilah mulutnya akan dihindarkan dari segala
ucapan yang buruk, terutama sekali ialah mengumpat itu.
Hukum mengumpat ;
Mengumpat dengan hati ialah mempunyai sangkaan yang buruk
atau su-uz zhan kepada orang lain. Hukumnya ini adalah haram, sebagaimana
halnya mengucapkan yang buruk. Seperti juga haramnya mengatakan seseorang dengan
lisan cela-celanya, maka begitu pulalah haramnya jikalau mengatakan cela-cela
orang itu dengan hati, yakni mempunyai sangkaan jelek kepadanya. Yang
dimaksudkan dengan sangkaan jelek itu ialah sesuatu yang seolah-olah telah
diyakinkan, jadi bukan yang hanya sekedar lintasan kalbu yang datang lalu
lenyap kembali. Jadi yang haram ialah yang seakan-akan sudah merupakan
pematerian hati dan diresapkan dalam-dalam bahwa orang yang disangkanya
nyata-nyata melakukan sesuatu kejahatan. Tentang lintasan kalbu sebagaimana
diatas itu dapatlah dimaafkan. Menyangka dengan suatu sangkaan yang lebih
kepada titik keyakinan. Sangkaan ini sebagai suatu tanda kecenderungan hati dan
dimantapkan dalam perasaan. Inilah yang dilarang keras.
Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman dalam surah Al
Hujurat 12 :
يَآَيُّهَالَّذِيْنَ اَامَنُوْا اجْتَنِبُوْا
كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ ....
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar
sangka-sangkaan itu, sebab setengah dari sangka-sangkaan itu adalah dosa.
Adapun sebabnya diharamkan itu ialah karena
rahasia-rahasia hati itu sama sekali tidak ada yang dapat mengetahui melainkan
Zat Yang Maha Menciptakannya itu, yang Maha Mengetahui segala hal-hal yang
ghaib. Jadi untuk kita tidak bolehlah meyakinkan orang lain itu melakukan
keburukan, kecuali kalau hal yang demikian itu sudah tampak dimata, dapat
disaksikan sesungguh-sungguhnya dan tidak pula dapat dibelokkan kepada
pengertian atau tafsiran yang lain. Jikalau masih belum terbuka dan kita sudah
menyangka-nyangka yang belum tentu ada kebenarannya, maka yang demikian itu
sebenarnya adalah godaan syaithan semata-mata yang ditusukkan dalam hati kita.
Oleh sebab itu, seyogyanya janganlah rayuan syaithan dan tipu dayanya itu kita
ikuti, jangan pula dibenarkan. Dustakanlah ajakannya itu, sebab syaithan adalah
sefasik-fasiknya kaum yang fasik.
Allah ta’ala berfirman dalam surah Al Hujurat 6 :
يَآَيُّهَاالَّذِيْنَ اَامَنُوْآ اِنْ جَآءَكُمْ
فَاسقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْآ اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ ....
Hai orng-orang yang beriman, apabila ada seorang fasik
datang padamu dengan membawa suatu berita, maka carilah kenyataannya lebih dulu
(periksalah dengan seksama), supaya kamu tidak sampai mencelakakan suatu kaum
dengan tidak diketahui yang sebenarnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
اِنَّ الله َحَرَّمَ مِنَ الْمُسْلِمِ
دَمَهُ وَمَالَهُ وَاَنْ يُظَنَّ بِهِ ظَنَّ السُّوءِ
Sesungguhnya Allah mengharamkan dari seorang muslim itu
darahnya dan hartnya serta menyangka terhadap dirinya dengan sangkaan yang
buruk.
Oleh karena itu,apabila ada suatu bisikan dalam hatimu
hendak menyangka buruk kepada orang lain, baiklah ditolak saja dan tidak
dibenarkan sama sekali. Tetapkanlah dalam hati bahwa hal-ihwal orang itu tidak
dapat diketahui apa yang sebenarnya, sedang yang diketahui itu belumlah
semuanya dan masih sedikit sekali dan itu pun dapat mengandung kebaikan atau
keburukan. Jadi belum tentu apa yang sesungguhnya.
Selanjutnya perlu diketahui, bagaimanakah dapatnya
dimaklumi apakah yang dalam hati itu sudah merupakan kemantapan sangkaan,
sedang kebimbangan-kebimbangan adalah berbeda-beda dan tarik-menarik juga jiwa
itu selalu saja mengatakan bayang-bayangnya ? Untuk pertanyaan ini dapatlah
dikemukakan demikian :
Adapun tanda mantapnya sangkaan ialah apabila hati kita
sudah merasa berbeda dengan orang yang kita sangkakan itu bila dibandingkan
dengan waktu sebelumnya kita mempunyai sangkaan tadi. Oleh sebab perbedaan
pandangan yang ditimbulkan oleh hati itu lalu kita ingin menjauhinya, berat
bergaul dengannya sebagaimana sediakala, tidak lagi memperdulikan dirinya,
merasa tidak perlu lagi melindunginya, tidak perlu memuliakannya dan merasa
susah karena perbuatan yang dilakukannya itu.
Jalan untuk menghindarkan hati dari persangkaan yang
sedemikian ini ialah supaya hati kita jangan menetapkan, jangan menyakinkan dan
jangan pula memantapkan, baik dengan ucapan atau perbuatan, juga tidak dalam
kalbu dan tidak pula dalam anggota.
Mungkin sekali syaithan akan mendapatkan hatimu dalam
keadaan yang semacam itu dan dikatakan bahwa itulah memang karena kecerdikanmu,
kecepatan ingatanmu dan kepandaianmu bahwa seseorang mukmin itu dapat melihat
dengan cahaya Allah ta’ala. Tetapi jangan tertipu pula dengan perasaan ini,
sebab orng yang semacam ini sebenarnya melihat dengan tipuan syaithan dan
kegelapan ajaran yang dibawanya.
Oleh sebab itu secara ringkasnya hilangkanlah kemantapan
sangkaan yang buruk itu terhadap siapapun dan jangan merasa pandai dan ‘alim
setelah dapat menguasainya itu. Apabila kita mengetahui seorang muslim
melakukan suatu kekeliruan, maka kewajiban kita ialah menasehati dengan
diam-diam dan secara rahasia. Jangan sekali-kali tergoda oleh syaithan yang
mengajak kita mengumpat kelakuannya itu, sekalipun dengan hati yang berupa
sangkaan yang buruk itu.
Buah dari su-uz zhan (sangkaan jelek) itu ialah tajassus
yakni meneliti keburukan orang lain. Sebabnya ialah karena hati manusia itu
sudah menjadi wataknya tidak merasa puas dengan hanya mengira-ngirakan saja. Ia
senantiasa ingin mencari kenyataan dan ini hanyalah dapat dilakukan dengan
jalan bertajassus atau meneliti. Oleh sebab itu meneliti keburukan orang lain
itupun dilarang dan diharamkan dalam agama.
Firman Allah ta’ala dalam surah Al Hujurat 12 :
Janganlah kamu semua meneliti keburukan orang lain. ...
وَلاَتَجَسَّسُوْا ....
Pengertian tajassus ialah tidak membiarkan seseorang
untuk tetap dibawah naungan Allah ta’ala, lalu ingin memperoleh penelitian yang
tidak bermanfaat serta ingin menyingkap naungan itu sehingga terbuka, padahal
andaikata tetap tertutup pastilah akan lebih selamat untuk hati dan agamanya.
Alasan-alasan mengumpat yang
dibolehkan
Ketahuilah bahwa sekiranya ada suatu hal yang tidak dapat
dicapai tujuannya menurut apa yang dibenarkan oleh syari’at, melainkan harus
dengan menyebutkan keburukan orang lain, maka dalam keadaan yang sedemikian
mengumpat adalah diperkenankan dan tidak berdosa sama sekali. Mengenai ini ada
beberapa persoalan, diantaranya ialah :
1. Dalam
penganiayaan ;
Seseorang yang dizalimi atau
dianiaya oleh orang lain, lalu ia hendak mengadukan halnya itu kepada seseorang
amir atau hakim agar haknya dapat diperoleh kembali atau untuk menuntut haknya
yang belum diterima, maka bolehlah ia mengumpat seperlunya kepada yang berbuat
zalim kepadanya itu dan hendaklah dibatasi mengenai hal-hal yang bersangkutan
perkaranya saja dan tidak perlu mengungkapkan yang lain-lain. Mengumpat semacam
ini sebabnya dibolehkan karena pasti tidak akan dapat dibenarkan keterangannya,
melainkan dengan jalan mengatakan bahwa lawannya itu adalah seorang zalim yang
merampas haknya.
Dalam hal ini rasulullah
s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
Orang yang mempunyai hak itu
boleh mengucapkan alasan-alasannya. اِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالاً
Beliau s.a.w. bersabda pula
(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
مَطْلُ اْلغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menangguhkan waktu membayar
bagi seorang kaya adalah suatu bentuk penganiayaan.
2. Mengumpat
dibolehkan pula diwaktu untuk meminta pertolongn agar suatu kemungkaran dapat
diubah atau agar seorang yang bermaksiat itu dapat diarahkan ke jalan yang baik
kembali. Kepada orang yang hendak kita minta pertolongan itu pengumpatan
terhadap orang yang kita maksudkan itu boleh dilakukan, tetapi wajib dibatasi
seperlunya saja.
3. Boleh pula mengumpat
diwaktu meminta fatwa atau penerangan hukum agama, misalnya seseorang yang
berkata kepada seorang mufti, “Saya dizalimi oleh ayahku atau oleh isteriku
atau oleh saudaraku demikian”. Ini hendaklah dilakukan dilakukan sekiranya
dengan jalan kata-kata samar atau sindiran atau kata-kata pembelokan masih
belum dapat dimengerti oleh mufti tersebut bagaimana duduk persoalannya.
Ini adalah berdasarkan kepada
suatu peristiwa yang pernah terjadi dizaman rasulullah s.a.w., yaitu seorang
wanita bernama Hindun bin ‘Uthbah menghadap beliau s.a.w. dan berkata, “Ya
Rasulullah, suamiku yakni Abu Sufyan itu seorang yang kikir. Ia tidak suka
memberi belanja yang sekiranya cukup untukku dan anakku. Apakah boleh saya
mengambil hartanya tanpa diketahui olehnya ?”.
Beliau s.a.w. lalu bersabda
(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) :
Ambil sajalah secukupnya
untukmu dan anakmu itu dengan baik-baik.
خُذِى مَايَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ
بِمَعْرُوْفٍ
Dalam cerita itu Hindun
terpaksa menyebutkan kekikiran serta kezaliman suaminya dan ini pun merupakan
pengumpatan pula, sebab tentunya andaikata Abu Sufyan mendengar, pastilah tidak
senang hatinya. Namun demikian rasulullah s.a.w. tidak melarang ia berkata
semacam itu, sebab maksud utamanya bukanlah hendak mengumpat, tetapi untuk
memperoleh fatwa yang benar dari beliau s.a.w.
4. Untuk
menakut-nakuti seseorang muslim agar tidak berbuat jelek. Misalnya kita melihat
bahwa kejelekan itu pernah dilakukan oleh orang lain, kemudian kita beritahukan
padanya akan bahaya dan kesukaran yang dialami orang tersebut sebab
perbuatannya. Jadi tujuan bukanlah mengumpat orang itu, tetapi menakut-nakuti
kawan sendiri agar tidak jadi melakukannya seperti yang dilakukan orang tadi,
sehingga tidak terkena bahayanya. Demikian pula halnya seorang yang hendak
membersihkan diri waktu ditanya mengenai seorang saksi yang dianggapnya tidak
benar. Dalam hal ini termasuk pula seorang yang dimintai pendapatnya mengenai
perkawinan, lalu mengumpat seperlunya orang yang hendak dikawini itu. Juga
seperti seseorang yang hendak menitipkan amanatnya kepada orang lain, lalu yang
diajaknya bermusyawarat itu mengumpat seperlunya orng yang akan dititipi
amanatnya tadi. Dalam segala kejadian ini hendaklah disebutkan apa yang
diketahuinya saja dan maksudnya tidak lain kecuali hendak memberikan nasehat
atau pendapatnya kepada yang meminta pertimbangan itu, sekali-kali bukan dengan
maksud hendak memburuk-burukkan atau menjatuhkan namanya.
5. Diwaktu
menanyakan seseorang yang lebih dikenal dengan nama gelarnya, misalnya hendak
mencari alamatnya dan lain-lain. Yang diketahuinya hanyalah gelarnya yang biasa
dipergunakan itu, padahal gelar itu adalah buruk, seperti si Pincang, si Lemah
penglihatannya dan lain-lain. Menyebutkan semacam ini tidaklah mengapa,
sekiranya tujuannya semata-mata untuk menanyakan atau meminta penjelasannya.
Sebab dibolehkannya ialah
karena memang terpaksa harus berbuat sedemikian agar lebih memudahkan
mengenalnya serta andaikata orangnya sendiri mendengarnya tentulah tidak lagi
merasa tertusuk perasaannya, sebab sudah masyhur dengan sebutan seperti itu.
Namun demikian, sekiranya masih ada sebutan lain lagi yang dapat dipergunakan
dan dapat dikenal dengan perkataan lain, maka itulah yang lebih baik daripada
menyebutkan celanya. Oleh karena itu, bagi seseorang buta dapatlah dikatakan
dengan sebutan orang yang melihat sebagai ganti dari namanya yang mengandung
pengertian kekurangan dalam dirinya.
6. Boleh
mengumpat pula kepada seseorang yang dengan terang-terangan berbuat kefasikan
dan malahan ia merasa bangga dengan perbuatannya itu. Maka dalam keadaan yang
semacam ini tidak lagi ia benci apabila mendengarnya. Jadi tidaklah disebut
mengumpat dengan mengatakan hal-hal yang ditonjol-tonjolkan sendiri oleh orang
itu.
Tebusan
/ kaffarat mengumpat
;
Seseorang yang sudah terlanjur mengumpat orang lain itu
seyogyanya merasa menyesal, kemudian bertaubat serta bersedih hati karena
perbuatan yang telah dilakukannya itu. Dengan demikian ia dapat lepaslah dari
haknya Allah ta’ala. Selanjutnya hendaklah meminta maaf kepada kepada orang
yang diumpat itu dan meminta halalnya agar ia dapat lepas sama sekali dari
dosanya. Ini sekiranya ia dapat melakukannya dan tidak takut sesuatu yang
mungkin akan terjadi atas dirinya, misalnya pembalasan dendam dari orang yang
diumpat itu.
Hasan berkata, “Pengumpatan sudah dapat tertutup dengan
jalan : permintaan maaf pada orang yang bersangkutan dan tidak perlu meminta
halalnya”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar dan
lain-lain disebutkan ;
اَيَعْجِزُ اَحَدُكُمْ اَنْ يَكُونَ
كَاَبِى ضَمْضَمْ . كَانَ اِذَاخَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ قَالَ : اَلّهُمَّ تَصَدَّقْتُ
بِعِرْضِيْ عَلَى النَّاسِ
Adakah seseorang dari kamu semua itu tidak dapat berbuat
seperti Abu Dhamdham. Ia apabila keluar dari rumahnya, lalu berkata, “Ya Allah,
saya telah bersedekah dengan kehormatanku kepada orang-orang banyak.
Maksudnya ialah bahwa Dhamdham itu tidak akan menuntut
penganiayaan orang lain kepada dirinya pada hari kiamat dan tidak akan
mengadukan halnya itu. Tentu saja yang dikehendaki itu bukannya boleh menodai
kehormatannya, tetapi hanyalah memaafkan kesalahan orang itu.
Allah ta’ala berfirman dalam surah Al A’raf 199 :
خُذِالْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Berilah pengampunan dan perintahlah kebaikan serta
janganlah memperdulikan ucapan orang-orang yang bodoh.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Jibril a.s. berkata
kepada nabi Muhammad s.a.w. (diriwayatkan oleh Ibnu Majah) :
اِنَّ الله َتَغَالَى يَأْمُرُكَ
اَنْ تَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَكَ , وَتَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِى مَنْ جَرَمَكَ
Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Tuan supaya Tuan
memberi maaf kepada orang yang menganiaya Tuan, mengeratkan hubungan dengan
orang yang memutuskannya dengan Tuan dan memberi kepada orang yang enggan
memberikan sesuatu kepada Tuan.
16. MENGADU DOMBA ;
Allah ta’ala berfirman dalam surah Al Qalam 11 :
هَمَّازٍ مَّشَّآءٍ بِنَمِيْمٍ
(Jangan
kau ikuti) orang yang suka mencela serta berjalan (kesana kemari) menyebarkan
fitnah.
Allah ta’ala berfirman pula dalam surah Al Humazah 1 :
Celakalah bagi setiap pengumpat lagi penista. وَيْلٌ لِّكُلِّ
هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
Ada yang menafsiri kata humazah itu dengan arti pengumpat
untuk mengadu domba.
Ada lagi firman-Nya dalam surah Al Lahab 4 :
(Isteri Abu Lahab) yang membawa kayu bakar. حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Ada yang menafsiri bahwa wanita itu suka mengadu-domba,
menyebarkan fitnah serta menyampaikan pembicaraan dari sini ke sana dan dari
sana ke sini.
Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim) :
Tidak dapat masuk surga seorang yang suka mengadu domba. لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَامٌ
Beliau s.a.w. bersabda pula (diriwayatkan oleh Ahmad) :
اَحَبُّكُمْ اِلَى اللهِ اَحَاسِنُكُمْ
اَخْلاَقًاالْمُوطِؤُنَ اَكْنَافًاالَّذِيْنَ يَأْلَفُوْنَ وَيُؤْلَفُونَ.وَاِنَّ
اَبْغَضَكُمْ اِلَى اللهِ الْمَشَّاؤُونَ بِالنَّمِيْمَةِ الْمُفَرِّقُونَ بَيْنَ
اْلاِخْوَانِ الْمُلْتَمِسُونَ لِلْبُرَآءِالْعَثَرَاتِ
Yang amat tercinta dari kamu semua di sisi Allah ialah
yang terbaik akhlaknya, yang dermawan lagi gemar menjamu orang, yang dapat
menyesuaikan diri lagi dapat diikuti penyesuaian dirinya itu, sedang yang amat
dibenci dari kamu semua itu di sisi Allah ialah orang-orang yang suka berjalan
dengan berbuat adu domba, yang memecah belah antara saudara-saudara, lagi pula
yang mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari kesalahan-kesalahan.
Adapun batas yang disebut mengadu domba itu ialah membuka
sesuatu yang tidak disenangi jikalau disiarkannya, yang tidak merasa senang itu
orang yang diceritakan ataupun orang ketiga yang lain lagi, dimana cara
penyingkapan itu dengan menggunakan ucapan, tulisan, isyarat atau sindiran,
tentang perbuatan atau ucapan yang merupakan kekurangan atau cela dari orang
yang dibicarakan itu ataupun yang sebenarnya tidak ada. Bahkan mengadu domba
itu pada hakikatnya ialah menyiarkan rahasia atau menyingkap tabir kehormatan
mengenai sesuatu yang tidak disenangi untuk dibukanya itu. Malahan segala
sesuatu yang dilihat oleh seseorang perihal perbuatan orang lain, maka
seyogyanya semua itu hendaklah didiamkan saja. Hal ini tentulah terkecuali
jikalau dengan menceritakan itu akan membawa kemanfaatan kepada orang Islam
lain atau untuk menolak suatu kemaksiatan, misalnya ialah jikalau kita melihat
seseorang mengambil harta orang lain, maka wajiblah kita suka menyaksikan hal itu
sebagaimana adanya dan dengan sebenar-benarnya. Ini adalah dimaksudkan untuk
melindungi hak dari orang yang akan disaksikan dan untuk kepentingan
orang-orang yang benar pada harta tadi.
Yang menyebabkan timbulnya suka mengadu domba itu ialah
adakalanya karena adanya keinginan hendak memburuk-burukkan orang yang
diceritakan itu, adakalanya pula untuk menampakkan kegembiraan dengan
mempercakapkan apa yang diceritakan itu, adakalanya pula semata-mata untuk
beromong kosong atau karena terlampau suka berlebih-lebihan dalam berbicara
yang bathil-bathil saja.
Selanjutnya bagi seseorang yang diajak bicara perihal
pengadu dombaan itu, hendaklah jangan tergesa-gesa menyangka bahwa apa yang
dikatakan itu benar, sebab haruslah ingat firman Allah ta’ala dalam surah Al
Hujurat 6 :
...
اِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاٍفَتَبَيَّنُوْا ...
Jikalau ada seorang fasik datang kepadamu dengan membawa
suatu berita, maka periksalah dahulu dengan seksama.
Selain tidak mempercayai, hendaklah pula ia melarang
pembawa berita adu domba tadi dan menasehatinya janganlah hal itu
diterus-teruskan sebab akan besar bahaya dan resikonya. Sementara itu kepada
orang yang menjadi obyek pemberitaan orang fasik tadi, janganlah terus saja
disangka yang buruk-buruk, sebab belumlah dapat ditentukan kebenarannya dan
jangan pula mencoba-coba hendak menyelidiki kesalahannya atau bertajassus.
Hasan r.a. berkata, “Barangsiapa yang membawa berita adu
domba padamu, pastilah ia juga mengadu domba engkau”. Ini adalah sebagai suatu
isyarat bahwa seyogyanya tukang adu domba haruslah dibenci, tidak boleh
dipercaya ucapannya dan tidak perlu diajak bersahabat dengan baik. Renungkanlah
bagaimanakah ia dapat bersahabat dengan baik, sedangkan perbuatannya itu selalu
disertai dengan kecurangan, percideraan, pengkhianatan dan hanya membuat
kerusakan antara orang banyak. Ia adalah termasuk golongan orang yang berusaha
memutuskan sesuatu yang diperintah oleh Allah ta’ala untuk dieratkan dan
termasuk pula dalam golongan orang-orang yang membuat keruskan di atas bumi.
Allah ta’ala berfirman dalam surah Asy Syura 42 :
اِنَّمَالسَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ
يَظْلِمُوْنَ النَّاسِ وَيَبْغُوْنَ فِى اْلاَرْضِ بِغَيْرِالْحَقِّ
Bahwasanya memang ada jalan untuk menyalahkan orang-orang
yang melakukan penganiayaan kepad orang-orang lain dan melanggar peraturan di
muka bumi ini tanpa mengikuti kebenaran.
Termasuk dalam golongan yang dapat dianggap salah
sebagaimana tercantum dalam ayat di atas itu ialah tukang mengadu domba.
Rasulullah s.a.w. bersabda (diriwayatkan olehBukhari dan
Muslim) :
اِنَّ مِنْ شِرَارِالنَّاسِ مَنِ
اتَّقَاهُ النَّاسُ لِشَرِّهِ
Sesungguhnya termasuk golongan seburuk-buruk manusia
ialah orang yang ditakuti oleh orang-orang lain karena keburukannya.
Termasuk dalam hadits ini pula ialah tukang mengadu
domba, sebab orang ini juga ditakuti oleh orang banyak sebab kejahatan adu
dombanya itu. Maka ia pun termasuk seburuk-buruk manusia di dunia.
Muhammad bin Ka’ab Al Qurzhi pernah ditanya, “Manakah
perbuatan-perbuatan orang mukmin yang dapat menurunkan derajadnya”. Ia menjawab,
“Yaitu banyak bicara, menyingkapkan rahasia serta menerima atau mempercayai
setiap kata orang”.
Sebagian orang-orang salaf ada yang berkata, “Andaikata
apa yang dikatakan seorang pengadu domba itu benar, mestilah ia akan berani
memaki-maki dirimu sendiri, sebab orang yang diceritakan itu tentulah lebih
utama dari kesabaranmu, karena ia tidak menemui kamu dengan sebab maki-makian
itu”.
17. UCAPAN ORANG YANG BERMUKA DUA ;
Orang yang bermuka dua atau yang lazim disebut berlidah
dua ialah orang yang berjalan mondar-mandir antara dua orang yang sedang
bermusuhan. Kepada yang seorang ia mengatakan ucapan-ucapan yang dicocokinya
yang tentulah berupa pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan dengan maksud untuk
melontarkan kata-kata permusuhan kepada lawannya, sedang yang dianggap sebagai
lawannya itu dicaci-makinya habis-habisan, dicelanya sesangat-sangatnya. Kepada
yang seorang itu dijanjikan bahwa ia akan membantu untuk melenyapkan lawannya.
Perbuatan semacam ini adalah temasuk sifat kaum munafik, jadi merupakan tanda
kemunafikan yang nyata. Begitulah ia berbuat kepada yang satunya lagi.
Tetapi lain pula halnya apabila seseorang itu menghadapi
masing-masing orng yang bermusuhan itu lalu mengucapkan kata-kata yang manis
dan apa yang dikatakannya memang sebenarnya. Dalam keadaan yang semacam ini
bukanlah termasuk bermuka dua, tidak pula termasuk golongan munafik, sebab seseorang
itu kadang-kadang masih memerlukan hubungan dengan dua orang yang sedang bertengkar atau bermusuhan. Kepada
masing-masing itu ia akan tetap bersikap baik dan jujur dalam segala hal.
Jadi yang disebut berlidah dua ialah yang memindahkan
kata yang seorang kepada lainnya, yang dari sini dibawa ke sana dan yang dari
sana dibawa kemari dengan maksud supaya permusuhan antara keduanya itu makin
tegang dan menjadi-jadi. Kelakuan sedemikian ini benar-benar lebih buruk dari
mengadu domba, sebab mengadu domba hanyalah membawa kata dari satu pihak,
sedang yang ini dari kedua belah pihak. Tujuannya hanyalah hendak berbuat baik
kepada kedua orang yang bermusuhan itu untuk kepentingannya sendiri, sedang
permusuhan antara keduanya tetap dikobar-kobarkan.
Terkecuali pula apabila seseorang itu harus menghadapi
ujian, sehingga terpaksa menjaga perasaan salah satu pihak dalam ucapan-ucapan
yang dikeluarkannya dan ia takut jikalau tidak berbuat yang sedemikian. Orang
seperti ini dapatlah diterima keuzurannya, sebab menjaga suatu keburukan yang
mungkin timbul itu dibolehkan dalam agama.
Abuddarda’ berkata, “Adakalanya kita harus bermuka manis
menghadapi suatu golongan, tetapi sebenarnya hati kita sangat melaknati mereka
itu”.
Pernah terjadi bahwa pada suatu ketika ada seorang
laki-laki memita izin untuk menghadap rasulullah s.a.w., lalu beliau s.a.w.
mengizinkan sambil mengucapkan bahwa orang itu sebenarnya adalah yang amat
buruk di kalangan masyarkat. Anehnya setelah orang itu masuk di tempat beliau
s.a.w., tiba-tiba beliau s.a.w. bukannya menunjukkan kebenciannya, tetapi
bahkan berlemah lembut diwaktu bercakap-cakap dengan orang tadi. Setelah orang
itu keluar, ‘Aisyah r.anha bertanya, “Bukankah tadi Tuan mengatakan bahwa ia
orang buruk, tetapi Tuan bermanis-manis saja waktu berbicara dengannya”.
Rasulullah s.a.w. lalu bersabda (diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim) :
يَاعَائِشَةُ, اِنَّ شَرَّالنَّاسِ
الَّذِى يُكْرَمُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
Hai ‘Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia ialah orang
yang dimuliakan karena ditakuti perbutan buruknya.
Namun demikian perlulah disadari bahwa yang dibolehkan
itu hanyalah menemuinya dengan bermuka manis, bersikap ramah tamah dan penuh
senyuman. Jadi tidaklah berarti dibolehkannya memberikan kata-kata pujian atau
membenarkan ucapan-ucapannya atau menggerak-gerakkan kepala sebagai tanda
menyetujui pada pembicaraannya yang bathil. Hal-hal semacam ini termasuk pula
dalam kemunafikan. Bahkan jikalau sampai terjadi yang semacam itu, maka
wajiblah mengingkarinya dengan sanggahan-sanggahan seperlunya dan sekiranya
tidak kuasa demikian, baiklah berdiam diri saja dan mengingkari dengan hatinya.
Ringkasnya dalam segala sesuatu yang merupakan dharurat atau dalam keadaan
terpaksa, maka hukumnya juga berlainan menilik keadaannya.
18. MEMUJI ;
Memuji itu dalam beberapa keadaan adalah terlarang.
Tentang mencela, maka termasuklah dalam mengumpat atau ghibah, sebab
menjatuhkan kehormatan orang lain dan hukumnya sudah dijelaskan dimuka.
Adapun pujian itu mengandung enam macam bahaya, yang
empat macam mengenai orang yang memuji itu sendiri, sedang yang dua macam
mengenai orang yang dipuji.
Bahaya-bahaya yang mengenai orang yang memuji ialah ;
1. Adakalanya
ia melampaui batas dalam memberikan pujiannya, sehingga akhirnya ia berdusta,
sebab yang dipujikan bukan yang sebenarnya.
2. Adakalanya dalam
hatinya dimasuki oleh sifat memamerkan, sebab dengan mengemukakan pujian itu,
seolah-olah ia menunjukkan kecintaan pada orang yang dipujinya, padahal
hakikatnya ia sendiri mempunyai rasa tidak senang padanya atau ia sendiri
meyakinkan bahwa tidak semua yang dikatakannya itu sesungguhnya benar. Dengan
demikian ia termasuk golongan orang-orang ahli pamer (ria’) lagi munafik.
3.Adakalanya
ia mengucapkan sesuatu yang ia sendiri belum mengetahui benar akan
kenyataannya, bahkan ia tidak mendapatkan jalan untuk memeriksanya itu dengan
teliti dan kesungguhan.
4. Mungkin
sekali yang dipuji itu menjadi gembira dengan pujian yang dihadapkan padanya,
padahal sebenarnya ia adalah seorang yang zalim atau fasik. Oleh sebab terus
memperoleh pujian, maka ia tidak mengerti kekurangan dan kesalahannya dan
akhirnya diteruskanlah perbuatannya itu berlarut-larut karena merasa benar
senantiasa. Perbuatan memuji yang mengakibatkan semacam ini terlarang sekali.
Hasan r.a. berkata, “Barangsiapa yang mendoakan kepada
seorang zalim agar panjang usianya, maka ia telah mencintai apabila kemaksiatan
kepada Allah ta’ala terus berlangsung dimuka bumi”.
Adapun bahaya yang mengenai orang yang dipuji, maka
dapatlah ditilik dari dua jurusan yaitu ;
1. Orang yang
dipuji itu akan timbul kecongkakannya serta merasa bangga kepada dirinya
sendiri. Congkak dan bangga pada diri sendiri adalah dua hal yang merusakkan
jiwa seseorang.
2. Seseorang
yang dipuji itu biasanya menjadi senang dan gembira. Ini dapat mengakibatkan ia
teledor dan rela atau merasa dirinya sendiri yang benar, lagi pula akan
menyedikitkan usahanya untuk melenyapkan keburukan-keburukan yang ada di dalam
dirinya. Kadang-kadang dapat menghilangkan usaha itu sama sekali.
Maka dari itu sekiranya pujian itu tidak akan
mengakibatkan bahaya, baik pada yang memuji atau yang dipuji, maka hukumnya
boleh (jawaz), bahkan kadang-kadang dapat dimasukkan hukum sunnat.
Bagaimanakah sebaiknya sikap orang yang menerima pujian
itu ? Orang yang menerima pujian, janganlah menjadi lupa daratan sebab pujian
itu. Sebaliknya hendaklah ia terus menjaga dirinya, terutama dari bahaya
kecongkakan, merasa megah dan bangga pada diri sendiri, juga jangan menjadi
lengah dan teledor untuk meneliti keburukan diri sendiri. Hendaknya ia selalu ingat
bahwa ia lebih mengetahui tentang dirinya yang mungkin tidak diketahui oleh
orang yang memujinya itu. Andaikata yang memujinya itu tahu segala rahasia
dalam jiwanya dan apa-apa yang terlintas dalam kalbunya, pastilah ia tidak akan
memujinya lagi.
Sayyidina Ali karramallahu wajhah, apabila mendengar
orang memuji padanya, lalu ia berkata, “Ya Allah, berilah saya pengampunan
mengenai apa-apa yang tidak diketahui oleh orang-orang itu. Janganlah saya akan
diambil tindakan atau siksa mengenai apa-apa yang mereka ucapkan, jadikanlah
saya lebih baik dari apa yang mereka sangkakan”.
Sementara itu orang yang memuji itu hendaklah jangan
tergesa-gesa menetapkan pujiannya melainkan setelah diteliti baik-baik secara
batiniah.
Pada suatu ketika Umar r.a. mendengar seorang yang memuji
orang lain, lalu Umar r.a. bertanya, “Apakah Saudara sudah pernah pergi bersama
orang itu ?”. Ia menjawab, “Belum”. Ia bertanya pula, “Apakah Saudara bergaul
dengannya dalam pembai’atan atau mu’amalat ?”. Jawabnya, “Tidak”. Tanyanya
lagi, “Apakah Saudara ini tetangganya yang setiap pagi dan sore melihat
keadaannya ?”. Jawabnya, “Tidak”. Akhirnya Umar r.a. berkata, “Demi Allah yang
tiada Tuhan melainkan Dia, saya berfikir Saudara ini tidak mengenal orang itu
baik-baik”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya
disebutkan :
اِنْ كَانَ اَحَدُكُمْ لاَبُدَّمَادِحًااَخَاهُ
, فَلْيَقُلْ , اَحْسِبُ فُلاَنًا وَلاَاُزَكِّى عَلَى اللهِ اَحَدًا
Jikalau seseorang dari kamu semua terpaksa harus memuji
saudaranya, hendaklah ia mengucapkan, “Saya anggap si Anu itu demikian dan saya
tidak menyucikan seseorangpun di atas Allah”.
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Sumber : Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Disusun oleh Moh. Abdai Rathomy) yang merupakan terjemahan dari Maw ‘izhotul Mu’miniin (Disusun oleh Al’Allamah almarhum Asysyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi) yang merupakan ringkasan dari Ihyaa’ ‘Uluumuddiin/Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Disusun oleh Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar